Home / Lain / DENDAM / Kedatangan

Share

Kedatangan

Author: Rias Ardani
last update Last Updated: 2021-04-26 16:20:49

Part5

Aku mengusap kasar wajahku. Begitu banyak yang Alena pendam seorang diri, aku sebagai suami merasa sangat tidak berguna.

Aku kembali teringat Amira, selama ini tidak ada satu pun musuh Alena, apa mungkin ini perbuatan Amira? Agrh .... rasanya aku benar-benar tidak kuasa, jika semua ini benar perbuatan Amira.

Kupandangi wajah pucat Mamah, betapa menderitanya Mamah, kehilangan Alena.

Kuseka pelan air mata, aku tetap harus berusaha kuat.

---------

Menghilangkan rasa jenuh, aku berselancar di aplikasi berwarna biru.

Terlihat beberapa akun menshare berita tentang pembunuhan yang di alami istriku.

Dering panggilan masuk, dari nomor tidak di kenal. Aku pun menerima panggilan itu.

"Hallo," ucapku, dengan menempelkan benda pipih itu ke telinga.

"Hallo, dengan Bapak Raka Sebastian." 

"Benar, saya sendiri," sahutku.

"Kami dari team penyidik, yang menangani kasus istri Bapak! Bsa datang ke kantor?"

"Bisa, Pak. Nunggu Papah saya dulu, nanti saya akan segera ke sana."

Tidak lama kemudian, Papah pun datang dengan membawa plastik yang berisi makanan dan minumana.

Aku beranjak dari dudukku.

"Pah, Raka mau ke kantor Polisi, katanya ada informasi lagi."

Papah hanya mengangguk, aku pun berjalan cepat menuju kantor Polisi di bawah langit senja.

Sesampainya aku di kantor, team penyidik mempersilahkan aku masuk.

"Kami dari team penyidik, sudah menemukan para pelaku, yang berpesta miras di gudang tua yang lama kosong."

Penyidik yang bernama Pak Arman itu menarik napas. 

"Namun, mereka sudah di temukan dalam keadaan tidak bernyawa! Pihak forensik mengatakan, mereka overdosis.obat-obatan"

Aku mendesah berat, rasa tidak puas hati mendengar berita yang kedua pelaku alami.

"Bapak sudah pastikan? Bahwa ini semua, bukan pembunuhan berencana? Jika ini pembunuhan berencana, berarti ada otak pelakunya, sebab, mau saya atau pun Alena sejauh ini tidak memiliki musuh. Dan, kami tidak mengenal kedua laki-laki itu."

"Biar itu kami selidiki lagi, sebab kedua pelaku yang harusnya jadi sumber informasi, sudah mati. Ini akan sedikit sulit, namun kami tetap akan berusaha."

"Baiklah, terimakasih, Pak." 

"Sama-sama, jika ada yang mencurigkan, atau yang kalian curigai. Maka hubungilah kami," ucap Pak Arman.

"Baik, saya undur diri dulu," imbuhku.

"Oh iya, silahkan."

Aku pun berpamitan, kemudian melangkah keluar kantor. Malam sudah menyapa, aku melajukan mobil menuju pulang ke rumah.

Mamang Tarno, Satpam rumah membukakan pagar. Mobilku melaju memasuki halaman rumah, dan bi Ijam sudah membuka pintu luar.

Aku berjalan gontai memasuki rumah yang penuh kenangan. Jika biasanya Alena yang menyambutku dengan penuh senyuman, kali ini jelas berbeda. 

"Bi, bagaimana persiapan untuk tahlilannya? Sudah di urus?" tanyaku.

"Sudah, Pak. Para ibu-ibu tetangga, masih menyusun makanannya di rumah sebelah. Mungkin sebentar lagi tamu undangan akan datang."

Aku mengangguk, kemudian berjalan masuk ke dalam kamar. Aku mulai memasukan selimut, bantal dan juga perlengkapan makan.

Saat aku melangkahkan kaki menuju keluar kamar, nampak bi Ijam dan Mamang memandang pucat ke arahku.

"Ada apa?" tanyaku heran. Melihat dua orang yang sepertinya ketakutan.

"Anu .... Pak, itu di luar." Mamang menunjuk ke arah luar. 

Aku berjalan cepat ke menuju mereka, dan mendongakkan wajah ke arah pagar.

Terlihat wanita berambut panjang, dengan mengenakan baju kaos dan rok kain yang lebar, juga menenteng tas besar.

Ia berdiri di depan pagar yang terbuka, namun wajahnya tidak jelas, gelap.

"Siapa? Mang." 

"I---ibu, Alena, Pak."

Aku tercekat, mendengar penuturan gagap si Mamang.

Mana mungkin Alenaku hidup kembali, itu sesuatu yang mustahil.

"Mamang, jangan bercanda! Saya serius."

Mamang nampak menciut, wajahnya terlihat begitu semakin ketakutan.

"Wa--jahnya, Pak. Wa--jahnya mirip, Ibu." Mamang gelagapan, menjelaskannya.

Aku yang penasaran, langsung saja berjalan ke arah wanita itu.

"Astagfirullah ...." aku memekik, melihat wajahnya. Apa jangan-jangan Alena hidup kembali? Nggak masuk akal.

"Asallamualaikum ...." Ucapannya begitu lembut, pandangannya teduh.

"Waa---walaikumsallam .... si--apa?" tanyaku gugup, ada perasaan takut juga.

"Saya Alia Putri, saudara Alena." 

Saudara, jadi .... jadi wanita ini.

"Hallo, haii ...." Alia menggoyangkan telapak tangannya di depan wajahku.

"Astagfirullah. Oh, haii. Alia, masuk."

Aku menggiring Alia masuk ke dalam, ia pun mengekor masuk.

Bi Ijam dan Mamang mematung, melihatku dan Alia.

"Mamang,  Bi Ijam, ini Alia. Saudara kembarnya Alena."

"Oh, ya ampun! Mamang kira, Ibu Alena jadi hantu."

"Hush .... Mamang." Bi Ijam menyenggol lengan Mamang. 

"Maaf, Pak." 

"Yasudah, kamu kembali ke Pos. Dan Bibi, tolong bawa Alia ke kamar tamu. Em, Alia, itu kamar Ibu kamu. Beliau ada di dalam, lagi kurang sehat."

Aku menunjuk kamar, tempat Ibu mertua. 

"Terimakasih," jawabnya lembut. Ia bahkan tidak bertanya apapun, mengenai kematian Alena. Adik dari Alia.

"Oke, aku mau ke rumah sakit dulu! Mamahku dirawat dan mengantarkan perlengkapan ini."

Aku menunjukkan tas yang aku jinjing.

Alia hanya mengangguk, seraya tersenyum simpul. Kembar tapi beda, jika Alena merupakan sosok yang ceria, maka Alia sebaliknya. 

Ia terlihat pendiam dan tidak banyak bicara.

Meskipun wajahnya sama-sama manis dan cantik.

Aku melajukan mobil menuju rumah sakit, membawa semua barang yang kami perlukan, selama Mamah menjalani perawatan.

Malam tahlilan pun di lakukan di rumah Mamah, setelah aku mengantar semua barang-barang yang Papah perlukan.

Segala sesuatunya sudah Bi ijam dan para tetangga siapkan, sengaja memilih rumah Mamah, demi menjaga mental Ibu mertua yang mungkin masih terguncang.

Seusai tahlilan, aku pun kembali ke rumah sakit, sedangkan Alia sedari tadi di kamar Ibunya untuk melepas rindu.

_______

"Pah, kalau mau pulang, pulang saja! Nanti Raka yang jagain Mamah."

"Tidak, Papah di sini saja! Papah nggak mau jauh dari Mamah kamu, dengan kondisinya begini."

"Nanti kalau Papah ikutan sakit juga bagaimana?" tanyaku frustasi.

"Tidak apa-apa." Ia menyahut pelan, tanpa mau menoleh ke arahku.

Dering panggilan telepon yang berasal dari rumahku. Aku pun segera menyambut panggilan itu.

"Pak .... Pak, Ibu ...."

"Kenapa Bi Ijam? Ngomong yang jelas! Ibu kenapa?" tanyaku panik, mendengar nada bicara Bi Ijam yang juga begitu panik.

😍Terimakasih😍

Subscribe, like dan komentarnya dong!😘

#kbm_cerbung

Kado Terakhir Istriku

Part5

Aku mengusap kasar wajahku. Begitu banyak yang Alena pendam seorang diri, aku sebagai suami merasa sangat tidak berguna.

Aku kembali teringat Amira, selama ini tidak ada satu pun musuh Alena, apa mungkin ini perbuatan Amira? Agrh .... rasanya aku benar-benar tidak kuasa, jika semua ini benar perbuatan Amira.

Kupandangi wajah pucat Mamah, betapa menderitanya Mamah, kehilangan Alena.

Kuseka pelan air mata, aku tetap harus berusaha kuat.

---------

Menghilangkan rasa jenuh, aku berselancar di aplikasi berwarna biru.

Terlihat beberapa akun menshare berita tentang pembunuhan yang di alami istriku.

Dering panggilan masuk, dari nomor tidak di kenal. Aku pun menerima panggilan itu.

"Hallo," ucapku, dengan menempelkan benda pipih itu ke telinga.

"Hallo, dengan Bapak Raka Sebastian." 

"Benar, saya sendiri," sahutku.

"Kami dari team penyidik, yang menangani kasus istri Bapak! Bsa datang ke kantor?"

"Bisa, Pak. Nunggu Papah saya dulu, nanti saya akan segera ke sana."

Tidak lama kemudian, Papah pun datang dengan membawa plastik yang berisi makanan dan minumana.

Aku beranjak dari dudukku.

"Pah, Raka mau ke kantor Polisi, katanya ada informasi lagi."

Papah hanya mengangguk, aku pun berjalan cepat menuju kantor Polisi di bawah langit senja.

Sesampainya aku di kantor, team penyidik mempersilahkan aku masuk.

"Kami dari team penyidik, sudah menemukan para pelaku, yang berpesta miras di gudang tua yang lama kosong."

Penyidik yang bernama Pak Arman itu menarik napas. 

"Namun, mereka sudah di temukan dalam keadaan tidak bernyawa! Pihak forensik mengatakan, mereka overdosis.obat-obatan"

Aku mendesah berat, rasa tidak puas hati mendengar berita yang kedua pelaku alami.

"Bapak sudah pastikan? Bahwa ini semua, bukan pembunuhan berencana? Jika ini pembunuhan berencana, berarti ada otak pelakunya, sebab, mau saya atau pun Alena sejauh ini tidak memiliki musuh. Dan, kami tidak mengenal kedua laki-laki itu."

"Biar itu kami selidiki lagi, sebab kedua pelaku yang harusnya jadi sumber informasi, sudah mati. Ini akan sedikit sulit, namun kami tetap akan berusaha."

"Baiklah, terimakasih, Pak." 

"Sama-sama, jika ada yang mencurigkan, atau yang kalian curigai. Maka hubungilah kami," ucap Pak Arman.

"Baik, saya undur diri dulu," imbuhku.

"Oh iya, silahkan."

Aku pun berpamitan, kemudian melangkah keluar kantor. Malam sudah menyapa, aku melajukan mobil menuju pulang ke rumah.

Mamang Tarno, Satpam rumah membukakan pagar. Mobilku melaju memasuki halaman rumah, dan bi Ijam sudah membuka pintu luar.

Aku berjalan gontai memasuki rumah yang penuh kenangan. Jika biasanya Alena yang menyambutku dengan penuh senyuman, kali ini jelas berbeda. 

"Bi, bagaimana persiapan untuk tahlilannya? Sudah di urus?" tanyaku.

"Sudah, Pak. Para ibu-ibu tetangga, masih menyusun makanannya di rumah sebelah. Mungkin sebentar lagi tamu undangan akan datang."

Aku mengangguk, kemudian berjalan masuk ke dalam kamar. Aku mulai memasukan selimut, bantal dan juga perlengkapan makan.

 

Saat aku melangkahkan kaki menuju keluar kamar, nampak bi Ijam dan Mamang memandang pucat ke arahku.

"Ada apa?" tanyaku heran. Melihat dua orang yang sepertinya ketakutan.

"Anu .... Pak, itu di luar." Mamang menunjuk ke arah luar. 

Aku berjalan cepat ke menuju mereka, dan mendongakkan wajah ke arah pagar.

Terlihat wanita berambut panjang, dengan mengenakan baju kaos dan rok kain yang lebar, juga menenteng tas besar.

Ia berdiri di depan pagar yang terbuka, namun wajahnya tidak jelas, gelap.

"Siapa? Mang." 

"I---ibu, Alena, Pak."

Aku tercekat, mendengar penuturan gagap si Mamang.

Mana mungkin Alenaku hidup kembali, itu sesuatu yang mustahil.

"Mamang, jangan bercanda! Saya serius."

Mamang nampak menciut, wajahnya terlihat begitu semakin ketakutan.

"Wa--jahnya, Pak. Wa--jahnya mirip, Ibu." Mamang gelagapan, menjelaskannya.

Aku yang penasaran, langsung saja berjalan ke arah wanita itu.

"Astagfirullah ...." aku memekik, melihat wajahnya. Apa jangan-jangan Alena hidup kembali? Nggak masuk akal.

"Asallamualaikum ...." Ucapannya begitu lembut, pandangannya teduh.

"Waa---walaikumsallam .... si--apa?" tanyaku gugup, ada perasaan takut juga.

"Saya Alia Putri, saudara Alena." 

Saudara, jadi .... jadi wanita ini.

"Hallo, haii ...." Alia menggoyangkan telapak tangannya di depan wajahku.

"Astagfirullah. Oh, haii. Alia, masuk."

Aku menggiring Alia masuk ke dalam, ia pun mengekor masuk.

Bi Ijam dan Mamang mematung, melihatku dan Alia.

"Mamang,  Bi Ijam, ini Alia. Saudara kembarnya Alena."

"Oh, ya ampun! Mamang kira, Ibu Alena jadi hantu."

"Hush .... Mamang." Bi Ijam menyenggol lengan Mamang. 

"Maaf, Pak." 

"Yasudah, kamu kembali ke Pos. Dan Bibi, tolong bawa Alia ke kamar tamu. Em, Alia, itu kamar Ibu kamu. Beliau ada di dalam, lagi kurang sehat."

Aku menunjuk kamar, tempat Ibu mertua. 

"Terimakasih," jawabnya lembut. Ia bahkan tidak bertanya apapun, mengenai kematian Alena. Adik dari Alia.

"Oke, aku mau ke rumah sakit dulu! Mamahku dirawat dan mengantarkan perlengkapan ini."

Aku menunjukkan tas yang aku jinjing.

Alia hanya mengangguk, seraya tersenyum simpul. Kembar tapi beda, jika Alena merupakan sosok yang ceria, maka Alia sebaliknya. 

Ia terlihat pendiam dan tidak banyak bicara.

Meskipun wajahnya sama-sama manis dan cantik.

Aku melajukan mobil menuju rumah sakit, membawa semua barang yang kami perlukan, selama Mamah menjalani perawatan.

Malam tahlilan pun di lakukan di rumah Mamah, setelah aku mengantar semua barang-barang yang Papah perlukan.

Segala sesuatunya sudah Bi ijam dan para tetangga siapkan, sengaja memilih rumah Mamah, demi menjaga mental Ibu mertua yang mungkin masih terguncang.

Seusai tahlilan, aku pun kembali ke rumah sakit, sedangkan Alia sedari tadi di kamar Ibunya untuk melepas rindu.

_______

"Pah, kalau mau pulang, pulang saja! Nanti Raka yang jagain Mamah."

"Tidak, Papah di sini saja! Papah nggak mau jauh dari Mamah kamu, dengan kondisinya begini."

"Nanti kalau Papah ikutan sakit juga bagaimana?" tanyaku frustasi.

"Tidak apa-apa." Ia menyahut pelan, tanpa mau menoleh ke arahku.

Dering panggilan telepon yang berasal dari rumahku. Aku pun segera menyambut panggilan itu.

"Pak .... Pak, Ibu ...."

"Kenapa Bi Ijam? Ngomong yang jelas! Ibu kenapa?" tanyaku panik, mendengar nada bicara Bi Ijam yang juga begitu panik.

😍Terimakasih😍

Subscribe, like dan komentarnya dong!😘

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Rieca Chandra
Ortunya sama mertuanya aj org2 yg setia lha dia nya malah tkg selingkuh
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

  • DENDAM   Hal Aneh

    Part6"Ibu, bibirnya miring dan tangannya sedikit bengkok, seperti orang yang terserang stroke, Pak.""Astagfirullah." Aku langsung mematikan telepon.'kenapa Ibu mendadak tiba-tiba begini.'"Ada apa?" tanya Papah."Ibu Alena, katanya seperti terserang gejala stroke. Raka mau membawanya ke rumah sakit, dulu."Papah mengangguk, aku berlari cepat meninggalkan ruangan menuju parkiran.Kupacukan mobil dengan kecepatan tinggi, hingga sampai di depan rumah dengan cepat.Aku memarkirkan mobil di teras depan, lalu keluar dan mendorong kasar pintu.Aku dengan sigap membuka kamar Ibu, aku takut ia benar-benar stroke.Saat aku membuka kamar, Alia dan bibi menatap ke arahku.Aku tercekat, melihat kondisi Ibu yang begitu memprihatinkan."Al, kamu ikut saya! Kita bawa ibu ke rumah sakit."Alia m

    Last Updated : 2021-04-26
  • DENDAM   Curiga

    Part7Aku tidak tahu masa lalu wanita ini, yang jelas, sorot matanya menampakan amarah yang terpendam.Namun masih tertutup oleh wajah cantiknya."Masuk dan istirahatlah, nanti kamu juga ikutan sakit kalau begini."Alia mengangguk, namun ia tidak berkata apapun lagi. Aku masuk mengekor Alia, memperbaiki selimut Ibu, dan menggenggam telapak tangannya."Bu, jangan terlalu banyak pikiran, nanti Ibu tambah sakit, disini sudah ada Alia. Ibu harus sehat lagi, Alia butuh ibu."Aku berkata pelan, namun pancaran mata Ibu menyorotkan kepanikan dan ketakutan, sulit untuk aku pahami."Bu, jangan khawatirkan apapun, Raka janji, akan menjaga Alia untuk Ibu. Cukup kita kehilangan Alena, Raka akan menjaga Alia untuk Ibu."Aku berusaha menenangkannya, mungki saja Ibu takut Alia mengalami hal yang serupa, seperti yang di alami Alena.

    Last Updated : 2021-04-26
  • DENDAM   Curiga2

    Part8"Amira .... lepas! Sini duduk." Aku menyentak kedua tangannya, lalu menyeretnya pelan ke arah sofa. Amira terheran-heran menatapku."Ada apa sih? Mas."Aku menatap dingin wanita di depanku ini."Amira, kamu tau bukan, bahwa Alena mati di bunuh?" ucapku. Amira mengatupkan kedua telapak tangannya ke mulut.Ia seolah tengah terkejut mendengar ucapanku. Aku menatap lekat mata hitamnya, berusaha melihat kejujuran. Namun ia seakan benar-benar terkejut."Kamu jujur sama Mas. Kemaren ngapain kamu berkeliaran di kompleks tempat tinggal mas, dan berdiri melihat rumah yang riuh para pelayat.""Apa? Jadi rumah mas? Bukan rumah teman?" tanya Amira, ia malah nampak kebingungan.Aku mendesah berat, menahan gejolak amarah yang seakan ingin meledak."Kamu jangan main-main Amira, bukankah kamu senang mendengar berita kematian Alena."

    Last Updated : 2021-04-26
  • DENDAM   Curiga3

    Part9"Bi, bersikaplah seolah tidak ada apa-apa, namun tetap waspada."Bibi mengangguk, ia pun berpamitan untuk melanjutkan pekerjaannya.Aku pun berjalan cepat, menuju ke dalam kamar kami.Kurebahkan tubuh yang terasa lelah ini, sambil memejamkan mata, berharap Alenaku datang, walau hanya di alam mimpi.__________Ketukan di pintu kamar, membuatku terbangun dari alam mimpi, namun rasa kantuk masih melekat hebat di mata, membuatku sulit untuk bangun.Aku beringsut turun, berjalan gontai, menuju kedaun pintu kamar.Kutarik gagang pintu, dengan mengerjap-ngerjapkan mata.Aku terkejut, melihat Alia berdiri tepat di depanku."Alia, ada apa?" tanyaku, sebiasa mungkin aku bersikap, agar ia tidak berpikir aneh tentangku.Alia tersenyum kecil, sorot matanya terlihat begitu dingin dan sulit kupahami pandangannya itu.

    Last Updated : 2021-04-26
  • DENDAM   Ditampar

    Part10Sudah dua minggu Ibu di rawat, aku pun sesekali menjenguknya ke rumah sakit.Dokter mengatakan, kondisi Ibu Mumun tidak ada perubahan.Mamah menghubungiku, untuk menjemput mereka pulang.Ia memutuskan membawa Ibu pulang, katanya lebih baik rawat di rumah, ia bahkan berniat mempekerjakan seorang perawat, yang akan bertanggung jawab mengurus Ibu.Aku melajukan mobil ke rumah sakit, sementara Papah masih di kantornya. Papah memiliki perusahaan sendiri, yang terbilang masih baru, dan bergerak di bidang property.Sedangkan aku sendiri, bekerja di perusahaan bonafide. Aku memiliki jabatan yang cukup penting di perusahaan raksasa tersebut.Masih dalam masa cuti, yang tinggal sehari lagi. Aku melajukan mobil, menuju rumah sakit.Aku mengurus biaya administrasi, kemudian menunggu Alia keluar bersama Mamah.Alia mendorong pelan kursi roda ibu, sedangka

    Last Updated : 2021-05-02
  • DENDAM   Datang Ortu Amira

    Part11Pak Arman menghubungiku melalui sambungan telepon, ia memintaku untuk segera datang ke kantor.Aku pun bergegas menuju ke sana seorang diri.Sesampainya aku di kantor, Pak Arman pun mulai menjelaskan kronologi penangkapan Amira."Apakah benar, jika saudara Amira itu kekasih gelap Pak Raka?" selidik Pak Arman.Mati kutu aku, mau tidak mau aku harus mengakuinya, demi kelancaran proses penyelidikan kasus pembunuhan Alenaku.Aku mengangguk lemah, rasanya mendadak ingin pingsan."Kemungkinan besar, saudara Amira lah dalang di balik pembunuhan ini. Semua bukti mengarah kepadanya, kami juga menemukan handphone yang Amira gunakan untuk meneror Alena, dan berkomunikasi dengan dua pembunuh itu."Pak Arman menyodorkan handphone jadul itu.Aku melihat isi percakapannya dengan Alena, sama seperti yang aku temukan di gawai Alena saat itu.

    Last Updated : 2021-05-02
  • DENDAM   Dihajar Mamah

    Part12"Kami akan menuntut anak kalian, yang sudah menghamili Amira.""Silahkan, Raka pantas menerima itu semua! Dan kamu harus ingat, saya akan membuat anakmu membusuk di penjara."Wajah orang tua Amira semakin menegang, rahang Bapaknya mengeras menatap Mamah penuh kebencian."Keluarga sialan," maki Tante Nita, Mamah Amira.Mata Mamah berkaca. "Apakah harus saya buat kalian merasakan hal yang sama? Betapa hancur dan terlukanya hati saya dan Ibunya. Kehilangan menantu yang amat saya sayangi, dan itu perbuatan anak kamu, yang hanya wanita simpanan anak saya!"Mamah berkata dengan suara lirih."Jangan hina anak kami, kamu tidak tahu apa-apa tentang hidupnya."Tante Nita tidak terima dengan hinaan Ibu, bahkan suaranya bergetar, seiring dengan tatapan matanya yang mulai berembun.&nb

    Last Updated : 2021-05-02
  • DENDAM   Rahasia alia

    Kado Terakhir IstrikuPart13Alia diam, ekspresi wajahnya kembali berubah tenang."Mas akan keluar dari kamar ini, setelah melihat isi lemari itu."Alia tidak menyahut, ia tersenyum, menatapku dengan pandangan dingin. Entah kenapa, aku merasa takut dengan pandangan Alia seperti itu."Al, Alia ..., dimana kamu? Nak." Terdengar suara Mamah memanggil-manggil Alia.Alia beranjak dari duduknya, kemudain berjalan ke arah luar kamar, wajahnya datar melewati aku dan bibi tanpa suara.Aku berjalan cepat ke arah lemari, kubuka cepat daun pintunya. Aku memekik, dua tikus berlarian mengejutkanku, sial.Untung saja Bibi juga ikut keluar, jika tidak, maka aku akan malu.Aku pun berjalan cepat ke arah luar, menghampiri Mamah dan Alia yang masih berdiri di dekat Mamah."Mamah tunggu ya! Nak."Alia mengangguk, ia pun berjalan menuj

    Last Updated : 2021-05-02

Latest chapter

  • DENDAM   TAMAT

    Bab26Alia terisak, dan Mama langsung memeluk wanita itu. Mama menatap tajam wajah Aisyah, dan meminta kami menjauh dari mereka berdua."Kurang ajar! Menjauh kalian dari putriku!" pekik Mama.Aisyah menangis, melihat Mama begitu menyayangi Alia, dan mengabaikan Aisyah, yang jelas-jelas menantunya kini.Aisya pun menjauh, dan masuk ke kamar kami. Aku pun menyusulnya dan mempertanyakan sikap Aisyah tadi."Apa yang terjadi? Mengapa kamu begitu bar-bar tadi?" tanyaku, sambil duduk di sampingnya. Aisyah masih terisak, nampaknya dia begitu sakit hati, dengan perlakuan Mama tadi."Aku ingin kita bercerai, Mas!" pinta Aisyah."Tidak, Mas nggak mau cerai sama kamu. Mas sayang kamu dan anak kita.""Tapi aku merasa tidak aman, Mas. Wanita itu, dia menerorku terus," jelas Aisyah.Kupegang kedua pipinya, dan kutatap lekat wajah istriku itu."Apa yang dia lakukan?""Wanita itu terus mengirimku bangkai binatang,

  • DENDAM   Marah

    DendamBab25"Maaf," lirihku.Aisyah mendengkus. "Aku ingin bercerai, Mas!" ungkap Aisyah. "Aku tidak ingin diteror lagi, aku tidak mau, anakku dalam bahaya!" papar Aisyah.Aku menggeleng. "Tidak mau!" kataku dengan suara lemah."Mas ...." suara Aisyah meninggi. "Wanita itu bisa membahayakan anak kita, juga aku.""Aku akan melindungi kalian," sahutku cepat. Tidak akan kubiarkan, Alia menyakiti keluargaku.Namun kemana Mama? Ya Allah, mengapa Alia begitu terobsesi menghancurkan hidupku?Aisyah terisak, tubuhnya lunglai, dia bersandar di dinding kayu rumah, dan terus terisak. Sedangkan anak kami, dia terdiam membeku."Kita ke rumahku saja!" kata Aisyah, sambil bangkit dari duduknya. Aku menatap keluar jendela."Kita tetap di rumah ini, aku yakin, Mama pasti akan pulang.""Mas ...." Aisyah kembali berteriak, aku berbalik dengan wajah sengit."D

  • DENDAM   Emosi

    Part24Usai perjumpaanku dan Amira, kami pun bertukar kembali nomor handphone. Sulit kusadarkan diri ini, tapi untuk sekedar menjalin silaturahmi, kurasa tidak ada salahnya.Aku dan Niara pulang, terlihat di muara pintu, Istriku tengah berdebat dengan seseorang, saat aku mendekat, ternyata orang itu tetangga kami."Ehem, ada apa ini?" tanya, pada Aldi, yang terlihat canggung."Tadi mau pinjam wajan, punyaku bocor," jawabnya."Oh, kenapa tidak beli? Kan di toko klontong pasti banyak," kataku."Maaf." Aldi hanya menyahut seperti itu, dan berniat meninggalkan muara pintu rumahku."Aldi." Aku memanggil namanya. "Lain kali, tolong jangan bertamu, di saat aku tidak ada di rumah! Tidak baik," lanjutku.Aldi yang semula menghentikan langkahnya, ketika mendengar seruanku pun berbalik, dan menoleh ke arahku, sembari menarik bibir atasnya."Tenang saja, kamu tidak perlu khawatir," jawabnya. Kemudian

  • DENDAM   Pertemuan

    Part23Enam tahun berlalu.Kini, hasil dari pernikahanku dan Aisyah, aku memiliki seorang anak perempuan, yang kini berusia lima tahun."Dek, aku dapat kerjaan lagi di Ibu Kota. Kamu nggak apa-apa kan kutinggal dulu? Kalau aku sudah ngontrak rumah! Kalian aku jemput.""Iya, nggak apa-apa mas."Aku terseyum menatap istri cantikku itu. Aku pasti sangat merindukannya, jika nanti aku jauh dari wanitaku ini.Sebulan aku di Ibu kota, aku mencari kontrakan rumah, namun sedikit sulit. Akhirnya, aku menyewa rumah susun.Kuboyong istri, dan anakku. Sedangkan Mama, beliau memelih menemani Nenek di kampung.Aku bekerja di Perusahaan yang bonafide, dan bergaji lumayan besar."Sebulan lagi, mas akan cari kontrakan yang lebih bagus! Sementara kita di sini dulu," kataku pada Istri."Di sini pun enak.""Kamu yakin? Kalau kamu merasa nyaman! Maka kita tetap di sini," kataku

  • DENDAM   MENIKAH

    Part22 Papah terbangun, mengusap pelan puncak kepala Mamah, yang tertidur diatas kedua tangan yang ia letakkan di atas bibir kasur pasien. Mamah terbangun, kemudian menatap sendu wajah Papah. "Mamah capek? Pulang ya sama Bibi, biar Raka yang jagain Papah disini." "Nggak, biar Mamah disini saja! Jagain Papah," jawabnya pelan. "Nanti Mamah sakit, kalau Mamah sakit, Papah yang akan sedih. Tidak bisa ngurus Mamah." "Makanya Papah sehat dong! Biar ada yang manjain Mamah lagi," sahut Mamah, dengan mata mengerling nakal. Aku hanya tersenyum simpul, menatap tingkah laku mereka. "Mah, papah minta maaf, jika selama ini, Papah banyak salah." "Papah ngomong apa sih, nggak usah gitu ah, Mamah nggak suka." Papah hanya tersenyum kecil, menatap Mamah penuh c

  • DENDAM   Malang

    Part21"Mengapa mereka tega meninggalkanku, Mah? Mengapa Ibu kandungku sendiri, tega menyia-nyiakanku?" tangis Alia.Wanita yang biasanya hanya terdiam, bahkan kadang tidak menyahut mau pun bereaksi itu kini menangis tersedu. Alia mulai menumpahkan segala sesak dalam dadanya, di pelukan Mamah."Sayang, lupakan masa lalu, Nak. Sepedih apapun itu lupakan dan lepaskan. Sejauh ini kamu sudah terlalu kuat dan hebat melewati cobaan hidup! Mamah bangga sama kamu, Nak."Alia menatap getir wajah Mamah. "Mah, mamah bangga denganku? Bahkan di saat aku kuat, demi membalaskan sakit hatiku pada mereka?""Alia, sayang ...." Mamah mencium kedua pipi Alia. "Mamah bangga kamu kuat bertahan melewati semua itu, hanya kamu salah langkah Nak. Mamah nggak mau terpisah untuk selamanya, Mamah mohon kamu buang buruknya, ambil hikmah dari semua ini, Nak."Alia menunduk malu. "Aku pendos

  • DENDAM   Tertangkap dalangnya

    Part20Aku bergegas pulang ke rumah, dan menitipkan Anita kepada suster.Mobilku kini memasuki pekarangan rumah, ketiga penyidik itu tengah menungguku, di ambang pintu.Aku pun membuka pintu rumah, dan mempersilahkan mereka untuk menyelidiki barang-barang bukti, yang akan menyeret Alia lebih dalam lagi, ke dalam neraka dunia itu.Para penyidik itu mengawali penggeledahannya dari kamar Alia, namun tidak ada satupun barang bukti yang mereka temukan.Kemudian ke kamar Ibu Mumun. Ia mereka menemukan tumpukan baju kotor berlumur darah kering, juga bau. Baju milik Ibu Mumun.Kemudian beberapa mata pisau, selanjutnya, mereka menuju kamarku.Aku syock. Ketika melihat foto-foto yang sebelumnya ada di kamar Alia, kini malah tersimpan rapi di dalam lemariku."Ini fitnah," kataku. Mamah menatap tajam ke arahku. Apalagi, ketika ia melihat beberapa lembar foto Alena,

  • DENDAM   Kebebasan

    Part19Lumayan berat, selama enam bulan ini aku lalui, di penjara. Bukan hanya menjadi babu para napi, aku juga menjadi bulan-bulanan mereka. Parahnya lagi, aku mendapatkan pelecehan seksual.Rasanya aku jera setengah mati, semoga setelah keluar dari neraka dunia ini, aku tidak akan pernah menginjakkan kaki disana lagi.Tiba hari kebebasanku, Papah menjemputku di depan gerbang.Mobil meluncur pelan, menuju rumah."Pah, bagaimana keadaan rumah?" tanyaku."Mamah sih sehat, semua normal. Tapi, keadaan Bu Mumun, semakin memprihatinkan.""Memperihatinkan bagaimana?" tanyaku penasaran."Bu Mumun semakin kurus, bahkan kini terlihat hanya kulit keriput yang membalut tubuhnya.""Astagfirullah, yang ngasih makan, obat dan vitamin siapa?" tanyaku."Alia, pernah Papah carikan perawat, sudah tiga perawat yang tiba-tiba men

  • DENDAM   Sudut pandang Alia

    Part18▪Pov Alia▪Aku kembali teringat, Bu Nunung yang tiba-tiba mati gantung diri di belakang rumah, membuatku semakin hancur dan sakit hati. Lagi-lagi aku harus sendiri, aku benci."Bu ..., kenapa Alia di tinggal dengan cara seperti ini? Bukankah ibu sudah berjanji, tidak akan meninggalkan Alia juga."Aku menangis tersedu, di depan jenazah Bu Nunung."Sepertinya, dia anak pembawa sial.""Iya, Ibunya saja meninggalkannya. Neneknya mati terbakar dan Bu Nunung mati bunuh diri. Hiiiyy.""Jangan dekat-dekat kitanya, takut sial juga."Terdengar bisik-bisik para tetangga, yang menggunjingku. Mereka seakan menabur garam di luka basahku.Suami dari Bu Nunung datang, ia pun sama, memarahiku dan menyalahkanku.Ia bahkan bejat, datang dengan perempuan barunya, yang kini hamil tua.Aku benci laki-laki,

DMCA.com Protection Status