Share

13 JALAN-JALAN

Penulis: Roze
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

13 JALAN-JALAN

“Enggak juga tuh. Kata siapa Gw sempurna. Gw besar di rumah yatim-piatu. Ibu Gw meninggal sejak Gw masih kecil, dan bokap Gw ... kabur! Gw sering keluar masuk panti asuhan yang berbeda. Jadi pengamen, sering dikejar-kejar satpol PP. Gw enggak ingat muka ayah  Gw kaya gimana, enggak punya fotonya. Bahkan enggak pernah tau namanya. Gw sedikit ingat muka ibu Gw, waktu dia nangis di depan pintu rumah saat suaminya pergi. Gw enggak pernah punya barang mewah, walaupun cuma dalam mimpi. Jadi, pas Gw punya barang mewah, langsung dikira simpanan om-om. Itulah, resiko yang harus Gw jalani. Sering dipandang rendah orang, bertahun-tahun, mungkin seumur hidup. Ada saatnya dimana Gw mikir kalau Gw bakalan susah nikah. Karena Gw enggak mau ngalamin hal yang sama kaya ibu Gw. Kalau suatu saat nanti Gw nikah, mungkin harus yang punya nasib sama kaya Gw, biar Kami bisa saling mengerti.”

“Kok Lo ngomongnya gitu sih Ran?” tanya Reva ingin menangis.

“T
Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP

Bab terkait

  • DI PEMBERHENTIAN TERAKHIR   14 TERLUKA

    14 TERLUKA Reva pulang bersama Dito, sedangkan aku bersama Reno. HP ku dan Reno berbunyi. Reva dan Dito mengirim foto padaku (mungkin juga pada Reno). Aku melihat Reno yang senyum-senyum sendiri. Dasar sarap! Tanpa sadar aku juga tersenyum melihat foto yang dikirim Reva. “Lo kenapa sih senyum-senyum sendiri?” tanya Reno. “Lah, Lo aja senyum-senyum sendiri. Enggak nyadar apa Lo?” kataku. Dito juga mengirimiku pesan singkat. [Coba deh Lo lihat, difoto itu Lo kelihatan senang banget Ran, dan Lo kelihatan tambah manis. Sering-sering ya kita jalan-jalan, biar Lo tambah senang!] Senyumku semakin melebar membaca kata-katanya. Perhatianku yang terus tertuju pada ponsel membuat perjalanan yang jauh ini terasa singkat. Kami turun dari taksi. “Gw mau ke minimarket dulu,” kataku. “Sini Gw temani.” “Dah enggak usah.” “Eh ini tuh udah malam. Akhir-akhir ini di sini t

  • DI PEMBERHENTIAN TERAKHIR   15 DI ANTARA DUA PILIHAN

    15 DI ANTARA DUA PILIHAN Dosen pembimbing memanggilku, katanya ada hal penting yang harus dibicarakan. Aku rasa sesuatu yang akan dibicarakan itu bukan hal yang menyenangkan. Aku mengatur nafas sebelum mengetok pintu, dan berharap semuanya akan tetap berjalan lancar. Pak Alex menatapku sebelum akhirnya memulai pembicaraan. Dia membolak-balik kertas-kertas yangvada di hadapannya, dan aku dapat melihat di situ tertera namaku. “Rana, kenapa akhir-akhir ini nilai-nilai Kamu tidak begitu memuaskan seperti biasanya? Absen kamu juga banyak yang kosong. Saya tahu, ini bukan hal yang gampang. Tapi Kamu harus hati-hati, kalau Kamu masih menganggap penting beasiswa ini, kamu harus berusaha lebih keras lagi, bahkan lebih baik dari yang sebelumnya. Oya, mengenai tawaran kuliah di luar negeri, jangan lupa untuk dipertimbangkan baik-baik. Yang bapak tahu, kamu dulu juga berencana untuk kuliah di luar negeri, kan? Mulai sekarang, saya tidak mau lagi melihat nilai dan

  • DI PEMBERHENTIAN TERAKHIR   16 MIMPI BURUK

    16 MIMPI BURUK“Ra, Gw mau minta tolong sama Lo,” kata Dito.Saat ini aku dan Reva sedang duduk di bawah pohon rindang tempat favorit kami.“Apa?”“Lo mau enggak ngajar private keponakan Gw. Dia masih SD kelas lima. Entar ngajarnya di apartemen Gw, karena kalau di rumahnya, kejauhan. Terus satu lagi, kakak Gw, yang anaknya nanti private sama Lo kan mau buka toko kue, enggak jauh dari tempat Gw, nah Gw udah cerita sama dia tentang Lo. Dia minta gimana kalau Lo nanti yang ngebantu masalah management. Lo kan juga suka bikin kue, jadi lebih ngerti lah masalah ini-itu nya. Masalah waktu kerja, disesuaikan aja sama jadwal Lo. Jadi Lo enggak usah kerja lagi di kafe sama di salon. Kalau di tempat kakak Gw bisa Lo anggap praktek kerja kan. Gimana, mau enggak Lo nolongin Gw?”“Lo serius Dit?”“Iyalah, masa Gw bohong.”“Ini sih bukannya Gw

  • DI PEMBERHENTIAN TERAKHIR   17 VIVIAN

    17 VIVIAN“Ra, besok Lo ada waktu ga? Gw mau ngajak Lo makan siang,” kata Dito di telpon.“Besok Gw ada kerjaan tambahan di Dufan.”“Ya udah enggak apa-apa, kita makan di sana aja gimana?”“Ya udah.”“Sampai besok ya.”KeesokannyaAku menjaga stand es krim. Karena sekarang hari libur, pengunjung jadi lebih banyak.“Strawberry dan lemonnya satu ya. Ren, Kamu mau apa?” kata seorang wanita.“Terserah,” katanya singkat.Perempuan itu memesankan rasa yang sama. Reno terkejut melihatku, begitu juga aku.Ya ampun, sesempit ini kah dunia? Perempuan itu merangkul lengan Reno dan mengajaknya pergi.Perempuan mana lagi yang jadi korbannya dia? Dito sudah datang menjemputku, tapi aku memintanya menunggu sepuluh menit lagi karena belum waktunya istirahat.Sepuluh menit k

  • DI PEMBERHENTIAN TERAKHIR   18 DI TEMPAT PESTA

    18 DI TEMPAT PESTAKami pergi ke tempat pesta ulang tahunnya. Sebagai tuan rumah, tentunya Reva tiba lebih dulu sebelum tamu-tamu berdatangan. Dekorasinya dibuat sangat bagus.Satu persatu para tamu datang. Saat Reva sudah mulai sibuk dengan tamu-tamu yang datang, aku mencari tempat duduk yang dekat dengan lampu hias. Malam ini langit terlihat cerah.Aku melihat Dito mengobrol dengan Reva. Mereka melambaikan tangan kepada seseorang. Ya ampun, dia juga datang. Aku langsung berdiri, mencari tempat yang lebih tersembunyi. Aku menunduk dan berusaha menutupi mukaku dengan tas.“Lo kenapa?” Aku menoleh, Reno berdiri di hadapanku. Dia kaget melihat penampilanku, ingin mengatakan sesuatu tapi dibatalkannya. Mungkin tidak ingin mengacaukan acara Reva karena pertengkaran kami.“Ra, kemana aja sih Lo Gw cari-cari. Ayo sini Gw kenalin sama cowok, ganteng banget Ra,” kata Reva berbisik.Aku menurut hanya karena i

  • DI PEMBERHENTIAN TERAKHIR   19 JADIAN

    19 JADIANCuaca yang buruk membuat kondisi kesehatan pun memburuk. Reva juga dirawat di rumah sakit. Aku juga sering menginap di rumah sakit untuk menemani Reva. Reva itu lebih kaya saudara daripada teman. Akhir-akhir ini aku kurang tidur, dan sejujurnya aku takut untuk tertidur, takut untuk bermimpi. Aku juga sering bermimpi tentang foto yang kulihat di ruang baca dulu. Aku melihat Reno dan Vivian di halaman depan. Aku duduk di depan kamar dengan memejamkan mata.“Lo sakit?” tanya Reno.Aku kembali memejamkan mataku.“Kenapa sih Lo singit banget. Apalagi kalau lihat Gw sama Vivian. Lo enggak suka sama Vivian?”“Gw kasihan sama Reva.”“Mang kenapa Reva?”“Lo enggak tahu atau pura-pura enggak tahu sih?”“Iya, Gw tahu Reva sakit. Kemarin Gw habis nengokin di rumah sakit.”Aku hanya diam saja. Bodoh banget

  • DI PEMBERHENTIAN TERAKHIR   20 BERKUNJUNG KE MAKAM DAN PANTI

    20 BERKUNJUNG KE MAKAM DAN PANTISemua orang sibuk dengan urusan masing-masing. Sekarang Reva jadi lebih sering bersama Dito. Mungkin setelah Reva lulus, mereka akan menikah.Aku jadi merindukannya. Kusibukkan diriku dengan bekerja dan mengerjakan skripsi. Sudah tiga bulan aku enggak pernah ke rumah Reno.Setiap kali kesana selalu ada Vivian, dan Reno selalu melihat kearahku dengan pandangan penuh rasa iba. Itu sangat menyebalkan.Beberapa formulir beasiswa ke luar negeri berhamburan di meja. Sudah sejak SMA aku mendapat tawaran beasiswa ke luar negeri. Tapi akhirnya kutolak karena akan sulit berziarah ke makam ibu. Kalau aku kuliah di Jakarta, setidaknya aku masih bisa berziarah. Namun akhir-akhir ini, entah kenapa aku sangat ingin pergi.Bel berbunyi, saat kubuka pintu Reno langsung masuk sebelum sempat kuusir.“Lo kemana aja, enggak pernah pulang? Tiap kali Gw kesini enggak pernah ada. Telpon enggak pernah diangkat

  • DI PEMBERHENTIAN TERAKHIR   21 PENASARAN

    21 Lagi-lagi aku diam di sepanjang perjalanan. Ini seperti mimpi. Aku memejamkan mataku, berpikir siapa orang itu. Tapi aku tetap tidak bisa menebaknya. Aku tidak mengenal satu pun teman ibuku. Atau mungkin teman ayah, entahlah. “Ran, lo mikirin siapa orang itu? Coba entar gue tanya ke bokap, mungkin bokap tahu,” kata Reno. “Jangan! Lo jangan pernah nanya sama bokap lo!” Reno mengangguk, karena mungkin dia merasa ini bukan urusannya. Kereta api berjalan dengan pelan. Aku menyandarkan kepalaku ke jendela, karena perjalanan masih jauh. Aku merasa lelah, lebih dari sekedar lelah fisik. Bisakah aku berdamai dengan keadaan ini? Walau bagaimana pun aku memberontak, masa laluku tetap tidak dapat berubah. Bisakah aku bersandar pada seseorang dan menggenggam tangan seseorang? Aku merasa kesepian, bu. Bu, kenapa pria itu datang dengan seorang istri dan tiga o

Bab terbaru

  • DI PEMBERHENTIAN TERAKHIR   37 BONUS CHAPTER

    37 BONUS CHAPTER Aku membesuk Reva yang baru saja melahirkan anak pertamanya yang berjenis kelamin laki-laki. “Siapa namanya, Rev?” tanyaku sambil menggendong bayi tampan itu. “Arkana Albian Abizar.” “A semua?” “Hahaha, Albian nama keluargaku, kan. Abizar nama keluarga Dito. Maklumlah lah Ran, aku kan anak satu-satunya, jadi kedua orang tuaku ingin nama Albian tetap dipakai.” “Halo baby Arkana, jadi anak yang soleh ya dan sehat selalu, membanggakan kedua orang tua kamu.” Reno mengusap perutku yang sudah membuncit. Saat ini aku juga sudah mengandung lima bulan. Keluarga Reno sangat bahagia saat pertama kali mengetahui soal kehamilanku. Reno menjadi suami yang siaga. Setiap malam dia selalu menemaniku yang susah tidur dan yang terkadang ingin ini itu. Pagi harinya dia akan membuatkan susu hamil untukku. Banyak hal yang sudah Reno lakukan, bukan hanya saat aku hamil saja. Aku benar-benar ber

  • DI PEMBERHENTIAN TERAKHIR   36 KEBAHAGIAAN DI LAUT BIRU

    36 KEBAHAGIAAN DI LAUT BIRU Reno menggenggam tanganku dengan erat, seolah mengatakan bahwa semuanya akan baik-baik saja. “Ren ....” “Sstttt ... sudah tenang saja, kita akan menikah dan kamu tidak boleh pergi lagi tanpa aku.” Ck, percaya diri sekali dia. Entah kenapa aku memang tidak dapat menghilangkan rasa tidak percaya diriku mengenai hubungan dengan laki-laki. “Yang harus kamu pikirkan itu mengenai konsep pernikahan kita nanti. Kamu pasti mau menikah di pantai, kan. Tenang saja, selama ini aku sudah menyiapkan semuanya, kamu tinggal memilihnya saja.” “Yang paling penting itu restu, Ren.” “Ya pasti direstuin lah, Yang!” Yang? Maksudnya, Sayang? Aku menahan senyum, tapi Reno menyadarinya. “Kok kamu senyum-senyum sendiri gitu, sih? Sudah gak sabar ya, nikah sama aku?” Tuh kan, sekarang jadi aku kamu, biasanya juga gue elo. “Dih, percaya diri

  • DI PEMBERHENTIAN TERAKHIR   35 SESEORANG ITU DIA

    35 SESEORANG ITU DIA Awalnya aku merasa kagum, namun tidak pernah kutunjukan. Orang yang selama berbulan-bulan kulihat turun bersamaku di pemberhentian terakhir. Seolah dia menjagaku di keheningan malam dan aku merasa aman dan nyaman dengan itu. Orang yang akhirnya menjadi rekan kerjaku di kafe, dan ternyata dia juga satu kampus denganku. Meskipun kami sering bertengkar di kafe dan bersikap tidak peduli satu sama lain di kampus, namun aku tidak pernah benar-benar membencinya. Entah apa penyebabnya, aku juga tidak tahu. Saat pertama kali ke rumah om Hendro dan bertemu dengannya, seperti ada petir yang menyambarku. Aku merasa kecewa, aku terjebak mimpi buruk dan tidak bisa keluar. Kenapa orang yang aku kagumi harus menjadi saudara yang kubenci. Aku tutupi perasaanku rapat-rapat, dan rasa kagum itu harus aku kubur dalam-dalam. Saat tahu kami tidak bersaudara, ada perasaan lega dan senang. Aku bisa kembali mengaguminya sebagai seorang teman, d

  • DI PEMBERHENTIAN TERAKHIR   34 TENTANG ISI HATI

    34 TENTANG ISI HATI "Terus waktu seperti diputar ke belakang lagi, saat gw mendengar percakapan itu. Tuhan enggak mungkin ngasih perasaan sayang seperti itu ke adik gw sendiri, dan ternyata memang bukan perasaan gw yang salah.” Reno terdiam sejenak, kemudian melanjutkan kembali. “Awalnya gw merasa penasaran kenapa lo selalu duduk sendiri di kantin sekolah atau di perpustakaan. Lo enggak pernah memperhatikan siapa orang-orang yang ada di sekitar lo, seolah mereka tiang listrik yang bergerak, yang kalau lo dekat-dekat bakalan kesetrum. Berkali-kali kita berpapasan, tetapi lo enggak pernah mandang gw sekali pun. Lo enggak pernah tersenyum atau pun marah. Tetapi saat ada Dito, lo selalu tersenyum dan merasa senang, tapi karena dia juga lo kecewa dan patah hati. Gw pengen bikin lo tersenyum tapi ujung-ujungnya kita selalu berantem. Lo sering mandangin hujan dari kamar lo, seolah lo lagi curhat sama hujan itu. Tadinya, gw kira ayah menyuruh gw ngekos di sit

  • DI PEMBERHENTIAN TERAKHIR   33 INGIN MEMULAI HIDUP BARU

    33 INGIN MEMULAI HIDUP BARU Om Hendro dan tante Ajeng sepertinya masih keberatan, tapi akhirnya mereka setuju juga. Aku memasukkan bajuku ke dalam koper. “Lo pergi karena patah hati?” “Ren, lo pernah nanya pertanyaan yang sama juga kan dulu. Kenapa harus diulang lagi, sih? Gw bosan menjawab pertanyaan yang sama dengan jawaban yang sama juga. Sebagai mantan teman kerja dan senior, seharusnya lo ngedukung gw.” “Gw bukannya enggak ngedukung, tapi ....” “Dah enggak usah tapi-tapian.” “Kan bentar lagi juga gw mau nikah.” “Oya, selamat ya. Entar gw datang deh. Gw doakan semoga dia bahagia.” “Kok cuma dia, gw enggak?” “Ya lo sih udah pasti bahagia lah, kan lo yang mau. Justru dia yang gw cemaskan.” “Ya bahagia juga, lah. Kata orang-orang, gw baik, ganteng, lucu, hmmm ... apa lagi yang belum, ya?” “Tapi kurang waras!” “Coba deh, hati dan pikiran lo

  • DI PEMBERHENTIAN TERAKHIR   32 PERNIKAHAN

    32 PERNIKAHAN Reno yang merancang bangunannya, sedangkan Reva menulis daftar semua kebutuhan. Dito, Vivian, dan Andre juga ikut membantu. Bukan hanya mereka, tante Hartini dan ibu kos juga ikut andil. Tante Hartini menghubungi teman-teman lamanya semasa tinggal di rumah yatim. Mengerjakan semua ini, entah mengapa perasaanku campur aduk. “Kita bisa membuat beberapa kegiatan, untuk melatih kemandirian mereka. Misalnya setiap hari Minggu kita bikin kegiatan membuat kue, nanti hasilnya bisa dijual. Bercocok tanam, kerajinan tangan dan yang lainnya. Masalah tenaga pengajar enggak usah khawatir, teman-teman kampus kita siap bantu. Masing-masing dari mereka bisa ngajarin keahlian mereka. Misalnya, gw bisa ngajarin melukis. Nah karena Reva suka banget sama fashion, dia bisa ngajarin merancang baju, tinggal cari orang yang bisa ngejahit. Pokoknya lo tenang aja Ran, semua udah dipersiapkan dengan sebaik-baiknya,” kata Dito. Aku tersenyum penuh rasa terima k

  • DI PEMBERHENTIAN TERAKHIR   31 DIA ADALAH AYAH TERBAIK

    31 DIA ADALAH AYAH TERBAIK Aku menuju kamarku dan mengambil buku tabungan dan ATM-nya, lalu kembali ke bawah. “Ini. Ini semua uang yang sudah Om kirimkan kepadanya untuk memenuhi kebutuhanku. Jumlahnya masih sama, tidak ada yang berkurang sedikit pun.” Aku menyerahkan buku tabungan dan ATM itu pada om Hendro. “Rana ... seharusnya ayah yang minta maaf. Ayah enggak ada maksud untuk menyembunyikan kebenarannya dari kamu. Ayah hanya takut, kalau kamu nanti tahu, kamu akan pergi karena merasa tidak berhak ada di rumah ini.” Aku langsung melihatnya. Dia masih menyebut dirinya ayah padaku, dan dia tidak ingin aku pergi kalau aku tahu dia bukan ayahku? Aku semakin merasa malu. Mengapa om Hendro begitu baik padaku? Dia membiarkan anak-anaknya berpikir kalau dia memiliki anak dari perempuan lain, hanya untuk menjagaku, yang bahkan tidak memiliki hubungan darah dengannya sedikit pun. Apakah orang lain akan melakukan ha

  • DI PEMBERHENTIAN TERAKHIR   30 MAAFKAN AKU

    30 MAAFKAN AKU “Rana, ayah mau bicara. Ayo turun!” Aku dan Reno turun dan duduk di ruang keluarga. Aku melihat wajah mereka yang terlihat serius, apa yang akan dibicarakan adalah hal yang sangat penting? “Rana, ada hal serius yang ingin ayah bicarakan.” Om Hendro dan tante Ajeng berpandangan. Apa seperti yang aku pikirkan? “Ini menyangkut masa depan kamu. Begini, kamu kan sudah dewasa dan sudah cukup umur. Ayah bermaksud ingin menjodohkan kamu dengan seseorang, tapi ayah tidak akan memaksa, semua keputusan ada di tangan Kamu.” Nah loh, kok enggak seperti yang aku kira, meskipun agak menjurus dikit. Orang tua Reno berpandangan, menunggu reaksiku. Aku melihat Reno, dia juga kelihatan kaget. Berarti dia juga enggak tau apa-apa. “Iya, nanti aku pikirkan dulu.” Kami berbicara dengan santai, tentang pria yang akan dijodohkan denganku. Pria itu berumur 30 tahun, lulusan luar n

  • DI PEMBERHENTIAN TERAKHIR   29 INGIN MELAMAR

    29 INGIN MELAMAR Aku menyiram tanaman. Aroma mawar membuat suasana di taman ini lebih menyenangkan. Aku baru memperhatikan kalau di taman belakang ini ada bunga kesukaan ibu. “Rana, rencana kamu hari ini apa?” tanya tante Ajeng. Reno dan yang lainnya sudah berkumpul dan duduk di pinggir taman. “Aku mau ke tempat Reva.” “Oya Rana, ayah mau kamu kerja di perusahaan ayah. Ayah sudah nyiapin posisi manajer untuk kamu,” kata om Hendro. “Tapi ....” “Tolong bantu ayah, ya. Reno juga kan sekarang sudah kerja di perusahaan. Kalau ada kalian berdua, pasti lebih baik.” Bagaimana nanti om Hendro akan memperkenalkan aku. Anaknya, kah? Keponakan? Atau hanya sebagai manajer biasa? Siang harinya aku bertemu dengan Reva. Dia memelukku. Aku membawakan oleh-oleh untuknya dan Dito. “Dito gimana kabarnya, Rev?” “Baik-baik aja. Pokoknya hari ini khusus untuk kita berdua. Lo ngin

DMCA.com Protection Status