Bel pulang sekolah sudah berbunyi sendari tadi. Saat ini Fia sedang berjalan menuju parkiran sekolah. Saat berjalan melewati lapangan sekolah tiba-tiba ada bola mengelinding ke arahnya. Dengan datar Fia menatap ke arah bola tadi, sebab saat dia melihat bola itu tiba-tiba ingatannya perputar pada kejadian beberapa minggu yang lalu saat dia bersantai di taman belakang dan tiba-tiba ada kepala menggelinding di kakinya. “Hey! Lepar sini bolanya!” kata seseorang sambil melambaikan tangan ke arah Fia. Dengan datar Fia menatap ke arah orang tadi dan tanpa minat Fia berjalan begitu saja tanpa ada niat untuk mengembalikan bola tadi ke pemiliknya. “Woy! Budeg ya lu!” kata orang tadi sambil menatap ke arah punggung Fia dengan tajam. “Udahlah Rif, lu juga yang salah” kata teman setimnya. “Salah gue di mana? Gue cuma minta bantuan dia buat ngoper bola ke kita” kata Arif dengan nada suara tak terima. “Bukan karena itu, lu salah karena nyuruh dia” kata temannya dengan malas. “Ck!” decaknya de
Malam harinya Fia berdiam diri di dalam kamar bersama buku pelajarannya. Dia sedang mengerjakan tugas yang di berikan guru tadi siang. Dengan wajah serius Fia mengerjakan tugas miliknya. Sedangkan dengan Disa, tak berbeda jauh dari Fia. Saat ini Disa sedang mengerjakan tugasnya tapi sendari tadi pikirannya tak bisa fokus. Dia sedang berpikir tentang sikap Fia yang akhir-akhir ini berbeda. “Disa!” panggil mama Disa dengan nada suara keras yang membuat Disa terkejut. “Ada apa ma? Bikin Disa kaget aja” kata Disa dengan raut wajah kesal. “Kamu kenapa? Mama panggil dari tadi gak nyaut-nyaut” kata mama Disa dengan raut wajah bertanya. “Enggak ma, Disa gak apa-apa” kata Disa dengan senyum menyakinkan. “Kamu tau kan Dis, mama gak suka di bohongi” kata mama Disa dengan wajah serius. “Iya ma, Disa tau dan Disa gak bohong kok” kata Disa dengan nada menyakinkan. “Ya udah mama keluar dulu, belajar yang benar jangan melamun terus” kata mamanya dengan nada penuh peringatan. “Iya mama ku say
Fia sudah bersiap untuk tidur. Dengan rasa kantuk yang sudah mulai menyerang perlahan Fia menuju ke dunia mimpi. Deru nafas Fia mulai teratur menandakan dia sudah masuk ke dunia mimpi. Tanpa di sadari ternyata sendari tadi ada yang memantau sosok Fia dari kejauhan. Sekali kedipan mata sosok tadi hilang entah kemana. Di alam bawah sadar Fia. "Tumben gue mimpi biasanya gak pernah" gumang Fia dengan nada heran. "Ini jalannya ke mana?" gumang Fia dengan heran. Dengan tenang Fia berjalan menyusuri jalan setapak yang ada di depannya. "Gak ada ujungnya apa gimana?" gumang Fia dengan kesal. Bagaimana tak kesal sendari tadi dia berjalan tapi belum juga bertemu sesuatu hal yang menarik. Sendari tadi hanya ada jalan setapak dan pemandangan pohon yang menjulang tinggi. "Ck! Buang-buang waktu" kata Fia dengan kesal dan menatap ke sekeliling dengan malas. Saat sedang menatap kesekeliling entah kenapa dia merasa tubuhnya di hisap ke dalam lubang. Fia menutup matanya dengan rapat saat cahaya p
Fia yang melihat itu hanya bisa berdiam diri di tempat. Belum selesai dengan rasa terkejutnya sosok tadi melancarkan serangan kepada Fia. "Akhh!" ucap Fia sambil menghalangi wajahnya dari serangan sosok tadi. Saat dia masih sibuk menyembunyikan wajahnya dengan samar dia mendengar suara adiknya yang sedang memanggil namanya dan dalam waktu bersamaan dia merasakan tubuhnya di guncang. "Kakak bangun!" suara Fiko adik Fia yang mencoba membangungkan sang kakak dari tidurnya. Dengan sedikit terkejut dan nafas memburu Fia bangun dari mimpi buruknya tadi. Melihat kondisi sang kakak yang seperti itu membuat Fiko memberikan air putih kepada kakaknya. "Kenapa kak?" tanya Fiko dengan nada suara heran. "Cuma mimpi buruk" balas Fia dengan nafas yang mulai teratur. "Kirain apaan" kata Fiko dengan nada remeh. "Ngapain lu ke kamar gue?" tanya Fia dengan sinis. "Gak sekolah lu? Udah jam enam pagi" kata Fiko sambil berjalan keluar dari kamar kakaknya dengan langkah tenang. "Jam enam?" gumang Fi
Mereka sudah sampai di parkiran sekolah. Dengan kesal dan sewot Fia meninggalkan Yuan begitu saja. "Gadis itu..." kata Yuan sambil menatap punggung Fia dengan datar. "Tak ada rasa terima kasih" lanjutnya sambil melangkahkan kakinya menuju ruang ke ruang. Sesampainya di kelas Yuan menatap sosok Fia yang sedang membaca buku dengan konsentrasi penuh. Dengan langkah pelan Yuan menuju ke bangkunya, sesekali dia curi pandang pada sosok Fia. Sedangkan orang yang di tatap Yuan tak menyadari itu. Dia masih tenang dengan kegiatannya. Hingga ada seseorang yang mencari gara-gara dengannya. 'Brak' Meja Fia di gebrak tanpa alasan yang jelas. 'Oh ayolah ini masih pagi' batin Fia dengan malas. “Lu yang namanya Fia?” tanya orang tadi dengan raut wajah sombong. “Hm” balas Fia dengan raut wajah tak berminat “Lu gak usah sok dingin buat ngambil perhatian orang lain bisa gak?!” kata orang tadi dengan raut wajah kesal. “Gue? Cari perhatian orang lain? Gak guna” kata Fia dengan tenang. “Gue palin
Fia yang melihat tatapan itu merasa sedikit aneh. Dalam benaknya bertanya apakah dia punya salah kepada sosok itu? Tapi seingatnya tidak. Fia tak terlalu menganggap pusing sosok tadi. Tapi terbesit rasa penasaran dibenaknya. Bagaimana tak penasaran semenjak ia mendapat kelebihannya banyak sesuatu hal yang menganjal dan untuk urusan hantu bernama Rita dia tak tau apakah masalah itu sudah selesai atau belum. Tapi akhir-akhir ini dia melihat ada yang aneh dengan Disa entah itu hanya perasaan atau memang benar. Fia merasa kalau Disa menyembunyikan sesuatu kepada Yara. Tapi dia tak bisa berbuat banyak. ‘Entahlah mungkin itu hanya perasaanku saja’ batin Fia mencoba tak perduli. Akhir-akhir ini juga dia sudah bisa mengendalikan bakatnya dan itu semua berkat pamannya. Bahkan sekarang dia bisa berkomunikasi dengan pelindungnya. ‘Kak’ panggil Diana dengan senyum manisnya, tapi jika orang lain yang melihat itu mungkin menganggap itu senyuman seram. “Kenapa?” balas Fia dengan lirih takut ada
Fia terus berjalan menyusuri koridor dengan langkah santai. Hingga ada musibah yang hampir menimpanya. Ada pot bunga dari lantai dua terjatuh dan hampir menimpa di kepalanya untunya ada seseorang yang tepat waktu menyelamatkannya. ‘Akhh!’ jerit beberapa siswi yang melihat adegan di depannya. “Lu gak apa-apa?” tanya seorang pemuda dengan sedikit wajah panik. “Gue gak apa-apa. Makasih udah tolongin gue” kata Fia dan bangkit dari duduknya. Dengan dingin Fia menatap ke atas untuk mencari tau siapa pelakunya tapi dia tak menemukan siapa-siapa. Hanya ada kesunyian di lantai dua. ‘Siapa dalangnya?’ batin Fia dengan perasaan heran. “Oh ya kenalin nama gue Arif ketua tim futsal dan salah satu pembina pramuka di sekolah ini” kata Arif dengan nada bangga. “Oh” balas Fia dengan raut wajah datar. “Nama lu siapa?” tanya Arif dengan wajah di buat santai. “Fia” balas Fia sekenannya dan mulai berjalan menjauh dari Arif dengan tenang menganggap kejadian tadi tak pernah terjadi padanya. “Aneh l
Di pintu kantin berdiri segerombol siswa sambil menatap ke sekeliling kantin. “Itu ada Yuan sama Fia, duduk di sana aja” kata Didon sambil menunjuk ke arah meja yang di tempati oleh Fia dan Yuan. “Boleh, ayok” kata Alvin dengan senyum mengembang. “Kayaknya gak cukup buat kita” kata Yara yang masih berdiam diri di tempatnya. “Cukup kayaknya” kata Didon sambil menatap ke arah bangku yang di duduki oleh Fia dan Yuan. “Gue bilang gak cukup ya gak cukup! Gue sama Disa duduk di sini aja” kata Yara dengan nada suara tak suka dan menggeret tangan Disa secara paksa ke arah meja di dekat mereka. “Serah lu berdua” kata Andi sambil menatap tak suka ke arah Yara. “Tapikan kita kesini bareng mereka” kata Irvan menengahi. “Mereka yang mau pisah duduk” kata Andi dengan tenang dan berjalan ke arah meja Yuan dan Fia. “Gue duduk di sini juga” kata Irvan dengan tatapan tak suka. “Ck, serah lu pada lah” kata Alvin dengan wajah malas. “Aneh lu bertiga” kata Didon dan berjalan menyusul langkah Alv
Sudah satu minggu setelah kejadian itu, dan Fia sudah tak sesedih kemarin dan menyalahkan dirinya sendiri atas kematian Yara.Dia juga sesekali mampir ke rumah Yara untuk menjenguk mama Yara atau di ajak adik Yara untuk mampir ke rumah. Dengan senang hati Fia menerima ajakan adik Yara.Satu yang membuatnya heran, kenapa orang tua Sasa tak pernah sekali pun mencari keberadaan sang anak yang hilang bagaikan tertelan bumi? Dan ternyata Fia mendapat satu fakta yang tak terduga, Sasa adalah anak dari papanya dengan selingkuhannya, sebab itu mereka tak peduli dengan sosok Sasa, bahkan saat ini orang tua Sasa sedang menyiapkan sidang penceraian mereka.Fia yang mendengar cerita itu hanya memasang raut wajah sedih dan prihatin.Tapi, walau orang tua tak mencarinya, masih ada Alvin yang menanyai keadaan Sasa dan menanyakan kondisi Sasa kepada Fia. Seperti menanyakan ‘Sasa di mana ya? Bagaimana kondisinya? Kenapa dia menghilang tanpa memberi kabar?’ dan di jawab Fia dan Yuan dengan mengangkat b
Yuan yang melihat tingkah lucu Fia hanya memasang raut wajah gemas dan senyum geli.“Ayo” ucap Yuan sambil menatap Fia dengan senyum yang masih terpatri di bibirnya.“Iya” balas Fia dengan lesu dan dengan malas Fia membuka pintu mobil. Fia keluar dan di sambut oleh Yuan dengan senyum kecil.Yuan memegang tangan Fia dengan lembut dan membawanya ke arah pintu rumah. Mereka memasuki rumah Fia dengan kerutan di dahinya.Bagaimana tidak, di depan mereka sudah berkumpul keluarga Fia. Fia yang melihat keluarganya yang sedang canda tawa hanya memasang raut wajah datar dan sorot mata ke tidak sukaan.Yuan yang tahu akan pikiran Fia hanya bisa menguatkan pegangannya di tangan Fia dan memberi usapan kecil di punggung tangannya.“Fia, sini sayang” ucap salah satu bibinya dengan senyum mengembang indah.Fia yang mendengar panggilan dari sang bibi hanya diam membisu dan masih di tempatnya dengan raut wajah datar.“Fia?” kata sang bibinya lagi dengan kerutan di dahinya.“Ada apa ini?” tanya Fia den
Pemakaman Yara berjalan dengan sangat hikmat, banyak orang yang meneteskan air mata saat melihat peti Yara memasuki lian lahat.Fia mengikuti acara pemakaman dengan raut wajah datar dan sorot mata kesedihan. Dia berada di samping mama Yara. Mama Yara yang memintanya untuk di sampingnya dan Fia hanya menurut tak bisa membantah. Dengan langkah pelan keluarga Yara mulai menjauh dari mekan Yara. Mama Yara sudah mengajak Fia untuk pulang tapi Fia menolaknya, dia ingin menetap di sini untuk beberapa saat.Fia menatap ke arah gundukan tanah di depannya dengan sorot mata kepedihan. Dia masih merasa bersalah dengan Yara, tak jauh dari tempatnya berdiri ada sosok Disa yang menatap ke arah gundukan di depannya dengan air mata yang masih mengalir.Fia menatap ke arah Disa dengan senyum kecil dan berjalan ke arah Disa dengan perlahan.“Ayo” ajak Fia sambil memegang pundak Disa dengan senyum kecil di bibirnya.Disa menatap ke arah Fia sebentar dan kembali menatap ke gundukan tanah tadi setelahnya
Hari pemakaman Yara, Fia datang dengan Yuan di sampingnya. Dia sudah membulatkan tekatnya, entah di terima atau tidak kehadirannya di sana. Niatnya untuk mengantarkan Yara ke peristirahatan terakhirnya, sebagai bentuk terima kasih dan penyesalan.Fia berjalan memasuki ambang pintu rumah Yara, saat dia masuk matanya sudah melihat banyak orang di sana dan tak lupa peti jenazah Yara yang di kelilingi oleh keluarganya. Sanak saudara berhilir mudik dan bergantian melihat wajah Yara untuk terakhir kalinya. Sosok Yara terlihat sangan memukau di hari terakhirnya sebelum di kebumikan.Fia mulai berjalan memasuki rumah Yara dengan Yuan di belakangnya. Mereka berdua memakai baju berwarna hitam polos tanpa ada corak seperti yang lainnya.Saat Fia memasuki rumah Yara, ada beberapa pasang mata yang menatap ke arahnya tapi tak dia anggap.Dengan langkah pelan, Fia mendekat ke arah peti Yara, saat langkah kakinya semakin dekat dengan peti Yara berada tiba-tiba langkahnya terhenti saat sosok mama Yara
“Semua ini di sebabkan oleh saya” ucap Fia setelah menguatkan dirinya untuk jujur.Saat mendengar perkataan Fia barusan, membuat pandangan mama Yara langsung tertuju ke arah Fia.“Apa maksudmu?” tanya Mama Yara dengan sorot mata tak bersahabat.“Yara meninggal karena saya, dia mengorbankan nyawanya untuk saya,” ucap Fia terhenti sejenak untuk mengambil nafasnya karena dadanya terasa sesak.“Dia melindungi saya dari tusukan yang seharusnya saya terima, seharusnya saya yang berada di posisi Yara” ucap Fia dengan tertunduk dalam.Mama Yara yang mendengar perkataan Fia hatinya merasa marah, bahkan tangannya terkepal sangat erat. Dengan langkah cepat dia berjalan ke arah Fia dan menamparkan begitu keras untuk melampiaskan kemarahannya.Plak!Sang suami yang melihat tingkah sang istri merasa sedikit terkejut dan mencerna semua kejadian tadi, ucapan Fia tadi kembali mengulang di otaknya.“Pembawa sial!” ucap Mama Yara di depan wajah Fia.“Mah!” ucap sang suami saat sadar akan keterkejutannya
Lama Fia dan Yuan berpelukan hingga Fia melepaskan pelukan itu, dengan raut wajah sembab Fia menatap Yuan.“Makasih” gumam Fia dengan senyum tulus.“Hm” balas Yuan sambil mengelus rambut Fia dengan senyum simpul.“Ayo” ajak Yuan sambil menggenggam tangan Fia dan menuntunnya masuk ke dalam ruangan tadi.Di dalam ruangan ada sosok Disa yang menangis sesegukan sambil menatap sosok Yara yang terbaring kaku di depannya.Fia berjalan mendekat ke arah Yara dan menggenggam tangannya pelan.“Maaf” ucap Yara dengan lirih dan sorot mata sedih.‘Maaf, semua ini gara-gara gue Yar. Andai dulu lu gak deket sama gue, andai lu gak ngelindungi gue pasti lu masih ada di sini’ batin Fia dengan senyum getir.“Gue bener-bener minta maaf” ucap Fia penuh sesal.Suara hening mulai mengisi ruangan tadi, Disa yang menangis dalam diam sedangkan Yuan dan Fia menatap ke sosok Yara dengan raut wajah sedih.Tak lama, suara langkah kaki terdengar di dalam ruangan tadi. Dengan refleks mereka melihat ke sumber suara, d
Mereka masih di posisinya, dengan pemikiran masing-masing. Sedangkan Ridwan sedikit menjauh untuk memberi kabar orang tua Yara akan kondisi anaknya. Setelah memberi kabar orang tua Yara , Ridwan mulai memberi kabar keluarganya tentang keberhasilan Fia. Kabar yang di beri tahukan Ridwan membawa kebahagiaan di keluarganya.Beberapa menit kemudian pintu UGD mulai terbuka, terlihat sosok berjas putih keluar dari ruangan dengan raut wajah penuh penyesalan.“Bagaimana keadaan teman saya dok?” tanya Disa sambil berjalan mendekat ke arah sang dokter. Dalam diam Fia berjalan mengikuti langkah Disa.“Kami sudah melakukan yang terbaik tapi Tuhan mempunyai jalan yang lebih baik. Maaf, Tuhan berkehendak lain, teman adik dinyatakan meninggal karena telat akan penanganan yang seharusnya dia terima. Teman adik terlalu banyak kehilangan darah” ucap sang dokter dengan raut wajah lesu, karena pasiennya gagal untuk dia selamatkan.“Gak, dokter pasti salah” ucap Disa dengan raut wajah tak percaya dan memu
Fia mulai membuka matanya dan menatap ke arah Disa dengan raut wajah serius.“Dis” panggil Fia tanpa emosi.“Iya?” balas Disa dengan raut wajah heran.“Pegang batu ini dan baca mantra yang tertulis di sini” ucap Fia sambil menatap ke arah Disa dengan raut wajah masih sama.“Kenapa?” tanya Disa dengan raut wajah heran.“Ini kunci keluar dari sini” balas Fia apa adanya.“Oke” balas Disa dan mulai berjalan mendekat ke arah Fia. Tanpa membutuhkan waktu lama Disa mulai membaca mantra yang ada di batu tadi. Mantra tadi tertulis dengan aksara Jawa, dan entah kenapa Disa dengan lancar mengucapkannya, setiap kata terdengar sangat jelas.Tak lama cahaya di batu tadi semakin terang, cahaya yang tadinya putih berubah menjadi abu-abu. Tak lupa ada juga beberapa kunang-kunang yang hadir mengelilingi mereka.Fia yang melihat pemandangan di depannya sedikit menatap dengan sorot mata memuja. Tak lama, cahaya tadi mulai redup dan mereka sudah berada di luar gerbang sekolah.“Kondisinya semakin memburuk
Fia yang mendengar jeritan Sasa hanya menatapnya dengan raut wajah tanpa emosi.“Fia tolongin gue” ucap Sasa dengan raut wajah memohon ke arah Fia.“Gue gak bisa” balas Fia dengan acuh tak acuh.“Gue minta maaf, gue ngaku gue salah. Gue mohon bantu gue, lepasin gue dari rantai ini” ucap Sasa dengan air mata yang menetes melewati pipinya.“Gue gak bisa, itu bukan kemampuan gue” balas Fia apa adanya.Tak lama dari itu Fia mulai mendengar jeritan tak jauh darinya.“Yara!” ucap Disa saat baru saja bangun dari pingsannya, dan saat dia membuka mata pandangan pertamanya adalah sosok Yara dengan darah di tubuhnya. Dengan raut wajah panik Disa menatap ke arah Yara.“Yar, aku minta maaf jangan kayak gini” ucap Disa sambil menepuk pipi Yara beberapa kali.“Dia akan mati kalau gak ambil tindakan dengan cepat” ucap Fia dengan raut wajah tanpa emosi.“Yuan, boleh minta tolong? Tolong gendong Yara, karena gak mungkin kalau gue atau Disa yang gendong” ucap Fia sambil menatap ke arah Yuan dan di anggu