Setelah perdebatan semalam, pasangan suami istri kontrak itu tidak banyak bicara lagi. Namun pagi ini, Andre menemukan istrinya itu tengah menggigil seperti sedang tidak sehat, duduk di ruang tengah menonton TV. Memakai selimut sambil memakan bubur hangat.Klik! Andre mematikan TV yang menayangkan berita tentang kematian Denis yang terjadi pagi ini."Kenapa kamu matikan TV-nya?" tanya Melisa."Buat orang kesal, aku malas menonton berita begitu pagi-pagi begini," jawab Andre berkilah.Dia sudah mengetahui gerak gerik istrinya itu. Semalam, di dalam paper bag yang Melisa bawa, dia melihat sekilas setelan mantel panjang, topi dan kacamata serba hitam. Dia bisa melihatnya karena Melisa meletakannya diatas nakas luar kamarnya. Mungkin lupa membawa masuk saat berdebat dengan Andre semalam."Maaf, aku telat memberikan gajimu. Bisakah kamu menunggunya sebentar lagi?" ucap Melisa gugup."Sudahlah jangan dibahas! Aku mengerti!" jawab Andre, datar namun tenang.Setelah perbincangan singkat itu,
"Kamu kan, yang membunuh Denis?" Andre langsung menuduh Jessica tanpa basa basi.Jessica terhenyak, dia hanya bisa diam saat dituduh tiba-tiba. Memang, sebelum kematian Denis, dia sempat menyusup ke apartemennya. Tapi, dia tidak menemukan Denis, karena dia sengaja menunggu pria itu keluar dari apartemennya. Jadi, bukan dia pelakunya.Namun, ada satu orang yang dia curigai. Seorang pria yang juga masuk ke dalam apartemen Denis. Saat itu, dia bersembunyi di dalam lemari, jadi tidak tahu siapa pria yang masuk setelah dirinya. Apakah itu Denis, dia juga tak bisa memastikan."Apakah kamu juga berpikir bahwa dia bunuh diri?" tanya Andre lagi."Maksudmu apa? Sebenarnya apa yang ingin kamu katakan? Jangan bertele-tele!" ucap Jessica kesal."Aku melihat semuanya.." kata Andre sambil menyeringai licik.Jessica menelan salivanya. Namun dia berusaha untuk tetap tenang."Saat Elena dan Bastian bertengkar di garasi, kamu mengikuti Denis karena berpikir uang 10 miliar itu ada padanya, kan? Dan saat
"Pak Toni.. berhentilah!" kata Detektif Rian, mengeluh."Apa?" Pak Toni mengernyit, matanya menatap tajam juniornya itu."Selalu mencurigai orang lain, bukankah itu keterlaluan? Lagi pula mereka itu pasangan suami istri dan sebuah keluarga," detektif Rian berujar, seolah membela."Justru itu, sebuah keluarga... aku lebih mencurigainya.." *** Pagi harinya, kedua detektif tersebut mendatangi Melisa selaku orang yang melaporkan kejadian."Bisakah anda menceritakan dengan jelas masalah perampokan yang anda laporkan pada polisi semalam?" Pak Toni langsung saja bertanya, saat Melisa keluar dari rumahnya."Semua yang kulaporkan itu sudah semuanya, tidak ada yang kukurangi atau kutambahi. Aku hanya mendengar suara bertengkar lalu suara dentuman. Itu saja. Aku ketakutan dan langsung menelepon polisi." Melisa menjawab dengan tenang.Pak Toni mengangguk, "apakah anda melihat sendiri pria itu keluar dari rumah Elena?" "Ya, tapi aku tidak melihat kemana dia pergi," jawab Melisa.Setelah itu in
"Siapa bilang aku tidak tertarik?" Jessica sedikit berteriak menepis pemikiran Andre.Andre membalik badan, senyum mengembang dari bibirnya. Kemudian dia menceritakan sesuatu pada saat dirinya bersama Melisa pergi ke rumah sakit untuk menjenguk Elena yang menjadi korban perampokan malam itu.Andre melihat Elena berbicara dengan seorang pria tampan. Tubuhnya tinggi tegap, usianya mungkin sepuluh tahun diatas Elena. "Saat itu aku pura-pura ingin ke toilet agar istriku tidak curiga, karena aku sempat melihat Elena berbincang dengan seseorang sambil tersenyum ramah. Aku merasa, dia hanya pura-pura amnesia," ujar Andre."Memangnya siapa pria itu?" tanya Jessica, keningnya berkerut heran.Andre mengulas senyuman licik. Dia lalu menjelaskan apa yang dia ketahui tentang gerak gerik Elena yang sudah dia selidiki sendiri. Pria itu pemilik bar yang pernah Elena kunjungi tengah malam saat Elena baru keluar dari rumah sakit pasca kasus penculikan."Jadi maksudmu, ternyata ada pihak lain yang memb
POV ElenaTiba-tiba aku mengingat semuanya. Awal kejadian dimana aku bisa mengalami lupa ingatan. Makan malam yang gagal, surat cerai yang diberikan Bastian padaku, uang 10 miliar yang dibawanya pergi, dan sakit di punggung belakangku akibat sengatan listrik."Sayang, ada apa? Apakah kamu mengingat sesuatu lagi?" Bastian mendekat dengan wajah cemas.Aku justru semakin mundur, ternyata dia dalang semua ini. Kenapa dia tidak lari saja, kenapa masih bersamaku? Bukankah uang 10 miliar itu sudah ditangannya?"Elena.. kamu baik-baik aja?" Bastian merangkulku lalu membawaku duduk.Aku masih terdiam. Bingung harus mengatakan bahwa aku ingat semuanya atau tetap pura-pura lupa ingatan saja."Sebentar ya, aku selesaikan dulu masaknya," ucapnya sambil mengelus bahuku.***Beberapa saat kemudian, suamiku telah selesai menyiapkan makanan ke atas meja. Dia terus tersenyum, aku pun terpaksa membalasnya dengan senyuman."Sayang.. makan lah! Semuanya akan baik-baik saja. Aku tidak tau sudah berapa lama
“Kemana perginya uang itu?” Aku bergerak kesana kemari mondar mandir mencari uang yang aslinya sambil terus mengingat. Perlahan aku menaiki tangga menuju kamar, memperhatikan sekitar.Aku teringat saat perampok itu membekapku dari belakang, dan aku terjatuh hingga kepalaku terbentur cukup keras. Setelah itu aku tidak sadarkan diri, lalu mengalami amnesia. Jadi, apakah uang itu sudah diambil oleh perampoknya?Kepalaku mendadak berdenyut. Ku sudahi saja untuk berusaha mengingat dimana keberadaan uang itu. Sekarang waktunya bersih-bersih rumah. Aku sudah tidak tahan melihat kondisi rumah yang berantakan dan jorok. Mumpung suamiku pergi bekerja. Nanti saat dia pulang, aku akan membuat rumah ini berantakan lagi.Gila! Aku tak percaya bahwa aku bisa sejorok ini. semua ini aku yang melakukannya hanya demi agar suamiku terus bersamaku dan bersikap manis seperti tadi. Aku memegang bibirku disela menyapu. Teringat dengan kecupan tipis dari Bastian saat akan berangkat kerja tadi. Benar-benar sep
“Kamu disini?”Aku menoleh ke tangga, suamiku itu sedang duduk disana. Dia terkesiap saat kepergok sedang memperhatikanku."Ah, aku melihat kamu sangat bahagia hari ini. Jadi aku tidak mau mengganggu. Apa yang kamu lakukan disini?" Bastian berdiri dan bergerak mendekatiku."Aku terpikir tentang kopi," jawabku."Kamu mengingat sesuatu?" Bastian kembali bertanya."Karyawan itu yang memberitahuku. Mereka bilang aku harus ke bawah sini," jawabku lagi."Lalu bagaimana rasanya melihat tempat ini untuk pertama kalinya?" Bastian sudah berdiri di hadapanku.Aku tersenyum manis sambil memperhatikan sekeliling tempat itu."Layak sebagai tempat favoritmu. Kamu dan kopi memang sangat istimewa. Terlihat dari cara kamu menyimpan kopi-kopi ini dengan cara sendiri-sendiri. Tidak ditumpuk menjadi satu," pujiku."Kamu tidak terlalu tertarik dengan kopi ya? Itu sama artinya saat kita sedang jatuh cinta." Suamiku berkias."Benar, aku bahkan lebih menyukaimu dari pada kopi. Maka dari itu aku mengajukan dir
"Tapi kebahagiaan itu palsu, seperti pernikahan kita," ucap Bastian sambil berbalik badan menjauhiku. Dia enggan menatap mataku yang mulai berembun."Tidak, itu adalah sungguhan. Aku merasakan ketulusanmu." Air mataku menetes."Aku sudah lama mencurigaimu. Ketahuilah, aku juga sedang bersandiwara sama sepertimu." Suamiku itu tetap bersikeras, padahal jelas aku merasakan ketulusannya saat menyayangiku sebagai istrinya."Kalau begitu, aku sangat ingin kembali pada keadaan amnesia.." suara lirihku bergetar."Selama itu bisa membuatmu menyayangiku dengan tulus.. bahkan jika aku harus membayarnya dengan uang 10 miliar. Jujur, aku sangat ingin kembali pada beberapa hari terakhir, dimana kamu memperlakukanku sangat manis dengan ketulusan yang kurasakan," sambungku.Bastian berbalik badan menatapku kembali, matanya pun mulai berkaca-kaca. Namun dia masih tetap diam."Suamiku.. kita harus menemukan uang itu bersama-sama. Uang 10 miliar itu, hanya bisa kembali ke genggaman kita, walaupun semua
POV Bastian.“Aku pulang..” Elena masuk ke dalam toko ayam goreng sekaligus rumah yang selama ini Ibuku dan Kak Vira tinggali. Setelah kejadian itu, dan rumah kami terbakar, aku dan Elena pun menumpang tinggal disini.Hari ini jadwal terapi Elena, syaraf kirinya yang tertusuk mengakibat kaki kirinya lumpuh dan harus menjalani terapi agar bisa berjalan normal kembali. Dia selalu pergi ke rumah sakit sendiri, karena aku sibuk membantu Ibu dan Kak Vira mengurus toko. Istriku itu memang keras kepala, tidak mau merepotkan siapa pun dan merasa bisa menanganinya sendiri.“Kamu sudah berusaha keras, Elena. Bagaimana hasilnya hari ini?” tanya Kak Vira.“Kata dokter sudah mulai bisa berjalan tanpa kruk, apalagi jika aku rajin melakukan pengobatan beberapa hari lagi.” Elena menjawab sambil berjalan susah payah menggunakan kruk. Ibu dan Kak Vira yang sedang meracik bumbu untuk ayam goreng tersenyum senang.“Aku akan ikut membantu,” ujar Elena menghampiri.“Jangan!”“Tidak usah!”Bruk!Elena menab
Toni menyadari bahwa istrinya tengah melamun. Sejak tadi dia menatap bola baseball itu sambil memutar-mutarnya di tangan.“Novelmu itu…” Toni menggantung kalimatnya, membuat Mita mendongak. Pandangannya beralih dari bola kepada suaminya yang sedang berdiri memperhatikannya sambil bersandar di pilar dekat pintu masuk. “Cukup bagus..” sambung Toni sambil menyunggingkan senyum.Senyum yang selama ini tak pernah dilihat oleh Mita. Dia merindukannya sejak lama, dan hari ini suaminya berhasil membuatnya tersenyum juga atas pujiannya itu.Toni masih mempertahankan senyumnya, apalagi melihat Mita tersipu malu. Dia tulus, dia sadar selama ini dia terlalu keras pada Mita. Terlalu pelit dengan perhatian dan setitik senyum dari bibirnya.“Tapi.. bisakah kau mengubah nama penanya? Bukan ibu rumah tangga yang ingin menjadi penulis, tapi ibu rumah tangga yang telah menjadi penulis.”Mendengar itu, bibir Mita yang tadinya melengkung keatas membentuk senyum, mendadak melengkung ke bawah. Dia terharu
"Bukankah kamu pernah bilang, pacarmu membutuhkan uang untuk operasi?"Elena masih memaksa dan bersikeras atas kehendaknya. Sedangkan Raffi terhenyak, dia maaih bingung."Aku ingin membantumu," sambung Elena, dengan tatapan mata yang lebih serius. Dia tidak bercanda. Dia ingin dirinya diculik dan Raffi harus membantunya.Atas tawaran yang diberikan Elena, Raffi pun tergiur. Dia mengambil kesempatan ini untuk membantu membiayai pengobatan sang pacar.Aksi pun dimulai. Dengan ragu, Raffi menuruti Elena membawakan kain berwarna putih. Tangannya gemetar, dia tidak bisa melakukannya."Berikan padaku! Biar aku yang melakukannya sendiri!" Elena merebut kain itu lalu menutupkan matanya. Tangannya beralih ke belakang, lalu mengisyaratkan pasa Raffi untuk segera mengikatnya. Sebuah senyuman terbentuk dari bibir Elena remaja. Dia puas, merasa sandiwara ini nantinya akan berhasil mewujudkan keinginannya untuk pergi jauh dari hubungan rumit kedua orang tuanya.'Aku akan mengingatnya, hari ini seb
Elena Valencia Adiyatma..!" Detektif Toni memanggi nama lengkap wanita yang tengah susah payah berjalan menggunakan alat bantu. Elena, semenjak kejadian penculikan dan kebakaran rumah tiga bulan lalu, dia mengalami trauma dan cacat sementara pada kaki kirinya yang menyebabkan dirinya tak mampu berjalan sempurna.Detektif Toni berjalan mendekat, Elena tersenyum menyambut kedatangan pria yang terus berhubungan dengannya, mengamatinya sejak awal pertama kasus sandiwara penculikan dirinya."Detektif Toni..." Elena menyapa.Lalu merea duduk di taman rumah sakit. Elana tak banyak bicara, dia hanya akan menjawab jika ditanya. Beberapa menit suasana hening tanpa adanya pembicaraan."Ada satu pikiran yang selalu ada di otakku," ucap Pak Toni membuka pembicaraan.Elena mengalihkan pandangan pada pria yang berbicara di sebelahnya. "Kamu yang membantu Melisa dan Andre melarikan diri, kan?" Terus terang Toni. Dia memang bukan tipe orang yang suka basa basi.Elena tertawa. "Masalah ini lagi?" Ele
"Aku ingin membakar rumah ini.." Elena membakar kain gorden rumahnya untuk mengalihkan perhatian sang Ibu pada waktu itu, namun Kak Raffi, guru les privatnya, mencegah dan segera mematikan api sebelum menyebar terlalu besar.Mulai saat itu, Elena merencanakan sandiwara penculikan bersama Raffi dengan imbalan uang untuk berobat pacarnya yang sedang menderita kanker."Apakah kamu bisa melihat kupu-kupu berusaha keras demi bisa terbang?" Elena bertanya sambil melihag kupu-kupu yang hinggap di jendela bus yang mereka tumpangi.Mereka berdua pergi tanpa tujuan, asalkan pergi saja dari rumah dan menghilang."Tapi menurutku, dia berusaha untuk tidak terbang dan kembali pulang.." Elena melihat hewan itu mirip dengannya.Kebebasan tak pernah dia rasakan. Semua tentang hidupnya diatur oleh orang tuanya. Cita-cita, cinta, dan apapun itu. Sehingga saat itu Elena menberontak, terutama dia melihat Ibunya berselingkuh. Hidupnya ibarat terombang ambing diatas ombak lautan."Tidak ada yang tau sebera
"Suamiku... akhirnya kamu datang.." Elena tersenyum dengan sisa tenaganya."Aku... aku datang dengan otak bodohku ini.." Bastian menunjuk dirinya sendiri sambil memberikan sebuah kode melalui tangannya.Bastian menunjukkan jari manisnya kemudian mengacungkan ibu jarinya. Memberitahu Elena bahwa dia tersadar keberadaan istrinya ketika melihat cincin pernikahan yang dikenakan Elena.Elena tersenyum puas. Wajahnya semakin pucat tak berdaya."Akhirnya aku yang memenangkan taruhan ini, kan?" Elena menatap Melisa dengan senyuman mengejek.Wanuta berambut sebahu itu masih bertahan dengan korek yang menyala di tangannya."Aku rasa.. kalian berdua sangat ingin saling membunuh. Tidak bisakag menjadi lebib jujur? Kalian hanya takut melukai harga diri kalian, kan?" Melisa menyeringai."Maka tidak berani mengakui jika salah pilih. Makanya kalian seperti ini.." sambungnya sambil terus bergantian menatap Elena dan Bastian."Tapi... memangnya kenapa?" Bastian menyela. "Bukankah semua orang seperti
Elena memindai sekitar rumahnya. Matanya menyapu seluruh sudut, mengingat kenangan di tempat ini sebelum Melisa menjatuhkan korek apinya.'Sebenarnya kesalahannya mulai dari mana? Akhirnya, janji di depan A31 tetap tidak bisa ditepati. Aku berharap suamiku masih ingat dengan A31. Janji kita bersama A31, tidak terpenuhi.' Elena bergumam dalam hati.Hatinya hancur. Terutama ketika mengingat pertama kali menjalankan misi sandiwara penculikan, saat itu Bastian menelepon polisi setelah membaca pesan ancaman dari sang penculik A31.Bagaimana bisa dia langsung menelepon polisi dan tersenyum saat mengetahui jika hal itu dilakukan akan membuat nyawa Elena terancam. Kecewa dan marah Elena rasakan, namun tak bisa dilampiaskan pada Bastian. Dia memilih memaafkan karena dia membutuhkan seorang suami."Aku berharap suamiku tidak tersesat, dan segera melihat petunjuk yang kuberikan," ujar Elena saat bersembunyi di suatu tempat dan pura-pura diculik.A31 adalah petunjuk, namun Bastian sama sekali tid
"Pintunya tidak terkunci," gumam Toni saat masuk ke dalam restoran."Apakah ada orang di dalam?!" Toni berteriak sambil terus berjalan masuk ke dalam."Apa ini?" Rian melihat bercak darah di lantai."Cepat!" Toni berseru, berlari naik ke lantai dua."Apa yang terjadi?" Toni menemukan Jessica tergeletak bersimbah darah sambil memegang lengannya yang terluka."Apa yang terjadi?" Rian menghampiri Jessica."Sepuluh miliar sudah dirampas, penjahatnya adalah Andre, pria tetangga Bastian," jelas Jessica sambil meringis kesakitan."Andre? Cepat kejar!" perintah Toni pada juniornya."Sepuluh miliar... uang yang digunakan untuk penebusan kasus penculikan Elena?" desis Toni, matanya menyorot tajam pada Jessica.Wanita itu tak peduli, dia terus meringis sambil nenekan luka di lengannya."Aku pikir uang itu jatuh ke tangan siapa, ternyata kamu orangnya.." kembali Toni mendesis.Jessica tak berani membalas tatapan Toni. Dia terus menunduk."Aww.. sakit banget!" Pekik Jessica saat Toni memberikan sa
“Katanya mereka berkenalan saat bekerja di bar anggur merah. Istrinya itu sangat menyukai anggur merah terutama merek Cinta Abadi.” Rozi bercerita sambil menunjukkan foto Raffi bersama wanita penjaga bar, yaitu mendiang istrinya.Saat Jessica tengah memperhatikan foto tersebut, Rozi mengetuk-ngetuk koper milik Jessica.“Bukankah kamu bilang tidak tertarik?” dengan cepat Jessica menggeser kopernya itu, dan mengalihkan pandangan dari foto ke Rozi dengan tatapan tajamnya.“Toko gue gak akan mengurus barang kotor dan haram seperti ini,”ujarnya.“Tapi aku rasa kamu hanya mengurus barang kotor,” balas Jessica meremehkan.“Sudah gue bilang enggak!” tegasnya.“Kamu tau, diantara barang kotor dalam toko ini, kita lah yang paling punya aroma kotor itu.” Jessica menyeringai. “Lalu, bagaimana istrinya Raffi itu meninggal?” sambung Jessica melanjutkan ke topik pembicaraan.“Karena sudah lama sakit,” jawab Rozi sambil menyilangkan kakinya ke kaki satunya.“Jadi istrinya meninggal karena sakit?”“Ya