“Selamat pagi semua” sapa seorang guru yang masih muda di dalam kelas.
“Pagi pak” jawab sebagian besar murid dengan senyum dan semangat.
“Perkenalkan nama bapak adalah Ridwan, wali kelas 10 akuntansi 1. Ada pertanyaan?” kata guru tadi sambil melihat ke sepenjuru kelas.
“Pak” kata salah satu murid sambil mengangkat tangannya.
“Iya?” kata pak Ridwan sambil menatap murid tadi dengan bingung.
“Bapak udah punya istri belum?” tanya siswi tadi dengan senyum merekak.
“Bapak udah punya tunangan belum pak?”
“Nomor bapak berapa?”
“I* nya apa pak?”
“Twiteer nya apa pak?”
“Rumahnya di mana pak?”
Tanya beberapa murid dengan semangatnya.
“Untuk masalah itu semua adalah privasi saya jadi hormati privasi saya, paham?" kata pak Ridwan dengan wajah datarnya.
“Baik pak" kata salah satu siswi dengan nada lesu.
“Yang lain?” tanya pak Ridwan sambil melihat ke seluruh penjuru kelas.
“Pengurus kelas tidak di tunjuk pak?” tanya salah satu murid.
“Untuk pengurus kelas emm~” kata pak Ridwan sambil menggelus dagunya berpikir.
“Karena kalian baru berangkat hari ini, kita pilih pengurus kelas dengan cara, bapak yang tunjuk. Bapak tunjuk yang jadi ketua dan wakil. Seterusnya bapak serahin ke mereka, paham?” lanjut pak Ridwan.
“Paham pak” jawab sebagian murid dengan semangat.
“Baik, bapak mulai” kata pak Ridwan sambil melihat ke penjuru kelas dan murid-murid menatap pak Ridwan dengan senyum mengembang. Tapi ada salah satu murid yang tak menatap pak Ridwan, dia fokus dengan novel di meja. Dia duduk di bangku paling belakang. Saat pak Ridwan menatap ke murid tadi dia merasa tertarik.
“Kamu yang di belakang” kata pak Ridwan tak jelas membuat para murid bingung.
“Siapa pak?” tanya salah satu di antara mereka.
“Yang sedang menunduk” kata pak Ridwan lagi sambil menunjuk murid yang tadi dia maksudkan.
"Hey di panggil tuh, sama pak Ridwan” kata seseorang yang duduk satu bangku dengan Fia.
Fia yang merasa di ajak bicara langsung menghadap ke arah teman sebangkunya sambil mengangkat alisnya, bertanda dia sedang bertanya.
“Di panggil pak Ridwan” kata teman sebangkunya yang tahu maksud dari raut wajah Fia.
“Ada apa pak?” kata Fia setelah mendapat jawaban dari teman sebangkunya.
“Nama kamu siapa?” tanya pak Ridwan sambil menatap fia.
“Fia” jawab Fia singkat dan padat dengan ekspresi tak suka.
“Nama panjang” kata pak Ridwan lagi.
“Di absensi ada pak, cari aja”jawab Fia dengan enteng.
“Fia kamu jadi ketua kelas” kata pak Ridwan sambil menatap Fia datar.
“Saya? Gak bisa pak” kata Fia dengan santainya.
“Kenapa?” tanya pak Ridwan sambil menatap Fia heran.
“Saya gak pandai jadi kayak gitu dan juga saya malas Menjadi penanggung jawab kelas ini, yang lain aja pak saya tidak mau” kata Fia dengan tenangnya.
“Oh, kalau begitu kamu jadi sekretarris kelas” kata pak Ridwan lagi.
“Saya tid-“ kata Fia terpotong.
“Sayangnya saya tidak mau menerima bantahan. Kamu Fia jadi sekretaris satu dikelas ini” final pak Ridwan.
“Ck, iya” pasrah Fia.
“Baiklah, untuk ketua kelas kamu yang duduk di sambing kiri Fia” kata pak Ridwan sambil menunjuk salah satu siswa yang berarda di dalam kelas.
“Saya pak?” kata salah satu siswa yang duduk di samping kiri Fia.
“Iya” jawab pak Ridwan malas.
“Baik pak” kata siswa tersebut dengan senyum manisnya.
“Dan untuk wakil, kamu yang duduk di depan pojok kanan” kata pak Ridwan sambil menunjuk salah satu siswa.
Fia merasa malas dengan ini semua, rencananya untuk tak ingin berinteraksi dengan yang lainnya gagal karena dia menjadi anggota inti kelas. Dan itu semua gara-gara sepupunya itu, yah pak Ridwan adalah sepupunya Fia. Lebih tepatnya anak pertama dari pamannya. Terkadang Fia memanggilnya Om, katanya biar lebih sopan, kalau kakak terlalu muda untuk umurnya makanya Fia memanggil dia Om.
Sebenarnya dulu Fia bukanlah gadis seperti ini tapi lingkungan sekitarnya yang membuatnya seperti ini, seorang gadis yang tak suka berbaur dengan yang lainnya dan selalu menutup diri.
Fia kembali membaca novelnya yang tertunda tadi, dia tak menghiraukan yang lainnya. Tanpa dia sadari ternyata dia membaca novel sudah cukup lama, dia baru sadar saat bel istirahat berbunyi.
“Kamu mau ke kantin bareng?” tanya seorang gadis di sampingnya.
“Gak, duluan aja gue masih mau di kelas” kata Fia dengan nada yang cukup datar.
“Oh, ya udah aku ke kantin dulu ya” kata orang tadi dan berjalan menjauh dari bangku Fia.
“Hm” jawab Fia dengan pelan.
Fia mulai melanjutkan membaca novelnya tanpa memperdulikan sekelilingnya dan kebisingan karena ulah dari anak laki-laki yang ada di kelasnya.
“Hai” sapa seseorang kepada Fia.
“Hm” jawab Fia dan menatap orang itu sekilas.
“Boleh kenalan” tanya orang tadi sambil tersenyum manis.
“Hm” jawab Fia seadanya.
“Kenalin nama aku Disa dan ini Yara” kata disa memperkenalkan diri.
“Fia” jawab Fia seadanya.
“Kamu gak ke kantin Fi?” tanya Disa sambil menatap Fia.
“Gak” jawab Fia dengan nada acuh.
“Kantin yok Dis, laper gue” kata Yara.
“Kamu mau bareng gak Fi?” tanya Disa dan di balas gelengan oleh Fia.
“Gak” jawab Fia.
“Yaudah kita duluan ya Fi” kata Yara dan menarik Disa menjauh.
“Bye Fi” kata Disa sambil melambaikan tangan ke arah Fia.
"Gila, gue merinding di deketnya si Fia, lu juga Dis ngapain ngajak dia kenalan sih" kata Yara setelah mereka sudah berada di depan kelas.
"Gak tau, aku tiba-tiba penasaran aja sama Fia" kata Disa sambil menatap Yara.
"Penasaran tuh jangan sama manusia modelan kek gitu dong Dis" kata Yara dengan nada putus asa.
"Gak papalah angep aja buat mencari pengalaman baru, kita kan belum pernah berteman sama orang seperti tadi" kata Disa dengan senyum manisnya.
"Iya juga sih, serah lu lah gue ngikut aja" kata Yara menyetujui perkataan Disa tadi.
♤♧♤
Sudah hampir satu bulan Disa dan Yara mendekati Fia dan mulai membuahkan hasil. Sekarang Fia mulai bisa banyak bicara dan tersenyum menanggapi ucapan mereka.
Disa juga menceritakan bahwa dia bisa melihat sosok lain di dunia ini dan di respon santai oleh Fia, tetapi Yara sangat terkejut mengetahui jika Disa bisa melihat hal-hal seperti itu.
Saat ini adalah ektrakulikuler pramuka dan disinilah mereka, duduk di bangku koridor sambil menunggu waktu jam pramuka dimulai. Karena mereka memutuskan untuk tinggal di sekolah, sebab bagi mereka jika pulang ke rumah akan membuang-buang waktu dikarena jarak waktu pulang dan pramuka tak terlalu lama. Mereka membahas apa saja yang bisa di bahas. Sampailah di pembahasan masalah sekolah ini. "Em, aku mau bicara" kata Disa dengan tiba-tiba. "Apa?" kata Fia dengan raut wajah masih datar. "Mau bicara apa Dis?" tanya Yara dengan antusias. "Aku penasaran sama sejarah sekolah ini, gimana ya jelasinnya?" kata Disa sambil menggaruk kepalanya bingung. Bingung ingin memulai dari mana. "Setelah mendengar cerita dari beberapa guru dan kakak kelas, aku ngerasa aneh aja" lanjut Disa dengan tatapan menatap ke depan. "Terus" kata Fia dengan raut wajah tenang. "Aku mau cari kebenarannya, emang bener di sini ada siluman harimau?" kata Disa dengan nada bertanya. "Entah" kata Fia sambil mengangkat
Fia melihat ke arah yang di tunjuk Disa hingga pandangannya melihat ke arah lantai 3, dan saat Fia menatap ke arah yang di maksud oleh Disa. Fia hanya bisa menatap dingin dan datar. Disa yang mengetahui kebodohannya pun merutuki dirinya sendiri, karena Disa tak tau jika Fia bisa melihat hal-hal seperti dirinya. Disa tahunya Fia hanya manusia biasa yang tak bisa melihat hal-hal seperti itu. Sebenarnya Fia juga tak bisa melihat sosok itu secara terperinci seperti Disa, dia hanya bisa melihat banyangan. Dan yang dia lihat tadi bayangan bewarna merah yang menandakan sosok tadi penuh akan dendam dan kebencian. "Ngomong-ngomong kok masih sepi ya" kata Disa sambil melihat sekeliling. "Iya ya, jam berapa emang?" tanya Yara sambil menatap Disa. "Ya ampun kita udah telat" kata Disa saat menatap ke arah jam tangannya. "What?" kata Yara terkejut. "Nih" ujar Disa sambil melihatkan jam tangan miliknya. "Loh kok bisa? Padahal kita cuma sebentar tadi" kata Yara dengan raut wajah terkejut. "Ud
Beberapa hari setelah kejadian waktu itu. Mereka sudah memutuskan untuk membatalkan rencana untuk menulusuri sekolah mereka. Disinilah mereka sekarang dalam kegiatan belajar mengajar. Hingga kedatangan sosok yang kemarin baru mereka kenal. 'Hai' sapa kak Rita yang berada di samping Disa. "Hai kak" jawab Disa tanpa mengalihkan pandangannya. 'Aku boleh minta bantuan sama kamu?' tanya kak Rita dengan nada penuh harap. "Bantuan? Kalau bisa kami bantu kami usahain bantu kak. Memangnya minta bantuin apa?" tanya Disa heran. 'Boleh minta tanganya?' tanya kak Rita sambil menjulurka tangannya di depan Disa. "Tangan?" kata Disa dengan bingung. 'Hm, aku mau nunjukin sesuatu' kata kak Rita dengan nada sedih. "Oh, ini" kata Disa dan kak Rita mulai memegang tangan Disa. Setelah itu... { Disa POV } Disa tiba-tiba berpindah ke tempat yang tak dia ketahui bahkan tempat ini sangat gelap tak ada pencahayaan sama sekali. Disa memutuskan berjalan walau ada rasa takut di dirinya. Baru beberapa l
Sesampainnya di kelas Disa mulai meredakan tangisnya. "Lu kenapa Dis?" tanya Yara penasaran. "..." Disa diam seribu kata, dia menatap kosong ke bawah. "Dia butuh waktu" kata Fia sambil mengelus punggung Disa. "Gue serahin Disa ke elu jangan buat dia nangis dan ajak bicara gue mau beli teh anget" kata Fia dan berjalan pergi meninggalkan Disa dan Yara di dalam kelas. Seisi kelas hanya menatap ke arah mereka bingung. "Dis lu kenapa?" tanya Yara sambil menatap Disa sedih. "..." Disa masih diam membisu tak mau bicara. "Dis bicara dong jangan buat gue takut" kata Yara dengan raut sedih. "Gue takut Yar" kata Disa sambil menatap ke arah Yara dengan raut wajah sedih dan takut. "Takut kenapa? Bilang sama gue" kata Yara sambil menatap Disa penuh tanda tanya. "Gue... gue gak bisa bilang sekarang" kata Disa dan tangisnya pun mulai pecah kembali. Yara yang melihat Disa kembali menangis pun mulai kelabakan, bingung ingin melakukan apa. "Disa kenapa Yar?" tanya salah satu teman kelas merek
Bel pulang sekolah sudah berbunyi beberapa menit yang lalu. Disinilah mereka sekarang, masih di dalam kelas. "Oke, jadi waktu aku di masa lalu kak Rita lebih tepatnya kejadian saat kak Rita meninggal..." kata Disa tergantung. "Ternyata sebelum meninggal kak Rita di jebak sama tiga lelaki" lanjut Disa sambil menatap ke lantai. "Terus" kata Fia dengan nada serius. "Di jebak?" kata Yara sambil menatap ke arah Disa tak percaya. "Iya tapi aku gak tau kelanjutannya kayak gimana" kata Disa dengan nada suara sedih. "Terus" kata Fia lagi dengan datar. "Waktu aku pindah tempat aku panik dan cari keberadaan kak Rita yang ternyata kak Rita sudah tak bernyawa dengan tubuh yang berlumuran darah" kata Disa mulai kembali cerita. "Tiga laki-laki tadi?" tanya Fia dengan heran. "Gak tau" jawab Disa sambil mengangkat bahu tak tahu. "Huff" hembusan nafas dari Fia. 'Cukup rumit, kemungkinan dia di lecehkan dan bunuh diri?' batin Fia setelah berpikir dengan cermat. Fia memikirkan apa yang tadi Di
Sudah dua hari mereka mencari petunjuk tapi tak ada yang mereka dapat. "Ini gimana?" tanya Disa sambil menompa dagunya. "Gak tau gue" kata Yara menjawab pertanyaan dari Disa barusan. "Ck, bego!" kata Fia dengan tiba-tiba dengan suara cukup keras. "Eh buju buset!" kaget Yara. Ada beberapa pasang mata yang menatap mereka aneh. Fia yang melihat tatapan dari mereka pun membalas menatap mereka dengan tajam. Orang yang tadi menatap mereka aneh dengan segera mengalihkan tatapan. "Kenapa Fi?" tanya Disa sambil menatap Fia heran. "Lu kan bisa ngeliat hantu kenapa gak kita pergunain aja" kata Fia dengan nada pelan agar tak ada yang mendengar. "Iya juga ya" kata Yara sambil menatap Disa aneh. "Makannya itu, aku lupa" kata Disa sambil mengaruk tengkuknya yang tak gatal. "Ya udah Dis mulai sekarang coba tanya-tanya sama hantu yang ada disini" kata Yara dengan semangat barunya. "Oke" balas disa dengan senyum semangatnya. "Woy! Ada dua murid baru, cogan semua lagi" kata seorang siswi deng
Alvin yang melihat sikap aneh temennya pun merasa bingung. Karena sendari tadi dia melihat temannya melihat ke arah Fia terus-menerus. "Lu kenapa?" tanya Alvin pada intinya. Yuan yang mendengar pertanyaan dari temennya pun hanya bisa mengerutkan dahinnya bingung. "Lu kenapa ngeliatin tuh cewek sampek kek gitu?" kata Alvin lagi. "Gak" jawab Yuan dengan datar dan mengalihkan pandangannya ke arah lain. "Lu suka sama cewek model kayak gitu?" tanya Alvin penuh selidik. Yuan yang mendengar pertanyaan dari Alvin pun hanya menganggap angin lalu. "Ck" decak kesal dari Alvin karena di abaikan oleh Yuan. "Kalau penasaran cari tau, kalau suka pepet jangan kasih kendor" kata Alvin kepada Yuan. Yuan yang mendengar perkataan Alvin hanya menatapnya dengan datar. "Woy! Buruan waktu gue terlalu berharga!" kata Fia lumayan keras saat melihat kedua cowok itu asik ngombrol sendiri. "Sabar elah" balas Alvin sambil memutar bola matanya dengan malas. "Ayok" kata Alvin dan berjalan mengikuti langka
Bel istirahat sudah berbunyi sendari tadi dan disinilah mereka sekarang di bangku belakang yang ada di kelas. "Kita mulai nanti setelah pulang sekolah" kata Fia datar. "Oke" kata Disa dengan senyum senangnya. "Harus banget ya?" tanya Yara tak yakin dengan keputusan Fia. "Kalau takut pulang aja" kata Fia dengan santai. "Siapa bilang gue takut, gue cuma sedikit gak yakin aja" kata Yara mengelak tidak mau mengakui ketakutannya. "Hm" respon Fia dengan malas. "Emm, ke kantin yuk aku laper" ajak Disa sambil melihat ke arah teman-temannya. "Gue juga laper" kata Yara menyetujui ajakan Disa tadi. "Fi?" tanya Disa sambil menata Fia. "Gue di sini" kata Fia tanpa ekspresi. "Oke kita duluan" kata Disa dan menarik tangan Yara berjalan keluar kelas. "Hm" balas Fia malas. Fia mulai menyibukkan diri dengan novel miliknya. Beberapa menit Fia sibuk dengan novel miliknya hingga ada seseorang yang berdiri di depan mejanya. Dalam diam orang itu meletakkan makanan dan minuman di meja Fia. "Mak
Sudah satu minggu setelah kejadian itu, dan Fia sudah tak sesedih kemarin dan menyalahkan dirinya sendiri atas kematian Yara.Dia juga sesekali mampir ke rumah Yara untuk menjenguk mama Yara atau di ajak adik Yara untuk mampir ke rumah. Dengan senang hati Fia menerima ajakan adik Yara.Satu yang membuatnya heran, kenapa orang tua Sasa tak pernah sekali pun mencari keberadaan sang anak yang hilang bagaikan tertelan bumi? Dan ternyata Fia mendapat satu fakta yang tak terduga, Sasa adalah anak dari papanya dengan selingkuhannya, sebab itu mereka tak peduli dengan sosok Sasa, bahkan saat ini orang tua Sasa sedang menyiapkan sidang penceraian mereka.Fia yang mendengar cerita itu hanya memasang raut wajah sedih dan prihatin.Tapi, walau orang tua tak mencarinya, masih ada Alvin yang menanyai keadaan Sasa dan menanyakan kondisi Sasa kepada Fia. Seperti menanyakan ‘Sasa di mana ya? Bagaimana kondisinya? Kenapa dia menghilang tanpa memberi kabar?’ dan di jawab Fia dan Yuan dengan mengangkat b
Yuan yang melihat tingkah lucu Fia hanya memasang raut wajah gemas dan senyum geli.“Ayo” ucap Yuan sambil menatap Fia dengan senyum yang masih terpatri di bibirnya.“Iya” balas Fia dengan lesu dan dengan malas Fia membuka pintu mobil. Fia keluar dan di sambut oleh Yuan dengan senyum kecil.Yuan memegang tangan Fia dengan lembut dan membawanya ke arah pintu rumah. Mereka memasuki rumah Fia dengan kerutan di dahinya.Bagaimana tidak, di depan mereka sudah berkumpul keluarga Fia. Fia yang melihat keluarganya yang sedang canda tawa hanya memasang raut wajah datar dan sorot mata ke tidak sukaan.Yuan yang tahu akan pikiran Fia hanya bisa menguatkan pegangannya di tangan Fia dan memberi usapan kecil di punggung tangannya.“Fia, sini sayang” ucap salah satu bibinya dengan senyum mengembang indah.Fia yang mendengar panggilan dari sang bibi hanya diam membisu dan masih di tempatnya dengan raut wajah datar.“Fia?” kata sang bibinya lagi dengan kerutan di dahinya.“Ada apa ini?” tanya Fia den
Pemakaman Yara berjalan dengan sangat hikmat, banyak orang yang meneteskan air mata saat melihat peti Yara memasuki lian lahat.Fia mengikuti acara pemakaman dengan raut wajah datar dan sorot mata kesedihan. Dia berada di samping mama Yara. Mama Yara yang memintanya untuk di sampingnya dan Fia hanya menurut tak bisa membantah. Dengan langkah pelan keluarga Yara mulai menjauh dari mekan Yara. Mama Yara sudah mengajak Fia untuk pulang tapi Fia menolaknya, dia ingin menetap di sini untuk beberapa saat.Fia menatap ke arah gundukan tanah di depannya dengan sorot mata kepedihan. Dia masih merasa bersalah dengan Yara, tak jauh dari tempatnya berdiri ada sosok Disa yang menatap ke arah gundukan di depannya dengan air mata yang masih mengalir.Fia menatap ke arah Disa dengan senyum kecil dan berjalan ke arah Disa dengan perlahan.“Ayo” ajak Fia sambil memegang pundak Disa dengan senyum kecil di bibirnya.Disa menatap ke arah Fia sebentar dan kembali menatap ke gundukan tanah tadi setelahnya
Hari pemakaman Yara, Fia datang dengan Yuan di sampingnya. Dia sudah membulatkan tekatnya, entah di terima atau tidak kehadirannya di sana. Niatnya untuk mengantarkan Yara ke peristirahatan terakhirnya, sebagai bentuk terima kasih dan penyesalan.Fia berjalan memasuki ambang pintu rumah Yara, saat dia masuk matanya sudah melihat banyak orang di sana dan tak lupa peti jenazah Yara yang di kelilingi oleh keluarganya. Sanak saudara berhilir mudik dan bergantian melihat wajah Yara untuk terakhir kalinya. Sosok Yara terlihat sangan memukau di hari terakhirnya sebelum di kebumikan.Fia mulai berjalan memasuki rumah Yara dengan Yuan di belakangnya. Mereka berdua memakai baju berwarna hitam polos tanpa ada corak seperti yang lainnya.Saat Fia memasuki rumah Yara, ada beberapa pasang mata yang menatap ke arahnya tapi tak dia anggap.Dengan langkah pelan, Fia mendekat ke arah peti Yara, saat langkah kakinya semakin dekat dengan peti Yara berada tiba-tiba langkahnya terhenti saat sosok mama Yara
“Semua ini di sebabkan oleh saya” ucap Fia setelah menguatkan dirinya untuk jujur.Saat mendengar perkataan Fia barusan, membuat pandangan mama Yara langsung tertuju ke arah Fia.“Apa maksudmu?” tanya Mama Yara dengan sorot mata tak bersahabat.“Yara meninggal karena saya, dia mengorbankan nyawanya untuk saya,” ucap Fia terhenti sejenak untuk mengambil nafasnya karena dadanya terasa sesak.“Dia melindungi saya dari tusukan yang seharusnya saya terima, seharusnya saya yang berada di posisi Yara” ucap Fia dengan tertunduk dalam.Mama Yara yang mendengar perkataan Fia hatinya merasa marah, bahkan tangannya terkepal sangat erat. Dengan langkah cepat dia berjalan ke arah Fia dan menamparkan begitu keras untuk melampiaskan kemarahannya.Plak!Sang suami yang melihat tingkah sang istri merasa sedikit terkejut dan mencerna semua kejadian tadi, ucapan Fia tadi kembali mengulang di otaknya.“Pembawa sial!” ucap Mama Yara di depan wajah Fia.“Mah!” ucap sang suami saat sadar akan keterkejutannya
Lama Fia dan Yuan berpelukan hingga Fia melepaskan pelukan itu, dengan raut wajah sembab Fia menatap Yuan.“Makasih” gumam Fia dengan senyum tulus.“Hm” balas Yuan sambil mengelus rambut Fia dengan senyum simpul.“Ayo” ajak Yuan sambil menggenggam tangan Fia dan menuntunnya masuk ke dalam ruangan tadi.Di dalam ruangan ada sosok Disa yang menangis sesegukan sambil menatap sosok Yara yang terbaring kaku di depannya.Fia berjalan mendekat ke arah Yara dan menggenggam tangannya pelan.“Maaf” ucap Yara dengan lirih dan sorot mata sedih.‘Maaf, semua ini gara-gara gue Yar. Andai dulu lu gak deket sama gue, andai lu gak ngelindungi gue pasti lu masih ada di sini’ batin Fia dengan senyum getir.“Gue bener-bener minta maaf” ucap Fia penuh sesal.Suara hening mulai mengisi ruangan tadi, Disa yang menangis dalam diam sedangkan Yuan dan Fia menatap ke sosok Yara dengan raut wajah sedih.Tak lama, suara langkah kaki terdengar di dalam ruangan tadi. Dengan refleks mereka melihat ke sumber suara, d
Mereka masih di posisinya, dengan pemikiran masing-masing. Sedangkan Ridwan sedikit menjauh untuk memberi kabar orang tua Yara akan kondisi anaknya. Setelah memberi kabar orang tua Yara , Ridwan mulai memberi kabar keluarganya tentang keberhasilan Fia. Kabar yang di beri tahukan Ridwan membawa kebahagiaan di keluarganya.Beberapa menit kemudian pintu UGD mulai terbuka, terlihat sosok berjas putih keluar dari ruangan dengan raut wajah penuh penyesalan.“Bagaimana keadaan teman saya dok?” tanya Disa sambil berjalan mendekat ke arah sang dokter. Dalam diam Fia berjalan mengikuti langkah Disa.“Kami sudah melakukan yang terbaik tapi Tuhan mempunyai jalan yang lebih baik. Maaf, Tuhan berkehendak lain, teman adik dinyatakan meninggal karena telat akan penanganan yang seharusnya dia terima. Teman adik terlalu banyak kehilangan darah” ucap sang dokter dengan raut wajah lesu, karena pasiennya gagal untuk dia selamatkan.“Gak, dokter pasti salah” ucap Disa dengan raut wajah tak percaya dan memu
Fia mulai membuka matanya dan menatap ke arah Disa dengan raut wajah serius.“Dis” panggil Fia tanpa emosi.“Iya?” balas Disa dengan raut wajah heran.“Pegang batu ini dan baca mantra yang tertulis di sini” ucap Fia sambil menatap ke arah Disa dengan raut wajah masih sama.“Kenapa?” tanya Disa dengan raut wajah heran.“Ini kunci keluar dari sini” balas Fia apa adanya.“Oke” balas Disa dan mulai berjalan mendekat ke arah Fia. Tanpa membutuhkan waktu lama Disa mulai membaca mantra yang ada di batu tadi. Mantra tadi tertulis dengan aksara Jawa, dan entah kenapa Disa dengan lancar mengucapkannya, setiap kata terdengar sangat jelas.Tak lama cahaya di batu tadi semakin terang, cahaya yang tadinya putih berubah menjadi abu-abu. Tak lupa ada juga beberapa kunang-kunang yang hadir mengelilingi mereka.Fia yang melihat pemandangan di depannya sedikit menatap dengan sorot mata memuja. Tak lama, cahaya tadi mulai redup dan mereka sudah berada di luar gerbang sekolah.“Kondisinya semakin memburuk
Fia yang mendengar jeritan Sasa hanya menatapnya dengan raut wajah tanpa emosi.“Fia tolongin gue” ucap Sasa dengan raut wajah memohon ke arah Fia.“Gue gak bisa” balas Fia dengan acuh tak acuh.“Gue minta maaf, gue ngaku gue salah. Gue mohon bantu gue, lepasin gue dari rantai ini” ucap Sasa dengan air mata yang menetes melewati pipinya.“Gue gak bisa, itu bukan kemampuan gue” balas Fia apa adanya.Tak lama dari itu Fia mulai mendengar jeritan tak jauh darinya.“Yara!” ucap Disa saat baru saja bangun dari pingsannya, dan saat dia membuka mata pandangan pertamanya adalah sosok Yara dengan darah di tubuhnya. Dengan raut wajah panik Disa menatap ke arah Yara.“Yar, aku minta maaf jangan kayak gini” ucap Disa sambil menepuk pipi Yara beberapa kali.“Dia akan mati kalau gak ambil tindakan dengan cepat” ucap Fia dengan raut wajah tanpa emosi.“Yuan, boleh minta tolong? Tolong gendong Yara, karena gak mungkin kalau gue atau Disa yang gendong” ucap Fia sambil menatap ke arah Yuan dan di anggu