Sesampainya di samping Yuan, Fia langsung duduk dan di hidangi oleh bakso di depannya.
“Makan” balas Yuan sambil memakan makanannya.
“Makasih” ucap Fia dan mulai memakan baksonya dengan tenang. Hingga datanglah dua orang yang menghentikan acara makannya.
“Boleh gabung?” tanya salah satu di antara mereka dengan nada suara lembut dan senyum manis.
“Duduk aja” balas Alvin dengan senyum cerah. Mendengar jawaban Alvin dengan senang hati mereka mulai duduk berhadapan. Yara yang duduk di samping Alvin, sedangkan Disa yang duduk di samping Fia.
“Inget udah punya” ucap Fia sedikit menyindir Alvin saat melihat respons Alvin kepada mereka berdua.
“Ck” decak kesal Alvin saat mendengar ucapan Fia barusan. Senyum yang menghiasi bibirnya tiba-tiba sirna.
Fia mulai melanjutkan makannya setelah mengatakan itu, sedangkan Yuan memang sendari awal tak peduli kepada mereka.
Fia
Saat ini Fia di mintai tolong oleh guru komputernya untuk mengambil absensi di kantor. Dengan langkah santai Fia berjalan menuruni anak tangga. Baru tiga anak tangga yang dia lalui dan di depannya muncul sosok wanita dengan keadaan cukup mengenaskan.Fia berhenti sebentar tapi setelah itu dia kembali melangkah. Sosok tadi terus menatap ke arah Fia. Memperhatikan semua gerak-gerik Fia tanpa ada yang terlewatkan.Hingga tubuh Fia melewatinya, sebenarnya Fia sedikit heran.‘Tumben gak ada masalah’ batin Fia dengan kaki terus berjalan ke arah lantai satu.Dengan senyum sekilas Fia mengangkat bahunya dan kembali melanjutkan langkahnya. Hingga sampailah dia di ruang kelas dan dengan santai Fia mengambil buku absensi.Setelah itu dia kembali berjalan menuju ke arah ruang lab berada. Baru saja kakinya melangkah keluar kelas sudah di hadiahi oleh pemandangan yang cukup merusak mata. Di depannya ada sosok yang tadi berdiri di anak tangga. Sosok i
Selepas pulang sekolah Fia mengurung dirinya di dalam kamar. Fiko yang menyadari itu cukup merasa cemas akan keadaan kakaknya.Bundanya sedang keluar ke rumah pamannya bersama sang Ayah. Jadi sekarang Fiko bingung harus bagaimana. Ingin rasanya dia masuk ke dalam kamar kakaknya tapi sayang pintu kamar di kunci dan kunci cadangannya di pegang oleh Bundanya.“Gue haru apa coba?” ucap Fiko dengan frustrasi. Sendari tadi dia berjalan mondar mandir di depan pintu kamar Fia tanpa tujuan yang jelas.Sedangkan di dalam kamar.Fia sedang termenung di atas ranjang dengan sorot mata kosong. Hingga ada satu ingatan yang menghampirinya.“Kalau lu penasaran sama perkataan gue tadi, coba lu ke lantai tiga bagian pojok. Lu bisa cari tahu di sana” “Lantai tiga bagian pojok?” gumam Fia sambil menatap ke arah depan dengan raut wajah menimang.“Apa perlu gue ke sana?” tanya Fia kepada dirinya send
Pagi harinya Fia masih bimbang dengan keputusannya. Apakah itu baik dan tidak, dia takut jika salah mengambil keputusan. Takut jika akan berimbas kepada orang lain.Dengan langkah pelan Fia berjalan menyusuri koridor, dia membutuhkan waktu untuk sendiri. Membutuhkan waktu untuk menjernihkan pikirannya.Saat ini di kelasnya jam kosong, sebab itu dia berani berjalan keluar kelas. Langkahnya semakin lambat saat melihat sosok Yara berjalan di depannya.Jujur saja ada rasa malas saat melihat Yara, selama ini dia menyuruh Yilo melindungi mereka hanya karena rasa kemanusiaan. Dia sadar akan bahaya yang akan mengancam mereka berdua setelah berdekatan dengannya. Bukan hanya Yara dan Disa, Fia juga diam-diam melindungi Sasa dan Alvin. Sedangkan Yuan, dia sudah tak perlu risau karena kemampuan Yuan untuk melindungi dirinya tak perlu di ragukan lagi. Mungkin karena benda yang di berikan oleh kakeknya yang membuat Yuan sudah tak terpengaruh oleh arwah jahat.Fia berni
Bel pulang sekolah Fia sudah menunggu adiknya di depan seperti hari-hari yang lalu, tapi saat ini perasaannya sangat kacau. Dia tak bisa fokus atau pun tenang barang sedetik. Fia terus menatap ke arah seberang jalan berharap melihat sosok adiknya. Dengan gerakan pelan Fia bangkit dari duduknya dan berjalan ke sana ke sini dengan perasaan cemas. Entah mengapa dia merasa tak tenang dan ingin cepat-cepat melihat sosok adiknya.“Fiko” gumam Fia dengan raut wajah khawatir.Fia masih cemas hingga matanya menangkap sosok Fiko di seberang jalan. Dengan senyum cerah Fia menatap ke arah Fiko. Sedangkan Fiko masih fokus menatap ke arah kanan dan kiri memastikan jalan senggang.Fia terus menatap ke arah adiknya dengan harap-harap cemas. Bagaimana tak cemas, jalanan siang ini cukup ramai dia takut terjadi sesuatu pada adiknya.Fiko masih berdiam diri di tempatnya hingga dia sudah merasa jalanan cukup renggang untung bisa dia menyeberang. Dia mulai menarik
Di sinilah Fia, dengan baju berlumuran darah dan sorot mata hampa. Dia duduk termenung di koridor rumah sakit. Pikirannya kosong tapi hatinya sakit, air mata yang jatuh tanpa permisi. Membuat penampilannya cukup mengenaskan. Satu alasan yang membuatnya begini, keadaan adiknya yang sedang di tangani sang dokter. Ada rasa penyesalan dalam lubuk hatinya, ada rasa menyalahkan dirinya sendiri saat mengingat kondisi adiknya. Saat ini mentalnya benar-benar down. Dia membutuh ‘kan dukungan dan sanggahan untuk berdiri.Sekelebet gambar yang kemarin dia lihat menjadi kenyataan, sosok adiknya di lumuri oleh darah di depan matanya. Adiknya terbaring tak berdaya dan mengalami luka parah. Ingin rasanya dia tak percaya tapi semua ini nyata, semua itu terjadi di depan matanya.“Harusnya bukan elu dek, kenapa elu dek?” racau Fia dengan sorot mata yang masih kosong.“Bertahan dek, jangan tinggalin kakak oke?” gumam Fia lagi dengan sorot mata hampa da
Fia sampai di sekolahannya saat langit sudah malam. Dengan langkah pelan ia berjalan memasuki gerbang sekolah. Entah karena kedatangannya di sambut atau bagaimana. Fia merasa tubuhnya di terpa angin cukup sejuk membuat rambutnya yang sudah acak-acak ‘kan beterbangan tertiup angin.Tanpa memedulikan sekelilingnya Fia mulai berjalan ke arah anak tangga. Dia memilih anak tangga yang dekat dengan ruang guru karena hanya tangga itu yang tak di kunci pada saat malam hari. Di belakangnya ada sosok Arsin dan Diana yang sibuk mengikutinya.Fia terus melangkah hingga, karena tak fokus atau yang lainnya, kaki yang baru menampak di anak tangga tergelincir membuatnya jatuh ke bawah. Arsin yang melihat itu segera menghampiri Fia.‘Lu gak apa-apa?’ tanya Arsin dengan cemas.“Enggak” balas Fia sambil mencoba berdiri dengan bantuan pegangan anak tangga. Dengan perlahan Fia mulai berjalan menaiki anak tangga kembali walau kakinya sedikit teras
Fia terus berjalan hingga di koridor lantai dua, dia tak peduli dengan kakinya yang mulai membengkak. Pikirannya kacau dan tak memedulikan akan kondisinya kali ini. Dia seperti gadis hilang arah. Yah, walau memang dia sudah hilang arah sejak adiknya kecelakaan tadi.Fia terus berjalan hingga dia akan sampai di depan gudang dekat lap komputer. Sebenarnya jaraknya masih cukup jauh tapi Fia sudah bisa merasakan hawa yang mengancam dari arah depannya.Fia menghentikan langkahnya sebentar dan menatap ke arah depan. Saat Fia menatap tepat ke arah pintu, aura di sekelilingnya bertambah mencengkeram. Bulu kuduknya sedikit meremang merasakan aura tak enak dari gudang, perasaannya sedikit tak nyaman, tapi dia tepis semua itu.Fia kembali melangkahkan kakinya ke arah depan, langkahnya terasa sangat berat. Seperti ada beban yang mengikat di kedua kakinya.Dengan susah payah Fia berjalan ke arah depan dan sampailah dia di depan pintu gudang. Tanpa memedulikan aura yan
Di sinilah Ayah Fia sekarang, di ruang kerja sang dokter dengan raut wajah serius.“Bagaimana keadaan anak saya dok?” tanya Ayah Fia dengan datar.“Begini pak, anak bapak mengalami benturan yang cukup hebat. Ada beberapa tulang yang retak dan tulang kaki yang patah. Bukan hanya itu, benturan yang di alami pasien di bagian kepala cukup mengkhawatirkan, saya khawatir benturan itu bisa mengganggu kinerja otak korban atau menghilangkan ingatan pasien entah itu sebagian atau sepenuhnya dan ada kemungkinan ada beberapa syaraf yang terganggu atas benturan itu" ucap sang dokter dengan raut wajah serius.Ayah Fia yang mendengar penjelasan dokter sedikit menegang. Dalam benaknya bertanya ‘Separah ini kah kondisi anaknya?’“Tapi anak saya masih bisa jalan bukan?” tanya Ayah Fia memastikan.“Kemungkinan besar masih bisa, walau membutuhkan waktu yang cukup lama” ucap sang dokter dengan raut wajah tanpa emosi
Sudah satu minggu setelah kejadian itu, dan Fia sudah tak sesedih kemarin dan menyalahkan dirinya sendiri atas kematian Yara.Dia juga sesekali mampir ke rumah Yara untuk menjenguk mama Yara atau di ajak adik Yara untuk mampir ke rumah. Dengan senang hati Fia menerima ajakan adik Yara.Satu yang membuatnya heran, kenapa orang tua Sasa tak pernah sekali pun mencari keberadaan sang anak yang hilang bagaikan tertelan bumi? Dan ternyata Fia mendapat satu fakta yang tak terduga, Sasa adalah anak dari papanya dengan selingkuhannya, sebab itu mereka tak peduli dengan sosok Sasa, bahkan saat ini orang tua Sasa sedang menyiapkan sidang penceraian mereka.Fia yang mendengar cerita itu hanya memasang raut wajah sedih dan prihatin.Tapi, walau orang tua tak mencarinya, masih ada Alvin yang menanyai keadaan Sasa dan menanyakan kondisi Sasa kepada Fia. Seperti menanyakan ‘Sasa di mana ya? Bagaimana kondisinya? Kenapa dia menghilang tanpa memberi kabar?’ dan di jawab Fia dan Yuan dengan mengangkat b
Yuan yang melihat tingkah lucu Fia hanya memasang raut wajah gemas dan senyum geli.“Ayo” ucap Yuan sambil menatap Fia dengan senyum yang masih terpatri di bibirnya.“Iya” balas Fia dengan lesu dan dengan malas Fia membuka pintu mobil. Fia keluar dan di sambut oleh Yuan dengan senyum kecil.Yuan memegang tangan Fia dengan lembut dan membawanya ke arah pintu rumah. Mereka memasuki rumah Fia dengan kerutan di dahinya.Bagaimana tidak, di depan mereka sudah berkumpul keluarga Fia. Fia yang melihat keluarganya yang sedang canda tawa hanya memasang raut wajah datar dan sorot mata ke tidak sukaan.Yuan yang tahu akan pikiran Fia hanya bisa menguatkan pegangannya di tangan Fia dan memberi usapan kecil di punggung tangannya.“Fia, sini sayang” ucap salah satu bibinya dengan senyum mengembang indah.Fia yang mendengar panggilan dari sang bibi hanya diam membisu dan masih di tempatnya dengan raut wajah datar.“Fia?” kata sang bibinya lagi dengan kerutan di dahinya.“Ada apa ini?” tanya Fia den
Pemakaman Yara berjalan dengan sangat hikmat, banyak orang yang meneteskan air mata saat melihat peti Yara memasuki lian lahat.Fia mengikuti acara pemakaman dengan raut wajah datar dan sorot mata kesedihan. Dia berada di samping mama Yara. Mama Yara yang memintanya untuk di sampingnya dan Fia hanya menurut tak bisa membantah. Dengan langkah pelan keluarga Yara mulai menjauh dari mekan Yara. Mama Yara sudah mengajak Fia untuk pulang tapi Fia menolaknya, dia ingin menetap di sini untuk beberapa saat.Fia menatap ke arah gundukan tanah di depannya dengan sorot mata kepedihan. Dia masih merasa bersalah dengan Yara, tak jauh dari tempatnya berdiri ada sosok Disa yang menatap ke arah gundukan di depannya dengan air mata yang masih mengalir.Fia menatap ke arah Disa dengan senyum kecil dan berjalan ke arah Disa dengan perlahan.“Ayo” ajak Fia sambil memegang pundak Disa dengan senyum kecil di bibirnya.Disa menatap ke arah Fia sebentar dan kembali menatap ke gundukan tanah tadi setelahnya
Hari pemakaman Yara, Fia datang dengan Yuan di sampingnya. Dia sudah membulatkan tekatnya, entah di terima atau tidak kehadirannya di sana. Niatnya untuk mengantarkan Yara ke peristirahatan terakhirnya, sebagai bentuk terima kasih dan penyesalan.Fia berjalan memasuki ambang pintu rumah Yara, saat dia masuk matanya sudah melihat banyak orang di sana dan tak lupa peti jenazah Yara yang di kelilingi oleh keluarganya. Sanak saudara berhilir mudik dan bergantian melihat wajah Yara untuk terakhir kalinya. Sosok Yara terlihat sangan memukau di hari terakhirnya sebelum di kebumikan.Fia mulai berjalan memasuki rumah Yara dengan Yuan di belakangnya. Mereka berdua memakai baju berwarna hitam polos tanpa ada corak seperti yang lainnya.Saat Fia memasuki rumah Yara, ada beberapa pasang mata yang menatap ke arahnya tapi tak dia anggap.Dengan langkah pelan, Fia mendekat ke arah peti Yara, saat langkah kakinya semakin dekat dengan peti Yara berada tiba-tiba langkahnya terhenti saat sosok mama Yara
“Semua ini di sebabkan oleh saya” ucap Fia setelah menguatkan dirinya untuk jujur.Saat mendengar perkataan Fia barusan, membuat pandangan mama Yara langsung tertuju ke arah Fia.“Apa maksudmu?” tanya Mama Yara dengan sorot mata tak bersahabat.“Yara meninggal karena saya, dia mengorbankan nyawanya untuk saya,” ucap Fia terhenti sejenak untuk mengambil nafasnya karena dadanya terasa sesak.“Dia melindungi saya dari tusukan yang seharusnya saya terima, seharusnya saya yang berada di posisi Yara” ucap Fia dengan tertunduk dalam.Mama Yara yang mendengar perkataan Fia hatinya merasa marah, bahkan tangannya terkepal sangat erat. Dengan langkah cepat dia berjalan ke arah Fia dan menamparkan begitu keras untuk melampiaskan kemarahannya.Plak!Sang suami yang melihat tingkah sang istri merasa sedikit terkejut dan mencerna semua kejadian tadi, ucapan Fia tadi kembali mengulang di otaknya.“Pembawa sial!” ucap Mama Yara di depan wajah Fia.“Mah!” ucap sang suami saat sadar akan keterkejutannya
Lama Fia dan Yuan berpelukan hingga Fia melepaskan pelukan itu, dengan raut wajah sembab Fia menatap Yuan.“Makasih” gumam Fia dengan senyum tulus.“Hm” balas Yuan sambil mengelus rambut Fia dengan senyum simpul.“Ayo” ajak Yuan sambil menggenggam tangan Fia dan menuntunnya masuk ke dalam ruangan tadi.Di dalam ruangan ada sosok Disa yang menangis sesegukan sambil menatap sosok Yara yang terbaring kaku di depannya.Fia berjalan mendekat ke arah Yara dan menggenggam tangannya pelan.“Maaf” ucap Yara dengan lirih dan sorot mata sedih.‘Maaf, semua ini gara-gara gue Yar. Andai dulu lu gak deket sama gue, andai lu gak ngelindungi gue pasti lu masih ada di sini’ batin Fia dengan senyum getir.“Gue bener-bener minta maaf” ucap Fia penuh sesal.Suara hening mulai mengisi ruangan tadi, Disa yang menangis dalam diam sedangkan Yuan dan Fia menatap ke sosok Yara dengan raut wajah sedih.Tak lama, suara langkah kaki terdengar di dalam ruangan tadi. Dengan refleks mereka melihat ke sumber suara, d
Mereka masih di posisinya, dengan pemikiran masing-masing. Sedangkan Ridwan sedikit menjauh untuk memberi kabar orang tua Yara akan kondisi anaknya. Setelah memberi kabar orang tua Yara , Ridwan mulai memberi kabar keluarganya tentang keberhasilan Fia. Kabar yang di beri tahukan Ridwan membawa kebahagiaan di keluarganya.Beberapa menit kemudian pintu UGD mulai terbuka, terlihat sosok berjas putih keluar dari ruangan dengan raut wajah penuh penyesalan.“Bagaimana keadaan teman saya dok?” tanya Disa sambil berjalan mendekat ke arah sang dokter. Dalam diam Fia berjalan mengikuti langkah Disa.“Kami sudah melakukan yang terbaik tapi Tuhan mempunyai jalan yang lebih baik. Maaf, Tuhan berkehendak lain, teman adik dinyatakan meninggal karena telat akan penanganan yang seharusnya dia terima. Teman adik terlalu banyak kehilangan darah” ucap sang dokter dengan raut wajah lesu, karena pasiennya gagal untuk dia selamatkan.“Gak, dokter pasti salah” ucap Disa dengan raut wajah tak percaya dan memu
Fia mulai membuka matanya dan menatap ke arah Disa dengan raut wajah serius.“Dis” panggil Fia tanpa emosi.“Iya?” balas Disa dengan raut wajah heran.“Pegang batu ini dan baca mantra yang tertulis di sini” ucap Fia sambil menatap ke arah Disa dengan raut wajah masih sama.“Kenapa?” tanya Disa dengan raut wajah heran.“Ini kunci keluar dari sini” balas Fia apa adanya.“Oke” balas Disa dan mulai berjalan mendekat ke arah Fia. Tanpa membutuhkan waktu lama Disa mulai membaca mantra yang ada di batu tadi. Mantra tadi tertulis dengan aksara Jawa, dan entah kenapa Disa dengan lancar mengucapkannya, setiap kata terdengar sangat jelas.Tak lama cahaya di batu tadi semakin terang, cahaya yang tadinya putih berubah menjadi abu-abu. Tak lupa ada juga beberapa kunang-kunang yang hadir mengelilingi mereka.Fia yang melihat pemandangan di depannya sedikit menatap dengan sorot mata memuja. Tak lama, cahaya tadi mulai redup dan mereka sudah berada di luar gerbang sekolah.“Kondisinya semakin memburuk
Fia yang mendengar jeritan Sasa hanya menatapnya dengan raut wajah tanpa emosi.“Fia tolongin gue” ucap Sasa dengan raut wajah memohon ke arah Fia.“Gue gak bisa” balas Fia dengan acuh tak acuh.“Gue minta maaf, gue ngaku gue salah. Gue mohon bantu gue, lepasin gue dari rantai ini” ucap Sasa dengan air mata yang menetes melewati pipinya.“Gue gak bisa, itu bukan kemampuan gue” balas Fia apa adanya.Tak lama dari itu Fia mulai mendengar jeritan tak jauh darinya.“Yara!” ucap Disa saat baru saja bangun dari pingsannya, dan saat dia membuka mata pandangan pertamanya adalah sosok Yara dengan darah di tubuhnya. Dengan raut wajah panik Disa menatap ke arah Yara.“Yar, aku minta maaf jangan kayak gini” ucap Disa sambil menepuk pipi Yara beberapa kali.“Dia akan mati kalau gak ambil tindakan dengan cepat” ucap Fia dengan raut wajah tanpa emosi.“Yuan, boleh minta tolong? Tolong gendong Yara, karena gak mungkin kalau gue atau Disa yang gendong” ucap Fia sambil menatap ke arah Yuan dan di anggu