Jam pelajaran sudah di mulai sendari tadi. Fia juga sedang fokus dengan penjelasan guru yang ada di depan. Tiba-tiba Fia merasa aneh dengan situasi di kelasnnya. Ya, jika di jelaskan kelas yang Fia tempati itu terpisah dari kelas-kelas lainnya. Kelas yang di tempati mereka di himpit oleh gudang dan anak tangga. Jendela kelas yang biasanya memberikan pemandanga kondisi lapangan sekolah berbeda di kelas ini, jendela di kelas Fia memperlihatkan kondisi gudang yang ada di sampinya. Dengan rasa penasaran Fia memperhatikan kesekeliling kelas. "Tak ada yang mencurigakan" gumam Fia pelan. "Lu kenapa?" tanya Dewi teman sebangkunya. "Gak, gue gak Apa-apa" balas Fia dan kembali mancatat materi dari guru. Kelas mulai hening dan semua siswa fokus ke pelajaran. Hingga guru keluar karena ada panggilan masuk. Sesaat setelah guru keluar dari kelas, ada salah satu siswa yang berteriak dengan histeris. "Akhh!" teriak siswi tadi sambil berlari ke depan serta wajah yang dia tutupi dengan tangannya.
Fia berjalan menyusuri koridor dengan perasaan bimbang. Hingga dia melihat sosok Yara di depan kamar mandi yang bersebelahan dengan uks. Dengan langkah lebar Fia berjalan ke arah Yara. "Disa mana?" tanya Fia sambil menepuk punggung Yara. "Masih di dalem" kata Yara dengan wajah lesu. "Nih minum" kata Fia sambil memberikan air putih ke arah Yara. "Makasih baik deh" kata Yara dengan senyum manisnya. "Hm" jawab Fia dengan senyum tulusnya. Yara duduk di bangku dekat uks sambil meminum air pemberian Fia. Sesaat kemudian Disa keluar dengan wajah lesu dan mulai berjalan ke arah bangku yang sedang di dudukki Yara. "Nih minum" kata Fia sambil memberikan air putih kepada Disa. Dengan lesu Disa menerima air pemberian Fia. "Gimana sekarang? Udah mendingan?" tanya Fia dengan nada tenang dan menyenderkan tubuhnya di tembok uks. "Udah mendingan, gak kayak tadi" kata Disa dengan senyum manisnya. "Di minum airnya" kata Fia sambil menegakkan tubuhnya. "Lu tadi kenapa Dis?"tanya Yara penasara
Dengan tenang Fia mulai berjalan ke arah Dina. Saat mau sampai di dekat Dina tiba-tiba tubuh Dina limbung. "Lah pingsan" gumang Fia sambil menatap ke arah Dina dengan sorot mata heran. Rina yang melihat itu dengan panik meminta pertolongan. "Nyusahin" gumang Fia sambil berjalan ke arah Dina. Dina mulai mengigau dengan suara lirih. Entah apa yang dia ucapkan, ucapannya tak terdengar jelas. Saat Fia ingin menyentuh dahi Dina, tapi belum juga menyentuh tanganya secara tiba-tiba di tangkap oleh Dina. Dengan dahi mengkerut Fia menatap ke arah Dina. sorot matanya penuh akan tanda tanya. Mata Dina masih terpejam dan mulutnya masih bergumang, mengatakan sesuatu tapi tak jelas. Semakin lama cengkraman pada tangan Fia semakin mengencang bahkan Fia mulai merasa sakit di tangannya. 'Sakit' batin Fia dengan raut wajah menahan sakit. Dengan susah payah Fia menahan sakit di tangannya. "Cari bantuan siswa laki-laki atau gak guru" kata Fia ke arah Rina yang masih berdiri mematung melihat tindak
Nanti malam adalah awal perubahan hidup Fia. Sebab tepat pukul 12 malam dia akan berumur 17 tahun. Perasaan Fia sudah tak tentu arah antara takut, penasaran dan deg degan. Dengan sekuat tenaga Fia mengendalikan dirinya. Seperti ritual saudaranya yang lain. Saat ini keluarga besar Fia sedang berkumpul di rumah Fia dan mereka tak boleh tidur hingga jam 2 dini. Sekarang masih jam 10 malam dan aura di sekitar mereka sudah tak enak. Jika sudah saatnya mereka akan duduk melingkar dan Fia ada di tengah-tengah lingkaran itu. "Dek kamu jangan takut oke, hwaiting" kata salah satu kakak sepupunya menyemangati Fia. "Iya semangat. Dulu kakak juga sempet takut tapi ketakutan itu hilang saat kakak tahu bakat kakak" kata sepupunya yang lain. "Dan kami yakin bakat kamu pasti hebat" kata yang lain dengan senyum mengembang indah. "Makasih atas semangatnya" kata Fia dengan senyum tipis. Setelah itu mereka yang menggerumuni Fia mulai berjalan menjauh. 2 jam kemudian dan waktu untuk ritual akan seger
Pagi harinya Fia sudah siap dengan seragam sekolahnya. Dia juga sudah siap untuk berangkat sekolah. Saat Fia turun ke bawah ternyata anggota keluarganya sudah berkumpul di ruang makan. “Fia mulai sekarang kamu berangkat dan pulang bersama om Ridwan” kata sang ibunda dengan raut wajah tak terbantah. “Iya bunda” kata Fia dengan nada pasrah. “Dan ingat pesan paman” kata pamannya dengan datar. “Beri satu alasan untuk Fia, kenapa Fia harus mematuhi perintah paman” kata Fia tak kalah datar. Karena menurutnya pesan dari pamannya adalah sebuah perintah yang tak bisa dia bantah. Paman Fia yang mendengar ucapan keponakannya hanya menatap Fia dengan tatapan marah dan dingin. Karena sejak dulu tak ada yang berani membantah perintahnya ini pertama kalinya ada yang membantah perintahnya selain istrinya. Bunda Fia yang melihat tatapan kakak tertuannya merasa tak enak hati. “Nanti setelah pulang sekolah bunda jelaskan, sekarang kamu makan dan jangan membantah perintah pamanmu” kata bunda Fia sa
Disa yang melihat respons Fia untuknya sedikit merasanbingung. ‘Kenapa dengan Fia? Apa dia punya masalah?’ begitulah pemikiran Disa saat ini. “Dia kenapa?” tanya Yara dengan nada suara heran. “Aku juga gak tau” kata Disa sambil mengangkat bahu tak tau. “Ke sana Fia yuk Yar” ajak Disa sambil menatap Yara dengan wajah penuh harap. “Emm... ayolah” kata Yara sambil mengandeng tangan Disa dan berjalan menuju bangku Fia. “Fia!” panggil Yara dengan heboh. “Hm?” balas Fia dengan nada suara acuh tak acuh dan masih terfokus akan novel di tangannya. “Kok gitu, aku gak suka” kata Yara dengan nada alay. “Gak suka ya pergi” balas Fia masih dengan nada cuek dan membaca novelnya dengan tenang. “Kamu kenapa? Ada masalah?” tanya Disa dengan nada suara penuh perhatian. ‘Lu bisa Fi, pasti bisa’ batin Fia menyemangati dirinya sendiri. “Gak” balas Fia dengan nada suara malas dan tatapan mata yang menyorot ke arah Disa dengan tak minat. “Yakin?” tanya Disa dengan nada suara tak percaya. “Hm” ba
Sudah dua minggu Fia menjauhi Disa dan Yara. Sekarang dia tahu apa alasan pamannya menyuruhnya menjauhi teman-temannya. Selepas pulang sekolah Fia berbincang dengan bundanya dan bundanya menjelaskan bahwa bakat Fia sedikit berbahaya. Karena dia memiliki bakat untuk melihat masa depan atau masa lalu entah itu seseorang yang masih hidup atau sudah meninggal. Bahkan hanya dengan menyentuh benda-benda di sekelilinya dia bisa melihat kejadian masa depan atau masa lalu yang terjadi di tempat itu. Bahkan ada satu hal yang masih terikat olehnya, yaitu sesuatu yang sudah di takdirkan untuknya. Dan masalah terbesarnya ada di takdir itu, karena takdir itu hidupnya bisa dalam bahaya atau orang di sekelilingnya. Sekarang Fia merasa kesepi dengan kehidupan yang dia jalani saat ini. Tanpa ada suara Yara yang menganggunya dan ocehan Yara yang membuat sakit kepala. Setiap dia berada di sekolah waktunya hanya habis dengan membaca novel dan di perpustakaan. Seperti saat ini, waktunya dia habisnya d
'Brak!' suara pintu di dobrak dengan tenaga penuh. Dengan rasa cemas Yuan masuk ke dalam perpustakaan yang sudah tak berbentuk karena keadaan yang sangat kacau. "Fia" gumang Yuan dan berlari ke arah Fia berada. "Fia" panggil Yuan sambil memegang pundak Fia dengan rasa cemas. "Hey! Sadar" kata Yuan sambil menguncang tubuh Fia pelan. Fia yang merasakan guncangan pun mulai kembali ke dunia nyata. "Lu kenapa?" tanya Yuan dengan nada suara cemas. "Gak, gue gak apa-apa" balas Fia sambil menyingkirkan tanggan Yuan dari pundaknya. "Terus lu bisa jelasin ini semua?" tanya Yuan sambil menatap Fia dengan datar. "Lu gak perlu tau semuanya tentang gue Yuan! Gue bukan Fia yang dulu" kata Fia dengan tatapan datar dan sedikit mencuratkan ke tidak sukaannya kepada Yuan. "Tapi gue masih nganggep lu sama" kata Yuan sambil menatap serius ke arah Fia. "Stop ikut campur sama urusan gue, lu gak ada hak buat tau semuanya" kata Fia sambil menatap ke arah Yuan dengan tajam. "Dan elu gak ada hak ngel
Sudah satu minggu setelah kejadian itu, dan Fia sudah tak sesedih kemarin dan menyalahkan dirinya sendiri atas kematian Yara.Dia juga sesekali mampir ke rumah Yara untuk menjenguk mama Yara atau di ajak adik Yara untuk mampir ke rumah. Dengan senang hati Fia menerima ajakan adik Yara.Satu yang membuatnya heran, kenapa orang tua Sasa tak pernah sekali pun mencari keberadaan sang anak yang hilang bagaikan tertelan bumi? Dan ternyata Fia mendapat satu fakta yang tak terduga, Sasa adalah anak dari papanya dengan selingkuhannya, sebab itu mereka tak peduli dengan sosok Sasa, bahkan saat ini orang tua Sasa sedang menyiapkan sidang penceraian mereka.Fia yang mendengar cerita itu hanya memasang raut wajah sedih dan prihatin.Tapi, walau orang tua tak mencarinya, masih ada Alvin yang menanyai keadaan Sasa dan menanyakan kondisi Sasa kepada Fia. Seperti menanyakan ‘Sasa di mana ya? Bagaimana kondisinya? Kenapa dia menghilang tanpa memberi kabar?’ dan di jawab Fia dan Yuan dengan mengangkat b
Yuan yang melihat tingkah lucu Fia hanya memasang raut wajah gemas dan senyum geli.“Ayo” ucap Yuan sambil menatap Fia dengan senyum yang masih terpatri di bibirnya.“Iya” balas Fia dengan lesu dan dengan malas Fia membuka pintu mobil. Fia keluar dan di sambut oleh Yuan dengan senyum kecil.Yuan memegang tangan Fia dengan lembut dan membawanya ke arah pintu rumah. Mereka memasuki rumah Fia dengan kerutan di dahinya.Bagaimana tidak, di depan mereka sudah berkumpul keluarga Fia. Fia yang melihat keluarganya yang sedang canda tawa hanya memasang raut wajah datar dan sorot mata ke tidak sukaan.Yuan yang tahu akan pikiran Fia hanya bisa menguatkan pegangannya di tangan Fia dan memberi usapan kecil di punggung tangannya.“Fia, sini sayang” ucap salah satu bibinya dengan senyum mengembang indah.Fia yang mendengar panggilan dari sang bibi hanya diam membisu dan masih di tempatnya dengan raut wajah datar.“Fia?” kata sang bibinya lagi dengan kerutan di dahinya.“Ada apa ini?” tanya Fia den
Pemakaman Yara berjalan dengan sangat hikmat, banyak orang yang meneteskan air mata saat melihat peti Yara memasuki lian lahat.Fia mengikuti acara pemakaman dengan raut wajah datar dan sorot mata kesedihan. Dia berada di samping mama Yara. Mama Yara yang memintanya untuk di sampingnya dan Fia hanya menurut tak bisa membantah. Dengan langkah pelan keluarga Yara mulai menjauh dari mekan Yara. Mama Yara sudah mengajak Fia untuk pulang tapi Fia menolaknya, dia ingin menetap di sini untuk beberapa saat.Fia menatap ke arah gundukan tanah di depannya dengan sorot mata kepedihan. Dia masih merasa bersalah dengan Yara, tak jauh dari tempatnya berdiri ada sosok Disa yang menatap ke arah gundukan di depannya dengan air mata yang masih mengalir.Fia menatap ke arah Disa dengan senyum kecil dan berjalan ke arah Disa dengan perlahan.“Ayo” ajak Fia sambil memegang pundak Disa dengan senyum kecil di bibirnya.Disa menatap ke arah Fia sebentar dan kembali menatap ke gundukan tanah tadi setelahnya
Hari pemakaman Yara, Fia datang dengan Yuan di sampingnya. Dia sudah membulatkan tekatnya, entah di terima atau tidak kehadirannya di sana. Niatnya untuk mengantarkan Yara ke peristirahatan terakhirnya, sebagai bentuk terima kasih dan penyesalan.Fia berjalan memasuki ambang pintu rumah Yara, saat dia masuk matanya sudah melihat banyak orang di sana dan tak lupa peti jenazah Yara yang di kelilingi oleh keluarganya. Sanak saudara berhilir mudik dan bergantian melihat wajah Yara untuk terakhir kalinya. Sosok Yara terlihat sangan memukau di hari terakhirnya sebelum di kebumikan.Fia mulai berjalan memasuki rumah Yara dengan Yuan di belakangnya. Mereka berdua memakai baju berwarna hitam polos tanpa ada corak seperti yang lainnya.Saat Fia memasuki rumah Yara, ada beberapa pasang mata yang menatap ke arahnya tapi tak dia anggap.Dengan langkah pelan, Fia mendekat ke arah peti Yara, saat langkah kakinya semakin dekat dengan peti Yara berada tiba-tiba langkahnya terhenti saat sosok mama Yara
“Semua ini di sebabkan oleh saya” ucap Fia setelah menguatkan dirinya untuk jujur.Saat mendengar perkataan Fia barusan, membuat pandangan mama Yara langsung tertuju ke arah Fia.“Apa maksudmu?” tanya Mama Yara dengan sorot mata tak bersahabat.“Yara meninggal karena saya, dia mengorbankan nyawanya untuk saya,” ucap Fia terhenti sejenak untuk mengambil nafasnya karena dadanya terasa sesak.“Dia melindungi saya dari tusukan yang seharusnya saya terima, seharusnya saya yang berada di posisi Yara” ucap Fia dengan tertunduk dalam.Mama Yara yang mendengar perkataan Fia hatinya merasa marah, bahkan tangannya terkepal sangat erat. Dengan langkah cepat dia berjalan ke arah Fia dan menamparkan begitu keras untuk melampiaskan kemarahannya.Plak!Sang suami yang melihat tingkah sang istri merasa sedikit terkejut dan mencerna semua kejadian tadi, ucapan Fia tadi kembali mengulang di otaknya.“Pembawa sial!” ucap Mama Yara di depan wajah Fia.“Mah!” ucap sang suami saat sadar akan keterkejutannya
Lama Fia dan Yuan berpelukan hingga Fia melepaskan pelukan itu, dengan raut wajah sembab Fia menatap Yuan.“Makasih” gumam Fia dengan senyum tulus.“Hm” balas Yuan sambil mengelus rambut Fia dengan senyum simpul.“Ayo” ajak Yuan sambil menggenggam tangan Fia dan menuntunnya masuk ke dalam ruangan tadi.Di dalam ruangan ada sosok Disa yang menangis sesegukan sambil menatap sosok Yara yang terbaring kaku di depannya.Fia berjalan mendekat ke arah Yara dan menggenggam tangannya pelan.“Maaf” ucap Yara dengan lirih dan sorot mata sedih.‘Maaf, semua ini gara-gara gue Yar. Andai dulu lu gak deket sama gue, andai lu gak ngelindungi gue pasti lu masih ada di sini’ batin Fia dengan senyum getir.“Gue bener-bener minta maaf” ucap Fia penuh sesal.Suara hening mulai mengisi ruangan tadi, Disa yang menangis dalam diam sedangkan Yuan dan Fia menatap ke sosok Yara dengan raut wajah sedih.Tak lama, suara langkah kaki terdengar di dalam ruangan tadi. Dengan refleks mereka melihat ke sumber suara, d
Mereka masih di posisinya, dengan pemikiran masing-masing. Sedangkan Ridwan sedikit menjauh untuk memberi kabar orang tua Yara akan kondisi anaknya. Setelah memberi kabar orang tua Yara , Ridwan mulai memberi kabar keluarganya tentang keberhasilan Fia. Kabar yang di beri tahukan Ridwan membawa kebahagiaan di keluarganya.Beberapa menit kemudian pintu UGD mulai terbuka, terlihat sosok berjas putih keluar dari ruangan dengan raut wajah penuh penyesalan.“Bagaimana keadaan teman saya dok?” tanya Disa sambil berjalan mendekat ke arah sang dokter. Dalam diam Fia berjalan mengikuti langkah Disa.“Kami sudah melakukan yang terbaik tapi Tuhan mempunyai jalan yang lebih baik. Maaf, Tuhan berkehendak lain, teman adik dinyatakan meninggal karena telat akan penanganan yang seharusnya dia terima. Teman adik terlalu banyak kehilangan darah” ucap sang dokter dengan raut wajah lesu, karena pasiennya gagal untuk dia selamatkan.“Gak, dokter pasti salah” ucap Disa dengan raut wajah tak percaya dan memu
Fia mulai membuka matanya dan menatap ke arah Disa dengan raut wajah serius.“Dis” panggil Fia tanpa emosi.“Iya?” balas Disa dengan raut wajah heran.“Pegang batu ini dan baca mantra yang tertulis di sini” ucap Fia sambil menatap ke arah Disa dengan raut wajah masih sama.“Kenapa?” tanya Disa dengan raut wajah heran.“Ini kunci keluar dari sini” balas Fia apa adanya.“Oke” balas Disa dan mulai berjalan mendekat ke arah Fia. Tanpa membutuhkan waktu lama Disa mulai membaca mantra yang ada di batu tadi. Mantra tadi tertulis dengan aksara Jawa, dan entah kenapa Disa dengan lancar mengucapkannya, setiap kata terdengar sangat jelas.Tak lama cahaya di batu tadi semakin terang, cahaya yang tadinya putih berubah menjadi abu-abu. Tak lupa ada juga beberapa kunang-kunang yang hadir mengelilingi mereka.Fia yang melihat pemandangan di depannya sedikit menatap dengan sorot mata memuja. Tak lama, cahaya tadi mulai redup dan mereka sudah berada di luar gerbang sekolah.“Kondisinya semakin memburuk
Fia yang mendengar jeritan Sasa hanya menatapnya dengan raut wajah tanpa emosi.“Fia tolongin gue” ucap Sasa dengan raut wajah memohon ke arah Fia.“Gue gak bisa” balas Fia dengan acuh tak acuh.“Gue minta maaf, gue ngaku gue salah. Gue mohon bantu gue, lepasin gue dari rantai ini” ucap Sasa dengan air mata yang menetes melewati pipinya.“Gue gak bisa, itu bukan kemampuan gue” balas Fia apa adanya.Tak lama dari itu Fia mulai mendengar jeritan tak jauh darinya.“Yara!” ucap Disa saat baru saja bangun dari pingsannya, dan saat dia membuka mata pandangan pertamanya adalah sosok Yara dengan darah di tubuhnya. Dengan raut wajah panik Disa menatap ke arah Yara.“Yar, aku minta maaf jangan kayak gini” ucap Disa sambil menepuk pipi Yara beberapa kali.“Dia akan mati kalau gak ambil tindakan dengan cepat” ucap Fia dengan raut wajah tanpa emosi.“Yuan, boleh minta tolong? Tolong gendong Yara, karena gak mungkin kalau gue atau Disa yang gendong” ucap Fia sambil menatap ke arah Yuan dan di anggu