Mereka sudah sampai di parkiran sekolah. Dengan kesal dan sewot Fia meninggalkan Yuan begitu saja. "Gadis itu..." kata Yuan sambil menatap punggung Fia dengan datar. "Tak ada rasa terima kasih" lanjutnya sambil melangkahkan kakinya menuju ruang ke ruang. Sesampainya di kelas Yuan menatap sosok Fia yang sedang membaca buku dengan konsentrasi penuh. Dengan langkah pelan Yuan menuju ke bangkunya, sesekali dia curi pandang pada sosok Fia. Sedangkan orang yang di tatap Yuan tak menyadari itu. Dia masih tenang dengan kegiatannya. Hingga ada seseorang yang mencari gara-gara dengannya. 'Brak' Meja Fia di gebrak tanpa alasan yang jelas. 'Oh ayolah ini masih pagi' batin Fia dengan malas. “Lu yang namanya Fia?” tanya orang tadi dengan raut wajah sombong. “Hm” balas Fia dengan raut wajah tak berminat “Lu gak usah sok dingin buat ngambil perhatian orang lain bisa gak?!” kata orang tadi dengan raut wajah kesal. “Gue? Cari perhatian orang lain? Gak guna” kata Fia dengan tenang. “Gue palin
Fia yang melihat tatapan itu merasa sedikit aneh. Dalam benaknya bertanya apakah dia punya salah kepada sosok itu? Tapi seingatnya tidak. Fia tak terlalu menganggap pusing sosok tadi. Tapi terbesit rasa penasaran dibenaknya. Bagaimana tak penasaran semenjak ia mendapat kelebihannya banyak sesuatu hal yang menganjal dan untuk urusan hantu bernama Rita dia tak tau apakah masalah itu sudah selesai atau belum. Tapi akhir-akhir ini dia melihat ada yang aneh dengan Disa entah itu hanya perasaan atau memang benar. Fia merasa kalau Disa menyembunyikan sesuatu kepada Yara. Tapi dia tak bisa berbuat banyak. ‘Entahlah mungkin itu hanya perasaanku saja’ batin Fia mencoba tak perduli. Akhir-akhir ini juga dia sudah bisa mengendalikan bakatnya dan itu semua berkat pamannya. Bahkan sekarang dia bisa berkomunikasi dengan pelindungnya. ‘Kak’ panggil Diana dengan senyum manisnya, tapi jika orang lain yang melihat itu mungkin menganggap itu senyuman seram. “Kenapa?” balas Fia dengan lirih takut ada
Fia terus berjalan menyusuri koridor dengan langkah santai. Hingga ada musibah yang hampir menimpanya. Ada pot bunga dari lantai dua terjatuh dan hampir menimpa di kepalanya untunya ada seseorang yang tepat waktu menyelamatkannya. ‘Akhh!’ jerit beberapa siswi yang melihat adegan di depannya. “Lu gak apa-apa?” tanya seorang pemuda dengan sedikit wajah panik. “Gue gak apa-apa. Makasih udah tolongin gue” kata Fia dan bangkit dari duduknya. Dengan dingin Fia menatap ke atas untuk mencari tau siapa pelakunya tapi dia tak menemukan siapa-siapa. Hanya ada kesunyian di lantai dua. ‘Siapa dalangnya?’ batin Fia dengan perasaan heran. “Oh ya kenalin nama gue Arif ketua tim futsal dan salah satu pembina pramuka di sekolah ini” kata Arif dengan nada bangga. “Oh” balas Fia dengan raut wajah datar. “Nama lu siapa?” tanya Arif dengan wajah di buat santai. “Fia” balas Fia sekenannya dan mulai berjalan menjauh dari Arif dengan tenang menganggap kejadian tadi tak pernah terjadi padanya. “Aneh l
Di pintu kantin berdiri segerombol siswa sambil menatap ke sekeliling kantin. “Itu ada Yuan sama Fia, duduk di sana aja” kata Didon sambil menunjuk ke arah meja yang di tempati oleh Fia dan Yuan. “Boleh, ayok” kata Alvin dengan senyum mengembang. “Kayaknya gak cukup buat kita” kata Yara yang masih berdiam diri di tempatnya. “Cukup kayaknya” kata Didon sambil menatap ke arah bangku yang di duduki oleh Fia dan Yuan. “Gue bilang gak cukup ya gak cukup! Gue sama Disa duduk di sini aja” kata Yara dengan nada suara tak suka dan menggeret tangan Disa secara paksa ke arah meja di dekat mereka. “Serah lu berdua” kata Andi sambil menatap tak suka ke arah Yara. “Tapikan kita kesini bareng mereka” kata Irvan menengahi. “Mereka yang mau pisah duduk” kata Andi dengan tenang dan berjalan ke arah meja Yuan dan Fia. “Gue duduk di sini juga” kata Irvan dengan tatapan tak suka. “Ck, serah lu pada lah” kata Alvin dengan wajah malas. “Aneh lu bertiga” kata Didon dan berjalan menyusul langkah Alv
Pagi harinya Fia sudah bersiap dengan baju santainya. Untuk hari minggu kali ini Fia memutuskan untuk bersepeda santai sekeliling kompleks. Dengan perasaan senang Fia berjalan keluar dari kamar. “Mau ke mana kak?” tanya Fiko sambil menatap Fia dengan heran. “Mau sepeda santai, kenapa?” tanya Fia dengan heran. “Sama siapa aja?” tanya Fiko sambil menatap ke arah Fia dengan raut wajah penuh selidik. “Sendiri” balas Fia dengan tatapan malas. “Oh” balas Fiko dan kembali masuk ke dalam kamar. “Untung adek coba enggak, udah gue basmi lu” gumang Fia sambil menatap ke arah pintu kamar Fiko dengan kesal. Fia mulai berjalan menuruni anak tangga dengan tenang. “Bunda Fia pamit keluar” kata Fia sambil menatap sosok bundanya yang masih sibuk di dapur. “Mau ke mana?” tanya bundanya dengan heran. “Mau keliling kompleks” jawab Fia sambil berjalan ke arah bundanya. “Ya udah hati-hati di jalan” kata bundanya sambil mengelus kepala Fia. “Fia pamit dulu bun” kata Fia sambil mencium pipi bundany
Fia terus berjalan sambil menuntun sepedanya. Pandangannya yang kosong dan pikiran yang memikirkan sesuatu. Membuatnya tak fokus akan jalan yang sedang dia lewati. Beberapa menit kemudian Fia sudah sampai di jalan yang cukup sepi. “Gue di mana?” kata Fia dengan lirih sambil melihat ke sekelilingnya. “Bisa-bisanya sampai di sini” kata Fia dan ingin berbalik arah tapi tubuhnya terasa kaku dan tak bisa di gerakkan seperti ada magnet pada tubuhnya. “Gue kenapa?” kata Fia dengan bingung. ‘Gadis bodoh!’ tiba-tiba ada suara yang menggema di sekitar Fia. “Clesia?” kata Fia dengan lirih. ‘Haha, kau mengenali suaraku? Baik sekali’ kata Clesia yang tiba-tiba muncul di hadapannya. “Mau apa lagi kau Clesia!” kata Fia dengan nada marah. ‘Apa kau kira aku akan berhenti begitu saja setelah kau melupakanku?’ kata Clesia dengan senyum sinisnya. “Aku tak melupakanmu Clesia” kata Fia dengan lirih dengan tatapan mata sedih. ‘Bohong!’ kata Clesia dengan marah. “Aku benar-benar tak melupakanmu. K
Sesampainya di rumah. Dengan tenang Fia melangkahkan kakinya memasuki area rumah. “Fia pulang” kata Fia sambil berjalan memasuki rumah. “Kamu dari mana baru pulang?” tanya bunda Fia dengan wajah kesal. “Tadi Fia duduk-duduk di taman depan bun” kata Fia dengan senyum lebar. “Mandi gih, setelah itu makan” kata bunda Fia dengan helaan nafas. “Baik Bu presiden” kata Fia dengan senyum senang dan tanpa menunggu lama lagi dia mulai berjalan menaiki anak tangga. Setelah sampai di kamar Fia langsung menuju ke kamar mandi. Beberapa menit kemudian dia sudah keluar dengan keadaan segar. “Kak udah selesai mandi belum?” kata Fiko yang berdiri di depan kamar Fia. “Kenapa?” tanya Fia dengan malas. “Buruan turun gue udah laper” kata Fiko sambil membuka pintu Fia dengan malas. “Kalau laper ya makan, gue gak nyuruh lu nungguin gue” kata Fia dengan tenang. “Cih! Tau gitu gue gak nungguin elu” kata Fiko dambil berjal
Di sinilah mereka sekarang. Di salah satu toko buku yang ada di kota. Yuan datang ke rumah Fia untuk mengajaknya jalan-jalan. Awalnya Fia tak mau tapi karena paksaan dari Bundanya mau tak mau dia harus mau. Dengan lesu Fia berjalan mengelilingi rak-rak yang ada di toko buku itu. Ingin rasanya marah kepada Yuan tapi apalah daya. Percuma juga marah kepada orang yang sedang bahagia. Pasti omongannya hanya di anggap angin lalu saja. “Lu ngajak gue ke sini mau apa?” tanya Fia sambil menatap kesal ke arah Yuan. “Beli buku” balas Yuan dengan nada tenang. “Buruan beli, jangan ngekori orang terus. Kaki gue udah capek” kata Fia dengan nada kesal. “Dari tadi nyari tapi gak ketemu yang pas” kata Yuan sambil melihat-lihat novel yang berjajar rapih di rak. “Cari buku aja kayak nyari pasangan” kata Fia sambil menatap malas ke arah sisi lain. “Makanya itu gue sampai sekarang masih jomblo karena belum ada yang pas” kata Yuan membalas ucapan Fia
Sudah satu minggu setelah kejadian itu, dan Fia sudah tak sesedih kemarin dan menyalahkan dirinya sendiri atas kematian Yara.Dia juga sesekali mampir ke rumah Yara untuk menjenguk mama Yara atau di ajak adik Yara untuk mampir ke rumah. Dengan senang hati Fia menerima ajakan adik Yara.Satu yang membuatnya heran, kenapa orang tua Sasa tak pernah sekali pun mencari keberadaan sang anak yang hilang bagaikan tertelan bumi? Dan ternyata Fia mendapat satu fakta yang tak terduga, Sasa adalah anak dari papanya dengan selingkuhannya, sebab itu mereka tak peduli dengan sosok Sasa, bahkan saat ini orang tua Sasa sedang menyiapkan sidang penceraian mereka.Fia yang mendengar cerita itu hanya memasang raut wajah sedih dan prihatin.Tapi, walau orang tua tak mencarinya, masih ada Alvin yang menanyai keadaan Sasa dan menanyakan kondisi Sasa kepada Fia. Seperti menanyakan ‘Sasa di mana ya? Bagaimana kondisinya? Kenapa dia menghilang tanpa memberi kabar?’ dan di jawab Fia dan Yuan dengan mengangkat b
Yuan yang melihat tingkah lucu Fia hanya memasang raut wajah gemas dan senyum geli.“Ayo” ucap Yuan sambil menatap Fia dengan senyum yang masih terpatri di bibirnya.“Iya” balas Fia dengan lesu dan dengan malas Fia membuka pintu mobil. Fia keluar dan di sambut oleh Yuan dengan senyum kecil.Yuan memegang tangan Fia dengan lembut dan membawanya ke arah pintu rumah. Mereka memasuki rumah Fia dengan kerutan di dahinya.Bagaimana tidak, di depan mereka sudah berkumpul keluarga Fia. Fia yang melihat keluarganya yang sedang canda tawa hanya memasang raut wajah datar dan sorot mata ke tidak sukaan.Yuan yang tahu akan pikiran Fia hanya bisa menguatkan pegangannya di tangan Fia dan memberi usapan kecil di punggung tangannya.“Fia, sini sayang” ucap salah satu bibinya dengan senyum mengembang indah.Fia yang mendengar panggilan dari sang bibi hanya diam membisu dan masih di tempatnya dengan raut wajah datar.“Fia?” kata sang bibinya lagi dengan kerutan di dahinya.“Ada apa ini?” tanya Fia den
Pemakaman Yara berjalan dengan sangat hikmat, banyak orang yang meneteskan air mata saat melihat peti Yara memasuki lian lahat.Fia mengikuti acara pemakaman dengan raut wajah datar dan sorot mata kesedihan. Dia berada di samping mama Yara. Mama Yara yang memintanya untuk di sampingnya dan Fia hanya menurut tak bisa membantah. Dengan langkah pelan keluarga Yara mulai menjauh dari mekan Yara. Mama Yara sudah mengajak Fia untuk pulang tapi Fia menolaknya, dia ingin menetap di sini untuk beberapa saat.Fia menatap ke arah gundukan tanah di depannya dengan sorot mata kepedihan. Dia masih merasa bersalah dengan Yara, tak jauh dari tempatnya berdiri ada sosok Disa yang menatap ke arah gundukan di depannya dengan air mata yang masih mengalir.Fia menatap ke arah Disa dengan senyum kecil dan berjalan ke arah Disa dengan perlahan.“Ayo” ajak Fia sambil memegang pundak Disa dengan senyum kecil di bibirnya.Disa menatap ke arah Fia sebentar dan kembali menatap ke gundukan tanah tadi setelahnya
Hari pemakaman Yara, Fia datang dengan Yuan di sampingnya. Dia sudah membulatkan tekatnya, entah di terima atau tidak kehadirannya di sana. Niatnya untuk mengantarkan Yara ke peristirahatan terakhirnya, sebagai bentuk terima kasih dan penyesalan.Fia berjalan memasuki ambang pintu rumah Yara, saat dia masuk matanya sudah melihat banyak orang di sana dan tak lupa peti jenazah Yara yang di kelilingi oleh keluarganya. Sanak saudara berhilir mudik dan bergantian melihat wajah Yara untuk terakhir kalinya. Sosok Yara terlihat sangan memukau di hari terakhirnya sebelum di kebumikan.Fia mulai berjalan memasuki rumah Yara dengan Yuan di belakangnya. Mereka berdua memakai baju berwarna hitam polos tanpa ada corak seperti yang lainnya.Saat Fia memasuki rumah Yara, ada beberapa pasang mata yang menatap ke arahnya tapi tak dia anggap.Dengan langkah pelan, Fia mendekat ke arah peti Yara, saat langkah kakinya semakin dekat dengan peti Yara berada tiba-tiba langkahnya terhenti saat sosok mama Yara
“Semua ini di sebabkan oleh saya” ucap Fia setelah menguatkan dirinya untuk jujur.Saat mendengar perkataan Fia barusan, membuat pandangan mama Yara langsung tertuju ke arah Fia.“Apa maksudmu?” tanya Mama Yara dengan sorot mata tak bersahabat.“Yara meninggal karena saya, dia mengorbankan nyawanya untuk saya,” ucap Fia terhenti sejenak untuk mengambil nafasnya karena dadanya terasa sesak.“Dia melindungi saya dari tusukan yang seharusnya saya terima, seharusnya saya yang berada di posisi Yara” ucap Fia dengan tertunduk dalam.Mama Yara yang mendengar perkataan Fia hatinya merasa marah, bahkan tangannya terkepal sangat erat. Dengan langkah cepat dia berjalan ke arah Fia dan menamparkan begitu keras untuk melampiaskan kemarahannya.Plak!Sang suami yang melihat tingkah sang istri merasa sedikit terkejut dan mencerna semua kejadian tadi, ucapan Fia tadi kembali mengulang di otaknya.“Pembawa sial!” ucap Mama Yara di depan wajah Fia.“Mah!” ucap sang suami saat sadar akan keterkejutannya
Lama Fia dan Yuan berpelukan hingga Fia melepaskan pelukan itu, dengan raut wajah sembab Fia menatap Yuan.“Makasih” gumam Fia dengan senyum tulus.“Hm” balas Yuan sambil mengelus rambut Fia dengan senyum simpul.“Ayo” ajak Yuan sambil menggenggam tangan Fia dan menuntunnya masuk ke dalam ruangan tadi.Di dalam ruangan ada sosok Disa yang menangis sesegukan sambil menatap sosok Yara yang terbaring kaku di depannya.Fia berjalan mendekat ke arah Yara dan menggenggam tangannya pelan.“Maaf” ucap Yara dengan lirih dan sorot mata sedih.‘Maaf, semua ini gara-gara gue Yar. Andai dulu lu gak deket sama gue, andai lu gak ngelindungi gue pasti lu masih ada di sini’ batin Fia dengan senyum getir.“Gue bener-bener minta maaf” ucap Fia penuh sesal.Suara hening mulai mengisi ruangan tadi, Disa yang menangis dalam diam sedangkan Yuan dan Fia menatap ke sosok Yara dengan raut wajah sedih.Tak lama, suara langkah kaki terdengar di dalam ruangan tadi. Dengan refleks mereka melihat ke sumber suara, d
Mereka masih di posisinya, dengan pemikiran masing-masing. Sedangkan Ridwan sedikit menjauh untuk memberi kabar orang tua Yara akan kondisi anaknya. Setelah memberi kabar orang tua Yara , Ridwan mulai memberi kabar keluarganya tentang keberhasilan Fia. Kabar yang di beri tahukan Ridwan membawa kebahagiaan di keluarganya.Beberapa menit kemudian pintu UGD mulai terbuka, terlihat sosok berjas putih keluar dari ruangan dengan raut wajah penuh penyesalan.“Bagaimana keadaan teman saya dok?” tanya Disa sambil berjalan mendekat ke arah sang dokter. Dalam diam Fia berjalan mengikuti langkah Disa.“Kami sudah melakukan yang terbaik tapi Tuhan mempunyai jalan yang lebih baik. Maaf, Tuhan berkehendak lain, teman adik dinyatakan meninggal karena telat akan penanganan yang seharusnya dia terima. Teman adik terlalu banyak kehilangan darah” ucap sang dokter dengan raut wajah lesu, karena pasiennya gagal untuk dia selamatkan.“Gak, dokter pasti salah” ucap Disa dengan raut wajah tak percaya dan memu
Fia mulai membuka matanya dan menatap ke arah Disa dengan raut wajah serius.“Dis” panggil Fia tanpa emosi.“Iya?” balas Disa dengan raut wajah heran.“Pegang batu ini dan baca mantra yang tertulis di sini” ucap Fia sambil menatap ke arah Disa dengan raut wajah masih sama.“Kenapa?” tanya Disa dengan raut wajah heran.“Ini kunci keluar dari sini” balas Fia apa adanya.“Oke” balas Disa dan mulai berjalan mendekat ke arah Fia. Tanpa membutuhkan waktu lama Disa mulai membaca mantra yang ada di batu tadi. Mantra tadi tertulis dengan aksara Jawa, dan entah kenapa Disa dengan lancar mengucapkannya, setiap kata terdengar sangat jelas.Tak lama cahaya di batu tadi semakin terang, cahaya yang tadinya putih berubah menjadi abu-abu. Tak lupa ada juga beberapa kunang-kunang yang hadir mengelilingi mereka.Fia yang melihat pemandangan di depannya sedikit menatap dengan sorot mata memuja. Tak lama, cahaya tadi mulai redup dan mereka sudah berada di luar gerbang sekolah.“Kondisinya semakin memburuk
Fia yang mendengar jeritan Sasa hanya menatapnya dengan raut wajah tanpa emosi.“Fia tolongin gue” ucap Sasa dengan raut wajah memohon ke arah Fia.“Gue gak bisa” balas Fia dengan acuh tak acuh.“Gue minta maaf, gue ngaku gue salah. Gue mohon bantu gue, lepasin gue dari rantai ini” ucap Sasa dengan air mata yang menetes melewati pipinya.“Gue gak bisa, itu bukan kemampuan gue” balas Fia apa adanya.Tak lama dari itu Fia mulai mendengar jeritan tak jauh darinya.“Yara!” ucap Disa saat baru saja bangun dari pingsannya, dan saat dia membuka mata pandangan pertamanya adalah sosok Yara dengan darah di tubuhnya. Dengan raut wajah panik Disa menatap ke arah Yara.“Yar, aku minta maaf jangan kayak gini” ucap Disa sambil menepuk pipi Yara beberapa kali.“Dia akan mati kalau gak ambil tindakan dengan cepat” ucap Fia dengan raut wajah tanpa emosi.“Yuan, boleh minta tolong? Tolong gendong Yara, karena gak mungkin kalau gue atau Disa yang gendong” ucap Fia sambil menatap ke arah Yuan dan di anggu