POV Bastian“Tadi aku melihat stop kontak itu miring, jadi aku berinisiatif untuk membenarkannya, tapi aku melihat benda ini di dalam,” wajah Elena tampak pias. aku mengira dirinya tidak berbohong. Dia memang sangat jeli memperhatikan seisi rumah, kurang satu centi saja pasti dia akan sibuk membenahi.Dua jam sebelumnya Elena pulang.Aku dan Bang Rozi memeriksa seisi rumah dengan sebuah alat yang dapat mendeteksi adanya penyadap. Saat berada di kamar, alat itu mengarah pada stop kontak dekat sudut ruangan.“Itu…” aku terkejut melihat alat pendeteksi berbunyi tepat di dekat stop kontak.“Ssstttt….” Bang Rozi menarikku untuk menjauh dari sana, “jangan bicara apa-apa, nanti dia bisa dengar,” bisik Bang Rozi.“Tapi siapa yang pasang alat penyadap disini…” akupun ikut berbisik.“Biarkan saja, kita jadikan itu sebagai umpan,” ujar Bang Rozi.“Siapa yang bisa melakukan ini….” Mataku melirik keatas sambil berpikir.“Jangan-jangan…..” ucapku dan Bang Rozi kompak.“Apa lo mikirin orang yang sam
“Sudah terpancing?” tanya Bang Rozi saat aku tiba di kantor usangnya. “Bukan istriku, Bang,” jawabku. “Gue gak pernah bilang itu istri lo,” Bang Rozi berdalih dengan wajahnya yang menyebalkan. Pria dengan rambut sedikit beruban itu menyeringai, aku malah terpancing dengan pertanyaannya dan mengaku bahwa aku mencurigai Elena. “Lo kesini mau minta bantuan gue kan? Apa yang bisa gue bantu buat mantan adik iparku tersayang ini?” Aku meringis melihat Bang Rozi cengengesan. Tampak jelas apa niat pria ini, dia hanya mengejar uang 10 Milyar itu. Otak cerdiknya pasti mencium bahwa pelakunya orang terdekatku. “Aku hanya ingin mengenal istriku lebih dalam, selama ini aku kurang mengenali dirinya,” ucapku. Secara tak langsung aku meminta Bang Rozi untuk menyelidiki latar belakang Elena secara mendalam dan juga mengawasi kegiatannya. Selama ini yang kutahu hanya, Elena itu anak pengusaha kaya dan pewaris tunggal. Tapi sialnya aku sama sekali tak mengecap manisnya kekayaan yang dimiliki oleh
“Aku yang akan memutuskan, apa yang akan dilakukan selanjutnya,” gumamku.Kenapa aku tiba-tiba jadi cemburu membayangkan Elena bersama Denis, padahal sama saja denganku. Aku tak memikirkan bagaimana perasaan Elena saat aku bersama Jessica.Pukul 10.00, aku pergi ke restoran, ketika akan memarkirkan mobil, tiba-tiba Jessica nyelonong masuk.“Kenapa kamu gak pernah nelpon aku lagi?” dia bertanya dengan wajah kesal.“Kita bicarakan ini lain kali saja,” jawabku tanpa menoleh sedikitpun padanya.“Hah? Apa masih ada lain kali untuk kita?” protesnya.Beberapa detik kami saling diam, Jessica menarik kerah bajuku dengan kasar, dia melihat bekas luka di leherku.“Jadi kamu benar-benar ingin mati demi istrimu?” wajah Jessica tampak sangat kecewa.“Kalau saat itu benar-benar mati, apakah aku sudah bisa tenang?”“Kamu juga menemukan sesuatu yang aneh kan?” Jessica mengernyit.“Aku menemukan ini, hanya satu orang yang bisa melakukan ini.” Jessica menunjukkan alat penyadap yang serupa seperti didala
“Ya Lord! Keributan apalagi yang akan terjadi,” gumamku sambil mengusap wajah kasar.Elena menghampiriku dengan senyum merekah dibibir merahnya.“Kenapa kamu datang kesini?” aku bertanya dengan napas sedikit tercekat.“Apa aku mengejutkanmu, sayang?” tanyanya.Tiba-tiba Jessica muncul dari belakang menyambar pertanyaan Elena seperti kilat, membuat jantungku hampir lompat dari posisinya.“Anda datang pada waktu yang tepat, Nyonya bos,” ucap Jessica sambil tersenyum getir.Aku memegang dadaku takut organ penting ini berdetak tak normal.“Aku mau pulang lebih cepat, jadi orangnya gak cukup, anda bisa menggantikanku kan?” tanya Jessica.Elena tersenyum, “baiklah, kamu tak perlu khawatir, cepatlah pulang dan istirahat saja!” ujar Elena.“Terima kasih, berkat anda juga pelanggan restoran jadi semakin banyak,” ucap Jessica dengan senyum sinisnya.Elena mendekati Jessica dan membisikkan sesuatu yang tak terdengar olehku. Membuat senyum yang terukir di bibir Jessica seketika meredup, wajahnya
“Apa kalian sedang mencurigai istriku?” ucapku terkejut.“Sebenarnya ada banyak hal aneh dalam kasus ini, ada seseorang yang melapor, bahwa dia melihat kamu menaruh racun ke dalam anggur, tapi hasil penyelidikkan menunjukkan tak ada racun di dalamnya.”Aku bergeming sesaat, mencerna ucapan detektif Toni.“Chef Bastian, kenapa kau membuang anggur di botol itu?”“Hah?” aku terkesiap dan salah tingkah.“Karena kau mengira ada racun di dalamnya..” tatapan detektif Toni semakin membuatku gugup.Aku menarik napas dalam, berharap supaya lebih tenang.“Bukannya sudah kubilang, aku tak tau soal racun itu!” aku menyanggah tuduhan detektif Toni.“Jadi, kenapa kau begitu senang saat di rumah sakit? Sampai kau seperti ini..” detektif Toni memperagakan selebrasiku saat itu.“Ah, sebenarnya aku melepaskan kepenatan dalam hatiku, setidaknya aku senang karena sudah hilang satu hal yang mungkin bisa membuatku disalahpahami.” Akhirnya aku mendapat jawaban cemerlang untuk kuutarakan.“Masih terlalu dini
“Apa kita perlu memulainya dengan pelan-pelan?” aku menjatuhkan tubuhnya ke ranjang sambil menggelitikinya, membuat tawa renyah keluar dari mulut Elena. Aku sengaja melakukan itu agar Denis mendengar kemesraan kami.***Setelah bersenda gurau, Elena tertidur. Aku turun ke dapur untuk sekedar membuat kopi kemudian kembali ke kamar.Kuperhatikan Elena yang sedang tidur, apa saat ini pun dia sedang berpura-pura? Segala perbuatannya hanya sandiwara dimataku sekarang. Sandiwara versi baru sudah di mulai dalam hidupku.Botol anggur yang sudah ditaruh racun itu, bisa menutupi bukti yang mutlak, mungkin karena masih ada informasi lain. Itu artinya, kasus ini masih berlanjut. Penjahatnya masih mengamati semua ini.Awalnya aku mencurigai Jessica, tapi alibinya sangat meyakinkan. Denis dan Jessica juga tidak ada hubungan apapun. Orang yang harus menyembunyikan botol anggur itu… aku harus menemukannya.Setelah memastikan Elena benar-benar terlelap, aku mematikan semua lampu dan mulai menjelajahi
Pov ElenaSuamiku tampak percaya bahwa aku hanya menemukan alat penyadap itu dari dalam stop kontak. Aku ingin dia mempercayaiku, hanya itu. Setelahnya kami akan hidup rukun kembali.Makan malam ini, Mas Bastian memasak makanan spesial untukku. Dia juga menyuguhkan anggur merah merek Cinta Abadi.“Suamiku memang chef yang hebat,” pujiku saat melihat makanan yang terhidang diatas meja.Dia tersenyum, lalu menuangkan anggur ke dalam gelas.“Mas, mereka bilang kamu menaruh racun ke dalam anggur, itu tidak mungkin, kan?”Aku melihat air mukanya berubah tegang. Aku tersenyum menyambut ketakutannya itu. Mas Bastian bertanya padaku apakah aku mempercayainya, dia juga menyuruhku memastikan apakah dia patut untuk dipercayai.“Tentu saja, kamu kan suamiku, apapun pemberianmu, walaupun itu racun sekalipun, aku akan tetap memakan dan meminumnya.”Kami mengobrol banyak hal malam itu, sampai akhirnya kami memutuskan untuk tidur karena rasa lelah seharian. Besok akan memulai hari kembali, mengawalin
POV Bastian“Sampai maut memisahkan… kontrak ini sama saja dengan omong kosong. Menurutmu bagaimana? Kamu juga sudah bersumpah dengan anggur ini. Apa kamu tau, balas dendam aadalah mengharapkan lawan mati bersamaan dengan kita minum racun ini. Dan sekarang.. kita sudah meminum racunnya. Sampai maut memisahkan, kita akan terus menjalaninya… jangan kamu lupakan sumpah kita diatas anggur Cinta Abadi ini..”Elena terus mengoceh dengan ekspresinya yang begitu menyeramkan, sambil menyerahkan gelas berisi anggur yang membuat kami saling berseteru tadi.Aku sama sekali tidak bisa berkutik, istriku mempunyai bukti penting untuk mengancamku, apakah aku harus menyetujuinya untuk saling menjaga rahasia masing-masing?Beberapa menit yang lalu Bang Rozi menelpon, dia mengabarkan bahwa Denis sudah tertangkap dan studionya terbakar. Dia menyebut bahwa ada kaki tangan dibalik ini.Detektif Toni juga menegaskan sebelumnya bahwa kasus ini baru permulaan. Semuanya belum selesai.“Minum dong!” pintanya.A
POV Bastian.“Aku pulang..” Elena masuk ke dalam toko ayam goreng sekaligus rumah yang selama ini Ibuku dan Kak Vira tinggali. Setelah kejadian itu, dan rumah kami terbakar, aku dan Elena pun menumpang tinggal disini.Hari ini jadwal terapi Elena, syaraf kirinya yang tertusuk mengakibat kaki kirinya lumpuh dan harus menjalani terapi agar bisa berjalan normal kembali. Dia selalu pergi ke rumah sakit sendiri, karena aku sibuk membantu Ibu dan Kak Vira mengurus toko. Istriku itu memang keras kepala, tidak mau merepotkan siapa pun dan merasa bisa menanganinya sendiri.“Kamu sudah berusaha keras, Elena. Bagaimana hasilnya hari ini?” tanya Kak Vira.“Kata dokter sudah mulai bisa berjalan tanpa kruk, apalagi jika aku rajin melakukan pengobatan beberapa hari lagi.” Elena menjawab sambil berjalan susah payah menggunakan kruk. Ibu dan Kak Vira yang sedang meracik bumbu untuk ayam goreng tersenyum senang.“Aku akan ikut membantu,” ujar Elena menghampiri.“Jangan!”“Tidak usah!”Bruk!Elena menab
Toni menyadari bahwa istrinya tengah melamun. Sejak tadi dia menatap bola baseball itu sambil memutar-mutarnya di tangan.“Novelmu itu…” Toni menggantung kalimatnya, membuat Mita mendongak. Pandangannya beralih dari bola kepada suaminya yang sedang berdiri memperhatikannya sambil bersandar di pilar dekat pintu masuk. “Cukup bagus..” sambung Toni sambil menyunggingkan senyum.Senyum yang selama ini tak pernah dilihat oleh Mita. Dia merindukannya sejak lama, dan hari ini suaminya berhasil membuatnya tersenyum juga atas pujiannya itu.Toni masih mempertahankan senyumnya, apalagi melihat Mita tersipu malu. Dia tulus, dia sadar selama ini dia terlalu keras pada Mita. Terlalu pelit dengan perhatian dan setitik senyum dari bibirnya.“Tapi.. bisakah kau mengubah nama penanya? Bukan ibu rumah tangga yang ingin menjadi penulis, tapi ibu rumah tangga yang telah menjadi penulis.”Mendengar itu, bibir Mita yang tadinya melengkung keatas membentuk senyum, mendadak melengkung ke bawah. Dia terharu
"Bukankah kamu pernah bilang, pacarmu membutuhkan uang untuk operasi?"Elena masih memaksa dan bersikeras atas kehendaknya. Sedangkan Raffi terhenyak, dia maaih bingung."Aku ingin membantumu," sambung Elena, dengan tatapan mata yang lebih serius. Dia tidak bercanda. Dia ingin dirinya diculik dan Raffi harus membantunya.Atas tawaran yang diberikan Elena, Raffi pun tergiur. Dia mengambil kesempatan ini untuk membantu membiayai pengobatan sang pacar.Aksi pun dimulai. Dengan ragu, Raffi menuruti Elena membawakan kain berwarna putih. Tangannya gemetar, dia tidak bisa melakukannya."Berikan padaku! Biar aku yang melakukannya sendiri!" Elena merebut kain itu lalu menutupkan matanya. Tangannya beralih ke belakang, lalu mengisyaratkan pasa Raffi untuk segera mengikatnya. Sebuah senyuman terbentuk dari bibir Elena remaja. Dia puas, merasa sandiwara ini nantinya akan berhasil mewujudkan keinginannya untuk pergi jauh dari hubungan rumit kedua orang tuanya.'Aku akan mengingatnya, hari ini seb
Elena Valencia Adiyatma..!" Detektif Toni memanggi nama lengkap wanita yang tengah susah payah berjalan menggunakan alat bantu. Elena, semenjak kejadian penculikan dan kebakaran rumah tiga bulan lalu, dia mengalami trauma dan cacat sementara pada kaki kirinya yang menyebabkan dirinya tak mampu berjalan sempurna.Detektif Toni berjalan mendekat, Elena tersenyum menyambut kedatangan pria yang terus berhubungan dengannya, mengamatinya sejak awal pertama kasus sandiwara penculikan dirinya."Detektif Toni..." Elena menyapa.Lalu merea duduk di taman rumah sakit. Elana tak banyak bicara, dia hanya akan menjawab jika ditanya. Beberapa menit suasana hening tanpa adanya pembicaraan."Ada satu pikiran yang selalu ada di otakku," ucap Pak Toni membuka pembicaraan.Elena mengalihkan pandangan pada pria yang berbicara di sebelahnya. "Kamu yang membantu Melisa dan Andre melarikan diri, kan?" Terus terang Toni. Dia memang bukan tipe orang yang suka basa basi.Elena tertawa. "Masalah ini lagi?" Ele
"Aku ingin membakar rumah ini.." Elena membakar kain gorden rumahnya untuk mengalihkan perhatian sang Ibu pada waktu itu, namun Kak Raffi, guru les privatnya, mencegah dan segera mematikan api sebelum menyebar terlalu besar.Mulai saat itu, Elena merencanakan sandiwara penculikan bersama Raffi dengan imbalan uang untuk berobat pacarnya yang sedang menderita kanker."Apakah kamu bisa melihat kupu-kupu berusaha keras demi bisa terbang?" Elena bertanya sambil melihag kupu-kupu yang hinggap di jendela bus yang mereka tumpangi.Mereka berdua pergi tanpa tujuan, asalkan pergi saja dari rumah dan menghilang."Tapi menurutku, dia berusaha untuk tidak terbang dan kembali pulang.." Elena melihat hewan itu mirip dengannya.Kebebasan tak pernah dia rasakan. Semua tentang hidupnya diatur oleh orang tuanya. Cita-cita, cinta, dan apapun itu. Sehingga saat itu Elena menberontak, terutama dia melihat Ibunya berselingkuh. Hidupnya ibarat terombang ambing diatas ombak lautan."Tidak ada yang tau sebera
"Suamiku... akhirnya kamu datang.." Elena tersenyum dengan sisa tenaganya."Aku... aku datang dengan otak bodohku ini.." Bastian menunjuk dirinya sendiri sambil memberikan sebuah kode melalui tangannya.Bastian menunjukkan jari manisnya kemudian mengacungkan ibu jarinya. Memberitahu Elena bahwa dia tersadar keberadaan istrinya ketika melihat cincin pernikahan yang dikenakan Elena.Elena tersenyum puas. Wajahnya semakin pucat tak berdaya."Akhirnya aku yang memenangkan taruhan ini, kan?" Elena menatap Melisa dengan senyuman mengejek.Wanuta berambut sebahu itu masih bertahan dengan korek yang menyala di tangannya."Aku rasa.. kalian berdua sangat ingin saling membunuh. Tidak bisakag menjadi lebib jujur? Kalian hanya takut melukai harga diri kalian, kan?" Melisa menyeringai."Maka tidak berani mengakui jika salah pilih. Makanya kalian seperti ini.." sambungnya sambil terus bergantian menatap Elena dan Bastian."Tapi... memangnya kenapa?" Bastian menyela. "Bukankah semua orang seperti
Elena memindai sekitar rumahnya. Matanya menyapu seluruh sudut, mengingat kenangan di tempat ini sebelum Melisa menjatuhkan korek apinya.'Sebenarnya kesalahannya mulai dari mana? Akhirnya, janji di depan A31 tetap tidak bisa ditepati. Aku berharap suamiku masih ingat dengan A31. Janji kita bersama A31, tidak terpenuhi.' Elena bergumam dalam hati.Hatinya hancur. Terutama ketika mengingat pertama kali menjalankan misi sandiwara penculikan, saat itu Bastian menelepon polisi setelah membaca pesan ancaman dari sang penculik A31.Bagaimana bisa dia langsung menelepon polisi dan tersenyum saat mengetahui jika hal itu dilakukan akan membuat nyawa Elena terancam. Kecewa dan marah Elena rasakan, namun tak bisa dilampiaskan pada Bastian. Dia memilih memaafkan karena dia membutuhkan seorang suami."Aku berharap suamiku tidak tersesat, dan segera melihat petunjuk yang kuberikan," ujar Elena saat bersembunyi di suatu tempat dan pura-pura diculik.A31 adalah petunjuk, namun Bastian sama sekali tid
"Pintunya tidak terkunci," gumam Toni saat masuk ke dalam restoran."Apakah ada orang di dalam?!" Toni berteriak sambil terus berjalan masuk ke dalam."Apa ini?" Rian melihat bercak darah di lantai."Cepat!" Toni berseru, berlari naik ke lantai dua."Apa yang terjadi?" Toni menemukan Jessica tergeletak bersimbah darah sambil memegang lengannya yang terluka."Apa yang terjadi?" Rian menghampiri Jessica."Sepuluh miliar sudah dirampas, penjahatnya adalah Andre, pria tetangga Bastian," jelas Jessica sambil meringis kesakitan."Andre? Cepat kejar!" perintah Toni pada juniornya."Sepuluh miliar... uang yang digunakan untuk penebusan kasus penculikan Elena?" desis Toni, matanya menyorot tajam pada Jessica.Wanita itu tak peduli, dia terus meringis sambil nenekan luka di lengannya."Aku pikir uang itu jatuh ke tangan siapa, ternyata kamu orangnya.." kembali Toni mendesis.Jessica tak berani membalas tatapan Toni. Dia terus menunduk."Aww.. sakit banget!" Pekik Jessica saat Toni memberikan sa
“Katanya mereka berkenalan saat bekerja di bar anggur merah. Istrinya itu sangat menyukai anggur merah terutama merek Cinta Abadi.” Rozi bercerita sambil menunjukkan foto Raffi bersama wanita penjaga bar, yaitu mendiang istrinya.Saat Jessica tengah memperhatikan foto tersebut, Rozi mengetuk-ngetuk koper milik Jessica.“Bukankah kamu bilang tidak tertarik?” dengan cepat Jessica menggeser kopernya itu, dan mengalihkan pandangan dari foto ke Rozi dengan tatapan tajamnya.“Toko gue gak akan mengurus barang kotor dan haram seperti ini,”ujarnya.“Tapi aku rasa kamu hanya mengurus barang kotor,” balas Jessica meremehkan.“Sudah gue bilang enggak!” tegasnya.“Kamu tau, diantara barang kotor dalam toko ini, kita lah yang paling punya aroma kotor itu.” Jessica menyeringai. “Lalu, bagaimana istrinya Raffi itu meninggal?” sambung Jessica melanjutkan ke topik pembicaraan.“Karena sudah lama sakit,” jawab Rozi sambil menyilangkan kakinya ke kaki satunya.“Jadi istrinya meninggal karena sakit?”“Ya