Sudah hampir 1 minggu Fiko tak sadarkan diri, bahkan Fia masih senan tiasa berada di sisi adiknya. Dia enggan berada jauh dari jangkauan adiknya. Terkadang dia akan bangun malam hari dan menangis saat melihat keadaan adiknya yang masih belum sadarkan diri.
Dia rindu akan adiknya, senyum jahilnya, sikapnya yang terkadang sedikit membangkang dan membuatnya kesal dan sikap adiknya saat dia dalam bahaya. Dia ingin adiknya sadarkan diri dan kondisinya baik-baik saja. Dia berharap ucapan Ayahnya waktu itu tak jadi kenyataan.
“Bangun dek” ucap Fia dengan lirih.
“Gak kangen sama kakak?” tanya Fia lagi dengan sorot mata sedih dan putus asa.
Tak mendapat respons dari Fiko membuat Fia sedikit frustrasi, dengan lelah dia meletakkan wajahnya di atas berangka Fiko dengan kasar.
“Gue minta maaf dek, gue gagal jadi kakak. Gue gak bisa nyelametin elu dek, maaf” ucap Fia dengan air mata yang kembali mengalir membasahi pipinya. Tan
Malam harinya saat ini keluarga Fia sedang berkumpul di ruang inap Fiko dan ada tambahan Yuan, Alvin dan Sasa.Saat ini Fia sedang makan bersama teman-temannya dan orang tuanya sedang fokus dengan kegiatan masing-masing. Ayahnya yang sibuk memeriksa berkas dan Bundanya yang sibuk dengan ponsel.“Kapan lu berangkat sekolah Fi?” tanya Sasa dengan raut wajah sedih.“Besok mungkin” balas Fia dengan senyum kecil.“Janji loh, gue gak ada temen” ucap Sasa dengan raut wajah sedikit kesal.“Iya, besok gue pinjem catatannya” ujar Fia dengan nada suara lemah dan kembali melanjutkan makannya.“Oke” balas Sasa dengan senyum mengembang.“Gue denger-denger si Disa kemarin buat masalah ya?” ucap Alvin sambil menyuapkan nasi ke dalam mulutnya.“Iya, dia berantem sama kakak kelas” kata Sasa menimpali perkataan pacarnya tadi.“Kenapa?” tanya Fia
“Fiko buta kak” ucap Fiko dengan lirih.“...” Fia hanya bisa diam sambil menambah erat memeluk sosok rapuh adiknya.“Fiko gak bisa lihat lagi kak..” ucap Fiko dengan nada suara pilu.“...” Fia hanya bisa diam menganggapi perkataan Fiko barusan.“Kenapa Fiko kak? Fiko ‘kan anak baik. Kenapa Tuhan ambil penglihatan Fiko?!” ucap Fiko dengan histeris dan memberontak di pelukan Fia.Fia masih memeluk sosok adiknya walau yang di peluk memberontak ingin di lepaskan.“Tuhan gak adil! Kenapa Tuhan ambil penglihatan Fiko?!” jerit Fiko dengan air mata yang semakin deras.Teman-teman Fia yang melihat itu pun juga merasakan sakitnya di posisi Fiko, dan merasakan hancur di posisi Fia yang melihat adik kesayangannya seperti itu.“Kakak sayang Fiko, jangan kayak gini” ucap Fia di sela-sela pelukannya.“Enggak! Fiko mau bisa lihat lagi!!&rdquo
Pagi harinya Fia mulai berangkat sekolah setelah izin selama satu minggu penuh. Fia berjalan ke arah kelasnya dengan langkah pelan dengan pikiran berjalan ke mana-mana.‘Gue harus berhenti ‘in dia sebelum menjadi’ batin Fia dengan sorot mata datar.‘Tapi gimana caranya?’ batin Fia lagi dengan sorot mata terlihat frustrasi.Saat Fia sedang fokus dengan pikirannya secara tiba-tiba ada kertas mengenai punggungnya. Dengan penasaran Fia mengambil kertas yang terkepal dengan berantakan di samping kakinya.Ini baru awal, masih ada kejutan-kejutan yang lain,tunggu saja kejutan itu menghampiri mu satu demi satu. Tapi aku cukup puas ngelihat wajah frustrasi mu beberapa hari ini. Gunakan waktu mu dengan baik Fia karena setelah ini ada kejutan yang lebih hebat menanti.Fia yang membaca isi surat itu sedikit marah dan meremas kertas tadi dengan erat.“Gak bisa gue biar ‘in gitu aja” gumam Fi
Mereka mulai fokus ke makanan masing-masing hingga kedatangan dua orang mengganggu mereka.“Maaf, boleh gabung?” tanya Disa dengan senyum manisnya.“Duduk aja” balas Alvin dengan acuh tak acuh, bahkan dia hanya melirik sekilas setelah itu sibuk dengan makanannya kembali.“Makasih” balas Disa dengan senyum manisnya, dan mulai duduk di samping kiri Yuan sedangkan Yara duduk di samping Sasa. Sasa hanya diam tak memedulikan kehadiran Yara di sampingnya. Jujur saja dia sudah muak dengan dua orang yang baru datang ini. Mood makannya tiba-tiba hilang entah ke mana.“Makan sayang” ucap Alvin sambil menatap ke arah Sasa dengan lembut.“Iya” balas Sasa dengan senyum manisnya dan mulai memakan makanannya dengan tenang.Alvin yang melihat itu mengelus rambut Sasa dengan lembut dan kembali memakan makanannya dengan tenang tanpa memedulikan tatap seseorang untuknya.Yara yang sendari tadi
Pulang sekolah Fia sudah berada di dalam ruang inap sang adik. Tadi dia sempat mampir ke rumah untuk berganti pakaian.Dia memasang raut wajah tanpa ekspresi sambil mata fokus ke sosok Fiko.Hatinya sedikit tenang saat melihat kondisi adiknya mulai stabil bahkan pengendalian emosi adiknya sudah baik. Dia sudah tak marah-marah lagi atas kehilangan salah satu indranya. Tapi terkadang Fia melihat Fiko menangis dalam kesendirian. Dan itu berhasil membuat hatinya terasa nyeri.“Gue butuh udara segar” gumam Fia dan mulai bangkit dari duduknya, setelah itu berjalan keluar ruangan dengan langkah pelan.Fia menyusuri koridor rumah sakit dengan raut wajah datar dan tak ada ramah-ramahnya sama sekali.Langkahnya terhenti saat dia berada di tempat yang cukup mistis. Tempat ini ada di halaman belakang rumah sakit yang membuat Fia tertari adalah sebuah sumur tua di bawah pohon beringin dan jangan lupa sebuah bangku panjang yang terlihat lusuh.
Fia masih berjalan menyusuri koridor hingga sampailah dia di depan pintu kamar Fiko. Dari tempatnya berdiri dengan jelas Fia mendengar teriakan Fiko memanggil dirinya.“Kakak!” kata Fiko dengan nada suara keras.Mendengar suara sang adik dengan buru-buru Fia membuka pintu kamar dan di depannya terlihat sosok sang adik terduduk di atas lantai dengan selang infus yang sedikit terbuka.“Fiko!” ucap Fia dan berlari ke arah Fiko dengan raut wajah cemas.“Kakak” panggil Fiko sambil meraba-raba sekelilingnya. Fia yang melihat itu sedikit merasa nyeri di dadanya, dengan lembut Fia memegang kedua tangan Fiko yang meraba sekelilingnya.“Kakak di sini dek” ucap Fia dengan lembut dan senyum manisnya.“Kakak!” ucap Fiko dan menubruk tubuh Fia dan di sambut hangat oleh Fia.“Ada apa hm?” ujar Fia sambil mengelus rambut Fiko sayang.“Kakak dari mana?” ucap Fik
Sudah tiga hari Fia mencari tahu tentang takdirnya dan akhirnya pencariannya membuahkan hasil. Fia bertanya kepada sang paman, dengan datar sang paman menjelaskan. Inti dari penjelasan pamannya hanya beberapa poin yang Fia tangkap, salah satunya dia memiliki takdir yang cukup menantang. Fia bisa memenjarakan sosok makhluk yang memiliki niat jahat dan itu adalah inti dari takdirnya. Setelah menjelaskan itu sang paman menyuruh Fia untuk mencari sebuah kalung dengan lambang Surya Majapahit. Menurut pamannya Fia sudah cukup umur untuk menerima takdirnya, apalagi sebentar lagi dirinya akan berulang tahun ke-17.Sekarang yang menjadi tugasnya adalah kapan dia akan mencari benda itu. Sedangkan pamannya menyuruh untuk sesegera mungkin mencari kalung itu.Fia termenung di dalam kamar Fiko, otaknya berjalan menjauh ke depan. Dia ingin segera mencari benda itu namun siapa yang akan menjaga sosok adiknya untuk sementara waktu? Sedangkan Ayahnya sedang sibuk dengan dokumen dan kesehatan Bundanya.
“Hehe” Fia tertawa dengan miris dan canggung sambil menatap sosok Fiko dengan pikiran bercabang.Fia menunduk sambil memikirkan ucapan Fiko barusan, dalam benaknya dia membenarkannya.“Bener kata lu dek” ucap Fia sambil menatap Fiko dengan nada suara sedikit bergetar.“Gue penyebab semua ini, lu kecelakaan sama Bunda yang jatuh sakit” ucap Fia dengan senyum pahit.“Gue yang sebenarnya beban di keluarga ini” lanjut Fia dengan senyum miris.Fiko yang tadinya marah mulai sadar saat mendengar ucapan Fia barusan.“Kak-“ ucap Fiko terpotong oleh perkataan Fia.“Gue pamit, lu jaga diri baik-baik” ucap Fia dengan senyum miris dan sorot mata kosong.Fiko ingin membuka suara tapi sebelum dia membuka suara dia bisa merasakan sosok kakaknya mulai menjauh meninggalkannya. Apalagi suara langkah kaki yang mulai menjauh dan suara pintu yang di tutup.“Kak!” panggil Fiko sambil meraba ke sekelilingnya, berharap sang kakak masih di sampingnya dan memaafkan ucapannya tadi.“Kak! Kakak di mana?!” ucap Fi
Sudah satu minggu setelah kejadian itu, dan Fia sudah tak sesedih kemarin dan menyalahkan dirinya sendiri atas kematian Yara.Dia juga sesekali mampir ke rumah Yara untuk menjenguk mama Yara atau di ajak adik Yara untuk mampir ke rumah. Dengan senang hati Fia menerima ajakan adik Yara.Satu yang membuatnya heran, kenapa orang tua Sasa tak pernah sekali pun mencari keberadaan sang anak yang hilang bagaikan tertelan bumi? Dan ternyata Fia mendapat satu fakta yang tak terduga, Sasa adalah anak dari papanya dengan selingkuhannya, sebab itu mereka tak peduli dengan sosok Sasa, bahkan saat ini orang tua Sasa sedang menyiapkan sidang penceraian mereka.Fia yang mendengar cerita itu hanya memasang raut wajah sedih dan prihatin.Tapi, walau orang tua tak mencarinya, masih ada Alvin yang menanyai keadaan Sasa dan menanyakan kondisi Sasa kepada Fia. Seperti menanyakan ‘Sasa di mana ya? Bagaimana kondisinya? Kenapa dia menghilang tanpa memberi kabar?’ dan di jawab Fia dan Yuan dengan mengangkat b
Yuan yang melihat tingkah lucu Fia hanya memasang raut wajah gemas dan senyum geli.“Ayo” ucap Yuan sambil menatap Fia dengan senyum yang masih terpatri di bibirnya.“Iya” balas Fia dengan lesu dan dengan malas Fia membuka pintu mobil. Fia keluar dan di sambut oleh Yuan dengan senyum kecil.Yuan memegang tangan Fia dengan lembut dan membawanya ke arah pintu rumah. Mereka memasuki rumah Fia dengan kerutan di dahinya.Bagaimana tidak, di depan mereka sudah berkumpul keluarga Fia. Fia yang melihat keluarganya yang sedang canda tawa hanya memasang raut wajah datar dan sorot mata ke tidak sukaan.Yuan yang tahu akan pikiran Fia hanya bisa menguatkan pegangannya di tangan Fia dan memberi usapan kecil di punggung tangannya.“Fia, sini sayang” ucap salah satu bibinya dengan senyum mengembang indah.Fia yang mendengar panggilan dari sang bibi hanya diam membisu dan masih di tempatnya dengan raut wajah datar.“Fia?” kata sang bibinya lagi dengan kerutan di dahinya.“Ada apa ini?” tanya Fia den
Pemakaman Yara berjalan dengan sangat hikmat, banyak orang yang meneteskan air mata saat melihat peti Yara memasuki lian lahat.Fia mengikuti acara pemakaman dengan raut wajah datar dan sorot mata kesedihan. Dia berada di samping mama Yara. Mama Yara yang memintanya untuk di sampingnya dan Fia hanya menurut tak bisa membantah. Dengan langkah pelan keluarga Yara mulai menjauh dari mekan Yara. Mama Yara sudah mengajak Fia untuk pulang tapi Fia menolaknya, dia ingin menetap di sini untuk beberapa saat.Fia menatap ke arah gundukan tanah di depannya dengan sorot mata kepedihan. Dia masih merasa bersalah dengan Yara, tak jauh dari tempatnya berdiri ada sosok Disa yang menatap ke arah gundukan di depannya dengan air mata yang masih mengalir.Fia menatap ke arah Disa dengan senyum kecil dan berjalan ke arah Disa dengan perlahan.“Ayo” ajak Fia sambil memegang pundak Disa dengan senyum kecil di bibirnya.Disa menatap ke arah Fia sebentar dan kembali menatap ke gundukan tanah tadi setelahnya
Hari pemakaman Yara, Fia datang dengan Yuan di sampingnya. Dia sudah membulatkan tekatnya, entah di terima atau tidak kehadirannya di sana. Niatnya untuk mengantarkan Yara ke peristirahatan terakhirnya, sebagai bentuk terima kasih dan penyesalan.Fia berjalan memasuki ambang pintu rumah Yara, saat dia masuk matanya sudah melihat banyak orang di sana dan tak lupa peti jenazah Yara yang di kelilingi oleh keluarganya. Sanak saudara berhilir mudik dan bergantian melihat wajah Yara untuk terakhir kalinya. Sosok Yara terlihat sangan memukau di hari terakhirnya sebelum di kebumikan.Fia mulai berjalan memasuki rumah Yara dengan Yuan di belakangnya. Mereka berdua memakai baju berwarna hitam polos tanpa ada corak seperti yang lainnya.Saat Fia memasuki rumah Yara, ada beberapa pasang mata yang menatap ke arahnya tapi tak dia anggap.Dengan langkah pelan, Fia mendekat ke arah peti Yara, saat langkah kakinya semakin dekat dengan peti Yara berada tiba-tiba langkahnya terhenti saat sosok mama Yara
“Semua ini di sebabkan oleh saya” ucap Fia setelah menguatkan dirinya untuk jujur.Saat mendengar perkataan Fia barusan, membuat pandangan mama Yara langsung tertuju ke arah Fia.“Apa maksudmu?” tanya Mama Yara dengan sorot mata tak bersahabat.“Yara meninggal karena saya, dia mengorbankan nyawanya untuk saya,” ucap Fia terhenti sejenak untuk mengambil nafasnya karena dadanya terasa sesak.“Dia melindungi saya dari tusukan yang seharusnya saya terima, seharusnya saya yang berada di posisi Yara” ucap Fia dengan tertunduk dalam.Mama Yara yang mendengar perkataan Fia hatinya merasa marah, bahkan tangannya terkepal sangat erat. Dengan langkah cepat dia berjalan ke arah Fia dan menamparkan begitu keras untuk melampiaskan kemarahannya.Plak!Sang suami yang melihat tingkah sang istri merasa sedikit terkejut dan mencerna semua kejadian tadi, ucapan Fia tadi kembali mengulang di otaknya.“Pembawa sial!” ucap Mama Yara di depan wajah Fia.“Mah!” ucap sang suami saat sadar akan keterkejutannya
Lama Fia dan Yuan berpelukan hingga Fia melepaskan pelukan itu, dengan raut wajah sembab Fia menatap Yuan.“Makasih” gumam Fia dengan senyum tulus.“Hm” balas Yuan sambil mengelus rambut Fia dengan senyum simpul.“Ayo” ajak Yuan sambil menggenggam tangan Fia dan menuntunnya masuk ke dalam ruangan tadi.Di dalam ruangan ada sosok Disa yang menangis sesegukan sambil menatap sosok Yara yang terbaring kaku di depannya.Fia berjalan mendekat ke arah Yara dan menggenggam tangannya pelan.“Maaf” ucap Yara dengan lirih dan sorot mata sedih.‘Maaf, semua ini gara-gara gue Yar. Andai dulu lu gak deket sama gue, andai lu gak ngelindungi gue pasti lu masih ada di sini’ batin Fia dengan senyum getir.“Gue bener-bener minta maaf” ucap Fia penuh sesal.Suara hening mulai mengisi ruangan tadi, Disa yang menangis dalam diam sedangkan Yuan dan Fia menatap ke sosok Yara dengan raut wajah sedih.Tak lama, suara langkah kaki terdengar di dalam ruangan tadi. Dengan refleks mereka melihat ke sumber suara, d
Mereka masih di posisinya, dengan pemikiran masing-masing. Sedangkan Ridwan sedikit menjauh untuk memberi kabar orang tua Yara akan kondisi anaknya. Setelah memberi kabar orang tua Yara , Ridwan mulai memberi kabar keluarganya tentang keberhasilan Fia. Kabar yang di beri tahukan Ridwan membawa kebahagiaan di keluarganya.Beberapa menit kemudian pintu UGD mulai terbuka, terlihat sosok berjas putih keluar dari ruangan dengan raut wajah penuh penyesalan.“Bagaimana keadaan teman saya dok?” tanya Disa sambil berjalan mendekat ke arah sang dokter. Dalam diam Fia berjalan mengikuti langkah Disa.“Kami sudah melakukan yang terbaik tapi Tuhan mempunyai jalan yang lebih baik. Maaf, Tuhan berkehendak lain, teman adik dinyatakan meninggal karena telat akan penanganan yang seharusnya dia terima. Teman adik terlalu banyak kehilangan darah” ucap sang dokter dengan raut wajah lesu, karena pasiennya gagal untuk dia selamatkan.“Gak, dokter pasti salah” ucap Disa dengan raut wajah tak percaya dan memu
Fia mulai membuka matanya dan menatap ke arah Disa dengan raut wajah serius.“Dis” panggil Fia tanpa emosi.“Iya?” balas Disa dengan raut wajah heran.“Pegang batu ini dan baca mantra yang tertulis di sini” ucap Fia sambil menatap ke arah Disa dengan raut wajah masih sama.“Kenapa?” tanya Disa dengan raut wajah heran.“Ini kunci keluar dari sini” balas Fia apa adanya.“Oke” balas Disa dan mulai berjalan mendekat ke arah Fia. Tanpa membutuhkan waktu lama Disa mulai membaca mantra yang ada di batu tadi. Mantra tadi tertulis dengan aksara Jawa, dan entah kenapa Disa dengan lancar mengucapkannya, setiap kata terdengar sangat jelas.Tak lama cahaya di batu tadi semakin terang, cahaya yang tadinya putih berubah menjadi abu-abu. Tak lupa ada juga beberapa kunang-kunang yang hadir mengelilingi mereka.Fia yang melihat pemandangan di depannya sedikit menatap dengan sorot mata memuja. Tak lama, cahaya tadi mulai redup dan mereka sudah berada di luar gerbang sekolah.“Kondisinya semakin memburuk
Fia yang mendengar jeritan Sasa hanya menatapnya dengan raut wajah tanpa emosi.“Fia tolongin gue” ucap Sasa dengan raut wajah memohon ke arah Fia.“Gue gak bisa” balas Fia dengan acuh tak acuh.“Gue minta maaf, gue ngaku gue salah. Gue mohon bantu gue, lepasin gue dari rantai ini” ucap Sasa dengan air mata yang menetes melewati pipinya.“Gue gak bisa, itu bukan kemampuan gue” balas Fia apa adanya.Tak lama dari itu Fia mulai mendengar jeritan tak jauh darinya.“Yara!” ucap Disa saat baru saja bangun dari pingsannya, dan saat dia membuka mata pandangan pertamanya adalah sosok Yara dengan darah di tubuhnya. Dengan raut wajah panik Disa menatap ke arah Yara.“Yar, aku minta maaf jangan kayak gini” ucap Disa sambil menepuk pipi Yara beberapa kali.“Dia akan mati kalau gak ambil tindakan dengan cepat” ucap Fia dengan raut wajah tanpa emosi.“Yuan, boleh minta tolong? Tolong gendong Yara, karena gak mungkin kalau gue atau Disa yang gendong” ucap Fia sambil menatap ke arah Yuan dan di anggu