Kiara terlihat sangat kaget ketika melihatku sedang duduk tenang di samping Della, tapi aku harus kembali membuat dia tenang. Sebagai suami, tanggung jawabku tentu sangat besar terhadapnya.
"Kenapa Sayang? Apa kau lelah selama ini merawat rumah dan Della?" tanyaku baik-baik dan lembut.Aku mohon ya Allah, jangan biarkan emosi menguasai diri ini dan membuatku kehilangan kendali. Karena kutahu, tidak ada perbuatan yang baik jika diawali dengan yang tidak baik.Hanya uang yang ia hilangkan, menurutku masih berada dalam tingkat wajar. Ya, meskipun jumlahnya akan membuat orang-orang menggelengkan kepala.Kiara hanya menggeleng. Wajahnya dipenuhi dengan rasa ketakutan.Kudekati tubuhnya yang masih basah dan memeluknya dalam tubuhku. Tapi dia sama sekali tidak merespon. Hanya diam. Tapi getaran tubuhnya masih berasa.Tubuh yang dulu sangat enak untuk dipeluk, kini aku bagaikan memeluk sebuah tiang. Keras dan tidak ada reaksi."Kamu bisa memberitakan apapun yang kamu rasakan, Ara. Aku suamimu dan aku juga sangat mencintaimu," bisikku di telinganya.Kupikir reaksinya akan sama seperti dulu. Wajahnya akan merah merona dan senyum manisnya mengembang sempurna. Tapi aku salah.Dia malah tidak ada reaksi sama sekali. Diam. betul-betul hanya diam.Tapi menit kemudian, tangannya mencoba mendorongku halus. Mungkin dia tidak nyaman atau belum mau bercerita."Maafkan Mas jika sebelumnya sudah menyalahkanmu dan membentakmu kasar, Ara," kuambil nafas dalam-dalam untuk menenangkan diri agar tidak terbawa emosi. "Tapi percayalah semua itu Mas lakukan untuk kebaikanmu dan Della. Mas tidak ingin orang yang Mas sayangi terluka."Sudahlah, Mas. Aku akan menyiapkan makanan," ucapnya lirih.Kiara memandang ke arah tempat tidur.Apa dia sadar kalau ponselnya telah berpindah tempat?"Mana ponselku, Mas?" tanyanya tajam. Sorot mata yang dari tadi teduh, mendadak bergejolak.Aku mengubah ekspresi wajah seolah tidak berdosa sambil menggeser ponsel yang tadi kuubah posisi kembali ke tempat asal ketika dia lengah."Mas tidak tahu, Sayang. Lagian Mas juga baru sampai," ucapku berbohong.Maafkan aku, Kiara. Tapi aku melakukan ini demi kebaikanmu. Aku ingin tahu siapa orang-orang yang ada dibalik perubahanmu itu.Aku harus semangat demi Della dan juga Kiaraku."Kamu tidak bohong kan, Mas?" tanyanya khawatir. Mungkin dia juga sudah curiga kalau aku bakal memainkan ponselnya. Namun, jangan panggil aku Raksa kalau tidak bisa berbohong. Selama itu demi kebaikan. Aku akan berusaha.Aku mengangguk mantap."Kuharap kamu tidak membuatku kecewa, Mas," ucapannya yang seolah kecewa atas tindakanku.Kembali aku menatapnya dalam diam. Dia seperti bukan Kiara yang kukenal. Kemana Kiaraku pergi?**"Kamu sudah tahu belum permasalahan apa dibalik sikap Kiara?" tanya Mama dengan nada pelan. Mungkin takut terdengar oleh menantu menggemaskannya itu.Aku menggeleng lemah."Jangan patah semangat. Mama yakin Kiara sedang dalam paksaan orang lain. Apalagi kita tidak bisa dua puluh empat jam berada di sisinya," lanjutnya memberikan semangat."Tentu, Ma. Aku mengenalnya selama beberapa tahun, tidak mungkin kalau dia bisa diperalat dengan mudah.""Pikiran Mama juga begitu. Lagian Mama juga sudah tidak sanggup dijuluki mertua jahat sama para tetangga. Padahal jelas-jelas Mama jarang banget ada di rumah,"lirihnya jengkel.Aku geleng-geleng kepala dengan apa yang baru saja Mama katakan.Tidak mungkin ibuku adalah mertua yang kejam yang berani menindas menantunya. Karena aku tahu kedekatan Mama dan Kiara..Saat ini aku berangkat kerja tanpa diantar Kiara, dia bilang akan menidurkan Della biar tenang. Aku sendiri tidak masalah. Toh tidak sering."Aku berangkat dulu, ya, Ma.""Iya, Ka. Mama juga sebentar lagi berangkat."Baru saja mobilku melaju beberapa meter, aku mendengar beberapa percakapan yang menyakitkan."Pak Kos tahu tidak kenapa Bu Kiara tidak pernah belanja ke Pak Kos lagi?" tanya salah satu Ibu komplek. Kebetulan aku memberhentikan mobil ketika perasaanku terasa tidak enak."Saya tidak tahu, Bu.""Tapi saya tahu.""Kalau Ibu tahu, kenapa tanya saya.""Saya tahu Bu Dew, Bu Kiara itu kayaknya terdzolimi sama mertua. Buktinya badannya sekarang kurus banget."Seorang wanita berumur mendekat ke arah mereka. Cuman sayang, perkataannya diluar dugaanku.”Iya. Saya juga berpikir begitu, Bu. Kok bisa ya punya mertua kayak gitu masih mau tinggal satu rumah, heran saya.""Sama saya juga. Jadi istri itu capek. Bukankah lebih baik kalau ada masalah dilampiaskan, meksipun sama ibu mertua sendiri. Daripada di pendam jadi penyakit."Aku menggelengkan kepala berkali-kali.Kuputar mobil kembali ke rumah, untuk memastikan kalau Mama tidak mendengar percakapan menyakitkan mereka.Tapi terlambat. Mobil Mama tepat berada di belakangku. Sampai aku tidak jadi putar arah.Bahkan ternyata Mama sudah berdiri tepat dihadapan ibu-ibu yang berada di tukang sayur gerobak itu."Apa topik kalian seru?""Seru sekali," jawab mereka tanpa melirik ke arah Mama."Maaf, Bu." Pak Kos merasa tidak enak dan permintaan maafnya membuat kedua ibu-ibu itu menengok ke arah Mama.Terjadilah peristiwa saling lirik."Apa kalian pikir semua mertua jahat dan suami tidak peka?" Mama mulai emosi. "Coba tanya hati nurani kalian, apa semua mertua itu jahat seperti apa yang kalian pikirkan?""Jangan pernah egois menjadi wanita. Kalian juga akan menjadi seorang mertua. Jangan pernah mengalahkan ia hanya karena menantunya tidak gemuk dan terlihat tidak bahagia." ucap Mama lagi.Tapi mataku kini tidak fokus pada mereka.Mataku menangkap sosok seorang wanita muda yang terasa tidak begitu asing sedang berdiri melihat-lihat ke sekitar rumahku.Sangat mencurigakan.Aku mendekat ke arah wanita itu, tapi dia lebih dulu tersadar dan berjalan menjauhiku. Sekilas tadi aku melihat wajahnya. Tidak kenal, tapi terasa tidak asing.Segera aku berlari ke arah mobil dan mengejar wanita itu sampai ke jalan yang ramai. Dalam beberapa menit, dia berlari ke arah gang yang sempit yang membuat mobil tidak bisa mengikutinya.Dengan kecewa, aku kembali memutar arah dan pulang ke rumah."Aku butuh uang, Mbak Diyah. Untuk saat ini hanya sama Mbak aku berani pinjam."Terdengar suara panik Kiara dari dalam yang berhasil membuatku ikut panik juga. Untuk apa dia selalu meminjam uang?"Iya, Mbak. Aku mohon, Mbak. Aku yakin uang segitu bagi Mbak Diyah kecil. Tapi bagi saya sangat besar," ucapnya lagi.Sementara aku masih setia menjadi pendengar yang baik walaupun hatiku sudah panas dan ingin merebut ponsel itu untuk menghentikan aksi gila Kiara."Hanya lima juta saja, Mbak," lirih Kiara.Aku benar-benar tidak habis pikir. Baru saja malam kemarin aku memberinya lima juta. T
Jasmin.Wanita masa lalu yang sangat aku cintai. Tepatnya, kita berdua saling mencintai. Namun dia tiba-tiba menghilang dan dinyatakan sudah meninggal.”Jangan bicara sembarangan!" Mama mulai menaikkan nada bicaranya.”Aku serius, Ma. Aku melihatnya dengan kedua mataku sendiri. Hanya saja...""Hanya saja apa?"Hatiku terlalu sakit ketika sebuah perpisahan yang tidak diharapkan itu terjadi secara tiba-tiba. Bagaimana bisa, malamnya aku dan Jasmin masih bersama untuk mempersiapkan pernikahan esok.Tapi esoknya tepat di hari pernikahan terjadi, mempelai wanita mendadak berubah menjadi kakaknya yaitu Kiara.Ingin aku membatalkan, tapi Mama memaksaku untuk bertahan hingga acara pernikahan selesai."Apa kamu masih mencintainya?" Mama menatapku tajam dari atas."Cinta itu bukan sebuah permainan, Ma. Tapi entah kenapa aku sulit untuk menjaga hati dan perasaanku.""Tapi apa kamu yakin kalau wanita itu adalah Jasmin?" tanya Mama lagi."Aku sangat ya–"PrangSuara pecahan beling yang cukup keras
[Ibu butuh uang untuk ke salon. Jangan lupa siapkan lima juta.]Pesan itu kubaca berulang, tidak yakin dengan apa pesan yang baru saja Kiara terima. Berhubung Kiara sedang kecewa padaku, kuputuskan untuk membalas pesannya.[Untuk apa aku harus selalu menyiapkan uang untuk ibu?]Dengan hati yang tidak tenang karena takut Kiara lebih dulu datang, kutunggu balasannya dengan gelisah.Beberapa menit telah berlalu, namun balasannya belum juga aku terima."Bentar, Ma, aku ajak Mas Raksa dulu untuk ikut makan," ucap Kiara yang kudengar tidak berada jauh dari pintu.Mati aku kalau sampai dia tahu.Berhubung suara Kiara makin dekat, aku lebih dulu menghapus pesan chat dari ibunya dan juga balasanku.Lalu menyimpan ponselnya di tempat yang tidak dapat dia ketahui. Kecuali kalau Kiara mengobrak-abrik kamar ini."Mas, Mama ajak kita makan," ucapnya dengan muka ditekuk."Senyum, dong!" "Kenapa? Aku kan juga pegel kalau harus senyum terus."”Kalau nyuruh makan dengan senyum, Mas jadi semangat. Tapi
Sultan menatapku lekat, bahkan aku pun sampai dibuat risih. "Kenapa?""Apa Kiara adalah adik kandung Jasmin?""Tentu saja.""Tapi kok kamu enggak benci sama Kiara, padahal kan bisa saja dia bersekutu sama Jasmin?""Itu tidak mungkin. Aku tahu Kiara, sifatnya sangat istimewa jika dibandingkan dengan Jasmin ataupun keluarganya yang lain," jawabku mantap."Bingo. Itu maksudku. Aku tidak yakin kalau Kiara adalah bagian dari keluarga Jasmin," ucapnya membuatku berpikir sejenak.Masa iya?Selama yang kutahu mereka bersaudara, bahkan sering kemana-mana hanya berdua.Mbak Sinta sangat terkejut dengan jawaban Kiara, begitu juga aku dan Sultan. Ketika aku berpacaran dengan Jasmin dulu, Ibu Tika sangat lembut dan perhatian pada semua orang. Termasuk pada Kiara.Bahkan keluarga Pak Hari dan Bu Tika ini terkenal dengan sebutan keluarga harmonis."Meminta dibayar? Maksudnya gimana?" Mbak Sinta mencoba untuk tetap tenang. Tangis Kiara semakin pecah. Puluhan lembar tisu pun sudah tergeletak tidak ber
Semenjak aku membalas pesan yang mengatakan kalau aku tidak akan pernah menceraikan Kiara, Ibu seringkali mengirimkan pesan yang berisi ancaman yang ditujukan untuk Kiara.Anehnya, sejak itu pula Kiara sama sekali tidak pernah menegang ponselnya kembali dan kini ia terlihat lebih tenang,Berbagai kata-kata kasar, aku terima dengan begitu mudah. Sumpah serapah. Bahkan mendoakan yang buruk untuk Kiara. Tapi ketika kuajak bertemu, nyalinya langsung ciut. Bahkan tidak pernah ada balasan lagi.Sementara nomor yang kusimpan dengan nama 'orang tidak tahu malu' dalam beberapa hari hanya mengirimkan beberapa pesan saja. Meskipun demikian, isinya langsung meminta uang secara terang-terangan dan dengan jumlah yang lumayan.Anehnya, orang ini lebih berani ketika aku mengajaknya bertemu. Malah jika dilihat dari pesannya, dia bahkan sangat antusias untuk bertemu denganku.Seperti saat ini, dia kembali mengirimkan pesan singkat.[Ayo kita bertemu. Aku yakin kau akan jatuh dalam pelukanku dan langsun
Meskipun aku sangat bingung dengan perkataan Pak Hari, tapi aku juga tidak bisa berbuat apa-apa. Karena beliau langsung berjalan cepat, menjauhiku.Kulihat beliau mengobrol dengan seorang wanita. Tapi kakiku langsung berlari mengejar wanita itu ketika sudah melihat wajahnya. Tidak salah lagi, dia adalah Bu Tika. Istri Pak Hari.Ketika mengejar, mereka tampak beradu mulut lumayan lama dan selang beberapa detik, mereka tiba-tiba lenyap di depan mata. Hilang entah kemana.Ah, sial!Aku kehilangan jejak mereka.Kembali aku chat pesan ke kotak yang bernama Ibu itu dengan ponsel Kiara.[Aku sudah menunggu di restoran Amirisa, meja nomor delapan.][Kiara]Secepat kilat aku langsung mendapatkan balasannya.[Jangan bohong kamu! Aku sekarang tahu siapa kamu. Lihat saja, aku akan membuat istri dan anakmu menderita]Balasnya mengancam dan ditambah beberapa emoticon ketawa.Dasar wanita jahat.Aku benar-benar takut kalau wanita ini akan melakukan sesuatu yang buruk pada istri dan anakku jika merek
Dibalik perubahan istrikuBeberapa hari ini aku lewati dengan susah payah. Walaupun sekuat tenaga aku mencoba untuk tidak bicara dengan Kiara, bahkan terkesan menjaga jarak, tetap saja tidak bisa.Lidahku terasa kelu jika tidak bicara, meskipun hanya sekedar iya dan tidak."Sepertinya istrimu memang tidak biasa," Reyhan pun menilai Kiara hanya polos diluar ketika aku mengatakan tentang percakapan Kiara dan Jasmin.Aku pun menilainya demikian. Namun, entahlah. Karena sangat bingung. Antara percaya dan tidak percaya.Tapi itu dikatakan langsung dari mulut Kiara."Aku rasa sebaiknya kalian bercerai," lanjutnya.Deg ... bercerai?Apa aku harus menjauh dari Kiara dan Della? "Kalau tidak mau menjauh, janganlah percaya apa yang kau lihat dan dengar beberapa waktu lalu itu!" Sultan menepuk pundak kiri."Dan kau, jangan ikut campur dalam masalah rumah tangga orang lain. Kisah percintaanmu yang kandas jangan disamakan dengan kisah orang lain," ucapnya lagi pada Reyhan yang hanya menunduk usai
Diam membisu. Begitulah Kiara saat ini. Padahal rekaman ini membuktikan kalau Kiara berada dalam ancaman, tapi dia sama sekali tidak marah."Kenapa kau tidak marah, sayang?" tanya Mama. "Bukankah seharusnya kau marah dan meminta suamimu untuk menebus kesalahannya karena telah berpikiran negatif padamu?"Tapi Kiara malam semakin diam. Sifatnya itu membuatku dan Mama terasa ngilu dan rasa bersalahku teramat dalam."Bicaralah, Sayang," bisik Mama di telinganya.Kiara mengembuskan napas panjang, "Aku lelah, Ma. Lelah tiap waktu dicurigai, setiap aku menjelaskan, Mas Raksa tidak pernah percaya padaku. Tetap saja harus mencari bukti," jelas Kiara. Setiap katanya yang keluar membuat ulu hatiku semakin sakit.Bukannya aku tidak percaya, tapi aku hanya ingin mengungkap kebenarannya kalau Ara-ku tidak terlibat sama sekali.Memang benar Kiara yang sudah menabrak Jasmin, tapi itu tidak sengaja. Mobil yang Kiara pakai mengalami rem blong dan tepat di depan Jasmin sedang membelakangi mobil yang Kia
Mama menatapku dengan tajam setelah beberapa hari kepergiannya. Kini kita duduk berhadapan, benar-benar membuat diri ini canggung. Sekaligus merasa bersalah, takut kalau Mama akan segera mengetahuinya."Jelaskan apa ini!" ucap Mama tegas, sama sekali tidak ada tanda-tanda marah. Namun, jantungku malah berdetak tidak menentu."Apa, Ma?" tanyaku pura-pura tidak mengerti.Mama mengerahkan ponselnya yang berisikan deretan pesan di aplikasi chatting berwarna hijau.'Asslamu'alaikum, Ma. Maaf kalau Kiara baru bisa menghubungi Mama. Kejadian baru-baru ini sangat membuat Kiara terpukul, Ma. Kiara minta maaf kalau selama ini tidak bisa menjadi menantu Mama yang baik dan terima kasih atas segala yang sudah Mama berikan untuk Kiara. Termasuk segenap kasih sayang dan cinta Mama.''Ma, ternyata Kiara tidak bisa menjaga cucu Mama dengan baik. Karena Della sudah meninggalkan kita semua tepat ketika Mama pergi dari rumah karena urusan pekerjaan, tapi Mama tidak perlu khawatir, ya. Karena Della di mak
"Assalamu'alaikum."Suara salam kembali terdengar setelah Kiara dan Jasmin pergi. Kali ini tubuhku langsung bercucuran keringat.Tentu saja karena aku tahu siapa yang baru saja mengucapkan salam itu.Mama.Bagaimana jika dia bertanya tentang Kiara Della? Apa yang harus aku katakan? Kupikir semuanya akan berjalan dengan mudah. Tapi ternyata tidak seperti jalan tol."Bukannya jawab salam, kamu malah nyelonong begitu saja. Enggak sopan!" kesalnya ketika aku malah berjalan semakin cepat ketika mendengar koper Mama memasuki rumah."Em, enggak, Mah.""Kamu kenapa, sakit?" tanyanya sambil mengeluarkan beberapa paper bag dari dalam koper."Ini semua hadiah untuk anak perempuan Mama tercinta dan yang besar ini untuk cucu Mama yang paling cantik!" serunya sambil bernyanyi-nyanyi kecil.Baru saja beberapa detik, Mama pun langsung berjalan ke arah tangga. Sudah kupastikan kalau Mama pasti bermaksud untuk bertemu dengan dua orang yang baru saja disebutnya.Bagaimana jika Mama tahu Kiara, gadis yan
Perkataan yang keluar dari mulut Kiara sudah sangat keterlaluan. Tubuhku mendadak gemetar, takut jika harus berpisah dengannya."Kamu tidak boleh begitu, Kiara. Della masih membutuhkan kasih sayang orang tua yang utuh," ucapku mencoba untuk menenangkannya.Melihat penampilannya yang berantakan, aku bisa mengambil kesimpulan kalau dia sedang tidak baik-baik saja."Membutuhkan kamu bilang, Mas? Terus selama ini dimana kamu dimana, Mas?" teriaknya."Kamu bahkan sudah tidak pulang berhari-hari. Jangankan hanya sekedar menanyakan kabar, melihat Della saja kamu tidak pernah!" lanjutnya memaki.Ya, itu benar. Aku memang salah. Tapi bukan ini yang kuinginkan."Maafkan Mas, Kiara, maaf," lirihku memohon. Aku hanya berharap dia akan memaafkan aku dan kita kembali menjalani kehidupan seperti dulu lagi.Meksipun sekarang sudah ada kehadiran Sukma, tapi kau tetap istriku Kiara."Kau nikahi wanita yang bernama Sukma itu saja, Mas. Aku tidak berhak ada di Antara kalian. Ya, aku memang tidak seharusn
Aku terdiam ketika membaca pesan dari Hana, seorang resepsionis yang baru saja menjadi temanku beberapa hari yang lalu. Dia mengatakan kalau Mas Raksa, suamiku sedang ditunggu wanita cantik.Sebetulnya dia juga tidak berani mengatakannya, tapi sudah terlanjur janji padaku akan memberitahuku semua gerak-gerik Mas Raksa, terutama tentang masalah wanita.Mata ini menyipit ketika melihat foto seorang wanita cantik yang dikirimkan Hana, katanya dia baru saja mencari, suamiku.Kupikir wanita itu hanya sekedar teman atau rekan bisnis. Tapi ternyata tidak sesederhana itu.Ketika aku menunjukan foto tersebut pada Jasmin, dia langsung membungkam mulutnya dengan tangan."Aku akan menyerah untuk mengejar Raksa jika wanita itu masih mencoba untuk mengejarnya," ucapnya waktu itu."Kenapa?""Karena di hati Raksa, wanita itu sangat istimewa.""Apa aku tidak?" "Ayolah, Kiara. Kita sedang mengatakan kenyataannya, bukan hal-hal yang tidak penting."Setelah itu, aku tidak berani berkata apapun. Kupikir
Badanku mendadak gemetar, lidah pun terasa kelu untuk bicara. Apa yang harus aku lakukan, padahal masalah Jasmin saja masih belum selesai. Bapak mertuaku juga masih menunggu kami jemput, bagaimana ini? Apa yang harus aku lakukan?Jasmin menyadari kedatanganku, dia menatapku dari bawah sampai atas. Semoga saja dia tidak sadar dengan perubahan pada diriku."Bukankah kalau pulang biasanya mengucap salam?" ucapnya tiba-tiba, kupikir dia tidak akan bicara.Mendengar suara Jasmin, Mama dan Kiara langsung membalikkan tubuhnya dan menghampiriku."Kok kamu enggak bilang-bilang kalau sudah pulang, Mas?" tanya Kiara sambil mencium takzim tanganku."Em, iya, banyak pekerjaan," jawabku singkat dengan seulas senyum. Agar mereka tidak curiga kalau aku menyimpan sesuatu."Apa di kantor ada masalah?" ucap Mama menimpali."Tidak ada kok, Ma. Semuanya baik-baik saja."Aku berharap Mama dan Kiara tidak tahu kalau aku baru saja bertemu dengannya. Bisa bahaya kalau mereka sampai tahu."Yakin kamu, Mas?" Ja
Tapi aku sama sekali tidak takut dengan wanita berumur. Sekali dorong saja, dia akan mengalami sakit yang amat.[Kata-kata itu, aku kembalikan padamu. Jangan lupa ingat umur!!!]Aku tersenyum sendiri setelah mengirimkan balasan, bisa kupastikan setelah ini dia akan semakin marah. Tapi aku tidak peduli.Mungkin dia baru sadar kalau tawanannya sudah berada di tanganku, eh, maksudnya ibu mertua.Wanita yang sudah berjuang antara hidup dan mati demi untuk membiarkan anaknya selamat dan melihat, betapa indahnya dunia ini.Tapi, sayangnya dia belum pernah melihat seperti apa rupa anak yang dilahirkannya. Apakah berjenis kelamin laki-laki atau perempuan dan bagaimana wajah dan tubuhnya. Bahkan sampai puluhan tahun lamanya.Sungguh keji orang-orang itu, dengan entengnya mereka melakukan hal seperti ini kepada manusia, yang bahkan hewan pun tidak layak diperlakukan seperti ini."Anakku!!" Ibu langsung berlari ke arahku, memelukku erat. Seolah kita sudah lama tidak bertemu dan saling melepas ri
Aku berjalan di sekitar koridor yang panjang di sebuah rumah sakit. Hening dan sepi. Bukan karena aku penakut, tapi aku sangat menyayangkan ini. Bagaimana mungkin pasien bisa sembuh jika begini."Kalian harus segera urus masalah koridor ini!” "Sudah kami urus, Pak. Tapi kami masih membutuhkan waktu," kedua orang di belakangku berbicara bersamaan."Bagus. Kalian pantas untuk mendapatkan bonus bulan ini.""Terimakasih BOSSA.""Hentikan panggilan gila itu! Apa kalian tidak ingat dokter itu menertawakan?""Mungkin saja dia hanya iri, Bos.""Benarkah?""Tentu.""Kalian jangan menilai negatif, dosa!"Tapi bisa saja itu memang benar, karena dia tidak berhasil mendapatkan Kiaraku dan akulah yang beruntung bisa bersamanya."Apa itu?" tanyaku menunjuk seorang wanita yang sedang duduk di taman. Wajahnya memancarkan cahaya, meksipun tertutupi dengan penampilannya yang berantakan. Tapi cahaya di wajahnya tetap saja terlihat."Iya, Bos.""Kalian tunggu di sini, aku akan masuk sendiri," pintaku pad
Aku masih menimbang untuk memberitahukan kepada Raya kalau papanya masih hidup. Takut nanti dia akan terus kepikiran, terlebih lagi masalah Jasmin juga masih belum selesai."Kamu kenapa Mas, kok wajahnya kusut gitu?" Kiara mendekat dengan wajah penasaran. "Kayak pakaian yang baru diangkat dari jemuran tapi enggak langsung ditindak."Apa? Jemuran? Emang wajahku sekusut itu?Untuk membuktikan, aku menjauh dari Kiara dan mendekat ke arah cermin."Kusutnya sebelah mana? Orang tampan gini juga."Kiara ada-ada saja, mana ada kusut dalam wajah Raksa yang tampan enggak ketulungan ini."Beneran, Mas."Seperti biasa Kiara mulai cengar-cengir. Dasar.Kembali aku teringat tentang papanya Kiara, mertuaku. Kembali aku mendadak diam."Kamu kenapa, sih, Mas? Kok semenjak pulang berubah banget.""Maaf Ra, Mas capek, besok saja kita ngobrol lagi," aku sengaja menghindar. Kalau dekat, takutnya kecelakaan. Maklum, aku tipe suami yang idaman. Enggak tega membiarkan istri kepikiran.Kiara pun diam. Hanya a
Jasmin yang dikatai gendut oleh Mama menunjukkan wajah marah. Tentu saja dua tidak menerima.Aku sudah bertahun-tahun mengenalnya, seorang Jasmin bukanlah hal yang kita bisa mengerti."Kenapa? Ada masalah?" Mama memasang wajah tidak bersalah dan menanyai Jasmin dengan beberapa pertanyaan."Jadi istri Raka itu jangan baperan, Jas. Dia gak bakal suka. Mama juga sama. Lebih suka menantu yang kuat dan bisa melakukan apapun. Tidak manja," jelas Mama lagi."Iya, Jasmin minta maaf, Ma," lirihnya sambil sesekali melihat ke arahku dan Kiara yang saling berpandangan.Ngiri kali dia. Siapa suruh dulu kabur, tapi ada untungnya buatku. Jadi tidak punya istri yang bermuka dua. Wkwkkk."Mama juga lebih suka menantu yang bisa mengelola keuangan. Meskipun uang itu sedikit, tapi dia bisa membeli seluruh kebutuhan rumah selama satu bulan.""Itu justru penting, Ma," balas Jasmin, tapi matanya masih menatap kita."Apa kamu bisa?""Tentu saja Jasmin bisa!" serunya. Tentu dengan nada kesombongan.Tapi Kiara