Sudah dua hari mereka mencari petunjuk tapi tak ada yang mereka dapat.
"Ini gimana?" tanya Disa sambil menompa dagunya.
"Gak tau gue" kata Yara menjawab pertanyaan dari Disa barusan.
"Ck, bego!" kata Fia dengan tiba-tiba dengan suara cukup keras.
"Eh buju buset!" kaget Yara.
Ada beberapa pasang mata yang menatap mereka aneh. Fia yang melihat tatapan dari mereka pun membalas menatap mereka dengan tajam. Orang yang tadi menatap mereka aneh dengan segera mengalihkan tatapan.
"Kenapa Fi?" tanya Disa sambil menatap Fia heran.
"Lu kan bisa ngeliat hantu kenapa gak kita pergunain aja" kata Fia dengan nada pelan agar tak ada yang mendengar.
"Iya juga ya" kata Yara sambil menatap Disa aneh.
"Makannya itu, aku lupa" kata Disa sambil mengaruk tengkuknya yang tak gatal.
"Ya udah Dis mulai sekarang coba tanya-tanya sama hantu yang ada disini" kata Yara dengan semangat barunya.
"Oke" balas disa dengan senyum semangatnya.
"Woy! Ada dua murid baru, cogan semua lagi" kata seorang siswi dengan nada suara cukup keras.
"Yang bener?" balas temannya dengan raut wajah bahagia.
"Iya!"
"Kelas berapa?"
"Gak tau, kayaknya kelas 10 sih"
"Semoga aja masuk ke kelas kita"
"Semoga aja"
Kata teman sekelas mereka dengan senyum bahagia.
Yara yang mendengar kata-kata cogan pun mulai tertarik.
"Cogan? Liat ke ruang kepala sekolah yok" ajak Yara dengan semangat.
"Buat apa Yar?" tanya Disa bingung.
"Ngintipin cogan!" kata Yara dengan wajah sumringah.
"Gak" balas Fia dengan malas.
"Gak asik lu Fi" kata Yara sambil menatap Fia malas.
"Ya udah yuk aku anter" kata Disa sambil menarik tangan Yara keluar dari kelas.
"Terbaiklah kau" kata Yara dengan senyum bahagia.
Setelah itu mereka pergi meninggalkan Fia yang sedang asik dengan novelnya.
'Cih, cogan biasanya hanya manipulasi' batin Fia dengan nada tak suka.
Di lain sisi.
Yara dan Disa sedang berjalan di lorong menuju ke ruangan kepala sekolah.
"Gak sabar gue mau liat" kata Yara dengan wajah berseri-seri.
"Sabar dong Yar" kata Disa dengan sabar.
"Ini gue udah sabar Dis" balas Yara dengan senyum manisnya.
"Pelan-pelan jalannya" kata Disa sambil menatap Yara dengan raut wajah sedikit pasrah.
"Kalau pelan-pelan keburu masuk entar" kata Yara dan menambah laju jalannya.
"Iya deh" kata Disa dan menyusul langkah Yara dengan langkah cepat.
Yara berjalan dengan lumayan cepat meninggalkan Disa di belakang.
"Yar tungguin aku" kata Disa sambil melajukan langkahnya.
"Cepetan Dis" kata Yara sambil melihat ke arah Disa.
"Ini juga udah cepet, kamunya aja yang terlalu bersemangat" kata Disa dengan raut wajah sedikit letih dan lesu.
Yara tak memedulikan ucapan Disa, dia masih semangat berjalan dan saat dia melihat ke depan tanpa dia tahu ada seseorang yang berdiri tepat di depannya. Tanpa bisa di cegah tubuh Yara tumbang dan jatuh di atas kerasnya lantai.
Bruk
"Akhh!" teriak Yara saat bokongnya menyentuh lantai.
"Yara!" kejut Disa dan segera lari ke arah Yara berada.
"Kamu gak apa-apa kan Yar?" tanya Disa dengan raut wajah khawatir.
"Sakit bokong gue Dis" kata Yara sambil menatap Disa dengan raut wajah menahan sakit.
"Sorry lu gak apa-apa?" tanya cowok tadi yang sudah berjongkok di depan Yara.
"..." Yara kehabisan kata-kata saat melihat wajah cowok yang menabraknya.
"Hey!" kata cowok tadi sambil menjetikkan jarinya di depan muka Yara saat tak mendapatkan respons dari orang di depannya.
"Eh? Gue gak apa-apa" balas Yara setelah sadar dari lamunannya.
"Ayo gue bantu berdiri" kata cowok tadi sambil mengulurkan tangan kanannya ke arah Yara.
"Eh? Iya" kata Yara dan menerima uluran tangan cowok tadi.
"Sekali lagi gue minta maaf" kata cowok tadi dengan senyum tipis.
"Gak apa-apa, gue juga yang salah di sini" kata Yara dengan senyum manisnya.
"Oh ya kenalin mana gue Alvin" kata cowok tadi memperkenalkan diri dan mengulurkan tangannya ke arah Yara.
"Oh, gue Yara" balas Yara dan menjaba tanggan Alvin.
Saat mereka asik berbincang Yara melupakan orang di sekelilingnya, dunia seperti miliknya apalagi dinmatanya di suguhi wajah milik Alvin.
Tiba-tiba ada suara dari arah belakang Yara.
"Ngapain lu berdua di sini?" tanya Fia dengan datar.
"Eh? Lah elu ngapain di sini?" tanya Yara balik.
"Ck, kalau di tanya itu jawab bukannya tanya balik" kata Fia dengan raut wajah malas.
"Lu anak baru itu 'kan?" tanya Fia sambil menatap Alvin.
"Eh, iya?" kata Alvin dengan bingung.
"Temen lu yang satu mana?" tanya Fia sambil menatap ke arah Alvin tak minat.
"Masih di dalem" kata Alvin sambil menunjuk pintu ruang kepala sekolah yang masih tertutup.
"Oh" balas Fia malas dan menyenderkan tubuhnya di tembok dekatnya.
"Kamu ngapain disini Fi?" tanya Disa heran.
"Di suruh pak Ridwan njemput anak baru" kata Fia dengan malas.
"Jadi..." kata Yara tergantung.
"Temen lu lagi apa?" tanya Fia yang mulai malas.
"Mana gue tau" balas Alvin sambil mengangkat bahu tak tau.
"Ck, buang-buang waktu gue" kata Fia dengan datar sambil menyenderkan tubuhnya di tembok.
"Kalau lu bosen balik aja Fi, biar mereka gue yang bawa" kata Yara dengan nada suara bahagia.
"Emang lu tau tugas gue di suruh ngapain?" tanya Fia dengan malas.
"Nganter ke kelas kan?" tanya Yara dengan senyum cerahnya.
"Gak usah sok tau" kata Fi dengan malas.
Beberapa menit kemudian pintu yang sendari tadi tertutup akhirnya di buka.
Ceklek
Keluarlah seorang lelaki dengan wajah bulat sedikit lonjong, dan jangan lupa raut wajah datarnya serta mata bulat tapi terkesan tajam.
"Cih, lama" kata Fia dengan malas.
"Ayo cepetan" kata Fia dan berjalan menjauh.
"Hah?" kata Alvin tak paham.
"Dia nyuruh ngikutin" kata Yara dan mulai berjalan dengan Disa mengikuti langkah Fia dan di belakang ada kedua cowok tadi.
Cowok yang baru keluar dari ruang kepsek menatap punggung Fia dengan serius dan tanpa kedip.
Alvin yang melihat sikap aneh temennya pun merasa bingung. Karena sendari tadi dia melihat temannya melihat ke arah Fia terus-menerus. "Lu kenapa?" tanya Alvin pada intinya. Yuan yang mendengar pertanyaan dari temennya pun hanya bisa mengerutkan dahinnya bingung. "Lu kenapa ngeliatin tuh cewek sampek kek gitu?" kata Alvin lagi. "Gak" jawab Yuan dengan datar dan mengalihkan pandangannya ke arah lain. "Lu suka sama cewek model kayak gitu?" tanya Alvin penuh selidik. Yuan yang mendengar pertanyaan dari Alvin pun hanya menganggap angin lalu. "Ck" decak kesal dari Alvin karena di abaikan oleh Yuan. "Kalau penasaran cari tau, kalau suka pepet jangan kasih kendor" kata Alvin kepada Yuan. Yuan yang mendengar perkataan Alvin hanya menatapnya dengan datar. "Woy! Buruan waktu gue terlalu berharga!" kata Fia lumayan keras saat melihat kedua cowok itu asik ngombrol sendiri. "Sabar elah" balas Alvin sambil memutar bola matanya dengan malas. "Ayok" kata Alvin dan berjalan mengikuti langka
Bel istirahat sudah berbunyi sendari tadi dan disinilah mereka sekarang di bangku belakang yang ada di kelas. "Kita mulai nanti setelah pulang sekolah" kata Fia datar. "Oke" kata Disa dengan senyum senangnya. "Harus banget ya?" tanya Yara tak yakin dengan keputusan Fia. "Kalau takut pulang aja" kata Fia dengan santai. "Siapa bilang gue takut, gue cuma sedikit gak yakin aja" kata Yara mengelak tidak mau mengakui ketakutannya. "Hm" respon Fia dengan malas. "Emm, ke kantin yuk aku laper" ajak Disa sambil melihat ke arah teman-temannya. "Gue juga laper" kata Yara menyetujui ajakan Disa tadi. "Fi?" tanya Disa sambil menata Fia. "Gue di sini" kata Fia tanpa ekspresi. "Oke kita duluan" kata Disa dan menarik tangan Yara berjalan keluar kelas. "Hm" balas Fia malas. Fia mulai menyibukkan diri dengan novel miliknya. Beberapa menit Fia sibuk dengan novel miliknya hingga ada seseorang yang berdiri di depan mejanya. Dalam diam orang itu meletakkan makanan dan minuman di meja Fia. "Mak
Bel pulang sekolah sudah berbunyi beberapa menit yang lalu dan sekolah sudah lumayan sepi, saat ini mereka masih di dalam kelas. "Gimana?" tanya Yara sambil menatap teman-temannya. "Sekarang aja, sekolah juga sudah sepi" kata Disa menjawab pertanyaan Yara. Sedangkan Fia, dia masih sibuk dengan novel di tangannya. "Fia ayo!" kata Disa sambil menatap Fia horror. "Hm" balas Fia sambil bangkit dari duduknya. Yara dan Disa berjalan di depan sedangkan Fia di belakang dengan pandangan fokus ke novel. "Mulai dari lantai tiga atau gimana?" tanya Yara sambil menatap teman-temannya. Fia yang di tatap Yara hanya mengangkat bahu acuh. "Lantai tiga aja" kata Disa dengan senyuman. Fia yang mendengar jawaban dari Disa hanya bisa memutar mata malas. "Kalau kayak gitu buang-buang waktu" kata Fia dengan nada malas. "Eh? Iya juga ya" kata Disa sambil mengaruk lehernya yang tak gatal. Gimana Fia tak bilang seperti itu 'kan kalau ke lantai atas pansti lewatnya dari lantai bawah. Jadi otomatis j
Sudah tiga hari mereka melakukan keliling sekolah dan setiap keliling pasti ada gangguan dari mereka. Entah itu gagguan kecil atau besar. Tapi mereka sudah bertekat untuk menyelesaikan masalah ini. Disinilah mereka sekarang di kantin dengan wajah lelah. "Yakin mau lanjutin?" tanya Yara tak yakin. "Hm, udah terlanjur di tengah jalan, masa kita mau berhenti gitu aja?" kata Disa dengan wajah yang dia letakkan di atas meja. "Tapi..." kata Yara dengan raut wajah khawatir. "Kenapa?" tanya Fia dengan raut heran. "Aku ngerasa mereka gak terima kita buat ngungkit masalah ini" kata Yara dengan raut wajah khawatir. "Kalau pun kita berhenti di sini, emang ada jaminan kalau kita bakal terhindar dari mereka?" kata Fia dengan raut wajah tenang. "Kita udah terlanjur masuk, kalau kita keluar gak ada jaminan buat kita terbebas dari mereka" lanjut Fia dengan raut wajah serius. "Dan gue kira mereka udah nandain wajah kita" kata Fia dengan tenang dan meminum jus miliknya. "Maksud lu?" tanya Yara
Sehari setelah keputusan mereka, bukanya mendapat ketenangan atau apa, mereka malah mendapat teror kecil dari penghuni sekolah. Contohnya di rumah Yara. Saat ini Yara sedang tidur di atas kasurnya dengan nyamannya. Seperti beban hidupnya sudah pergi dari pundaknya. ‘Brak!’ salah satu barang di atas lemarinya terjatuh dengan cukup keras. “Apa itu!” kaget Yara sambil bangkit dari tidurnya. “Kok bisa jatuh?” kata Yara dengan nada suara heran. Bulu kuduknya mulai merinding karena merasa kehadiran seseorang di kamarnya. Dengan perasaan cemas Yara menatap sekeliling kamarnya. Tiba-tiba pandangannya terhenti di satu titik di mana ada sepasang mata yang mengawasinya. Dengan gugup yara menelan salvirnya. “Mata!” kata Yara sambil berlari keluar kamar menuju kamar adiknya. “Dek gue tidur sini, makasih bye!” kata Yara setelah sampai di kamar adik perempuannya. “Kakak kenapa?” tanya adik Yara dengan nada suara heran. “Gak apa-apa, gue tidur dulu. Selamat malam adikku tersayang” kata Yara
Jam pelajaran sudah di mulai sendari tadi. Fia juga sedang fokus dengan penjelasan guru yang ada di depan. Tiba-tiba Fia merasa aneh dengan situasi di kelasnnya. Ya, jika di jelaskan kelas yang Fia tempati itu terpisah dari kelas-kelas lainnya. Kelas yang di tempati mereka di himpit oleh gudang dan anak tangga. Jendela kelas yang biasanya memberikan pemandanga kondisi lapangan sekolah berbeda di kelas ini, jendela di kelas Fia memperlihatkan kondisi gudang yang ada di sampinya. Dengan rasa penasaran Fia memperhatikan kesekeliling kelas. "Tak ada yang mencurigakan" gumam Fia pelan. "Lu kenapa?" tanya Dewi teman sebangkunya. "Gak, gue gak Apa-apa" balas Fia dan kembali mancatat materi dari guru. Kelas mulai hening dan semua siswa fokus ke pelajaran. Hingga guru keluar karena ada panggilan masuk. Sesaat setelah guru keluar dari kelas, ada salah satu siswa yang berteriak dengan histeris. "Akhh!" teriak siswi tadi sambil berlari ke depan serta wajah yang dia tutupi dengan tangannya.
Fia berjalan menyusuri koridor dengan perasaan bimbang. Hingga dia melihat sosok Yara di depan kamar mandi yang bersebelahan dengan uks. Dengan langkah lebar Fia berjalan ke arah Yara. "Disa mana?" tanya Fia sambil menepuk punggung Yara. "Masih di dalem" kata Yara dengan wajah lesu. "Nih minum" kata Fia sambil memberikan air putih ke arah Yara. "Makasih baik deh" kata Yara dengan senyum manisnya. "Hm" jawab Fia dengan senyum tulusnya. Yara duduk di bangku dekat uks sambil meminum air pemberian Fia. Sesaat kemudian Disa keluar dengan wajah lesu dan mulai berjalan ke arah bangku yang sedang di dudukki Yara. "Nih minum" kata Fia sambil memberikan air putih kepada Disa. Dengan lesu Disa menerima air pemberian Fia. "Gimana sekarang? Udah mendingan?" tanya Fia dengan nada tenang dan menyenderkan tubuhnya di tembok uks. "Udah mendingan, gak kayak tadi" kata Disa dengan senyum manisnya. "Di minum airnya" kata Fia sambil menegakkan tubuhnya. "Lu tadi kenapa Dis?"tanya Yara penasara
Dengan tenang Fia mulai berjalan ke arah Dina. Saat mau sampai di dekat Dina tiba-tiba tubuh Dina limbung. "Lah pingsan" gumang Fia sambil menatap ke arah Dina dengan sorot mata heran. Rina yang melihat itu dengan panik meminta pertolongan. "Nyusahin" gumang Fia sambil berjalan ke arah Dina. Dina mulai mengigau dengan suara lirih. Entah apa yang dia ucapkan, ucapannya tak terdengar jelas. Saat Fia ingin menyentuh dahi Dina, tapi belum juga menyentuh tanganya secara tiba-tiba di tangkap oleh Dina. Dengan dahi mengkerut Fia menatap ke arah Dina. sorot matanya penuh akan tanda tanya. Mata Dina masih terpejam dan mulutnya masih bergumang, mengatakan sesuatu tapi tak jelas. Semakin lama cengkraman pada tangan Fia semakin mengencang bahkan Fia mulai merasa sakit di tangannya. 'Sakit' batin Fia dengan raut wajah menahan sakit. Dengan susah payah Fia menahan sakit di tangannya. "Cari bantuan siswa laki-laki atau gak guru" kata Fia ke arah Rina yang masih berdiri mematung melihat tindak
Sudah satu minggu setelah kejadian itu, dan Fia sudah tak sesedih kemarin dan menyalahkan dirinya sendiri atas kematian Yara.Dia juga sesekali mampir ke rumah Yara untuk menjenguk mama Yara atau di ajak adik Yara untuk mampir ke rumah. Dengan senang hati Fia menerima ajakan adik Yara.Satu yang membuatnya heran, kenapa orang tua Sasa tak pernah sekali pun mencari keberadaan sang anak yang hilang bagaikan tertelan bumi? Dan ternyata Fia mendapat satu fakta yang tak terduga, Sasa adalah anak dari papanya dengan selingkuhannya, sebab itu mereka tak peduli dengan sosok Sasa, bahkan saat ini orang tua Sasa sedang menyiapkan sidang penceraian mereka.Fia yang mendengar cerita itu hanya memasang raut wajah sedih dan prihatin.Tapi, walau orang tua tak mencarinya, masih ada Alvin yang menanyai keadaan Sasa dan menanyakan kondisi Sasa kepada Fia. Seperti menanyakan ‘Sasa di mana ya? Bagaimana kondisinya? Kenapa dia menghilang tanpa memberi kabar?’ dan di jawab Fia dan Yuan dengan mengangkat b
Yuan yang melihat tingkah lucu Fia hanya memasang raut wajah gemas dan senyum geli.“Ayo” ucap Yuan sambil menatap Fia dengan senyum yang masih terpatri di bibirnya.“Iya” balas Fia dengan lesu dan dengan malas Fia membuka pintu mobil. Fia keluar dan di sambut oleh Yuan dengan senyum kecil.Yuan memegang tangan Fia dengan lembut dan membawanya ke arah pintu rumah. Mereka memasuki rumah Fia dengan kerutan di dahinya.Bagaimana tidak, di depan mereka sudah berkumpul keluarga Fia. Fia yang melihat keluarganya yang sedang canda tawa hanya memasang raut wajah datar dan sorot mata ke tidak sukaan.Yuan yang tahu akan pikiran Fia hanya bisa menguatkan pegangannya di tangan Fia dan memberi usapan kecil di punggung tangannya.“Fia, sini sayang” ucap salah satu bibinya dengan senyum mengembang indah.Fia yang mendengar panggilan dari sang bibi hanya diam membisu dan masih di tempatnya dengan raut wajah datar.“Fia?” kata sang bibinya lagi dengan kerutan di dahinya.“Ada apa ini?” tanya Fia den
Pemakaman Yara berjalan dengan sangat hikmat, banyak orang yang meneteskan air mata saat melihat peti Yara memasuki lian lahat.Fia mengikuti acara pemakaman dengan raut wajah datar dan sorot mata kesedihan. Dia berada di samping mama Yara. Mama Yara yang memintanya untuk di sampingnya dan Fia hanya menurut tak bisa membantah. Dengan langkah pelan keluarga Yara mulai menjauh dari mekan Yara. Mama Yara sudah mengajak Fia untuk pulang tapi Fia menolaknya, dia ingin menetap di sini untuk beberapa saat.Fia menatap ke arah gundukan tanah di depannya dengan sorot mata kepedihan. Dia masih merasa bersalah dengan Yara, tak jauh dari tempatnya berdiri ada sosok Disa yang menatap ke arah gundukan di depannya dengan air mata yang masih mengalir.Fia menatap ke arah Disa dengan senyum kecil dan berjalan ke arah Disa dengan perlahan.“Ayo” ajak Fia sambil memegang pundak Disa dengan senyum kecil di bibirnya.Disa menatap ke arah Fia sebentar dan kembali menatap ke gundukan tanah tadi setelahnya
Hari pemakaman Yara, Fia datang dengan Yuan di sampingnya. Dia sudah membulatkan tekatnya, entah di terima atau tidak kehadirannya di sana. Niatnya untuk mengantarkan Yara ke peristirahatan terakhirnya, sebagai bentuk terima kasih dan penyesalan.Fia berjalan memasuki ambang pintu rumah Yara, saat dia masuk matanya sudah melihat banyak orang di sana dan tak lupa peti jenazah Yara yang di kelilingi oleh keluarganya. Sanak saudara berhilir mudik dan bergantian melihat wajah Yara untuk terakhir kalinya. Sosok Yara terlihat sangan memukau di hari terakhirnya sebelum di kebumikan.Fia mulai berjalan memasuki rumah Yara dengan Yuan di belakangnya. Mereka berdua memakai baju berwarna hitam polos tanpa ada corak seperti yang lainnya.Saat Fia memasuki rumah Yara, ada beberapa pasang mata yang menatap ke arahnya tapi tak dia anggap.Dengan langkah pelan, Fia mendekat ke arah peti Yara, saat langkah kakinya semakin dekat dengan peti Yara berada tiba-tiba langkahnya terhenti saat sosok mama Yara
“Semua ini di sebabkan oleh saya” ucap Fia setelah menguatkan dirinya untuk jujur.Saat mendengar perkataan Fia barusan, membuat pandangan mama Yara langsung tertuju ke arah Fia.“Apa maksudmu?” tanya Mama Yara dengan sorot mata tak bersahabat.“Yara meninggal karena saya, dia mengorbankan nyawanya untuk saya,” ucap Fia terhenti sejenak untuk mengambil nafasnya karena dadanya terasa sesak.“Dia melindungi saya dari tusukan yang seharusnya saya terima, seharusnya saya yang berada di posisi Yara” ucap Fia dengan tertunduk dalam.Mama Yara yang mendengar perkataan Fia hatinya merasa marah, bahkan tangannya terkepal sangat erat. Dengan langkah cepat dia berjalan ke arah Fia dan menamparkan begitu keras untuk melampiaskan kemarahannya.Plak!Sang suami yang melihat tingkah sang istri merasa sedikit terkejut dan mencerna semua kejadian tadi, ucapan Fia tadi kembali mengulang di otaknya.“Pembawa sial!” ucap Mama Yara di depan wajah Fia.“Mah!” ucap sang suami saat sadar akan keterkejutannya
Lama Fia dan Yuan berpelukan hingga Fia melepaskan pelukan itu, dengan raut wajah sembab Fia menatap Yuan.“Makasih” gumam Fia dengan senyum tulus.“Hm” balas Yuan sambil mengelus rambut Fia dengan senyum simpul.“Ayo” ajak Yuan sambil menggenggam tangan Fia dan menuntunnya masuk ke dalam ruangan tadi.Di dalam ruangan ada sosok Disa yang menangis sesegukan sambil menatap sosok Yara yang terbaring kaku di depannya.Fia berjalan mendekat ke arah Yara dan menggenggam tangannya pelan.“Maaf” ucap Yara dengan lirih dan sorot mata sedih.‘Maaf, semua ini gara-gara gue Yar. Andai dulu lu gak deket sama gue, andai lu gak ngelindungi gue pasti lu masih ada di sini’ batin Fia dengan senyum getir.“Gue bener-bener minta maaf” ucap Fia penuh sesal.Suara hening mulai mengisi ruangan tadi, Disa yang menangis dalam diam sedangkan Yuan dan Fia menatap ke sosok Yara dengan raut wajah sedih.Tak lama, suara langkah kaki terdengar di dalam ruangan tadi. Dengan refleks mereka melihat ke sumber suara, d
Mereka masih di posisinya, dengan pemikiran masing-masing. Sedangkan Ridwan sedikit menjauh untuk memberi kabar orang tua Yara akan kondisi anaknya. Setelah memberi kabar orang tua Yara , Ridwan mulai memberi kabar keluarganya tentang keberhasilan Fia. Kabar yang di beri tahukan Ridwan membawa kebahagiaan di keluarganya.Beberapa menit kemudian pintu UGD mulai terbuka, terlihat sosok berjas putih keluar dari ruangan dengan raut wajah penuh penyesalan.“Bagaimana keadaan teman saya dok?” tanya Disa sambil berjalan mendekat ke arah sang dokter. Dalam diam Fia berjalan mengikuti langkah Disa.“Kami sudah melakukan yang terbaik tapi Tuhan mempunyai jalan yang lebih baik. Maaf, Tuhan berkehendak lain, teman adik dinyatakan meninggal karena telat akan penanganan yang seharusnya dia terima. Teman adik terlalu banyak kehilangan darah” ucap sang dokter dengan raut wajah lesu, karena pasiennya gagal untuk dia selamatkan.“Gak, dokter pasti salah” ucap Disa dengan raut wajah tak percaya dan memu
Fia mulai membuka matanya dan menatap ke arah Disa dengan raut wajah serius.“Dis” panggil Fia tanpa emosi.“Iya?” balas Disa dengan raut wajah heran.“Pegang batu ini dan baca mantra yang tertulis di sini” ucap Fia sambil menatap ke arah Disa dengan raut wajah masih sama.“Kenapa?” tanya Disa dengan raut wajah heran.“Ini kunci keluar dari sini” balas Fia apa adanya.“Oke” balas Disa dan mulai berjalan mendekat ke arah Fia. Tanpa membutuhkan waktu lama Disa mulai membaca mantra yang ada di batu tadi. Mantra tadi tertulis dengan aksara Jawa, dan entah kenapa Disa dengan lancar mengucapkannya, setiap kata terdengar sangat jelas.Tak lama cahaya di batu tadi semakin terang, cahaya yang tadinya putih berubah menjadi abu-abu. Tak lupa ada juga beberapa kunang-kunang yang hadir mengelilingi mereka.Fia yang melihat pemandangan di depannya sedikit menatap dengan sorot mata memuja. Tak lama, cahaya tadi mulai redup dan mereka sudah berada di luar gerbang sekolah.“Kondisinya semakin memburuk
Fia yang mendengar jeritan Sasa hanya menatapnya dengan raut wajah tanpa emosi.“Fia tolongin gue” ucap Sasa dengan raut wajah memohon ke arah Fia.“Gue gak bisa” balas Fia dengan acuh tak acuh.“Gue minta maaf, gue ngaku gue salah. Gue mohon bantu gue, lepasin gue dari rantai ini” ucap Sasa dengan air mata yang menetes melewati pipinya.“Gue gak bisa, itu bukan kemampuan gue” balas Fia apa adanya.Tak lama dari itu Fia mulai mendengar jeritan tak jauh darinya.“Yara!” ucap Disa saat baru saja bangun dari pingsannya, dan saat dia membuka mata pandangan pertamanya adalah sosok Yara dengan darah di tubuhnya. Dengan raut wajah panik Disa menatap ke arah Yara.“Yar, aku minta maaf jangan kayak gini” ucap Disa sambil menepuk pipi Yara beberapa kali.“Dia akan mati kalau gak ambil tindakan dengan cepat” ucap Fia dengan raut wajah tanpa emosi.“Yuan, boleh minta tolong? Tolong gendong Yara, karena gak mungkin kalau gue atau Disa yang gendong” ucap Fia sambil menatap ke arah Yuan dan di anggu