“Mas Reno, bawa aku pergi, Mas, aku ingin ikut bersamamu dan anak kita,” racau Harnum. Ia terus meracau memanggil nama Reno dan merintih menahan sakit di perutnya.Albern terkejut mendengar ucapan Harnum tersebut. Pikiran buruk Albern terhadap Harnum kini lebih mendominasi, walaupun sebenarnya dia merasa sangat cemburu dan sangat kesal mendengar Harnum yang kembali memanggil nama Reno, namun, saat ini bukanlah waktu yang tepat untuknya marah pada Harnum, karena kondisinya yang sedang tidak baik-baik saja.Albern kembali teringat saat dulu Harnum mengalami stillbirth, hal serupa juga yang terjadi dan dilihat olehnya. Lalu, Albern melangkah untuk kembali menuju ke rumah. Di saat tengah berjalan, tiba-tiba Rully dan Monica sampai. Mereka sangat terkejut melihat kondisi Harnum yang lemas tak berdaya.“King, apa yang terjadi?” tanya Rully dengan cemas.“Harnum,” gumam Monica.Mata Monica tertuju pada kaki Harnum yang terdapat banyak bercak darah. “Ya, Tuhan, Harnum, apa yang terjadi padamu
“Jangan pergi, Mas Reno, jangan tinggalkan aku. Aku tidak bisa menjalani hidup ini lagi jika tanpa dirimu,” Harnum masih terus meracau memanggil nama Reno.Albern kembali merasakan sakit di ulu hatinya, namun, dia langsung tersadar. Albern langsung memeluk tubuh Harnum dengan erat. Tiba-tiba Harnum membuka matanya, napasnya terlihat naik turun. Harnum berusaha untuk duduk, namun, perutnya terasa sakit.Harnum memegang perutnya. “Ah! Perutku sakit sekali,” rintih Harnum. Bibirnya masih memucat. Albern tersadar, lalu dia berlari ke dapur dan mengambilkan air hangat untuk Harnum. “Sayang, minumlah.” Albern memberikan air minum tersebut dan di minumkan ke mulut Harnum.Harnum meminum air hangat tersebut hingga tandas, karena tenggorokannya terasa sangat dahaga sekali. “Mas Reno,” panggil Harnum. Dia masih Memanggil nama Reno.Albern memejamkan matanya. Dia menarik napas, menahannya, lalu, membuangnya dengan kasar. “Harnum, sadarlah! Aku Albern, bukan Reno. Reno sudah lama tiada. Tolong l
“Katakan! Apakah kau mencintaiku?!” tanya Albern dengan tegas.Harnum menggigit bibirnya sekuat mungkin, lalu ia mendongakkan wajahnya untuk menatap wajah tampan Albern. “Tapi aku tidak bisa melupakan suamiku begitu saja. Bagaimanapun juga, dia adalah suamiku, dan kami berpisah itu juga karena dirimu, karena kau telah membunuhnya!” ungkap Harnum dengan menggebu-gebu. “Lalu, apakah aku salah jika aku masih mengingatnya? Apakah aku salah? Katakan!”Kini, Albern yang terdiam. Dia merasa sangat tertampar dengan ucapan Harnum tersebut. Bahkan pertanyaannya soal perasaan Harnum terhadapnya, sirna begitu saja, karena dia tidak berani untuk kembali mempertanyakan itu. “Aku tidak bisa memaksamu. Kau mau menerima diriku saja, aku sudah sangat bersyukur. Katakan! Apakah kau ingin menikah denganku?” Mata Albern menatap Harnum. “Apakah kau ingin menerima keadaanku yang miskin ini?” tanya Albern.Harnum menganggukkan kepalanya. Mata Albern berbinar-binar melihatnya. Kini, dia sudah tidak bisa berka
Perasaan Monica seketika menjadi cemas. Matanya terus mengitari sekeliling rumah. ‘Tuan Rully ke mana? Ini ‘kan masih malam. Dia pergi ke mana? Sedangkan ini di hutan belantara. Ah … apakah Tuan Rully pergi ke sungai?’ batin Monica. Mata Monica terus mengitari sekeliling rumah, namun, dia tetap tidak menemukan keberadaan Rully. ‘Apakah Tuan Rully pergi ke sungai?’ pikir Monica.Monica sampai memiliki dugaan seperti itu, karena di hutan tersebut terdapat air terjun dan sungai, yang letaknya tidak terlalu jauh dari rumah tua tersebut. Dan, air sungai tersebutlah yang mereka pergunakan selama ini untuk melakukan mandi, mencuci, serta untuk memasak.Lalu, Monica pun melangkahkan kakinya di tengah gelapnya malam. Dia memberanikan diri untuk menuju ke sungai. Tanpa dirasa takut olehnya, dia terus melangkahkan kakinya. Tidak berapa lama kemudian, Monica sudah sampai di sungai tersebut, dan ternyata benar, Rully berada di sungai itu. Rully terlihat sedang tidur di atas batu besar, dengan pos
“Monic, mengapa kau tidur di sini? Pindahlah ke kamar,” tegur Rully. Rully mengguncang tubuh Monica, namun, Monica tidak menanggapinya. “Monic, jangan tidur di sini, ini sangat dingin, nanti kau sakit. Ayo, pindahlah ke kamar!” sambung Rully. Akan tetapi, Monica kembali mengabaikannya. Rully merasa frustasi. Dia tahu bahwa Monica masih sangat marah padanya, tapi dia juga tidak bisa membiarkan Monica yang hanya tidur di lantai, yang hanya beralaskan kain tipis itu. Lebih baik dia yang tidur di lantai dan Monica yang tidur di kamar.“Monic, lebih baik kau tidur di kamar, biarkan aku tidur di sini,” imbuh Rully.“Tidak perlu! Lebih baik kau yang tidur di kamar dan aku yang tidur di sini. Dan mulai sekarang, kita tidak perlu lagi berbagi kamar, karena kita bukan suami istri ataupun sepasang kekasih, kita hanya merupakan orang asing!” jawab Monica dengan tegas dan secara tiba-tiba.Rully terkejut mendengarnya. Entah mengapa, Rully merasakan sakit di ulu hatinya ketika mendengar Monica me
“Monic, mengapa dahimu terluka? Bukankah tadi malam kau baik-baik saja? Ada apa?” tanya Albern.Monica langsung tersadar, dia memaksakan bibirnya untuk tersenyum. “Ah, tidak, aku tadi malam hanya ceroboh saja, karena gelap sehingga aku terbentur di tembok, jadi luka seperti ini,” sahut Monica sembari menyunggingkan senyum.Kala itu, bertepatan Rully ke dapur untuk mengambil air minum. Dia mendengar ucapan Monica tersebut. Matanya menatap Monica dan Albern secara bergantian, namun, Monica yang lebih dulu memutus kontak mata mereka. Rully menghela napasnya dengan berat, lalu, dia bergegas mengambil air minum. Setelah itu, dia menegaknya hingga tandas, lalu masuk lagi ke dalam.Ekor mata Albern melirik pada Rully. “Rully, mengapa tadi malam kau tidur di luar?” tanya Albern. Karena tadi sebenarnya dia sudah melihat Rully yang tidur di teras.“Tidak, King, semalam aku merasa sangat gerah di kamar, jadi, aku memilih tidur di luar,” dusta Rully. Namun, matanya terus menatap Monica, tetapi ga
Willy dan Jennifer bersimpuh di hadapan Albern. “King, tolong maafkan aku. Mungkin, sekalipun aku menyerahkan diriku, menyerahkan nyawaku, namun, semua kesalahanku itu tidak akan pernah bisa kau maafkan,” ujar Willy, “Tapi, kini aku seorang calon ayah, King, jika aku mati, bagaimana dengan istri dan anakku kelak,” sambung Willy dengan suara bergetar.Jennifer memeluk Willy dan menangis tergugu. “Tolong maafkan aku, King, ini semua kesalahanku, ini semua berawal dariku. Karena aku yang telah berkhianat pada Willy, sehingga Willy pun berkhianat padamu,” Jennifer menimpali, “Sehingga menghancurkan klan kalian, dan membuat semuanya hancur. Sekarang aku pasrah, King, jika kau ingin menghukumku, aku rela mati sekarang juga,” imbuh Jennifer.Willy membelalakkan matanya mendengar ucapan Jennifer tersebut. “Baby —” Willy menyela ucapan Jennifer.Akan tetapi, Jennifer tidak menghiraukannya. Dia tetap melanjutkan ucapannya. “lebih baik seorang ibu mati bersama anak yang dikandungnya, daripada s
“Honey, kau melupakanku? Justru yang kau peluk pertama adalah Jennifer. Aku cemburu,” ucap Albern berkelakar.Harnum langsung tersadar, dia langsung beralih memeluk Albern. “Maafkan aku, Honey, aku tidak melupakanmu, aku hanya terkejut melihat kehadiran Jennifer. Karena aku sangat merindukannya. Maafkan aku,” ucap Harnum dengan manja.Semua orang tertawa melihat pemandangan itu. Lalu, Willy pun mendekati Jennifer dan merangkulnya. Sedang mata Rully terus tertuju pada Monica. Dia merasa iri melihat kemesraan Willy pada Jennifer dan Albern pada Harnum. Mata Monica pun bersirobok dengan mata Rully, namun, Monica langsung menundukkan wajahnya.George yang sedari tadi memperhatikan tingkah Rully dan Monica tersebut, sengaja memanas-manasi Rully. Dia tersenyum smirk. “Monic, apakah kau tidak merindukanku? Aku sangat merindukanmu, Baby,” ujar George.Monica tersentak dan mengangkat wajahnya. Sedangkan wajah Rully sudah memerah. “Hai, George, eh, iya, aku merindukanmu juga. Bagaimana kabarmu?
Tanpa terasa, kini twins A sudah berusia 4 tahun. Dan pada saat itu di mansion AB sedang mengadakan pesta ulang tahun twins A yang ke 4.Perayaan ulang tahun yang sangat meriah itu begitu terasa. Apalagi semua keluarga para tangan kanan Albern hadir di sana. Willy, Rully, George, dan Neil, bersama istri dan anak mereka ikut menghadiri pesta tersebut.Anak-anak mereka yang berusia tidak jauh beda dengan twins A, kini sedang berlari-larian bersama twins A. Nora dan Nancy pun juga sudah memiliki anak berusia 3 tahun yang berjenis kelamin perempuan.Kebahagiaan makin terpancar di wajah semuanya. Mereka selalu kompak dan saling mendukung satu sama lain itu, menjadi kelebihan yang dimiliki oleh mereka.“Happy birthday twins A, Ardam Barnard dan Aveline Barnard, cucu-cucu oma. Tak terasa, ya, usia kalian sudah 4 tahun. Kalian semakin cantik dan tampan,” ucap Mama Marsha.“Ardam tampan seperti Daddy, dan adik Aveline cantik seperti Mommy,” ujar Ardam.Semua orang tertawa mendengarnya. Ardam m
Albern meneguk ludahnya dengan susah payah. Wajahnya memucat karena dia merasa panik. Dan dia justru berlari ke sana kemari karena otaknya tiba-tiba buntu.Harnum yang melihatnya merasa kesal. “By, apa yang kau lakukan? Mengapa kau malah lari ke sana ke mari. Perutku sakit, By, aku kontraksi,” ujarnya.“Ah, iya, Sayang. A-aku … aku … aduh, bagaimana ini? Sayang, maafkan aku karena aku telah membuatmu seperti ini. Kau pasti merasa pusing ‘kan karena ucapanku tadi sehingga membuatmu tidak nyaman dan banyak pikiran dan mengakibatkan kau merasa kesakitan di perutmu, lalu kontraksi.” Albern berbicara panjang tanpa jeda.Wajah Harnum meringis menahan sakit yang tiada tara. ”T-tidak begitu, By. Ah … mungkin ini memang sudah waktunya. Karena aku memang sudah hamil 9 bulan. Jadi, aku kontraksi.”“Aduh, By, ah … tolong panggilkan Bibi dan para asisten … bukan … ah maksudku panggil ketua pelayan di mansion ini.”Albern yang sedang panik itu sudah tidak mengingat lagi siapa nama ketua pelayannya,
Sementara itu di dalam kamar tamu, tepatnya di kamar pasangan George dan Nora. Malam itu Nora terlihat selalu murung. George sedari tadi memperhatikannya.Nora membelakangi George. Dia sudah menggunakan selimut. George yang awalnya sedang sibuk di layar laptop, kini dia menghentikan kegiatannya tersebut karena dia merasa bahwa sang istri sedang banyak pikiran.Lalu, ia langsung menghampirinya. George ikut merebahkan tubuhnya dan dia memeluk sang istri dari belakang. Tangan kanannya membelai-belai kepala Nora, sedangkan tangan kirinya mengelus-elus perut Nora.Dia sangat tahu bahwa Nora sedang memikirkan tentang dirinya yang belum mengandung. Apalagi Nora melihat Jennifer dan Monica yang sudah melahirkan, yang sudah memiliki anak, serta Harnum yang tengah mengandung.“Kau sudah mendengarkan ucapan Nona Harnum, lalu mengapa kau masih melamun dan memikirkan tentang itu, hmm?” George mencium pipi Nora, kemudian beralih ke telinganya dan menggigitinya.“Lepaskan, Sayang, aku sedang tidak i
Malam itu pun juga Monica langsung dibawa ke rumah sakit dan langsung ditangani oleh tim medis.Monica melahirkan secara normal, sama halnya seperti Jennifer waktu itu. Karena mereka ingin merasakan menjadi seorang ibu seutuhnya sehingga mereka berusaha dan berjuang melahirkan tanpa operasi.Sebenarnya Rully dan kedua orang tuanya menyarankan agar dia di operasi caesar saja, tetapi Monica tidak mau. Dia benar-benar berusaha dan berjuang melahirkan secara normal.Tangisan bayi kini menggema di dalam ruangan persalinan. Bayi Monica dan Rully itu berjenis kelamin laki-laki. Pancaran kebahagiaan kian terpancar di wajah Rully dan Monica. Mereka benar-benar merasa sangat bahagia atas kelahiran putra pertamanya tersebut.Bayi laki-laki itu diberi nama Rafael Morgan. Harnum tiada henti memandang baby Rafael tersebut. Rasanya dia pun ingin segera melahirkan kala itu juga.Begitu pula dengan Nora dan Nancy, keduanya nampak ikut berbahagia menyambut kelahiran baby Rafael. Nora dan Nancy yang bel
Semuanya saling berpandangan ketika mereka melihat Harnum yang tengah merajuk. Bibirnya terlihat memberengut. Perasaan wanita yang sedang hamil benar-benar sangat sensitif sekali, tidak bisa salah sedikit akan mengenai hatinya.Albern merayunya agar tidak marah lagi, sedangkan kedua pasang suami istri itu bergegas keluar ketika melihat suasana yang semakin menegangkan. Mereka turun ke lantai bawah dan menuju ke gazebo di belakang mansion. Kini, mereka berempat duduk di sana. Sementara Albern tengah sibuk merayu dan membujuk Harnum. “Sayangku, mengapa kau marah? Kami tadi tidak bermaksud membuatmu bersedih.”“Aku tadi sedang berbicara membahas Neil dan George, tetapi kalian malah saling berpandangan seperti itu. Apa maksud kalian? Kau juga samanya. Aku membencimu!” Harnum masih saja marah pada Albern. “Sudah, sana pergi! Aku ingin sendiri.” Harnum pun langsung merebahkan tubuhnya di atas ranjang dan menutupi seluruh tubuhnya dengan selimut.Albern yang melihat itu bertambah pusing. “
George bergegas keluar dari mobil. Dia berlari kencang ke arah dermaga. George langsung memeluk tubuh seseorang yang dia anggap adalah Nora.“Nora, Sayang, akhirnya aku menemukanmu.” George semakin mengeratkan pelukannya.Sementara perempuan yang dipeluk tersebut berusaha sekuat tenaga melepaskan pelukan George. “Tuan, tolong lepaskan, saya bukan Nora.”Deg!Deg!Jantung George berdetak semakin cepat dan bertalu-talu. Dia melepaskan pelukannya dan menatap wajah perempuan tersebut yang ternyata memang bukan Nora.“M-maaf, aku salah orang. Aku kira kau istriku karena postur tubuhmu sama persis,” ujar George.Dia melangkah dengan lunglai meninggalkan bandara. Air mata semakin deras membasahi pipinya. Langkah kakinya berjalan tanpa arah. Neil dan Nancy yang melihatnya ikut meneteskan air mata.Lalu, mereka menuntun George untuk duduk di sebuah bangku yang terletak di pinggir pantai. Di pantai tersebut terdapat banyak penginapan.“George, ayo, kita ke penginapan saja agar kau bisa beristir
Pagi itu, Albern terlihat sudah rapi. Dia sudah mengenakan pakaian untuk berangkat ke kantor. Dan kini dia tengah mengenakan arloji.Biasanya, Harnum sudah menyiapkan semua pakaiannya dan segala kebutuhannya untuk berangkat ke kantor. Namun, pagi itu Harnum justru masih bergulat dalam selimut, dia belum bangun sehingga Albern berinisiatif untuk bersiap-siap tanpa membangunkan sang istri.Akan tetapi, dia merasa aneh karena tidak biasanya Harnum bersikap seperti itu. Istrinya tersebut adalah tipikal wanita yang pekerja keras, dan bukanlah wanita pemalas. Karena sebelum subuh, Harnum sudah bangun dan menjalankan kewajiban sebagai seorang muslim, juga menjalankan kewajiban sebagai seorang istri. Walaupun di mansionnya terdapat banyak asisten rumah tangga, tetapi di dalam hal memasak untuk sang suami, Harnum lah yang selalu mengerjakannya. Meskipun Albern sudah berulang kali melarang sang istri agar tidak melakukan aktivitas apa-apa, tetapi Harnum yang sejak kecil sudah terbiasa bekerja
Malam hari pun tiba. Nora yang sejak siang tadi tengah merajuk, kini dia sudah terlelap terlebih dahulu. Begitu pula dengan Nancy, dia juga sudah mengurung diri di dalam kamar. Kini, seperti biasanya George dan Neil tengah duduk di mini bar markas tersebut. Wajah George terlihat saat kusut sekali. Neil yang sedari tadi memperhatikan rekannya itu, merasa sangat penasaran.“Hei, George, ada apa denganmu? Mengapa kau sejak siang tadi terlihat sangat berbeda, dan mengapa ketika kita sedang berbincang-bincang dengan King dan yang lainnya, tapi kau tiba-tiba meninggalkan kami begitu saja?” tanya Neil. Dia benar-benar merasa sangat penasaran sekali melihat wajah George yang sangat kusut tersebut.George menghela napas dengan berat. Dia menyugar rambutnya, dan bahkan dia terkadang menarik-narik rambutnya karena merasa kesal sendiri. Neil pun semakin merasa keheranan melihatnya. Dia menepuk-nepuk pundak George.“George, berceritalah padaku agar bebanmu lebih ringan. Ada apa? Kau tidak seperti
Nancy terlihat malu-malu, tetapi dia menganggukkan kepala. Neil yang mendapati respon itu langsung tersenyum sumringah.Perlahan, Neil mendekati Nancy yang masih mengenakan gaun pengantin itu. Dia terlihat sangat kesulitan, lalu dia membuka resleting gaun tersebut.Neil meneguk ludahnya ketika melihat punggung Nancy yang sangat putih mulus tanpa cela itu. Tangannya gemetar ketika mengelus punggung sang istri yang begitu lembut. Nancy memejamkan mata. Tubuhnya panas dingin dan gemetar mendapati perlakuan manis dari sang suami. Perlahan, Neil mendekatkan wajahnya pada punggung Nancy, lalu dia mengecupnya, kemudian mengecup pundak Nancy dan beralih ke tengkuknya, kemudian turun ke lehernya. Nancy mendongakkan wajahnya. Karena Neil mendapatkan akses dari sang istri, dia pun membalik tubuh Nancy hingga menghadapnya. Neil tak jemu-jemu menatap kecantikan sang istri.Kemudian, Neil memegang kedua rahang Nancy, lalu dia mengecup bibirnya dan melumatnya dengan lembut, tetapi penuh dengan gai