“ … bahwasanya Pangeran Zachary Donovan, bersama saudaranya, Devon Donovan telah kehilangan akal dan tak bisa dipercaya untuk memimpin negeri. Karena itu, saya percaya, langkah terbaik yang bisa dilakukan saat ini adalah menyerahkan tahta kepada pewaris yang lebih kompeten dan memiliki klaim yang lebih sah, yakni: Yohn Darnwill.”“Itu pernyataan perang.”Kalau diliat-liat, enggak juga, deh. “Saya rasa ini cuma ultimatum.”“Itu pernyataan diskusi, kurasa.”Itu perspektif yang menarik.“Diskusi? Kak, dengan segala hormat, satu minggu setelah surat ini beredar, tersiar kabar kalau Kastil Reefus jatuh dan kota Dawn dijarah. Darah sudah tumpah. Tak ada lagi yang bisa dibicarakan.”“Ya, tapi … apa ini bener-bener terjadi?” Tuan Zack mengusap wajah dan menelungkupkan dagu ke meja.Mahkota yang dikenakannya kini terasa makin kerdil dan sesak.Itu pemikiran yang berbahaya, tentu.Tapi, apa pun yang terjadi, saya sudah diamanatkan untuk selalu berpihak ke Raja.“Kenapa, sih, ini terjadi ke aku?
Rencananya kacau.Aku tak bermaksud meragukan Pangeran Devon sama sekali, tapi kompromi di saat seperti ini?“Aku heran, kenapa Raja masih ingin bicara dengan pengkhianat?” Pete mengelus dagu dan ceplas-ceplos.Untung, kami kini berada di luar jangkauan siapa-siapa hingga tak bakal muncul asumsi miring yang tak bertanggung jawab.“Jaga mulutmu, Bocah. Tau apa yang barusan kau bilang?” Tom menghardik.“Cuma menyampaikan rasa penasaran.”“Nah, Pete. Sebagai bawahan yang taat dan bijak, mending kita sebaiknya nurut tanpa banyak bertanya.” Kendati berkata demikian, aku juga tahu kalau ini misi bunuh diri.Untuk para utusan itu.Baru beberapa hari sejak Kerajaan mengirim surat tentang ajakan diskusi dalam upaya mengakhiri perang, tapi—di luar dugaan—Livingsworh jauh lebih responsif dari yang diduga.Dan sangat kooperatif.“Ini jebakan.” Meski itu menyenangkan hati Raja, tapi Pangeran Devon selalu waspada.Maka, malam itu, beliau mengumpulkan kami dalam kamp-nya di Beverly Shire.Itu malam
“Kau enggak menemukan apa-apa? Sudah mencari ke semua tempat?”Aku mengangguk, tak kuasa menatap matanya yang pasti diliputi kekecewaan. “Saya bolak-balik hampir lima kali. Selain kapal utusan, tak ada yang mencurigakan.”Pangeran Devon berdecak, mengetuk-ngetukkan telunjuk ke meja.Aku sebenarnya punya teori lain: mereka mungkin saja sudah melaju lebih cepat dari yang diperkirakan dan berjarak beberapa kilo lagi dengan Ibukota.Yang artinya Raja mesti diperingatkan dan pertahanan mesti dibangun rapat-rapat.Tapi, itu sebelum sampai ke sini.Harrington hanya beberapa ratus kilo lagi.Seharusnya ini jadi perjalanan mudah selama tiga hari tanpa hambatan, tapi kudengar dar regu pengintai, tepat di atas bukit, terdapat sepasukan besar yang mengibarkan panji Livingsworth.“Jumlahnya lima ribu, atau enam. Seseorang memergoki kami, Pangeran, jadi kami mesti melipir lebih cepat. Kemungkinan bisa sampai sepuluh ribu, tapi itu asumsi terbanyak.”Pangeran Devon tengah menulis sesuatu di atas per
‘Teruntuk Yang Mulia Zachary Donovan yang terhormat,Salam,Semoga keluarga Baginda dilimpahi kebahagiaan yang tak pernah berakhir dan kesejahteraan hingga akhir hayat.Kami memohon maaf sebesar-besarnya dikarenakan tidak dapat menghadiri penobatan Yang Mulia. Ada beberapa musibah yang menimpa dan hal-hal makin buruk tiap harinya.Kendati demikian, kami turut senang dan yakin bahwa negeri ini akan makin sejahtera karena berada di genggaman yang tepat.Seperti yang kita semua ketahui, Tuan Zahcary Donovan merupakan sosok yang tegas, punya pemikiran bijaksana, penuh keadilan, serta didampingi orang kompeten dan ahli di bidangnya masing-masing.Bicara soal keadilan, bila berkenan, kami meminta kejelasan atas hasil sidang dari rakyat-rakyat kami tercinta.Kami tentu tidak bermaksud memaksa atau menyinggung Yang Mulia, tapi seperti Yang Mulia tahu, akhir-akhir ini keadaan menjadi sangat sulit dan setidak-tidaknya, sebagai junjungan dan majikan mereka, kami bisa memberi hal yang juga menjad
Ini tak disangka-sangka.“Aku tak bisa ditahan di sini lebih lama,”“Count Jennings, mohon tenangkan dirimu lebih dulu.”“Menenangkan diri?” Sang Count mengambil surat yang tergeletak di meja majelis. “Dikatakan kalau Kerajaan memenangkan banyak pertempuran, tapi tiba-tiba saja musuh sudah jadi lebih dekat. Apa Raja atau Pangeran enggak mengantisipiasi ini?”Count Yadiva mengangguk. “Aku bahkan tidak melihat keberadaan Raja.”Duke Edison jauh lebih beralasan. “Raja sedang beribadah dan mendoakan kemenangan ini tetap bertahan.”“Ini bukan saatnya berdoa. Tanahku—tanah kita dalam bahaya. Aku minta agar Pangeran kembali saat ini juga, atau minimal izin untuk menarik pasukanku.”Saya terpaksa menggeleng. “Saya rasa itu bukan keputusan anda, Count Jennings.”“Oh, ya? Kalau begitu, biar aku yang pergi ke sana dan membawanya pulang sendiri.”Seperti yang saya perintahkan, tepat ketika Count Jennings beranjak pergi, dua prajurit langsung menyilangkan bayonetnya di depan pintu. “Apa-apaan ini?
Kami menang, tapi aku enggak merasa senang.“Tau, enggak, sewaktu kutemukan mayatnya, orang-orang ini celananya basah. Kayaknya, ketika dengar namaku, mereka udah ketakutan duluan sampe terkencing-kencing, dan akhirnya milih bunuh diri dibanding berhadapan denganku.”“Kalau itu wajahmu, kayaknya mereka mati karena terlalu mual atau kebanyakan muntah.”Tawa meledak di sepanjang aula.Gareth sang Pemberani julukannya.Seorang kapten skuadron utama yang mengambilalih Lapis beberapa malam lalu dari cengkeraman garnisum Livingsworth yang tersisa.Disebut pemberani sebenarnya agak ironis.Lapis cuma dipertahankan oleh anak yang belum cukup umur dan orang-orang tua.Pangeran juga memprediksi mereka akan menyerah tanpa perlawanan, tapi Gareth bersikeras untuk menyerbu. "Biar pengkhianat-pengkhianat itu merasakan, dinginnya keadilan Raja."Pangeran berpikir, selama itu meningkatkan moral prajurit dan memastikan kami semua tetap ‘panas’ ketika dibutuhkan, semua tindakan apa pun diizinkan.Kota
Sakit …SAKIT!Fio melihatku, melambai, tersenyum. “Kakak.”Ah … ini hari yang panas.Tuan Randy kadang emang berengsek. Di cuaca macam neraka begini, kami mesti tetap kerja rodi. “Apa yang kamu lakuin di sini?” tanyaku beruasaha menghampiri Fio.Tapi, kok, ya …Fio kenapa makin jauh.Bukan.Jalan di antara kami makin memanjang.Kenapa?Ada apa?Sakit.Sakit!SAKIT …“Kakak.” Fio menangis dan tiba-tiba sekitar kami terbakar.Panas.Panas.Tapi, tenang. Aku mesti lebih tenang. Fio bakal jadi makin cemas kalau dia ngelihat aku gugup.Selalu begitu.Aku mesti jadi kakak yang baik.Orang yang bisa diandalin dia.Orang yang bisa diandalin Ibu. “Tenang, Kakak bakal ke sana.”Sakit.Sakit!SAKIT!Cahaya yang terlalu benderang lewat dari atas.Enggak.Bukan sekadar lewat.Apa pun asal cahaya itu, sepertiya itu makin dekat.Makin dekat dan kini menyentuh kami.Ada ledakan sinar yang membutakan.Dan begitu semuanya sirna, yang terpampang di depanku adalah kengerian.Sakit.Sakit …SAKIT!“Kaka
“Yakin ini datang dari Raja?”Dave mengangguk. “Enggak ada orang yang punya merpati sebagus ini selain Ibukota, Sir. Aku sih ingin ngecek sendiri isinya, tapi … apa boleh?”Aku tersenyum. “Menurutmu?”“Aku ngerti.” Dave beralih ke aktivitasnya lagi—mengurusi kandang dan mengajak bicara merpati.Aku suka dengan orang yan paham akan tugas dan batasannya.“Sir, boleh nanya?”“Apa itu setara dengan waktuku yang bakal kebuang dan seharusnya digunain untuk meyampaikan ini ke Pangeran?”“Pasti, Sir. Ini tentang masa depan pasukan. Masa depan negeri ini.”“Bicara dengan merpati tiap hari memberimu ilham, ya?”“Ilham? Bukan. Ini rumor yang beredar.” Dia melihat ke sana-kemari. “Rumor yang berbahaya, sebenernya.”“Kalau bahaya, mending kau simpan sendiri.” Begitu aku ingin beranjak, barulah Dave mengutarakan pertanyaan yang agaknya memancingku.“Apa benar Pangeran Devon ngebentuk faksinya sendiri untuk menggantikan Raja?”Itu … emang berbahaya. “Dari mana kau dengar rumor ini, tadi?”Dave menge
Percaya atau enggak, semua ini bener-bener di luar kendali.Aku juga ngira aku bakal mati kala itu.Emang pastinya bakal ada serangan.Di antara daerah lain, penjagaan kami hampir serapuh tahu. Bahkan cuma dengan dua puluh orang terlatih, kastil ini akan langsung jatuh.Tapi, ya … enggak secepat itu, setan.Mana, ketika mereka datang, mereka bawa satu pasukan penuh pula.Kira-kira jumlahnya ada sekitar dua belas ribu orang. Bersenjata lengkap. Armor mengilap. Bahkan ada artileri.Upaya yang sia-sia untuk menyerbu kastil enggak berharga.Padahal, kalau mereka minta aku nyerah baik-baik, bakal langsung kulakukan.api, orang-orang ini punya pemikiran aneh tentang musuhnya. Bahwa kami dianggap sebagai perwujudan setan yang mesti dibasmi, diperkosa, dibantai hingga musnah dan menjamin kemenangan.Maka, sembari menunggu mana pilihan paling pas yang bakal kudapat, aku mendapat kemuliaan untuk ngehuni penjara bawah tanah.Aku pernah ke sini sekali.Kala itu lebih ramai.Ada si Wilson tolol it
Malam udah begitu larut ketika akhirya kami bertatap mukaDevon nampak jauh lebih murug dari sebelumnya.Dqan enggak mau repot-repot untuk membuak pembicaraan.Jadilah mesti aku yang mengeluarkan suara duluan. “Boleh aku tidur bersama? Untuk hari ini?”“Ada esuatu yang terjadi?”“Aku mimpi buruk.Setelah beragam pertimbangan bisu dan sesi tatap-tatapan memuakkan yang berasa terjadi setahun, Devon akhirnya ngangguIsi dalamnya gak jauh beda dengan bilik pribadi yang kusinggahi.Kasur raksasa berkelambu.Lemari mahoni yang tingginya satu setengah kali manusia dewasa. Tapestri dan pernak-pernik keemasan yang menghiasi segenap dinding.Hanya aja semuanya tersamarkan oleh benderang lampu yang begitu redup. Melebur dalam kerlap-kerlip yang justru menciptakan suasana yang lebih menenangkan dan damai.Kayaknya emang isi kamar itu mencerminkan kepribadian seseorang.“Perlu saya hidupkan lampunya?”Aku menggeleng pelanDevon ngangguk. Kaku.Atau cuma aku yang berpikir demikian?Dengar.Ini buka
Sejak awal ini konyol. Bilangnya udah enggak seperti dulu lagi, tapi apa yang kulakuin di sini? Terjebak dalam dunia khayal tempat seharusnya aku enggak berada. Aku lebih penasaran, seberapa lama samaran murahan ini bakal bertahan. Maksudku, cuma selembar kain hitam bertudung yang dari bagian bahu hingga lengannnya koyak-koyak, bukannya kami bakal langsung dicurigain. Lagi, si Jeanette tolol ini juga gak nyiapin aku alas kaki. Apa dia enggak mempertimbangkan semua ini? Kayaknya aku terlalu berharap banyak. Pada akhirnya, meski dijulukin pahlawan dan penjahat perang—tergantung dari mana kau dengernya—nih cewek masih remaja. Pribadi berpikiran sempit yang punya semangat sekonyol orang pengidap gangguan jiwa. Selain prajurit, aku nyaksiin demonstrasi. Kumpulan massa dari para rakyat jelata dengan proporsi tubuh abnormal yang mendengarkan ceramah orang-orang teler. Orang-orang teler yang mengatakan ‘kebenaran’. “Negeri ini udah dikutuk di hari pertama Pengkhianat itu diangkat
`“Itu gak mungkin.”Bard sepertinya yang paling mengerti. “Aku tau dia temanmu, tapi … orang-orang akan selalu berubah, hingga pada titikk yan gak bisa kau kenalin.”Banyak yang bilang itu kabar angin, tapi berdasarkan pengalmanku dari berbagai sisi, itu merupakan kebenaran yang cuma dilebih-lebihkanEntah di bagian mananya, tapi hanya ada satu simpulan: banyak orang mati di Ibukota.“Aku mau keluar cari angin dulu.”Yang lain menanggapi dalam bungkam.Mengerti apa yang kurasakan.Sejak hari itu, aku udah berjanji.Pada diri sendiri, bahwa mulai sekarang aku bakal nyiptain ‘perubahan’.Tapi, bukan seperti yang dikehendaki Brown dan kawanannya.Visi mereka terlalu liar, brutal, dan tak manusiawi.Oh, tentu aku dengar soal mereka juga.Tentang gaung revolusi yang diserukan seluruh penjuru negeri.Mereka bahkan berani bawa-bawa nama Dia Yang Menguasai Langit dan Bumi. Menyebut kampaye kekerasan itu sebagai Perang Suci.Itu keterlaluan. Itu mesti kuhentikan.Tapi, tidak secara langsung.Be
Malam udah begitu larut ketika akhirya kami bertatap mukaDevon nampak jauh lebih murug dari sebelumnya.Dqan enggak mau repot-repot untuk membuak pembicaraan.Jadilah mesti aku yang mengeluarkan suara duluan. “Boleh aku tidur bersama? Untuk hari ini?”“Ada esuatu yang terjadi?”“Aku mimpi buruk.Setelah beragam pertimbangan bisu dan sesi tatap-tatapan memuakkan yang berasa terjadi setahun, Devon akhirnya ngangguIsi dalamnya gak jauh beda dengan bilik pribadi yang kusinggahi.Kasur raksasa berkelambu.Lemari mahoni yang tingginya satu setengah kali manusia dewasa. Tapestri dan pernak-pernik keemasan yang menghiasi segenap dinding.Hanya aja semuanya tersamarkan oleh benderang lampu yang begitu redup. Melebur dalam kerlap-kerlip yang justru menciptakan suasana yang lebih menenangkan dan damai.Kayaknya emang isi kamar itu mencerminkan kepribadian seseorang.“Perlu saya hidupkan lampunya?”Aku menggeleng pelanDevon ngangguk. Kaku.Atau cuma aku yang berpikir demikian?Dengar.Ini bukan
“Nyamankan dirimu sendiri, Rachel. Enggak usah terlalu tegang begitu. Aku enggak bakal nyakitin kamu atau gimana, kok. Gimana pun, kita ini temen lama, bukan?”Ya? Kalau begitu, biarkan kudaratkan satu pukulan paling kuat yang kubisa ke wajah bodohmu itu.Mungkin, setelahnya, aku jadi enggak terlalu gugup lagi.Karena gimana ya …Belum ada tiga hari sejak kedatangan bajingan-bajingan asing ini, dan mereka udah memperlakukan istana bak rumah sendiri.Kamar-kamar tamu ditempati sembarangan.Barak dan persenjataan dikuasai.Tentara-tentara yang tersisa dilucuti—alasannya sih untuk ngehindari kekerasan yang enggak perlu.Itu dalih tolol—atau mungkin enggak?Entahlah.Karena, terlepas dari info ini valid atau enggak, jumlah pasukannya enggak kurang dari 15 ribu.Membanjiri kota dengan intimdasi dan todongan yang dibalut dengan begitu manis hingga nampak seperti persembahan yang menarik.Apa salah satu di antara mereka ada yang punya kemampuan memgendalikan pikiran, ya?Makudku, mengubah per
Itu konsep yang asing: ketakutan.Apa aku pernah takut sebelumnya?Ah, ya.Nostalgia lain.Masa lalu lain.Emangnya aku semacam pecundang yang nganggur ya?Aku gak punya waktu untuk melanglangbuana ke perkara yang bahkan enggak penting.Lagian, ketakutan itu respons yang sealami rasa lapar.Bahkan orang paling berani pun bisa gentar ketika di ambang kematian.Tapi, apa yang bikini ini jadi berbeda?TOK! TOK! TOK!Aku menyahut, hamper sepelan lirihan. “Masuk.”Meski tanpa berbalik ke belakang, aku bisa menyadari tatapan iba George yang mencolok. “Ini kekejian yang enggak bisa dimaafkan. Bisa-bisanya mereka … oh, demi Yang Maha Penyaya—““Kamu dapetin anak itu?” Aku lagi enggak ingin dengar nama-Nya di saat kayak begini.Entah itu yang mereka sembah atau apa pun yang pernah menemuiku di masa lalu.Namun, George justru bungkam.Apa dia pergi diam-diiam, ya?Cih, orang-orang ini.Emang, ya. Kau diamkan sekali dan mereka pikir kau itu figur lemah yang bisa dikuasai.Ketika berbalik, aku me
Orang-orang Willvile bakal digantung, dan aku enggak ngerasain apa-apa.Dengar.Gini-gini, aku masih punya empatI. Kesenstifian hati. Dan rasa manusiawi.Tapi, apa pula yang bisa dikasihani dari para bajingan barbar itu?Enggak dulu maupun sekarang, kerjanya selalu menyusahkan.Lebih-lebih si Evelyn sialan itu yang masih bisa memasang senyum meski udah di atas dudukan. Bahkan ketika lehernyadipasang jerat dan algojo ambil ancang-ancang.Cuma bangsawan yang diberi hak untuk ngasih tahu pesan terakhirnya—seperti yang kubilang sebelum-sebelum ini: persetan sama rakyat jelataDan binatang-binatang itu punya hak yang lebih rendah lagiDigantung adalah hukuman yang terlalu ringan.Ya … meskipun ngelihat mereka menggelayut sambil menggelepar-gelepar di udara mata, melotot, dan mulut mengap-mengap karena kehilangan napas secara pelan-pelan itu lumayan muasin; tapi kebiadaban mereka belum diganjar sepenuhnya.Andai aja regulasi negeri fiktif sialan ini lebih simpel, udah kuberi mereka hukuman
“Lagi?”Percuma saja, dari sudut pandang mereka, apa pun yang kukatakan bakal menjadi geraman yang membuat bulu kuduk merinding.Bahkan meski aku tak punya niat membunuh—dan tak pernah demikian.Itu semua bukan untuk tujuan keji seperti itu.Hari itu aku kehilangan segalanya.Kebahagiaan. Harapan. Tujuan.Dan itu membuatku bertanya-tanya, untuk apa?Apakah ini pantas?Apakah aku seberdosa itu?Namun, bak belaian paling lembut, gemulai, dan menentramkan; sebentuk suara agung menyahut dari langit.Memberi pencerahan paling absud sekaligus paling masuk akal.Dewa mengambil, dewa juga memberi.Ibu, Fio, Janine, dan semua orang adalah harga mahal yang tak sepadan dengan nyawaku—awalnya, pemikiran bodoh kayak begitu entah kenapa terlintas.Tapi, kekekalan ini merupakan berkah niscaya yang datang bukan untuk disia-siakan.Neraka kosong dan para iblis ada di sini. Aku adalah titisan yang dikirim untuk membasmi mereka.Memusnahkan kekejian. Membumihanguskan kejahatan. Meluluhlantakkan segala w