IBUKU DITELANTARKAN SUAMIKU
[Dek, Ibu mau kontrol besok. Uang sekolah Farhan juga sudah ditagih. Kamu kapan mau transfer?][Nanti sore ya, Mas. Ini aku masih di kuil. Lagi nganter si Kakek berdo'a dulu. Memang uang sekolah Farhan berapa?][Kurang dua juta, Dek. ]Aku mengerutkan kening saat membaca balasan Mas Tohir. Ini kali dua ia meminta tambahan uang setelah bulan kemarin juga minta untuk membetulkan talang air yang ada di dekat kamar Ibu.[Ya sudah, nanti sore aku transfer. Kamu tunggu saja, Mas.][Ya, terima kasih ya, Dek. Kamu hati-hati di sana.]Aku hanya membaca pesan dari Mas Tohir, lalu menyimpan ponsel kembali karena Kakek yang kurawat sudah selesai berdo'a.Ini tahun ketiga aku bekerja di Taiwan sebagai perawat kakek-kakek. Setelah sampai rumah, segera kuganti baju Kakek dan ia pun istirahat. Di saat istirahat begini lah, aku bisa santai sekedar untuk terlelap sebentar.Namun, sore ini aku tak bisa memejamkan mata. Rasanya sangat aneh saat suamiku lagi-lagi meminta uang tambahan. Padahal, awal bulan kemarin aku sudah mengirim sebesar delapan juta rupiah.Aku bekerja di sini karena sebuah keterpaksaan awalnya. Aku baru saja melahirkan anak kedua saat itu, dan ketika bayiku berusia satu tahun, aku pergi bekerja karena Mas Tohir sangat sepi pekerjaan. Ditambah Ibuku yang sakit-sakitan. Beliau mengidap penyakit jantung dan diabetes, atau komplikasi. Biaya berobatnya tak tanggung-tanggung."Demi kalian, aku rela bekerja jauh di sini. Kadang kurang tidur, demi kalian bisa hidup enak," ucapku sambil melihat foto Ibu dan kedua anakku.Anak sulungku baru masuk SMA. Kata Mas Tohir, sedang membutuhkan banyak uang untuk pendidikannya. Ia ingin anaknya punya masa depan yang cerah, maka dari itu, aku berniat untuk memperpanjang kontrakku.Hari demi hari kulalui. Hingga akhirnya, tiba di mana si Kakek ngedrop dan dibawa ke rumah sakit. Selang beberapa jam, beliau dinyatakan meninggal dunia. Ada rasa sedih karena aku sudah merawatnya selama tiga tahun ini."Kamu bagaimana, Sarah? Apa mau pindah majikan?" tanya orang agensi-ku, saat Kakek baru saja dikremasi.Aku sempat berpikir ulang. Apakah kulanjutkan saja? Tapi jika kulanjutkan, maka aku harus beradaptasi lagi. Lagipula, sudah cukup lama aku di sini, rumah pun sudah direnovasi."Saya mau pulang saja, Kak.""Kamu yakin? Ini kesempatanmu langsung dapat bos baru, loh."Aku menggeleng. Sudah terlalu lama aku meninggalkan anak-anakku, kasihan juga Mas Tohir kesepian di rumah. Sebaiknya aku memang pulang saja.Hari keberangkatanku sudah ditentukan dua hari lagi. Kucoba untuk menghubungi Mas Tohir, namun nomornya tak aktif. Telepon Farhan pun sama. Anak itu terus menerus ganti nomor ponselnya. Setiap meminta pada Mas Tohir, aku selalu lupa.Hingga aku berangkat menuju Indonesia dan kemudian sampai di tanah air, nomor Mas Tohir tetap tak bisa dihubungi. Biarlah, aku akan memberikan mereka surprise saja.Aku menyetop taksi untuk menuju terminal, dan naik bus jurusan Purwokerto. Hati begitu senang, tak sabar rasanya bertemu dengan keluargaku."Fathan, Ibra, Ibu pulang, Nak."Tak terbayang bagaimana wajah Ibra saat ini. Meski sering video call, tapi pasti rasanya beda jika bertemu secara langsung.Setelah perjalanan delapan jam, aku sampai di depan rumah. Namun, satu pemandangan membuatku begitu terkejut. Kenapa rumahku masih seperti dulu? Tak ada perubahan seperti yang Mas Tohir bilang? Lalu, rumah siapa yang ia foto dan kirimkan padaku?Aku mengetuk pintu, namun tak kunjung dibuka. Akhirnya kucoba buka, dan langsung bisa. Kenapa tak dikunci?"Assalamu'alaikum," ucapku."Uhuk-uhuk!"Aku mendengar suara Ibu batuk. Segera aku menuju kamar Ibu dan menyalakan lampu di kamarnya. Aku begitu terkejut melihat keadaan Ibu."Ibu?""Sarah? Kamu pulang, Nak?"Ibu langsung merentangkan tangannya, dan aku pun memeluknya."Sarah...""Bu? Kenapa keadaan Ibu malah begini?"Kasur kapuk yang sangat keras, dan luka basah di tubuh Ibu. Ssbenarnya, apa yang sudah dilakukan suamiku selama aku pergi kerja di luar negri?_______“Di mana Mas Tohir, Bu? Lalu anak-anakku di mana?”“Sarah, suamimu memang bi*d*b! dia memasukkan Farhan ke pesantren dan semua itu gratis. Ibu sering mendengar ia yang suka meminta uang padamu dengan alasan untuk biaya sekolah Farhan. Ia menjadikan rumah ini sebagai bukti bahwa kita hidup miskin.”“Astaghfirullah! Memang tetangga nggak ada yang ngasih tahu ke staff pesantrennya pas lagi ke sini, Bu?”“Ibu nggak tahu, Rah. Ibu sakit begini, untuk jalan pun susah.”Aku menatap Ibuku dengan sedih. Kepulanganku ke tanah air bukannya menyisakan haru dan bahagia karena bisa berkumpul lagi dengan keluarga, namun aku malah melihat kenyataan menyakitkan ini.“Bu, kita ke rumah sakit. Sebentar, Sarah akan pesan taksi online.”Beruntung, tadi aku sempat membeli kartu perdana Indonesia dan sudah didaftarkan langsung, sehingga memudahkanku untuk mendownload aplikasi taksi online dan memesannya.“Ayo, Bu, mobilnya sudah sampai.”Kuseret kembali koperku, dan berjalan menuju mobil. Alhamdulillahnya, Pak supir mau membantuku membawakan koper ke mobil sehingga aku bisa memapah IbuSuasana kampung memang sedang sepi. Mungkin karena ini masih gelap. Jam baru menunjukkan pukul empat pagi.“Kita ke IGD aja ya pak.”Pak Supir membawa kami ke IGD. Beruntung kami bertemu dengan orang baik, beliau mau mengubah rute. Sampai di IGD, Ibu langsung di tangani. Luka basah itu awalnya kecil, namun karena tak diobati, maka menjadi lebar.Pukul Sembilan pagi, Ibu dipindahkan ke rumah sakit yang lebih besar dan fasilitasnya memadai. Tak tanggung-tanggung, aku memasukkan Ibu ke ruangan VVIP. Kemarin sebelum pulang, keluarga Kakek memberiku pesangon yang sangat banyak. Mereka memang sangat baik, mungkin karena aku telah meringankan tugas mereka.“Bu, apa sekarang sudah lebih baik?” tanyaku.“Iya, Rah. Alhamdulillah, anak Ibu pulang tepat waktu.”Aku tersenyum, meski dalam hati merasa sangat sakit melihat beliau begini. Tujuanku kerja keras selama ini karena ingin mengobati Ibu supaya cepat sembuh. Dan Mas Tohir pun mengizinkanku untuk ke luar negeri.“Apa yang sudah Mas Tohir lakukan selama ini pada Ibu?” tanyaku sambil menitikkan air mata.“Dia jarang pulang, Rah. Ibra juga dibawanya. Menurut Minah, si Tohir sudah membangun rumah lagi. Tapi di dekat rumah orang tuanya.”“Apa? Bahkan Sarah mengirimkan uang untuk merenovasi rumah kita, Bu. Bukan malah membangun rumah baru.”Aku marah begini karena ada alasannya. Biar bagaimana pun, aku tak bisa melupakan kebencian keluarga suamiku. Dulu sewaktu aku menikah dengan Mas Tohir memang ditentang, dengan alasan aku hanyalah anak dari orang miskin yang tak pantas bersanding dengannya.Berbagai macam hinaan sudah kuterima, dan kutelan. Sekarang, Mas Tohir malah membangun rumah di samping rumah mertua? Astaga! Benar-benar suamku itu!Ting!Sebuah pesan masuk. Pucuk dicinta, ulam pun tiba. Mas Tohir mengirimkan pesan padaku dengan bahasan seperti biasa. Uang.[Dek, gimana? Apa uangnya sudah kamu kirim?][Iya, nanti, Mas. Aku lagi sibuk.][Sesibuk apa sih, Dek? Ini untuk Ibumu sendiri, loh. Kamu mau Ibumu sembuh, nggak?]Lama-lama, aku geram sendiri membaca pesan dari Mas Tohir.[Ya sudah, tapi aku mau video call sama Ibu dulu, mau lihat kondisinya.]Lama tak ada balasan dari lelaki itu. Hem, mau apa kamu, Mas?[Ibunya lagi tidur, Dek.][Ya sudah, kirimkan fotonya saja.]Sebuah pesan masuk, berisi kiriman foto Ibu yang tengah tertidur. Jika diperhatikan, setiap foto yang masuk itu pose, dan bajunya sama selama beberapa bulan ini. Kenapa aku begitu bodoh sampai tak bisa membedakan.Kutekan tombol video, lalu tersenyum miring. Kita lihat, apakah Mas Tohir masih bisa berkelit?"Mas, kamu di mana? Ibu di mana?" tanyaku. "I-ibu lagi tidur. Ini Mas lagi di rumah teman, Dek." "Oh, maksud Mas, Ibu lagi tiduran di sini?"Kusorot Ibu yang sedang tiduran. Mas Tohir tampak melebarkan matanya. Jelas saja dia terkejut. "Dek, kok Ibu bisa sama kamu, sih? A-apa kamu sudah pulang?" "Ya, aku sudah pulang, Mas! Dan aku melihat rumahku masih berbentuk gubuk, Ibuku sakit parah, dan anakku kamu masukkan pesantren gratis, tapi kamu tetap meminta uang padaku. Jahat kamu, Mas!" Klik. Panggilan video dimatikan oleh Mas Tohir. Benar-benar lelaki itu, ya! Tak ada rasa terima kasihnya. "Nak, sudah, jangan bertengkar. Yang terpenting sekarang kamu sudah ada di sini."Aku mengangguk, meski sebenarnya masih ingin sekali marah-marah pada Mas Tohir. Bayangkan saja! Aku di luar negeri selama 3 tahun demi hidup Ibu dan anak-anakku terjamin, tapi ternyata uangnya entah raib ke mana. Dan yang paling membuatku jengkel kenapa harus membangun rumah di samping rumah mertua?"Pokoknya, nanti
"A-apa? Robohkan?" Mungkin Mas Tohir pikir, aku akan mengalah begitu saja. Oh, tentu tidak! Aku lebih baik merobohkan rumah ini daripada harus mengikhlasknnya untuk ditempati oleh Ranti. Tidak akan pernah! Jika memang mereka tak mau ibuku tinggal di rumah ini, maka akan kurobohkan saja! "Ya sudah robohkan saja!" ucap Mama sesumbar. "Baik, besok aku akan menelepon agennya dan merobohkan rumah ini!" Mas Tohir sudah kalang kabut saat mendengar aku dan Mama ribut. "Ya sudah, Ibumu boleh tinggal di sini. Asal, jangan bikin aku repot." "Tidak akan! Asal kamu, juga jangan merepotkanku." Mas Tohir tampak diam, tapi juga tak membantah. Bagus lah, aku jadi tak perlu memberi makan mereka. Mama dan Ranti pergi, tanpa berkata apapun. Sementara Mas Tohir masih berdiri di tempatnya. Ibra mendekat ke arah Ayahnya. "Ibra, sini sama Bunda, Nak." Aku mendekat pada anak bungsuku itu. Namun ternyata, ia malah menjauh. Hatiku sakit melihatnya. "Ibra, ini Bunda, Nak. Yang suka video call." Namu
"F-Farhan?" "Kenapa, Mas? Kamu kaget karena aku bawa pulang Farhan?" "Tapi dia kumasukkan ke pesantren, demi masa depannya, Rah!" sentak Mas Tohir. "Masa depannya atau emang mau menikmati uangku sendirian, Mas?" tanyaku. Wajah Mas Tohir merah padam. Ia menatap tajam ke arah Farhan sehingga anak itu kusuruh masuk ke dalam kamar terlebih dahulu. "Mas bisa jelaskan semuanya, Rah," ucap Mas Tohir. "Apa yang perlu dijelaskan, Mas? Nggak ada! Kamu ini memang mata duitan! Aku nyesel karena sudah menyanggupi kemauanmu ke luar negeri. Kamu lihat sekarang! Ibuku bukannya sembuh malah makin parah sakitnya, belum lagi rumah peninggalan Bapak sudah mau roboh aja!" "Kenapa kamu jadi bahas hal yang udah-udah, sih? Harusnya kamu berterima kasih padaku, karena aku sudah merawat Ibumu. Padahal aku ini hanya menantunya!" Aku membeliakkan mata saat mendengar ucapan Mas Tohir. Apa katanya? Hanya menantunya? "Jadi, selama ini kamu tak pernah menganggap ibuku selayaknya ibu kandung ya, Mas? Berbeda
"Mas, motorku!" Aku menoleh saat Mas Tohir hendak maju menghampiriku, seketika ia berhenti dan meminta adiknya untuk bersabar.Aku masuk ke dalam rumah, dan memandikan Ibra, sementara Farhan tengah membuat kerajinan dari batok kelapa, membuat asbak. "Nak, apa kamu merokok?" tanyaku pada Farhan. "Tidak, Bun. Ini karena dulu Farhan pernah belajar sama Aki Umen, yang jadi pengrajin batok itu, loh. Makanya Farhan bisa. Lumayan, Bu, buat dijual," jawab Farhan sambil tersenyum. "Iyakah? Kamu dulu belajar saja, kan?" "Emm, sebenarnya Bapak menyuruh Farhan untuk mencari uang sekedar untuk jajan, Bu."Apa? Dadaku perih bukan main saat mendengar pengakuan anakku. Mas Tohir benar-benar keterlaluan. Bagaimana bisa ia menyuruh anak sulungnya untuk mencari uang? Lalu untuk apa aku mengiriminya uang selama ini?Usai memanikan Ibra, aku menitipkannya pada Ibu. Ibu sudah memperingatiku supaya tidak bertindak terlalu jauh, namun aku tak peduli. Ibu tak merasakan sakitnya jadi aku, seorang Ibu yang
[Apa maksudmu membuat status begitu, Kak? Apa kamu berniat mempermalukanku?] [Menurutmu gimana? Kamu aja bisa bikin status nyeleneh tentang aku, kenapa aku nggak bisa? Dengar ya, Ran, aku ini tergantung bagaimana orang bersikap. Kalau kamu aja nggak bisa menghargaiku dan menghormatiku sebagai Kakak ipar, maka jangan harap aku akan menghargaimu juga.] Setelahnya kublokir nomor Ranti. Ibra dan Farhan sedang bermain di halaman, saat Bik Sarni datang membawa minuman. "Ayo, diminum dulu, Mbak. Memangnya Tohir ke mana, Rah?" tanya Bik Sarni. "Ngilang dia, Bik, digondol setan." "Hust, Rah, yang benar ngomongnya." "Lah, iya kan, Bu? Mas Tohir itu udah gak kaya manusia, tapi kaya setan. Heran juga aku sama dia, kenapa makin tua malah gak makin mikir. Aku terima saja saat ia tak kerja karena kupikir ngerawat anak kami. Kalau ujung-ujungnya malah kaya gini, ya Sarah ga mau, Bu." "Sabar, Rah. Apa Tohir berlaku yang gak baik sama kalian?" "Bukan hanya itu, Bik. Dia malah nggak ngurus anak
"Tofik?""Mbak Sarah?"Kami sama-sama terdiam. Pandanganku tertuju pada wanita di samping adik iparku itu. Sementara Tofik salah tingkah karena aku memergokinya tengah bersama wanita hamil."Kalian saling kenal?" tanya wanita itu."Iya, saya-""Mbak, boleh kita bicara dulu? Sayang, sebentar, ya. Nanti aku jelaskan," ucap Tofik.Kini aku mengerti, kenapa lelaki itu tampak salah tingkah. Karena wanita di sampingnya itu, ternyata adalah istri mudanya."Mbak, tolong jangan kasih tahu Ranti, ya? Aku mohon, Mbak," ucap Tofik."Sejak kapan kamu melakukannya, Fik?" tanyaku."Du-dua tahun, Mbak. Aku mohon ya, Mbak? Bisakan, jangan laporkan hal ini sama Ranti? Bisa-bisa aku digeprek sama dia.""Sudah tahu istrimu itu galak, bawel, kenapa kamu nekad?""Ya gimana, Mbak? Aku nggak nyaman di sana. Mama kan selalu ikut campur setiap masalahku.""Jadi, kamu selama ini sebenarnya gak kerja di luar kota?"Tofik menggulung. Tatapannya terlihat sangat memohon. Aku sendiri sampai bingung harus bersikap ba
"Hera, teganya kamu melakukan ini sama aku..." Meski aku kesal setengah mati dan bahkan kehilangan sebagian rasa cintaku pada lelaki yang masih berstatus suamiku itu, tetap saja aku kesal setelah tahu kenyataan bahwa suamiku direbut oleh sahabatku sendiri. Pantas, kemarin Hera terasa aneh. Pantas saja, aku merasakan kejanggalan saat berkirim pesan dengannya. Tunggu, bukankah Hera katanya hendak menikah minggu depan? Aku mengepalkan tangan. Jadi, lelaki yang hendak menikahinya adalah Mas Tohir? Ingin sekali aku melabrak mereka sekarang, namun aku tahan emosiku. Kuambil ponsel dan mengambil potret mereka yang tengah bermesraan. Kepala Hera ada di pundak suamiku. Setelahnya aku tersenyum, kalian tak bisa berkutik lagi nanti, Mas. Kuajak anak-anak untuk ke minimarket saja. Ibra sangat senang saat motor kuparkirkan. *Sama Ayah kita ga pernah ke sini ya, Bang. Tapi sama Bunda kita sering ke
"Apa kamu akan datang, Sar?" tanya Andi. "Harus, Ndi. Meski aku mau menceraikan dia, tapi aku harus datang dan buat kejutan untuk mereka." "Apa kamu baik-baik saja, Sar?" Aku tersenyum kecut. Bohong jika kukatakan aku baik-baik saja. Mana ada istri yang bisa baik-baik saja setelah dikhianati oleh suaminya? "Acaranya lusa, kan? Di rumah Hera?" "Iya, Sar. Mereka nggak tahu kamu pindahan hari ini kayaknya, makanya anteng-anteng aja ngadain acara itu. Aku pas tahu juga kaget, nekad banget Bang Tohir." "Ya sudah, Ndi, makasih infonya, ya." "Sip, kabari kalau butuh bantuan ya, Sar." Aku mengacungkan jempol. Hera, sahabatku. Tega kamu melakukannya? Apa tidak bisa bersabar sedikit sambil menunggu aku mengajukan perceraian ke pengadilan? Apa segitu gatalnya dirimu menjadi wanita? "Nduk? Kenapa?" Aku menoleh seraya tersenyum. Tidak, ibu tak
Ranti ikut panik melihat mamanya panik. Segera ia berlari ke luar dan memanggil perawat yang baru saja lewat. "Suster! Kakak saya!" Dua suster itu saling berbagi tugas. Satu ke kamar pasien, satu lagi menuju ruangan dokter. Tak lama kemudian, seorang dokter datang dan mengecek keadaan Tohir. Ia menggeleng, membuat Rita histeris. "Saya turut berduka cita, Bu. Sepertinya ada pembekuan darah di otak Pak Tohir." "Kenapa kalian baru ngasih tahu sekarang, hah! Kalian kan, yang ingin anak saya mati?!" teriak Rita, ia justru menyalahkan pihak rumah sakit. "Ibu sendiri yang tak mau menyetujui tindakan operasi Pak Tohir, bahkan sampai tak mau melakukan serangkaian pemeriksaan. Jadi, begini lah akhirnya. Kami mohon maaf, Bu. Pasien Tohir, telah tiada." Rita meraung. Ia menggenggam tangan sang putra, masih tak menyangka jika ia bisa kehilangannya. "Bu, sudah. Mayat Mas To
Ranti yang tengah tertidur, terbangun karena dering ponselnya. "Hm?" ucap Ranti begitu panggilan ia angkat. "Dengan saudari Ranti, adik dari saudara Tohir?" Ranti membuka matanya sedikit, lalu melihat layar. Nomor tak dikenal. Ia letakkan lagi di dekat telinganya. "Iya, benar. Siapa ya? Kalau cari Mas Tohir, dia nggak ada." "Kami dari kepolisian. Saudara Tohir mengalami kecelakaan dan sekarang tengah dilarikan ke rumah sakit Citra Kusuma. Silakan untuk datang dengan membawa surat-surat guna registrasi perawatan nantinya." Ranti langsung terbangun. Ia masih sulit menangkap ucapan dari seberang sana. "Mau nipu, ya?" tanya Ranti, mengingat beberapa hari terakhir ini marak sekali kasus penipuan model begini. "Mohon maaf, kami dari kepolisian. Silakan anda langsung datang ke rumah sakit Citra Kusuma demi membuktikannya." Ranti termangu sesaat, l
Sarah tersenyum. Memang ia akui Zakki sungguh menawan. Parasnya yang tampan, kumis tipis dan matanya bak mata elang. Tajam. Tapi, untuk membangun rumah tangga kembali nantinya, ia masih belum tahu. "Jalan hidup nggak ada yang tahu, Zak. Siapa tahu, kamu setelah ini malah nemu jodoh, kan?" "Iya, jodohnya kamu." "Masih lama, Zak. Aku masih mau lihat Farhan kuliah dulu dan Ibra sekolah. Belum ada terpikir buat bangun komitmen lagi dengan seseorang. Anak sulungku sekarang tujuh belas tahun, aku sendiri sudah tiga puluh enam. Kayaknya fokus ke anak-anak dulu." Zakki mengangguk. Meski sedikit kecewa, ia bisa memaklumi keinginan Sarah itu. Keluar dari lubang kesakitan butuh waktu lama. Ditambah bukan hanya ia yang tersakiti, melainkan ibunya pun juga. Sarah tersenyum melihat Ibra dan Farhan yang sibuk melihat hewan-hewan. Beruntung Zakki membawanya ke kebun binatang Ragunan sehingga mereka bisa sambil jala
Tanpa disangka, Hera justru mendekat ke arah Sarah dan memeluk erat mantan sahabatnya itu. Sarah yang terkejut berusaha melepaskan pelukan namun, Hera justru semakin erat mendekapnya. "Her, lepaskan! Kamu itu kenapa sih?""Maafkan aku, Sar. Aku salah, mungkin sekarang aku lagi menuai Karma atas perbuatanku padamu. Maafin aku, Sar. Aku khilaf." Sarah melepaskan tangan Hera, dengan sedikit mengurutkan kening Ia pun bertanya tentang maksud dari ucapannya barusan."Aku sudah ditalak oleh Mas Tohir, karena kami menikah secara siri otomatis hubungan kami pun sudah terputus seiring dengan kata talak yang terucap dari mulutnya. Mungkin ini peringatan dari Allah, karena aku sudah menghancurkan rumah tanggamu. Maafkan aku, Sar." Hera menangis tersedu di depan rumah Sarah. Beberapa tetangga mulai berdatangan karena suara tangis Hera yang semakin kencang. "Ayo masuk. Kita omongin di dalam."
Rita yang mendengar teriakan Hera pada Tohir itu pun langsung berjalan menuju kamar anaknya. "Cuma gara-gara anggur, kamu suruh anakku ngusir aku? Heh, Hera, sadar! Aku ini mertuamu. Ranti itu adik iparmu. Melek matamu itu!" Hera terkesiap, tak menyangka jika mertuanya sekasar itu. "Apa, Ma? Cuma? Ma, dia itu banyak utang, belum utang ke si Sarah, belum utang yang lain. Malu aku!" "Kalau gitu, bantu lah dia bayarin utang-utangnya itu." Hera terkekeh sambil menggelengkan kepalanya. Benar kata Bu RT tempo hari, mereka hanya ingin memeras uang Hera saja. "Nggak, ya! Kalian yang nikmati kok aku yang suruh bayar. Di mana letak harga dirimu, Mas? Pantas saja Sarah gampang banget nyerahin kamu ke aku. Taunya, rumah tangga kalian banyak parasitnya dulu!" ketus Hera. "Hera!" Plak! Hera mendelik saat menerima tamparan dari Tohir. "Mas? Kamu
"Maksudnya, kamu nyindir aku, Sar?" tanya Riska sinis. "Oh, kesinggung, ya? Maaf, deh. Aku cuma kasih peringatan aja, nggak semua orang itu suka sama kita. Jadi jaga sikap dan ucapan. Pantas dulu kamu dibully, ternyata begini kelakuanmu?" Riska melengos. Ia jadi teringat kembali kejadian beberapa puluh tahun silam. Saat ia baru saja mencela Adel dan datang anak lain membullynya, bahkan sampai merobek bajunya. "Sudah lah, maaf ya kalau aku ngerusak acara. Udah malam, aku pamit dulu," ucap Sarah. "Sama aku, Rah," ucap Adel, ia pun sudah malas di sana. "Kamu sama aku aja, Del." Adel menoleh, terlihat Asrul melambaikan tangannya. Sarah melihatnya dan tersenyum sekilas. Ia paham jika keduanya tengah pendekatan. "Nggak usah, Del. Aku bisa sama Zakki. Kan tadi sama dia berangkatnya," ucap Sarah. "Dih, bisanya ngrepotin orang aja! Zakki mau sama aku. Iya kan, Zak?" tanya Riska sambil tersenyum ke arah Zakki, tangannya mengamit lengan lelaki itu, membuat riuh dari teman-teman yang lain
"Apa-apaan kamu, Mas? Sembarangan kamu masuk ke dalam rumah orang?!" Tohir hanya melirik ke arah Sarah sebentar, lalu kembali fokus pada ponselnya. "Mas! Aku lagi ngomong sama kamu, loh." "Apa? Kenapa aku masuk rumah ini harus sesuai izinmu? Bukan kah kita pasangan suami istri?" tanya Tohir enteng. "Benar-benar tak tahu malu!" Tohir sampai menoleh ke arah Sarah. Tak menyangka jika wanita yang masih menyandang status sebagai istrinya itu berani mengucapkan hal demikian. "Apa? Memangnya omonganku salah? Kita masih suami istri yang sah secara agama, Sarah! Kamu jangan macam-macam jika tak mau jadi istri durhaka!" Sarah tertawa terbahak-bahak. Merasa lucu dengan sikap sang suami. "Heh, Mas! Makanya kalau ngaji jangan cuma sampai batas suci doang! Kamu sudah tidak menafkahiku selama bertahun-tahun. Bahkan jika tiga bulan berturut-turut saja sudah masuk dalam talak! Ada juga hadist-nya!"Sarah mengatur napasnya. Emosinya sudah tak terbendung melawan Tohir. Bukankah benar apa yang di
Rita menarik lengan Sarah yang hendak masuk ke dalam rumah bersama Zaki. "Heh, mantu kurang ajar! Kembalikan sertifikat rumah itu. Asal kamu tau, rumah itu dibangun di atas tanahku!" ucap Rita. "Kenapa? Apa kamu sudah diteror sama Bu Eni, Mas?" tanya Sarah dengan terkekeh. Melihat sikap Sarah, Tohir mengepalkan tangannya. Ia benar-benar seperti tak mengenali istrinya sendiri. Padahal dulu, ia paling bisa disetir dan dikendalikan. "Kembalikan, Sarah. Atau rumah itu akan kuhancurkan." "Silakan aja, Mas. Aku bisa bawa itu semua ke kantor polisi. Kamu mau, jadi napi? Sudah, pulang sana. Aku nggak menerima kehadiran kalian." Sarah mengajak Zaki kembali masuk. Tohir ingin masuk juga, tapi Rita dan Ranti melarangnya. "Di mana harga dirimu? Sudah, kita pulang saja. Kita pikirkan caranya nanti."Tohir berdecak sebal, namun akhirnya menuruti keinginan Rita dan juga Ranti. _______"Sudah pergi, Nak?" tanya Sumi. "Sudah, Bu." "Untung saja kamu datang. Tadi Ibu sudah takut saja mereka ak
Murni langsung berdiri. Sudah cukup ia merasa harga dirinya diinjak-injak. Kini, setelah ia disuruh untuk meminta maaf, ada lagi keinginan Tohir untuk ngontrak. "Hera, sebaiknya kita pulang." "Kamu mau pulang, Her? Silakan aja. Aku akan tetap di sini kalau Ibu gak izinin kita buat ngontrak."Hera menatap ibunya lama. Seberani-beraninya ia pada sang Ibu, tetap saja ia takut. Terlebih, ia takut akan dicoret dari ahli waris ketika Murni telah tiada nantinya. Tanah dan kontrakan sepuluh pintu, membuat Hera mengabaikan suami dan mengekori Murni pulang. Rita berdecak sebal, melihat anaknya tak ada harga dirinya di hadapan istrinya itu. "Kok kamu diam saja istrimu dibawa pulang sama ibunya? Kejar!" Tohir seakan tersentak, ia kemudian berdiri dan berlari ke depan. Sayangnya, Hera dan Murni sudah pulang lebih dulu. Tohir menggeram. Tak menyangka jika istri barunya itu akan pergi tanpa dirinya. "Sebaiknya kamu pulang saja dulu sana, Hir. Mama takut kalau dia macam-macam sama Hera." Tohi