“Masak apa, Sayang?”
Setiap hari, istriku selalu menyiapkan sarapan pagi layaknya istri yang begitu berbakti pada suami.
“Cuman masak bubur ayam yang sederhana aja, gak apa-apa kan?” tanyanya.
Aku melihat keadaan meja dapur yang rapi dan bersih. Meskipun sedang memasak, tapi meja dapur sangat kinclong, ia berkali-kali mengelap meja jika setitik saja ada percikan noda. Istriku seperti seorang OCD (obsessive compulsive disorder) yang sangat takut dengan kotor dan begitu terobsesi dengan kebersihan. Membuatku kesal karena dia seperti berlebihan.
“Ya udah, gak apa apa, biar aku yang lanjutin masaknya,” tawarku dengan nada manis.
“Oke, aku siapin meja makan dulu.”
Namaku Bastian Theo, seorang Chef yang cukup terkenal. Restoranku juga lumayan maju. Semua itu berkat istriku. Ia memberikan modal untuk membuka restoran mewah yang saat ini aku kelola, serta mengeluarkanku dari pekerjaan yang sebelumnya, yaitu menjadi koki utama di sebuah restoran ternama.
Kehidupan rumah tangga kami terlihat sangat harmonis meskipun dibalik ini aku sangat membenci istriku. Usia pernikahan kami sudah lima tahun, dan setiap hari aku harus bersandiwara di depannya.
Bubur sudah matang, lalu ia bersiap menyajikan sarapan kami. Cara dia meletakkan mangkuk sangat rapi dan hati-hati. Istriku juga berpakaian sangat anggun dan feminim. Wajahnya selalu tersenyum dan cantik. Dia istri yang sempurna, tapi aku membencinya.
“Mas, menurutmu hari ini aku agak berbeda gak?” tanyanya sambil menyangga dagu dan tersenyum manis padaku.
Aku menatapnya sejenak. “Hari ini kamu semakin cantik dari kemarin,” gombalku.
Dia tertawa dan aku pun ikut tertawa, meski sangat jijik karena sudah memujinya tadi.
“Kamu liat deh ….” Dia memperlihatkan kuku-kukunya. “Aku pake kuteks warna baru.” Wajahnya begitu semringah.
Aku mengubah ekspresi wajahku menjadi takjub, meski aku tidak melihatnya berbeda.
“Gimana?” tanyanya manja.
“Cantik,” pujiku.
Kami menghabisi sarapan dengan canda dan tawa. Aku, tentu saja hanya acting belaka. Istriku melayaniku dengan sangat baik, dia mengambilkan sepatuku, sampai menyerahkan kunci mobil dengan kedua tangan layaknya seorang pengibar bendera.
Aku pernah menawarinya untuk ikut bekerja di restoran yang sedang kukelola, tentunya hanya untuk basa-basi semata. Namun ia menolak dan lebih menyukai menjadi ibu rumah tangga. Syukurlah.
Setelah memakai sepatu, aku pun siap untuk berangkat. Namun sebelum itu, aku teringat akan persoalan dana yang aku butuhkan.
“Sayang, yang aku omongin kemarin bisa gak kamu pertimbangin lagi? Tentang pinjaman dana.” Saat ini aku sedang terlilit hutang. Mereka mengancam akan menyita restoranku jika aku tidak juga melunasinya.
Istriku tersenyum getir, menatapku lekat. Tak menjawab pertanyaanku.
“Ya udah, gak usah dipikirkan,” cicitku berlagak tidak kecewa.
Jam delapan pagi seperti biasa, istriku mengantarkanku sampai ke depan pagar, membawakan tas kerja sambil menggandeng lenganku berjalan berdampingan. Lagi-lagi hal yang sangat menggelikan setiap hari harus kulalui.
“Sayang, kamu hari ini pulang telat lagi?” tanyanya.
“Hah? Oh, iya. Kamu tidur aja duluan!” ucapku.
“Gak, aku nungguin kamu aja, ada yang mau aku omongin sama kamu, Mas.” Jawabnya.
“Baiklah.”
Kemudian, tetangga sebelah yang merupakan suami istri terlihat sedang melakukan hal yang sama. Suara mereka yang terdengar begitu dilebih-lebihkan membuatku dan istri menoleh bersamaan ke arah mereka.
Aku meringis mendengar ucapan manja suami istri yang menurutku lebih cocok menjadi ibu dan anak itu. Namun, demi kesopanan, kami saling tukar sapa sejenak sebelum sama-sama kembali pada urusan masing-masing.
Aku berpamitan, tak lupa kukecup kening istriku dengan begitu syahdu. “Aku berangkat dulu ya.”
Aku langsung bergegas ke garasi untuk mengambil mobil, lalu segera mengelap bibirku. Leherku seketika gatal-gatal sehabis bersentuhan dengan istriku. Seperti biasa, aku menenggak obat anti alergi, lalu bergegas pergi ke restoran. Kulihat bayangan istriku dari kaca spion, ia terus tersenyum mengantarkan kepergianku.
Tiga puluh menit kemudian aku sampai di restoran. Semua hal berjalan normal, sampai saat jam sembilan malam … di saat aku tengah bersiap pulang. Saat memasuki mobil, terasa dua tangan bergerilya di leherku.
“Astaga! Jessica, ngagetin aja!” Aku terperanjat melihat wajahnya yang tiba-tiba muncul dari bangku belakang.
“Aku memang gak bisa pakaikan kamu dasi, tapi aku bisa membukanya sesuka hati.”
Aku tahu, dia menyinggung ucapan karyawan lain saat pagi tadi. Beberapa karyawanku memuji penampilanku yang rapi dan terurus. Mereka bahkan tak segan-segan memuji sosok istriku. Aku dan Jessica memang sudah lama menjalin hubungan spesial, mungkin diam-diam Jessica kesal mendengar pujian terus terlontar untuk istriku.
Setelah berhasil melepaskan dasiku, tangannya bergerilya di tubuhku. Dia bahkan menciumi leherku penuh gairah, memancing naluri kelelakianku. Keganasannya berhenti saat melihat jejak alergi yang ada di leherku.
“Sayang, kasian banget leher kamu. Udah minum obat?”
Aku menunjukkan sebotol pil anti alergi sebagai jawaban.
“Ugh, kasihan kamu,” ucapnya prihatin dan terdengar begitu menggoda di telingaku. “Gimana kamu bisa jalani hari-hari kamu, kalau setiap kamu menyentuh istrimu, pasti jadi alergi kayak gini.”
Aku terkekeh karenanya. Kutegakkan tubuhku untuk menjawab, “Bukankah obat yang manjur ada di dekatku sekarang?” Tak lupa, aku mengedipkan sebelah mataku padanya.
Jessica tersenyum lalu melumat bibirku tanpa ampun. Kegiatan kami pun berakhir di kosan Jessica dengan memadu cinta. Jessica sangat pandai memuaskan hasratku. Aku mencintai Jessica, meskipun usia kami terpaut tujuh tahun. Dia cantik dan pintar. Entah kenapa dia lebih memilihku dari pada pemuda-pemuda tampan di luaran sana.
Saat jam menunjuk pukul setengah sebelas malam, aku bersiap untuk pulang ke rumah. Istriku pasti akan terus menunggu. Sebelum itu, aku memperhatikan seisi kamar Jessica. Berbeda dengan istriku yang membuatku kesal karena OCD-nya, menurutku justru kondisi seperti inilah yang normal … beberapa sampah berserakan dan cenderung kotor.
Aku memeluk tubuh Jessica mesra sebagai rutinitas kami berpamitan. Dia membalasnya dengan mengecup pipiku. Saat ingin melangkah keluar kosan, tiba-tiba aku kembali mengingat soal pinjaman yang aku ajukan pada istriku. Aku menarik napas berat, dan menatap Jessica lekat-lekat. “Aku ingin mencari tempat baru dan memulai semuanya dari nol.”
Ada sedikit ketakutan dalam diriku. Aku takut suatu saat istriku akan menarik hak restoran jika aku ketahuan selingkuh.
“Sudah usia segini kamu bilang mau mulai lagi dari nol?” Jessica menatapku lekat. “Apa istrimu gak mau bantu?”
Aku hanya terdiam, bingung dengan situasinya. Ditambah lagi aku punya hutang yang nominalnya lumayan besar.
“Kalo gitu jangan ngarep sama istri kamu lagi.” Tubuhnya kemudian ditegakkan, dia berjinjit dan membisikkanku sebuah kalimat. “Asalkan istri kamu gak ada, semuanya bakalan milik kamu. Semuanya!”
Aku bisa merasakan Jessica menyeringai.
“Maksudmu … kita akan membunuhnya?”
Jessica bergerak mengambil sesuatu dari dalam laci meja riasnya. Kemudian dia menunjukkan sebuah serbuk putih yang dikemas dalam plastik klip.
“Apa itu?” tanyaku.
“Ini racun ADTX. Sekali masuk ke tubuh, hitungan detik akan langsung muntah darah yang parah, diare, dan kekurangan darah.” Jessica menjelaskan dengan begitu detail. “Orang yang meminumnya akan mati dalam dua hari karena gagal fungsi organ dalam,” jelasnya lebih lanjut.
Kemudian ia menunjukkan alat suntik kepadaku. Seketika aku membayangkan istriku sekarat setelah kuberi racun itu.
“Kehebatan racun ini lagi adalah, orang yang meninggal akan dianggap mati karena penyakit. Walaupun diautopsi tidak akan menjadi alasan kematian karena serapan dosis yang sedikit.” Jessica kembali menjelaskan fungsi dari racun yang ia buat. “Asalkan dimasukkan dalam minuman, pasti dia gak menyadarinya.” Kemudian Jessica menaikkan sebelah sudut bibirnya. Dia memang seorang ahli kimia yang hebat.
“Kalian kan pisah ranjang, dan juga kamu sedang tidur pulas, jadi gak tau apa-apa. Tunggu sampai besok pagi, setelah bangun, baru lapor polisi. Dan semuanya akan berakhir.”
Aku terdiam mendengarkan ide jahat Jessica. Ia lalu menyerahkan alat suntik dan racun itu kepadaku. Aku tertegun. Jauh di dalam lubuk hatiku, sejujurnya aku tak ingin sampai membunuh istriku.
Namun kata-kata Jessica membuat aku berpikir lagi, jika istriku meninggal, pastinya aku akan menerima uang asuransi kematian yang tentu tak sedikit jumlahnya. Kemudian restoran juga sepenuhnya akan menjadi milikku. Dengan uang itu, aku juga bisa pergi jauh dengan Jessica, dan memulai bisnis baru bersamanya.
Sekitar pukul 23.15, aku mampir ke toko anggur dan membeli jenis anggur yang sama saat aku melamarnya dulu. Setelah itu aku bergegas pulang. Sampai di depan garasi, aku memasukkan serbuk racun itu ke dalam sedikit air mineral, lalu memindahkannya ke alat suntik. Kemudian perlahan kusuntikkan ke botol anggur yang tadi kubeli.
Saat hendak memasuki pagar, aku melihat orang asing sedang memperhatikanku dari dalam mobilnya. Mata kami bertemu, lelaki itu mentapku dengan tatapan tajam. Aku mengerutkan dahi.
‘Siapa cowok itu?’ batinku.
Lalu dia segera melajukan mobilnya, sedangkan aku tak menghiraukannya lagi. Aku membuka pintu rumah perlahan. Kupanggil istriku dengan lantang dan nada riang. “Sayang, Mas pulang.”
Namun betapa terkejutnya aku saat melihat lumuran darah berceceran di lantai.
“A-apa yang terjadi??”
“A-apa yang terjadi??”Aku memperhatikan arah darah itu, sepertinya tersangka menyeret tubuh korbannya.Aku memperhatikan seisi rumah dengan perasaan takut.“Apakah ini darah istriku.”Aku terperanjat, kakiku gemetar hebat. Kupanggil istriku lagi, tetapi tak juga ada sahutan. Aku berlari naik ke lantai dua memeriksa keadaan kamar, tak ada siapapun.Kupanggil lagi namanya dengan lantang. “Elena!” Namun lagi-lagi hanya kesunyian yang kudapatkan.Aku berlari turun lagi ke bawah dengan rasa panik yang mulai menjalar. Kemudian, aku terpikir untuk menelpon istriku, tapi sayang nomornya tidak aktif. Aku mengedarkan pandangan, dan melihat seuntai kertas di atas meja makan. Kuambil surat itu dan kemudian memelotot saat membaca isi pesan.[Siapkan uang sepuluh milyar! Jangan lapor polisi atau istrimu akan mati! A31.]Aku bingung dan kaget. Kulihat anggur yang tadi kubeli. Niatku untuk membunuh istriku, tapi ternyata sudah ada seseorang yang lebih dulu melakukannya. Aku tersenyum miring, sedikit
“Aaaa … Elena, stop! Aaakk!”Leherku terasa sakit, napasku mulai sesak. Sekuat tenaga, aku berontak untuk lepas dari cekikannya. “Haaaa!!!”Ternyata itu hanya mimpi. Tubuhku berkeringat dan napasku terengah. “Argh! Mimpi si*lan!”Aku pun bangun dari tempat tidur untuk merenggangkan otot-ototku. Tak lama, terdengar suara ketukan pintu. Tak menungguku membukanya, Detektif Toni langsung membuka pintu kamarku seenaknya. Ia memperhatikan seisi kamar yang berserakan dan kotor akibat ulahku merayakan kebebasan tadi malam.“Aku tidak bisa tidur tadi malam.” Aku berdusta. Tidurku semalam benar-benar nyenyak. Hanya mimpi si*alan itu saja yang mengacaukan ketenanganku. Bahkan, saking nyenyaknya, aku sampai tidak mengontrol posisi badanku yang mengakibatkan ototku jadi kaku.“Hmm. Saya paham,” ucapnya sambil mengangguk.Setelah membersihkan diri, aku dan detektif Toni ngobrol di ruang tamu.“Saya ingin memberi tahu, bahwa kemungkinan besar darah dalam ruang tamu itu memang milik istri anda,” ungk
“Dia keluar!” teriak salah seorang reporter.Hari ini para detektif mengawalku bekerja. Hal itulah yang dimanfaatkan para reporter yang sejak kemarin sudah memadati rumahku. Lontaran pertanyaan tak terbendung. Kelap kelip cahaya kilat dari kamera terus menghujaniku, mereka seakan tak hentinya memotret. Aku pasrah saja, menunjukkan wajah sedih di depan mereka.“Chef Bastian! Apa istri anda masih hidup?”“Tolong berkomentar sedikit, Chef!”“Apa anda tahu di mana keberadaan istri anda sekarang?”Aku berhenti sejenak saat akan memasuki mobil, lalu menghadap ke kamera milik salah satu dari mereka.“Tentu saja istri saya masih hidup.” Aku membuat suaraku terdengar optimis. Kemudian, dengan pandangan yang memohon, aku kembali berujar. “Jika ada sedikit jejak tentangnya, sangat bisa untuk menemukannya. Untuk itu, saya mohon bantuan kalian semua!”“Apa yang diminta penculik untuk menebus istri anda?”“Apa sudah ada perkembangan dari penyelidikan polisi?”Mereka terus bertanya, aku tak menghira
“Chef Bastian! Apakah anda sudah menerima informasi baru?”“Apakah penculiknya ada menghubungi anda lagi?”Kedua detektif itu mengantarkanku kembali ke rumah, dan ternyata para wartawan masih setia menungguku. Aku turun dari mobil dengan tubuh lesu seperti handphone kehabisan daya dan memutuskan langsung masuk rumah tanpa menghiraukan mereka yang terus bertanya.Kedua detektif itu izin untuk kembali sebentar ke kantor polisi untuk merangkum hasil penyelidikan hari ini. Sementara aku beristirahat di rumah. Pikiranku sedang kacau. Tubuhku benar-benar seperti kehilangan tenaga, tak berdaya, tapi tak tahu apa penyebabnya.Beberapa jam kemudian kedua detektif itu datang lagi ke rumahku. Kami mengobrol di ruang tamu. Namun, ada yang beda dari tatapan kedua detektif itu. Mereka seperti menaruh kecurigaan besar padaku, terlebih Detektif Toni. Tatapannya terus mengintimidasiku sejak aku menemukannya tengah berada di depan pintu ruangan kerjaku siang tadi.“Kami menemukan jejak sepatu di TKP ya
“Hah? Apa maksudnya, Bang?” “Kayaknya bukan polisi,” selidik Bang Rozi. Tanpa pikir panjang, aku bergegas menghampiri orang yang dimaksud bang Rozi, setelah memastikan memang benar ada orang mencurigakan di depan pintu masuk gedung. “Ayo kita bicara!” aku menepuk bahu pemuda itu, memegangnya erat agar dia tidak kabur. Dia terkesiap kaget, terdiam sejenak, lalu berlari kencang. Aku pun langsung mengejarnya. “Hey! Berhenti!” teriakku. Aku ingat, dia adalah orang yang malam itu mengamatiku dari dalam mobilnya. Aku menduga dialah pelaku penculikan ini. “Apa yang kau lakukan pada istriku?” tanyaku dengan napas terengah-engah saat dia berhenti di atas atap gedung tua. “Aku juga sedang mencari senior!” sentaknya. “Senior?” ulangku. Pria bertubuh kurus itu malah tertawa mengejek. “Dasar brengs*k! Kamu sudah menculik orang tapi masih berani tertawa!” hardikku. Spontan aku pun menghadiahinya dengan pulukan, tapi dia melawan dan berhasil mengelak. “Jangan kamu mengira semua orang baj
[“Mendapatkan uang 10 Milyar adalah kesempatan terbaik, atau jangan-jangan kamu berharap istrimu kembali hidup-hidup?” Dan menyerahkan uang itu pada si penculik?” cibirnya.] [“Jess, seseorang telah menjadikan ku sebagai pelakunya, aku harus menemukan orang itu!”] [“Tidak perlu! Prioritas utama kita adalah harus mendapatkan uang 10 Milyar itu dulu! Kamu hanya perlu memikirkan tujuan awalmu! Kamu sedang butuh uang!”] [“Kelihatannya kamu yang sangat membutuhkan uang itu,” desisku.] [“Ya, aku butuh uang! Jadi, dengarkan aku, masukan racun itu lagi ke dalam anggur saat istrimu benar-benar kembali,” bujuknya.] Aku tersadar dari lamunanku, lagi-lagi aku membayangkan Elena sekarat di depan mataku setelah meminum anggur yang sudah kuracuni. “Bagaimana pun, saat ini aku tetaplah tersangka yang tidak bisa lari,” lirihku. Kerlipan lampu sirine mobil patroli membuatku parno dan refleks bersembunyi di balik gang sempit. Ditengah rasa takut dan gelisah, Kakakku malah menelpon. Dengan kesal a
“Aku mencintaimu,” ucapku sambil menyematkan cincin emas di jari manisnya kala itu. Kami berdua mengucapkan janji untuk saling mencintai sampai maut memisahkan, Elena bahkan menulisnya diatas secarik kertas lalu membuat cap sidik jari kami dengan anggur kesukaannya. Tak sadar, air mataku menetes. Aku terduduk lemas dan kembali membaca surat yang ditulis Elena. [“Yang aku tinggalkan bukanlah warisan, melainkan kepercayaanku padamu.”] secarik kertas ucapan janji kami ia tempelkan dibalik kertas surat itu, tangisku pun semakin pecah. Detektif Toni dan timnya menangkapku dengan paksa saat aku tengah menangis. “Kenapa kalian menahanku!” aku memberontak. Para wartawan yang masih setia mengerumuni rumahku, dengan sigap terus menyoroti wajahku. “Bapak Bastian, di bagasimu telah ditemukan bekas lumuran darah, dari hasil pemeriksaan, itu adalah darah Elena,” detektif Toni menjelaskan. “Tidak… tidak mungkin!” teriakku. “Permisi! Ini ada surat untuk Chef Bastian!” Ditengah hebohnya kerum
“Chef Bastian! Apa yang tertulis disana?” tanya detektif Toni.“Mereka menyuruhku untuk menunggu bunyi alarm selanjutnya,” jawabku.Beberapa detik kemudian, alarm kedua berbunyi, kali ini dari sebuah mobil-mobilan remote control. Aku mengejar arah mobil-mobilan itu berlari mengikutinya kesana kesini seperti orang bodoh. Sampai mobil itu berhenti, kuambil kertas berisi instruksi selanjutnya.[Gerbang 1 Stadion Bisbol Jian dalam 30 menit!]Kring…! Kring..!Tiba-tiba alarm kebaran berdering nyaring. Semua orang di dalam aula berhamburan lari keluar untuk menyelamatkan diri. Begitupun denganku.“Chef Bastian! Ada apa di dalam?” terdengar suara detektif Toni dari earphone yang ku pakai.“Alarm kebakaran berbunyi, kekacauan terjadi di tempat ini, Chef Bastian sudah keluar dari tempat kejadian.” Suara detektif lain menyahuti.“Chef Bastian…!” Detektif Toni terus memanggilku, namun tak kuhiraukan, aku bergegas menuju Stadion bisbol yang dimaksud si penculik.“Chef Bastian tolong jawab!” Teria
POV Bastian.“Aku pulang..” Elena masuk ke dalam toko ayam goreng sekaligus rumah yang selama ini Ibuku dan Kak Vira tinggali. Setelah kejadian itu, dan rumah kami terbakar, aku dan Elena pun menumpang tinggal disini.Hari ini jadwal terapi Elena, syaraf kirinya yang tertusuk mengakibat kaki kirinya lumpuh dan harus menjalani terapi agar bisa berjalan normal kembali. Dia selalu pergi ke rumah sakit sendiri, karena aku sibuk membantu Ibu dan Kak Vira mengurus toko. Istriku itu memang keras kepala, tidak mau merepotkan siapa pun dan merasa bisa menanganinya sendiri.“Kamu sudah berusaha keras, Elena. Bagaimana hasilnya hari ini?” tanya Kak Vira.“Kata dokter sudah mulai bisa berjalan tanpa kruk, apalagi jika aku rajin melakukan pengobatan beberapa hari lagi.” Elena menjawab sambil berjalan susah payah menggunakan kruk. Ibu dan Kak Vira yang sedang meracik bumbu untuk ayam goreng tersenyum senang.“Aku akan ikut membantu,” ujar Elena menghampiri.“Jangan!”“Tidak usah!”Bruk!Elena menab
Toni menyadari bahwa istrinya tengah melamun. Sejak tadi dia menatap bola baseball itu sambil memutar-mutarnya di tangan.“Novelmu itu…” Toni menggantung kalimatnya, membuat Mita mendongak. Pandangannya beralih dari bola kepada suaminya yang sedang berdiri memperhatikannya sambil bersandar di pilar dekat pintu masuk. “Cukup bagus..” sambung Toni sambil menyunggingkan senyum.Senyum yang selama ini tak pernah dilihat oleh Mita. Dia merindukannya sejak lama, dan hari ini suaminya berhasil membuatnya tersenyum juga atas pujiannya itu.Toni masih mempertahankan senyumnya, apalagi melihat Mita tersipu malu. Dia tulus, dia sadar selama ini dia terlalu keras pada Mita. Terlalu pelit dengan perhatian dan setitik senyum dari bibirnya.“Tapi.. bisakah kau mengubah nama penanya? Bukan ibu rumah tangga yang ingin menjadi penulis, tapi ibu rumah tangga yang telah menjadi penulis.”Mendengar itu, bibir Mita yang tadinya melengkung keatas membentuk senyum, mendadak melengkung ke bawah. Dia terharu
"Bukankah kamu pernah bilang, pacarmu membutuhkan uang untuk operasi?"Elena masih memaksa dan bersikeras atas kehendaknya. Sedangkan Raffi terhenyak, dia maaih bingung."Aku ingin membantumu," sambung Elena, dengan tatapan mata yang lebih serius. Dia tidak bercanda. Dia ingin dirinya diculik dan Raffi harus membantunya.Atas tawaran yang diberikan Elena, Raffi pun tergiur. Dia mengambil kesempatan ini untuk membantu membiayai pengobatan sang pacar.Aksi pun dimulai. Dengan ragu, Raffi menuruti Elena membawakan kain berwarna putih. Tangannya gemetar, dia tidak bisa melakukannya."Berikan padaku! Biar aku yang melakukannya sendiri!" Elena merebut kain itu lalu menutupkan matanya. Tangannya beralih ke belakang, lalu mengisyaratkan pasa Raffi untuk segera mengikatnya. Sebuah senyuman terbentuk dari bibir Elena remaja. Dia puas, merasa sandiwara ini nantinya akan berhasil mewujudkan keinginannya untuk pergi jauh dari hubungan rumit kedua orang tuanya.'Aku akan mengingatnya, hari ini seb
Elena Valencia Adiyatma..!" Detektif Toni memanggi nama lengkap wanita yang tengah susah payah berjalan menggunakan alat bantu. Elena, semenjak kejadian penculikan dan kebakaran rumah tiga bulan lalu, dia mengalami trauma dan cacat sementara pada kaki kirinya yang menyebabkan dirinya tak mampu berjalan sempurna.Detektif Toni berjalan mendekat, Elena tersenyum menyambut kedatangan pria yang terus berhubungan dengannya, mengamatinya sejak awal pertama kasus sandiwara penculikan dirinya."Detektif Toni..." Elena menyapa.Lalu merea duduk di taman rumah sakit. Elana tak banyak bicara, dia hanya akan menjawab jika ditanya. Beberapa menit suasana hening tanpa adanya pembicaraan."Ada satu pikiran yang selalu ada di otakku," ucap Pak Toni membuka pembicaraan.Elena mengalihkan pandangan pada pria yang berbicara di sebelahnya. "Kamu yang membantu Melisa dan Andre melarikan diri, kan?" Terus terang Toni. Dia memang bukan tipe orang yang suka basa basi.Elena tertawa. "Masalah ini lagi?" Ele
"Aku ingin membakar rumah ini.." Elena membakar kain gorden rumahnya untuk mengalihkan perhatian sang Ibu pada waktu itu, namun Kak Raffi, guru les privatnya, mencegah dan segera mematikan api sebelum menyebar terlalu besar.Mulai saat itu, Elena merencanakan sandiwara penculikan bersama Raffi dengan imbalan uang untuk berobat pacarnya yang sedang menderita kanker."Apakah kamu bisa melihat kupu-kupu berusaha keras demi bisa terbang?" Elena bertanya sambil melihag kupu-kupu yang hinggap di jendela bus yang mereka tumpangi.Mereka berdua pergi tanpa tujuan, asalkan pergi saja dari rumah dan menghilang."Tapi menurutku, dia berusaha untuk tidak terbang dan kembali pulang.." Elena melihat hewan itu mirip dengannya.Kebebasan tak pernah dia rasakan. Semua tentang hidupnya diatur oleh orang tuanya. Cita-cita, cinta, dan apapun itu. Sehingga saat itu Elena menberontak, terutama dia melihat Ibunya berselingkuh. Hidupnya ibarat terombang ambing diatas ombak lautan."Tidak ada yang tau sebera
"Suamiku... akhirnya kamu datang.." Elena tersenyum dengan sisa tenaganya."Aku... aku datang dengan otak bodohku ini.." Bastian menunjuk dirinya sendiri sambil memberikan sebuah kode melalui tangannya.Bastian menunjukkan jari manisnya kemudian mengacungkan ibu jarinya. Memberitahu Elena bahwa dia tersadar keberadaan istrinya ketika melihat cincin pernikahan yang dikenakan Elena.Elena tersenyum puas. Wajahnya semakin pucat tak berdaya."Akhirnya aku yang memenangkan taruhan ini, kan?" Elena menatap Melisa dengan senyuman mengejek.Wanuta berambut sebahu itu masih bertahan dengan korek yang menyala di tangannya."Aku rasa.. kalian berdua sangat ingin saling membunuh. Tidak bisakag menjadi lebib jujur? Kalian hanya takut melukai harga diri kalian, kan?" Melisa menyeringai."Maka tidak berani mengakui jika salah pilih. Makanya kalian seperti ini.." sambungnya sambil terus bergantian menatap Elena dan Bastian."Tapi... memangnya kenapa?" Bastian menyela. "Bukankah semua orang seperti
Elena memindai sekitar rumahnya. Matanya menyapu seluruh sudut, mengingat kenangan di tempat ini sebelum Melisa menjatuhkan korek apinya.'Sebenarnya kesalahannya mulai dari mana? Akhirnya, janji di depan A31 tetap tidak bisa ditepati. Aku berharap suamiku masih ingat dengan A31. Janji kita bersama A31, tidak terpenuhi.' Elena bergumam dalam hati.Hatinya hancur. Terutama ketika mengingat pertama kali menjalankan misi sandiwara penculikan, saat itu Bastian menelepon polisi setelah membaca pesan ancaman dari sang penculik A31.Bagaimana bisa dia langsung menelepon polisi dan tersenyum saat mengetahui jika hal itu dilakukan akan membuat nyawa Elena terancam. Kecewa dan marah Elena rasakan, namun tak bisa dilampiaskan pada Bastian. Dia memilih memaafkan karena dia membutuhkan seorang suami."Aku berharap suamiku tidak tersesat, dan segera melihat petunjuk yang kuberikan," ujar Elena saat bersembunyi di suatu tempat dan pura-pura diculik.A31 adalah petunjuk, namun Bastian sama sekali tid
"Pintunya tidak terkunci," gumam Toni saat masuk ke dalam restoran."Apakah ada orang di dalam?!" Toni berteriak sambil terus berjalan masuk ke dalam."Apa ini?" Rian melihat bercak darah di lantai."Cepat!" Toni berseru, berlari naik ke lantai dua."Apa yang terjadi?" Toni menemukan Jessica tergeletak bersimbah darah sambil memegang lengannya yang terluka."Apa yang terjadi?" Rian menghampiri Jessica."Sepuluh miliar sudah dirampas, penjahatnya adalah Andre, pria tetangga Bastian," jelas Jessica sambil meringis kesakitan."Andre? Cepat kejar!" perintah Toni pada juniornya."Sepuluh miliar... uang yang digunakan untuk penebusan kasus penculikan Elena?" desis Toni, matanya menyorot tajam pada Jessica.Wanita itu tak peduli, dia terus meringis sambil nenekan luka di lengannya."Aku pikir uang itu jatuh ke tangan siapa, ternyata kamu orangnya.." kembali Toni mendesis.Jessica tak berani membalas tatapan Toni. Dia terus menunduk."Aww.. sakit banget!" Pekik Jessica saat Toni memberikan sa
“Katanya mereka berkenalan saat bekerja di bar anggur merah. Istrinya itu sangat menyukai anggur merah terutama merek Cinta Abadi.” Rozi bercerita sambil menunjukkan foto Raffi bersama wanita penjaga bar, yaitu mendiang istrinya.Saat Jessica tengah memperhatikan foto tersebut, Rozi mengetuk-ngetuk koper milik Jessica.“Bukankah kamu bilang tidak tertarik?” dengan cepat Jessica menggeser kopernya itu, dan mengalihkan pandangan dari foto ke Rozi dengan tatapan tajamnya.“Toko gue gak akan mengurus barang kotor dan haram seperti ini,”ujarnya.“Tapi aku rasa kamu hanya mengurus barang kotor,” balas Jessica meremehkan.“Sudah gue bilang enggak!” tegasnya.“Kamu tau, diantara barang kotor dalam toko ini, kita lah yang paling punya aroma kotor itu.” Jessica menyeringai. “Lalu, bagaimana istrinya Raffi itu meninggal?” sambung Jessica melanjutkan ke topik pembicaraan.“Karena sudah lama sakit,” jawab Rozi sambil menyilangkan kakinya ke kaki satunya.“Jadi istrinya meninggal karena sakit?”“Ya