Mobil sudah terparkir di halaman rumah mereka. Dalam keadaan tersungut, Nina keluar lebih dahulu dengan membanting pintu mobil. Dia merasa sangat kesal karena Levi hanya memarahinya selama perjalanan pulang. Padahal posisinya baru saja dimaki oleh adik iparnya.
“Nina!” panggil Levi yang baru saja masuk ke dalam kamar.
“Cepat katakan padaku, apa yang sudah kamu perbuat pada adikku?!” tekan Levi yang sudah tak bisa menahan diri.
“Bukan aku yang salah Mas! Tapi Kevin! Dea salah paham padaku!” teriak Nina yang ingin terisak. Hatinya terasa sakit mendapat emosian Levi.
“Katakan dengan jelas!” tegas Levi. Lelaki itu sudah sangat lelah untuk menebak-nebak permasalahan apa yang sedang terjadi.
“Kevin kawin siri dengan Icha!” sungut Nina.
Mata Levi terbelalak, jawaban istrinya membuatnya sangat terkejut. Ia tak menyangka hal ini terjadi.
“Aku memang salah karena membawa Kevin ke
“Apa maksudmu?!” tanya Kevin dengan nada yang sedikit meninggi. Dia benar-benar tidak mengira sahabatnya bisa berpikir seperti itu. “Pikir sendiri sial*n! Jangan ganggu aku!” bentak Nino. Untungnya di tempat parkiran ini masih sepi, sehingga hanya ada mereka berdua disana. Nino langsung berjalan menjauhi Kevin, sedangkan lelaki itu masih terpaku dalam diamnya. ‘Apa maksudnya ia memintaku untuk bercerai dengan Dea?’ batin Kevin yang kebingungan. Nino memang sempat memprotesnya karena dia menikah siri dengan Icha. Namun selama ini temannya tak pernah memintanya untuk menceraikan Dea, justru Nino mendesak agar segera menalak Icha sebelum ketahuan oleh istri sahnya. Kini ucapan lelaki itu berbeda, ‘Apa karena masalah kemarin ya?’ Kevin menebak-nebak kemungkinan yang terjadi, ia memang menyeret Nino terlalu dalam di masalah rumah tangganya. “Hahhhh...” Kevin menghela nafasnya, melegakan segala rasa tak nyaman yang ada di dalam dirinya. Har
Setelah kepergian Nina dan Levi, Dea memilih merebahkan tubuhnya di atas ranjang. Tanpa sadar air matanya menetes, rasanya benar-benar menyakitkan. Caci dan makiannya yang diberikan pada beberapa orang terasa menyiksa. Ini bukan dirinya, personalitinya telah berubah.Hanya kebencian yang ada di dalam tubuhnya. Dea sangat menyesali perubahan yang terjadi pada dirinya, tapi kondisi dan situasi yang memaksa berubah.Ia butuh seseorang untuk berada di sisinya, tetapi tidak ada. Dea tak sanggup jika memberitahu orangtuanya mengenai masalah ini, ditambah kesehatan mamanya mudah drop. Masih ada David- ayahnya, tetapi ia tak yakin jika pria itu akan menyemangatinya. Justru Dea takut jika David akan menghajar Levi dan Kevin habis-habisan. Dan masalah akan bertambah ruyam, karena targetnya bukan mereka berdua saja.“Hahh...” napasnya dihela dengan sangat berat.Tiba-tiba dia teringat Andre, kepala sekolahnya. Pria yang akhir-akhir ini yang
Hatinya terenyuh melihat perempuan itu menangis sesenggukan.“Ada apa?” tanyanya lembut. Dea hanya menggelengkan kepala. Air mata perempuan itu menetes dengan deras di pipinya.Andre mengusap buliran air itu dengan lembut. Memandu Dea untuk duduk di sofa, membiarkan perempuan itu terisak di pundaknya.Tanpa mengucapkan sepatah katapun, Ia menemani Dea cukup lama untuk mengeluarkan semua air mata di dalam pelupuknya. Mengelus-elus pundak wanita itu, berharap bisa memberikan semangat.Hatinya sangat sakit melihat belahan jiwanya tersiksa seperti ini. Ya, hingga sekarang Andre masih mencintai Dea. Namun, tak sekalipun ia berusaha merebut perempuan itu dari suaminya.Dia sadar diri jika tidak bisa memiliki Dea. Dan Dea sudah mencintai lelaki lain.Sayangnya, hingga sekarang ia tidak mampu membuka hatinya untuk wanita lain. Perhatiannya tak luput dari perempuan yang sedang ia temani ini.Ketika isakan Dea mulai tak terdengar, p
Tangisan Dea mulai mereda, keheningan tengah terjadi disana.Andre tetap memeluk perempuan itu, tetapi lama-lama badannya terasa gerah dan pegal.“De...” panggil Andre lembut. Tak ada sahutan dari seseorang yang dipanggilnya.‘Apa dia tidur?’ batinnya.Andre terpaksa menjadi patung hingga Dea terbangun.Tiba-tiba Mbok Lastri datang. Wanita kaget melihat pemandangan di ruang tamu. Apalagi posisi majikan dan tamunya sedikit mainstream. Menyadari kehadiran Mbok Lastri, Andre langsung nyengir kuda.“Bu, bisa tolong check Dea sebentar. Apa dia masih lelap?” bisik Andre. Mbok Lastri menaruh tas belanjaannya di lantai lalu berjinjit mendekati kedua orang tersebut.Memeriksa apakah majikan perempuannya.“Masih Mas,” bisik Mbok Lastri pelan.“Hahh... saya capek,” keluh Andre. “Apa saya boleh bawa dia ke kamarnya? Saya harus segera kembali ke sekolahan,&rdq
Alis Kevin langsung berkerut setelah mendengar jawaban Nino. Terasa tidak masuk akal dipikirannya.“Apa maksudnya?” tanya Kevin penasaran. “Memang apa hubungannya perceraian dengan keselamatan Dea? Jangan berbicara omong kosong,” lanjutnya. Ekspresi marah nampak jelas di wajah Kevin. Tangan lelaki itu mengepal, bagaimana seseorang yang asing bagi istrinya tiba-tiba membicarakan tentang keselamatan? Kevin adalah orang yang paling tau kondisi istrinya, Nino hanya orang asing.Sahabat karibnya itu langsung tersenyum, bukan senyum manis melainkan senyum mengejek.“Setidaknya jika kau bercerai dengan Dea, maka psikis istrimu akan selamat,” ejek Nino. Dia benar-benar capek berhadapan dengan Kevin. Pria yang keras kepala dan cenderung bodoh.Kevin terdiam mendengar penuturan Nino, perkataan lelaki itu ada benarnya. Psikis Dea sekarang memang tidak baik-baik saja, mengingat ia telah mengkhianati perempuan itu.Namun, unt
Kevin langsung melangkah kakinya dengan cepat. Namun, ketika akan membuka pintu ia menghela napasnya terlebih dahulu.Meredakan emosinya yang berada di puncak ubun-ubun.“HHHAAAAHHHHhhhhhhh...”Cklek, daun pintu itu langsung terbuka, menampilkan seorang perempuan yang sedang bersandar di dashboard ranjang.Seperkian detik, Dea menatap suaminya dengan datar.Tak menggubris perempuan itu, Kevin langsung masuk ke dalam kamar mandi. Badannya terasa gerah setelah aktivitas seharian.Dea yang sendirian di dalam kamar langsung mengambil ponsel suaminya yang tergeletak di atas nakas.Memprogram beberapa aplikasi, ia berencana menyadap smartphone itu.Cukup lama ia mengotak-atik ponsel suaminya, dia harus menghubungkan jaringan ke miliknya juga.Setelah berhasil memasang aplikasi itu, dan mengatur ponsel mereka agar terhubung secara realtime. Dea segera mengembalikan benda pipih itu ke tempat semula.Dengan apl
Sesampainya Kevin di rumah Icha, ia langsung berlari masuk. Pupilnya melebar ketika melihat keindahan istrinya yang terekspos di matanya.Di sisi lain, Dea yang berada di dalam kamar memantau setiap kegiatan yang dilakukan suaminya. Program penyadapannya berjalan dengan lancar. Bahkan tak terkendala sedikitpun, lokasi, hingga kamera di dalam ponsel Kevin dapat digunakan dengan sangat baik.“Bagus Mas! kebiasaanmu menaruh hp sesuai tempatnya membuat rencanaku semakin mulus!” puji Dea. Kevin memiliki kebiasaan menaruh HP di standing ponsel. Ditambah merek ponsel suaminya tidak kaleng-kaleng dengan tiga lensa kamera menonjol membuat lelaki itu berhati-hati ketika menyimpan benda pipih itu. Kebiasaan Kevin sempat membuat Dea risih karena terkesan sombong memiliki HP luxury brand. Tapi sekarang ia sangat bersyukur, karena dengan begini dia bisa memantau setiap pergerakan yang dilakukan suaminya, tentu saja dengan gundiknya!Dari rekaman kamera perlahan Kevin mendekati Icha. Wanita itu nampa
Icha membelalakkan matanya, karena Kevin mengabaikan permainan panas. Tubuh lelaki itu langsung menjauh, mengacuhkannya begitu saja tanpa balasan apapun. Tangannya yang seputih susu itu langsung memeluk pinggang lelaki di depannya. Icha tak ingin permainan ini berakhir. Sedangkan Kevin segera mengambil ponsel yang sedari tadi berdering. Menjawab video call dari istri sahnya. “Mas! Tolong Mas!” teriak Dea penuh kepanikan. Wajah perempuan itu terlihat sangat berantakan. “Uhuhuhuhu!!!” tangis perempuan itu pecah, ekspresi ketakutan nampak dengan jelas disana. Mendengar teriakan itu Kevin terkejut. “Ada apa Sayang?” tanyanya penasaran. “Ada ular! Tolong!!! Akhh!” teriak Dea. “Brukk!!!” suara ponsel terbanting. Mata Kevin langsung melotot. Wajah perempuan itu sudah menghilang di layar ponsel. Gelap, tak ada apa pun, bahkan suara pun sudah tak terdengar lagi. “Sayang! Dea! Dea!!!” panggil Kevin histeris. Tanpa pikir panjang lelaki itu langsung turun dari ranjang, melepaskan kaitan tan
"Perutku sakit banget, Sayang. Seperti kontraksi," jawab Dea dengan suara gemetar.Andre segera memeriksa jam tangannya. "Tapi ini belum waktunya, kan? Masih beberapa minggu lagi!" Namun, melihat ekspresi Dea yang pucat, ia tak berani menunda. "Kita ke rumah sakit sekarang. Tunggu sebentar, aku ambil kunci mobil."Dea mengangguk, meski tubuhnya terus menggeliat karena rasa sakit. Andre kembali dengan mantel dan payung, membantunya bangun dengan hati-hati.Di perjalanan menuju rumah sakit, Dea terus mencengkeram lengan suaminya. Pria itu pun dibuat kalap dengan satu tangan memegang kemudi. "Aduh, Mas sakit banget. Aku nggak kuat," keluhnya.Andre berusaha tetap tenang, meskipun dadanya terasa sesak melihat istrinya kesakitan. "Sayang, bertahan ya. Kita sebentar lagi sampai," katanya sambil mempercepat laju mobil.Setibanya di rumah sakit, para perawat langsung membawa Dea ke ruang bersalin. Andre mendampingi dengan wajah penuh kecemasan. Dokter masuk dan memeriksa kondisi Dea dengan ce
“Waalaikumsalam,” jawab Icha cepat-cepat sambil membuka pintu. Berdiri di sana, Kevin dengan setelan kerjanya yang rapi, wajahnya tampak lelah, tetapi ada senyum tipis yang terukir.“Kamu baru pulang?” tanya Icha langsung, nada suaranya sedikit tajam meski ia mencoba menahannya. Evan yang masih dalam gendongannya mulai merengek lagi, membuatnya semakin frustasi.Kevin mengangguk sambil melepas sepatu. “Iya, maaf lama. Ada kerjaan tambahan tadi. Stok baju menumpuk dan harus di display. Ditambah, aku juga menambah manekin sesuai idemu. Aku sudah memasang banyak setelan yang kamu atur.” Ia mendekati mereka, mengusap kepala Evan yang langsung melenguh kecil, tetapi tetap rewel.“Aku hampir gila sendiri di rumah, tahu nggak?” keluh Icha sambil membawa Evan ke ruang tamu. Namun, ada kebahagiaan sendiri karena ide yang sempat ia katakan pada Kevin, sekarang telah teralisasikan. Dia yang dulunya suka shopping dan selalu memakai outfit kece, ternyata bisa merembak ke bisnis toko baju yang mere
Beberapa hari setelah kabar kehamilan itu, Andre dan Dea memutuskan untuk mengundang kedua keluarga mereka untuk makan malam di rumah. Andre telah mengatur semuanya, dari makanan hingga dekorasi sederhana yang akan digunakan untuk menyampaikan kabar gembira tersebut.Dea berdiri di depan cermin, mengenakan gaun longgar yang sengaja dipilih karena ia mulai merasa tak nyaman dengan pakaian yang ketat di perut. Ia menyentuh perutnya yang masih datar dengan perasaan takjub, seolah tak percaya bahwa kehidupan baru tengah tumbuh di dalamnya.“Kamu cantik,” komentar Andre yang muncul dari balik pintu kamar. Ia mendekat, melingkarkan lengannya di pinggang Dea.“Kamu yakin mereka akan senang?” tanya Dea sambil menatap Andre lewat pantulan cermin.Andre tertawa kecil, mencium kening Dea dengan lembut. “Ayah dan Mama pasti akan sangat senang. Apalagi Oma. Dia sudah lama menunggu kabar seperti ini.”Dea mengangguk, meski hatinya tetap berdebar. Ia masih merasa gugup untuk menyampaikan kabar terse
Setelah hampir dua minggu menikmati bulan madu yang penuh kenangan di Maldives, Dea dan Andre akhirnya kembali ke rumah mereka yang megah. Malam itu, mereka tiba di bandara dengan suasana hati yang lelah tetapi bahagia.“Welcome home, Pak Andre, Bu Dea,” sapa seorang pelayan ketika mereka melangkah masuk ke dalam rumah. Bagi Dea rumah itu terasa lebih besar dari tempat yang selama ini ia tinggali, tetapi kehangatan dari staf yang menyambut mereka membuat Dea merasa nyaman.“Terima kasih,” jawab Andre singkat. Ia menoleh ke arah Dea, yang terlihat sedikit pucat. “Kamu capek? Mau langsung istirahat?”Dea mengangguk sambil tersenyum kecil. “Sepertinya begitu. Perjalanan panjang tadi bikin aku sedikit mual.”Andre mengernyit, menunjukkan kekhawatirannya. “Kamu yakin cuma capek? Jangan-jangan kamu sakit.”Wanita itu hanya tertawa kecil. “Nggak kok, mungkin hanya masuk angin. Besok juga pasti sembuh.”Andre menghela napas, tapi akhirnya mengangguk. “Kalau gitu, ayo naik. Aku bawakan kopermu
Tanpa menunggu lagi, sepasang pengantin yang baru saja melakukan malam pertama segera terbang ke luar negeri."Mas, kita mau ke mana?" tanya Dea. Ia sedari tadi hanya mengekori suaminya. Semua keperluan sudah diatur Andre dan staffnya. Jadi, wanita itu tidak tau mereka akan terbang ke mana. Suaminya pun hanya membalasnya dengan senyuman kecil. "Nanti juga tau," ujar lelaki itu sembari menoel hidung Dea.Namun, jawaban atas rasa penasaran wanita itu langsung terjawab ketika jet yang ia tumpangi landing di salah satu bandara yang ada di Maldives. Dea tak menyangka dan tak terpikirkan akan berada di negara ini. Pagi pertama mereka di Maldives dimulai dengan sinar matahari lembut yang menerobos tirai kamar villa di atas laut. Dea membuka mata perlahan, menghirup aroma udara laut yang menyegarkan. Ia merasakan kain lembut selimut yang menyelimuti tubuhnya dan ketenang di sekitarnya.Ketika ia menoleh, Andre sudah duduk di teras luar, hanya memakai kemeja santai berwarna putih dan celana p
Kevin kehilangan kata-kata. Zahra hanya berdiri di tempatnya, matanya kembali berkaca-kaca, tetapi tidak berani mengeluarkan sepatah kata pun.Icha mengusap air matanya dengan kasar, sambil tetap memeluk Evan. Suaranya gemetar saat ia melanjutkan, “Aku meninggalkan keluargaku demi kamu, Kevin. Aku melawan dan menghadapi dunia sendirian, bahkan saat aku melahirkan anak ini. Apa balasanmu? Kamu bawa perempuan lain masuk ke rumah kita!”“Icha, aku tahu aku salah,” Kevin berkata dengan nada putus asa. “Tapi aku ingin memperbaikinya. Demi Evan. Tolong beri aku kesempatan-”Kata-kata itu seperti palu godam yang menghantam Icha. Tubuhnya terasa lemas, dan ia hanya terpaku. Suaminya hanya memikirkan putra mereka, bukan dirinya. Zahra yang tak sanggup melihat perseteruan mereka, berbalik dan melangkah pergi tanpa berkata apa-apa.Icha menunduk, menatap bayi kecil di pelukannya yang akhirnya berhenti menangis. Ia mengusap lembut kepala Evan sambil berbisik, “Kita pergi dari sini, Nak. Kita tid
Kevin berdiri terpaku, jantungnya berdegup kencang. Kata-kata Icha tadi seperti pisau yang terus-menerus mengirisnya. Ia ingin mengejar wanita itu, tetapi tubuhnya terasa kaku. Di sebelahnya, Zahra menggenggam tangan di depan dada, matanya berkaca-kaca, penuh rasa bersalah.“Mas, mungkin aku seharusnya tidak datang ke sini,” Zahra berbisik pelan. “Kehadiranku hanya memperburuk keadaan.”Kevin menoleh, pandangannya gelap. “Zahra, ini bukan salahmu. Semua ini salahku. Aku yang mengambil keputusan bodoh, dan sekarang aku harus menanggung akibatnya.”Sebelum Zahra bisa menjawab, suara pintu yang dibanting terdengar keras dari arah kamar. Icha muncul kembali dengan sebuah koper besar di tangannya. Tanpa menoleh sedikit pun ke arah Kevin atau Zahra, ia berjalan cepat menuju pintu depan.“Cha, tunggu!” Kevin akhirnya bergerak, berusaha menghentikan istrinya. Ia memegang lengan Icha, tetapi wanita itu menepisnya dengan kasar.“Jangan sentuh aku, Kevin!” seru Icha dengan air mata yang masih me
Kevin menatap Zahra sejenak. Pikirannya bergemuruh, tetapi bibirnya akhirnya lolos begitu saja mengungkapkan kenyataan yang selama ini dia sembunyikan. "Zahra adalah istriku, Cha. Dia madumu. Kami sudah menikah secara sah baik di mata hukum maupun agama."Pernyataan itu jatuh seperti petir di siang bolong. Icha menatap Kevin dengan mata membelalak, wajahnya memerah karena amarah yang langsung memuncak. Tubuhnya gemetar, hampir tak mampu berdiri.“Apa?!” jerit Icha dengan suara yang pecah. “Kamu bilang dia MADUKU?! Kamu sudah menikah lagi tanpa bilang apa-apa padaku?!”Pria itu menatap Icha selembut mungkin, berusaha menenangkan. Namun, kata-kata yang ia siapkan tak mampu menahan badai yang jelas sudah datang. “Cha, aku bisa jelaskan. Seharusnya bilang dari awal. Tapi-”“JELASKAN APA?!” potong Icha dengan teriakan melengking. “Kamu menikah lagi di belakangku, Kevin! Kamu mengkhianatiku! Kamu membawanya ke sini, dan kamu pikir aku akan menerima begitu saja?!”Zahra yang berdiri di sampi
Di ruang tamu, seorang wanita bergamis duduk dengan tenang. Sosok itu membuat darah Icha mendidih seketika.“Kamu?!” seru Icha dengan nada tinggi, tanpa mencoba menyembunyikan kemarahannya.Zahra, yang mengenakan gamis hitam bangkit perlahan. Meski matanya tampak tenang, tubuhnya sedikit gemetar karena situasi yang ia tahu akan sulit.“Iya, Mbak Icha,” jawab Zahra pelan. “Saya diminta Mas Kevin datang.”"Dasar perempuan gatel! Apa-apaan kamu tiba-tiba nggak pake cadar gitu. Mau menggoda suami saya, ya!" Icha melirik Kevin dengan tatapan penuh emosi. “Mas, kamu tega banget bawa dia ke sini?! ngapain kamu suruh datang ke rumah kita?!”“Cha, tenang dulu. Aku cuma—”“Tenang?!” potong Icha tajam. “Kamu mau aku tenang sementara kamu bawa perempuan ini ke rumah kita?! Aku istrimu, Kevin! Dia itu cuma... cuma-”“Saya cuma apa, Mbak?” Zahra menyela lembut, tetapi nadanya tegas. “Kalau saya hanya dianggap sebagai masalah, saya mohon maaf. Tapi saya di sini untuk menyelesaikan semuanya, biar ng