DendamPart4
Sepanjang perjalanan menuju rumah sakit, Mamah kembali sadar, namun Mamah teramat membuat aku dan Papah semakin khawatir.
Mamah terus meracau dan menyebut-nyebut nama Alena, perasaan hati ini semakin tidak karuan.
"Alena ..., Alena, jangan tinggalkan Mamah, Nak. Jangan ..., Mamah tidak kuat, tidak kuat jika harus kehilangan kamu, Nak."
Kata-kata itu berulang kali ia ucapkan, membuatku semakin frustasi dan tertekan, tidak henti-hentinya aku merutukki diri sendiri yang bodoh ini.
Sepanjang perjalanan itu pula, Amira terus-menerus menghubungiku. Sesampainya di rumah sakit, aku meminta Papah untuk duluan masuk ke dalam membawa Mamah.
"Raka mengangkat telepon dulu, soalnya tadi pagi meninggalkan kantor begitu saja! Mana tau ada masalah."
Papah mengangguk, dan menggandeng Mamah yang begitu lemah masuk ke dalam rumah sakit.
Aku menghubungi balik nomor Amira.
"Kamu kemana saja sih, Mas? Susah banget di hubungi, aku kan kangen."
Amira berkata di sebrang telepon dengan suara yang mendesah manja. Jika dulu, naluri lelakiku pasti akan bereaksi, namun tidak untuk hari ini. Semua seolah mati suri, bahkan aku merasa kehilangan gairah hidup.
"Mir, kalau nggak terlalu penting, tolong jangan hubungi dulu! Mas terlalu pusing hari ini," ucapku dingin.
"Huh, memangnya kenapa, Mas?"
Aku menarik berat napas, dan menghembuskannya kasar.
"Alena, Alena meninggal. Ia di bunuh dua laki-laki yang masih di selidiki, doakan segera mereka tertangkap."
"Ha ha ha ..., si Alena pecundang itu mati, nggak salah dengar nih?" katanya.
"Mir, jaga ucapan kamu! Biar bagaimana pun juga, Alena itu istrinya Mas. Semua masih dalam suasana duka, kamu tolong jangan menambah beban, Mas."
"Idih marah, iya deh, maaf. Yaudah kalau begitu, selamat menikmati."
Tanpa menunggu jawabanku, Amira langsung mematikan teleponnya sepihak.
Meskipun rasanya begitu ingin marah dengan kelakuan Amira tadi, namun aku coba mengerti.
Mungkin ia kesal, sebab kuabaikan dari pagi, hingga menjelang sore ini.
Bagaimana tidak, aku bahkan seakan kini tidak berpijak di bumi lagi. Raga ini terasa melayang di udara, dan pikiran ini hanya tertuju pada Alenaku. Wanita yang kusia-siakan pengabdian dan cintanya.
Oh, ya Allah, sedalam apapun aku menyesal, sekuat apapun aku meminta untuk Alenaku hidup kembali, rasanya itu tidak akan mungkin.
Betapa besar pun kerinduan ini membuncah di dalam dada, ia tidak akan kembali lagi, tidak akan.
Diri berjalan gontai menyusuri koridor rumah sakit, aku menghubungi Papah, menanyakan keberadaannya.
"Dimana? Pah."
"Diruang melati, Mamah harus di rawat inap dulu, kondisinya semakin melemah. Panasnya tinggi, dan Mamah juga mengigil."
"Astagfirullah ...." Sambungan telepon aku matikan, aku berlari mencari ruangan Mamah dengan perasaan kalut dan juga takut.
Mamah, ia perempuan yang amat kusayangi dan selalu ingin aku bahagiakan.
"Tuhan, sembuhkanlah Mamah, jangan ambil dia juga, aku--- aku tidak kuat."
Aku terus berdoa dalam hati, sambil terus memindai papan-papan nama lokasi di rumah sakit, untuk mencari letak ruangan melati.
Sesampainya aku di ruangan Mamah, aku mendorong kasar pintu dengan tak sabar.
Kulihat Papah terdiam di samping Mamah terbaring, ia begitu erat menggenggam telapak tangan Mamah.
Sedangkan Mamah terus-menerus menyebut nama Alena, dengan mata yang masih tertutup rapat.
Kudekati Papah, kuusap kepala Mamah yang begitu panas.
Papah membuka kacamatanya, ia menyeka pelan dibawah matanya yang terlihat basah.
"Ya Allah," lirihnya pelan nyaris tak terdengar.
Aku terdiam mematung.
"Mamah kamu begitu syok dan sangat terluka, kita semua juga sangat terluka. Tapi, melihat keadaan Mamah kamu yang seperti ini, rasanya membuat Papah semakin terluka, bagaimana jika Papah yang mati."
"Astagfirullah, Pah. Nyebut, jangan bicara seperti itu. Raka semakin tertekan melihat derita kalian."
Aku meninju dinding, melampiaskan rasa frustasi dan sesal yang menghimpit hati.
"Semenjak Papah menikahi Mamah, Papah berjanji akan selalu membuatnya bahagia. Mamah bahkan tidak pernah seperti ini, melihatnya seperti ini, membuat hati Papah hancur."
'Sama Pah, Raka juga hancur, hancur di makan penyesalan yang mendalam. Alena mati karena memberikan kejutan untuk lelaki bodoh sepertiku, aku benar-benar tidak pantas mendapatkan cinta sesempurna Alena.'
Aku terus-menerus merutukki kebodohan diri.
Andai saja, andai saja, andai saja. Itulah yang selalu terngiang di pikiranku.Sambil menunggu Mamah sadar, aku meraih handphone Alena di dalam saku celana. Sedangkan Papah, ia keluar untuk membeli makanan.
Kumainkan gawai miliknya. Kubuka aplikasi whatsappnya.
Aku tercengang, melihat nomor tanpa nama dan foto profile, mengirimkan pesan.
Kuscroll dari yang paling awal isi percakapan mereka.
"Persiapkan dirimu, untuk menjadi janda muda, Alena."
"Kamu siapa?" tanya Alena.
"Ahaha ..., nikmati waktumu, sebelum semuanya hilang."
"Aku tidak gentar. Bahkan foto itu tidak membuatku sakit hati sedikitpun.
Mas Raka suami sahku! Calon Papah dari anakku. Siapapun kamu, berhentilah. Sebelum semesta menghukummu."Terlihat sebuah konten yang di tarik kembali, hingga tidak terlihat apa yang si nomor tanpa nama ini kirim ke Alena.
Hanya Alena dan si pengirim yang tahu.
Namun dari segi percakapannya, sepertinya tanpa nama begitu ingin membuat Alenaku sakit hati.
"Kita lihat saja nanti, aku seorang yang ambisius. Sebelum membuat lawannya hancur, aku tidak akan mundur."
Itulah pesan terakhir si tanpa nama kirim, tepat sehari sebelum kematian Alena, selama ini Alena bahkan tidak pernah mengatakan apapun kepadaku.
Apakah ini karena aku yang selalu mengabaikannya, selalu memarahinya jika ia mendekatiku.
Ya Allah, andai saja aku lebih awal tahu, mungkin aku tidak akan membiarkannya kemana-mana seorang diri.
Aku kembali membuka pesan ia tujukan kepadaku. Ia mengirim sebuah foto kado dan foto meja yang sudah berhias ke wh******.
"Sayang ..., aku sudah masak makanan enak! Aku kangen dinner romantis berdua. Aku juga sudah menyiapkan kado yang akan membuat kamu sangat bahagia. Cepat pulang ya, suamiku."
Pesan itu ia kirim tepat di jam 21.05, saat aku di apartemen Amira.
Kuraih gawai milikku, dan membuka pesan wh*****.Aku mengernyit, melihat pesan itu tidak ada di gawaiku.
Seperti ada yang sengaja menghapusnya, apakah itu Amira? Amira yang melakukannya.
Terimakasih
Jangan lupa subscribe cerita saya
Part5Aku mengusap kasar wajahku. Begitu banyak yang Alena pendam seorang diri, aku sebagai suami merasa sangat tidak berguna.Aku kembali teringat Amira, selama ini tidak ada satu pun musuh Alena, apa mungkin ini perbuatan Amira? Agrh .... rasanya aku benar-benar tidak kuasa, jika semua ini benar perbuatan Amira.Kupandangi wajah pucat Mamah, betapa menderitanya Mamah, kehilangan Alena.Kuseka pelan air mata, aku tetap harus berusaha kuat.---------Menghilangkan rasa jenuh, aku berselancar di aplikasi berwarna biru.Terlihat beberapa akun menshare berita tentang pembunuhan yang di alami istriku.Dering panggilan masuk, dari nomor tidak di kenal. Aku pun menerima panggilan itu."Hallo," ucapku, dengan menempelkan benda pipih itu ke telinga."Hallo, dengan Bapak Raka Sebastian.""Benar, saya
Part6"Ibu, bibirnya miring dan tangannya sedikit bengkok, seperti orang yang terserang stroke, Pak.""Astagfirullah." Aku langsung mematikan telepon.'kenapa Ibu mendadak tiba-tiba begini.'"Ada apa?" tanya Papah."Ibu Alena, katanya seperti terserang gejala stroke. Raka mau membawanya ke rumah sakit, dulu."Papah mengangguk, aku berlari cepat meninggalkan ruangan menuju parkiran.Kupacukan mobil dengan kecepatan tinggi, hingga sampai di depan rumah dengan cepat.Aku memarkirkan mobil di teras depan, lalu keluar dan mendorong kasar pintu.Aku dengan sigap membuka kamar Ibu, aku takut ia benar-benar stroke.Saat aku membuka kamar, Alia dan bibi menatap ke arahku.Aku tercekat, melihat kondisi Ibu yang begitu memprihatinkan."Al, kamu ikut saya! Kita bawa ibu ke rumah sakit."Alia m
Part7Aku tidak tahu masa lalu wanita ini, yang jelas, sorot matanya menampakan amarah yang terpendam.Namun masih tertutup oleh wajah cantiknya."Masuk dan istirahatlah, nanti kamu juga ikutan sakit kalau begini."Alia mengangguk, namun ia tidak berkata apapun lagi. Aku masuk mengekor Alia, memperbaiki selimut Ibu, dan menggenggam telapak tangannya."Bu, jangan terlalu banyak pikiran, nanti Ibu tambah sakit, disini sudah ada Alia. Ibu harus sehat lagi, Alia butuh ibu."Aku berkata pelan, namun pancaran mata Ibu menyorotkan kepanikan dan ketakutan, sulit untuk aku pahami."Bu, jangan khawatirkan apapun, Raka janji, akan menjaga Alia untuk Ibu. Cukup kita kehilangan Alena, Raka akan menjaga Alia untuk Ibu."Aku berusaha menenangkannya, mungki saja Ibu takut Alia mengalami hal yang serupa, seperti yang di alami Alena.
Part8"Amira .... lepas! Sini duduk." Aku menyentak kedua tangannya, lalu menyeretnya pelan ke arah sofa. Amira terheran-heran menatapku."Ada apa sih? Mas."Aku menatap dingin wanita di depanku ini."Amira, kamu tau bukan, bahwa Alena mati di bunuh?" ucapku. Amira mengatupkan kedua telapak tangannya ke mulut.Ia seolah tengah terkejut mendengar ucapanku. Aku menatap lekat mata hitamnya, berusaha melihat kejujuran. Namun ia seakan benar-benar terkejut."Kamu jujur sama Mas. Kemaren ngapain kamu berkeliaran di kompleks tempat tinggal mas, dan berdiri melihat rumah yang riuh para pelayat.""Apa? Jadi rumah mas? Bukan rumah teman?" tanya Amira, ia malah nampak kebingungan.Aku mendesah berat, menahan gejolak amarah yang seakan ingin meledak."Kamu jangan main-main Amira, bukankah kamu senang mendengar berita kematian Alena."
Part9"Bi, bersikaplah seolah tidak ada apa-apa, namun tetap waspada."Bibi mengangguk, ia pun berpamitan untuk melanjutkan pekerjaannya.Aku pun berjalan cepat, menuju ke dalam kamar kami.Kurebahkan tubuh yang terasa lelah ini, sambil memejamkan mata, berharap Alenaku datang, walau hanya di alam mimpi.__________Ketukan di pintu kamar, membuatku terbangun dari alam mimpi, namun rasa kantuk masih melekat hebat di mata, membuatku sulit untuk bangun.Aku beringsut turun, berjalan gontai, menuju kedaun pintu kamar.Kutarik gagang pintu, dengan mengerjap-ngerjapkan mata.Aku terkejut, melihat Alia berdiri tepat di depanku."Alia, ada apa?" tanyaku, sebiasa mungkin aku bersikap, agar ia tidak berpikir aneh tentangku.Alia tersenyum kecil, sorot matanya terlihat begitu dingin dan sulit kupahami pandangannya itu.
Part10Sudah dua minggu Ibu di rawat, aku pun sesekali menjenguknya ke rumah sakit.Dokter mengatakan, kondisi Ibu Mumun tidak ada perubahan.Mamah menghubungiku, untuk menjemput mereka pulang.Ia memutuskan membawa Ibu pulang, katanya lebih baik rawat di rumah, ia bahkan berniat mempekerjakan seorang perawat, yang akan bertanggung jawab mengurus Ibu.Aku melajukan mobil ke rumah sakit, sementara Papah masih di kantornya. Papah memiliki perusahaan sendiri, yang terbilang masih baru, dan bergerak di bidang property.Sedangkan aku sendiri, bekerja di perusahaan bonafide. Aku memiliki jabatan yang cukup penting di perusahaan raksasa tersebut.Masih dalam masa cuti, yang tinggal sehari lagi. Aku melajukan mobil, menuju rumah sakit.Aku mengurus biaya administrasi, kemudian menunggu Alia keluar bersama Mamah.Alia mendorong pelan kursi roda ibu, sedangka
Part11Pak Arman menghubungiku melalui sambungan telepon, ia memintaku untuk segera datang ke kantor.Aku pun bergegas menuju ke sana seorang diri.Sesampainya aku di kantor, Pak Arman pun mulai menjelaskan kronologi penangkapan Amira."Apakah benar, jika saudara Amira itu kekasih gelap Pak Raka?" selidik Pak Arman.Mati kutu aku, mau tidak mau aku harus mengakuinya, demi kelancaran proses penyelidikan kasus pembunuhan Alenaku.Aku mengangguk lemah, rasanya mendadak ingin pingsan."Kemungkinan besar, saudara Amira lah dalang di balik pembunuhan ini. Semua bukti mengarah kepadanya, kami juga menemukan handphone yang Amira gunakan untuk meneror Alena, dan berkomunikasi dengan dua pembunuh itu."Pak Arman menyodorkan handphone jadul itu.Aku melihat isi percakapannya dengan Alena, sama seperti yang aku temukan di gawai Alena saat itu.
Part12"Kami akan menuntut anak kalian, yang sudah menghamili Amira.""Silahkan, Raka pantas menerima itu semua! Dan kamu harus ingat, saya akan membuat anakmu membusuk di penjara."Wajah orang tua Amira semakin menegang, rahang Bapaknya mengeras menatap Mamah penuh kebencian."Keluarga sialan," maki Tante Nita, Mamah Amira.Mata Mamah berkaca. "Apakah harus saya buat kalian merasakan hal yang sama? Betapa hancur dan terlukanya hati saya dan Ibunya. Kehilangan menantu yang amat saya sayangi, dan itu perbuatan anak kamu, yang hanya wanita simpanan anak saya!"Mamah berkata dengan suara lirih."Jangan hina anak kami, kamu tidak tahu apa-apa tentang hidupnya."Tante Nita tidak terima dengan hinaan Ibu, bahkan suaranya bergetar, seiring dengan tatapan matanya yang mulai berembun.&nb
Bab26Alia terisak, dan Mama langsung memeluk wanita itu. Mama menatap tajam wajah Aisyah, dan meminta kami menjauh dari mereka berdua."Kurang ajar! Menjauh kalian dari putriku!" pekik Mama.Aisyah menangis, melihat Mama begitu menyayangi Alia, dan mengabaikan Aisyah, yang jelas-jelas menantunya kini.Aisya pun menjauh, dan masuk ke kamar kami. Aku pun menyusulnya dan mempertanyakan sikap Aisyah tadi."Apa yang terjadi? Mengapa kamu begitu bar-bar tadi?" tanyaku, sambil duduk di sampingnya. Aisyah masih terisak, nampaknya dia begitu sakit hati, dengan perlakuan Mama tadi."Aku ingin kita bercerai, Mas!" pinta Aisyah."Tidak, Mas nggak mau cerai sama kamu. Mas sayang kamu dan anak kita.""Tapi aku merasa tidak aman, Mas. Wanita itu, dia menerorku terus," jelas Aisyah.Kupegang kedua pipinya, dan kutatap lekat wajah istriku itu."Apa yang dia lakukan?""Wanita itu terus mengirimku bangkai binatang,
DendamBab25"Maaf," lirihku.Aisyah mendengkus. "Aku ingin bercerai, Mas!" ungkap Aisyah. "Aku tidak ingin diteror lagi, aku tidak mau, anakku dalam bahaya!" papar Aisyah.Aku menggeleng. "Tidak mau!" kataku dengan suara lemah."Mas ...." suara Aisyah meninggi. "Wanita itu bisa membahayakan anak kita, juga aku.""Aku akan melindungi kalian," sahutku cepat. Tidak akan kubiarkan, Alia menyakiti keluargaku.Namun kemana Mama? Ya Allah, mengapa Alia begitu terobsesi menghancurkan hidupku?Aisyah terisak, tubuhnya lunglai, dia bersandar di dinding kayu rumah, dan terus terisak. Sedangkan anak kami, dia terdiam membeku."Kita ke rumahku saja!" kata Aisyah, sambil bangkit dari duduknya. Aku menatap keluar jendela."Kita tetap di rumah ini, aku yakin, Mama pasti akan pulang.""Mas ...." Aisyah kembali berteriak, aku berbalik dengan wajah sengit."D
Part24Usai perjumpaanku dan Amira, kami pun bertukar kembali nomor handphone. Sulit kusadarkan diri ini, tapi untuk sekedar menjalin silaturahmi, kurasa tidak ada salahnya.Aku dan Niara pulang, terlihat di muara pintu, Istriku tengah berdebat dengan seseorang, saat aku mendekat, ternyata orang itu tetangga kami."Ehem, ada apa ini?" tanya, pada Aldi, yang terlihat canggung."Tadi mau pinjam wajan, punyaku bocor," jawabnya."Oh, kenapa tidak beli? Kan di toko klontong pasti banyak," kataku."Maaf." Aldi hanya menyahut seperti itu, dan berniat meninggalkan muara pintu rumahku."Aldi." Aku memanggil namanya. "Lain kali, tolong jangan bertamu, di saat aku tidak ada di rumah! Tidak baik," lanjutku.Aldi yang semula menghentikan langkahnya, ketika mendengar seruanku pun berbalik, dan menoleh ke arahku, sembari menarik bibir atasnya."Tenang saja, kamu tidak perlu khawatir," jawabnya. Kemudian
Part23Enam tahun berlalu.Kini, hasil dari pernikahanku dan Aisyah, aku memiliki seorang anak perempuan, yang kini berusia lima tahun."Dek, aku dapat kerjaan lagi di Ibu Kota. Kamu nggak apa-apa kan kutinggal dulu? Kalau aku sudah ngontrak rumah! Kalian aku jemput.""Iya, nggak apa-apa mas."Aku terseyum menatap istri cantikku itu. Aku pasti sangat merindukannya, jika nanti aku jauh dari wanitaku ini.Sebulan aku di Ibu kota, aku mencari kontrakan rumah, namun sedikit sulit. Akhirnya, aku menyewa rumah susun.Kuboyong istri, dan anakku. Sedangkan Mama, beliau memelih menemani Nenek di kampung.Aku bekerja di Perusahaan yang bonafide, dan bergaji lumayan besar."Sebulan lagi, mas akan cari kontrakan yang lebih bagus! Sementara kita di sini dulu," kataku pada Istri."Di sini pun enak.""Kamu yakin? Kalau kamu merasa nyaman! Maka kita tetap di sini," kataku
Part22 Papah terbangun, mengusap pelan puncak kepala Mamah, yang tertidur diatas kedua tangan yang ia letakkan di atas bibir kasur pasien. Mamah terbangun, kemudian menatap sendu wajah Papah. "Mamah capek? Pulang ya sama Bibi, biar Raka yang jagain Papah disini." "Nggak, biar Mamah disini saja! Jagain Papah," jawabnya pelan. "Nanti Mamah sakit, kalau Mamah sakit, Papah yang akan sedih. Tidak bisa ngurus Mamah." "Makanya Papah sehat dong! Biar ada yang manjain Mamah lagi," sahut Mamah, dengan mata mengerling nakal. Aku hanya tersenyum simpul, menatap tingkah laku mereka. "Mah, papah minta maaf, jika selama ini, Papah banyak salah." "Papah ngomong apa sih, nggak usah gitu ah, Mamah nggak suka." Papah hanya tersenyum kecil, menatap Mamah penuh c
Part21"Mengapa mereka tega meninggalkanku, Mah? Mengapa Ibu kandungku sendiri, tega menyia-nyiakanku?" tangis Alia.Wanita yang biasanya hanya terdiam, bahkan kadang tidak menyahut mau pun bereaksi itu kini menangis tersedu. Alia mulai menumpahkan segala sesak dalam dadanya, di pelukan Mamah."Sayang, lupakan masa lalu, Nak. Sepedih apapun itu lupakan dan lepaskan. Sejauh ini kamu sudah terlalu kuat dan hebat melewati cobaan hidup! Mamah bangga sama kamu, Nak."Alia menatap getir wajah Mamah. "Mah, mamah bangga denganku? Bahkan di saat aku kuat, demi membalaskan sakit hatiku pada mereka?""Alia, sayang ...." Mamah mencium kedua pipi Alia. "Mamah bangga kamu kuat bertahan melewati semua itu, hanya kamu salah langkah Nak. Mamah nggak mau terpisah untuk selamanya, Mamah mohon kamu buang buruknya, ambil hikmah dari semua ini, Nak."Alia menunduk malu. "Aku pendos
Part20Aku bergegas pulang ke rumah, dan menitipkan Anita kepada suster.Mobilku kini memasuki pekarangan rumah, ketiga penyidik itu tengah menungguku, di ambang pintu.Aku pun membuka pintu rumah, dan mempersilahkan mereka untuk menyelidiki barang-barang bukti, yang akan menyeret Alia lebih dalam lagi, ke dalam neraka dunia itu.Para penyidik itu mengawali penggeledahannya dari kamar Alia, namun tidak ada satupun barang bukti yang mereka temukan.Kemudian ke kamar Ibu Mumun. Ia mereka menemukan tumpukan baju kotor berlumur darah kering, juga bau. Baju milik Ibu Mumun.Kemudian beberapa mata pisau, selanjutnya, mereka menuju kamarku.Aku syock. Ketika melihat foto-foto yang sebelumnya ada di kamar Alia, kini malah tersimpan rapi di dalam lemariku."Ini fitnah," kataku. Mamah menatap tajam ke arahku. Apalagi, ketika ia melihat beberapa lembar foto Alena,
Part19Lumayan berat, selama enam bulan ini aku lalui, di penjara. Bukan hanya menjadi babu para napi, aku juga menjadi bulan-bulanan mereka. Parahnya lagi, aku mendapatkan pelecehan seksual.Rasanya aku jera setengah mati, semoga setelah keluar dari neraka dunia ini, aku tidak akan pernah menginjakkan kaki disana lagi.Tiba hari kebebasanku, Papah menjemputku di depan gerbang.Mobil meluncur pelan, menuju rumah."Pah, bagaimana keadaan rumah?" tanyaku."Mamah sih sehat, semua normal. Tapi, keadaan Bu Mumun, semakin memprihatinkan.""Memperihatinkan bagaimana?" tanyaku penasaran."Bu Mumun semakin kurus, bahkan kini terlihat hanya kulit keriput yang membalut tubuhnya.""Astagfirullah, yang ngasih makan, obat dan vitamin siapa?" tanyaku."Alia, pernah Papah carikan perawat, sudah tiga perawat yang tiba-tiba men
Part18▪Pov Alia▪Aku kembali teringat, Bu Nunung yang tiba-tiba mati gantung diri di belakang rumah, membuatku semakin hancur dan sakit hati. Lagi-lagi aku harus sendiri, aku benci."Bu ..., kenapa Alia di tinggal dengan cara seperti ini? Bukankah ibu sudah berjanji, tidak akan meninggalkan Alia juga."Aku menangis tersedu, di depan jenazah Bu Nunung."Sepertinya, dia anak pembawa sial.""Iya, Ibunya saja meninggalkannya. Neneknya mati terbakar dan Bu Nunung mati bunuh diri. Hiiiyy.""Jangan dekat-dekat kitanya, takut sial juga."Terdengar bisik-bisik para tetangga, yang menggunjingku. Mereka seakan menabur garam di luka basahku.Suami dari Bu Nunung datang, ia pun sama, memarahiku dan menyalahkanku.Ia bahkan bejat, datang dengan perempuan barunya, yang kini hamil tua.Aku benci laki-laki,