"Bukankah om Bian sendiri yang bilang jika seseorang tak berhenti untuk memikirkan orang lain berarti dia mencintainya? Om Bian bilang selalu rindu dengan Laura, tak bisa bernafas jika seharipun tak bertemu dengan Laura. Bukankah Om Bian juga selalu berbisik pada Laura saat Om Bian mencium Laura kalau om Bian mencintai Laura?" Pertanyaan beruntun itu keluar dari bibir Laura hampir tak berhenti, bahkan dia mengucapkannya hampir tak bernafas karena begitu bersemangatnya.
Bian menutup mulut Laura dengan tangannya, tanpa di sadarinya gerakan itu begitu reflek.
"Sttt..." Mata lelaki ini mendelik pada Laura.
"Umh." Laura memegang pergelangan tangan Bian dengan erat, bola matanya tak kalah besarnya menatap ke arah Bian.
Dengan perlahan Bian melepaskan bekapannya dari mulut Laura.
"Kenapa? Kenapa Om Bian takut sekali? Kita hanya perlu menikah, Laura sudah siap menjadi istri Om Bian."
"Tidak sesederhana itu, Laura. Tidak sesederhana itu." Bian menggelengkan kepalanya sambil mengatur nafasnya lebih tenang.
"Kamu harus mendengarku, Laura." Bian menggengam jemari Laura dengan sikap membujuk.
"Apa? Mendengar apa?"
"Berapa lama kamu tidak haid?" Tanya Bian dengan suara sedikit tertahan.
Laura menatap lekat ke mata Bian dengan bimbang,perlahan tiga jarinya terangkat.
"Tiga bulan." Ucap Laura pendek, mata bulatnya mengerjap seperti boneka mainan.
Bian menghela nafasnya kuat-kuat, itu berarti Laura mungkin hamil setelah dia menggauli gadis ini di malam itu pertama kali, saat dia memperawaninya tiga setengah bulan yang lalu.
"Apakah kamu memberitahu orang lain tentang ini?" Tanya Bian dengan hati-hati.
Laura menggeleng kuat-kuat," Aku hanya ingin om Bian ang tahu lebih dulu, surprise untuk Om Bian. Setelah itu aku akan memberitahukan ibu..."
"Tidak! Jangan!!!" Bian menyela dengan tegang.
"Kita akan menggugurkannya sebelum ada orang yang tahu." Ucap Bian cepat.
Laura terpana, dia terkejut bukan kepalang mendengar pernyataan Bian.
"Apa maksud om Bian?" Suara Laura serupa desis, dia duduk dengan punggung lurus, menunjukkan betapa tak percayanya dia dengan kalimat yang di ucapkan laki-laki di depannya ini, laki-laki yang sangat dipujanya sejak pertama kali dia bertemu.
"Kita...kita tak bisa menikah." Bian menggelengkan kepalanya sambil memegang kedua tangan Laura yang saling bertaut di atas pangkuannya dengan gemetar.
"Om Bian tidak mencintaiku?" Tanya Laura dengannsuaa bergetar.
"Bukan begitu...Aku benar-benar mencintaimu, Laura."
"Lalu kenapa?"
"Tapi..." Bian berucap dengan ragu.
Mata Laura berbinar menunggu lanjutan kalimat Bian dengan penasaran.
"Aku...aku sudah menikah..." Lanjutan kalimat yang di ucapkan Bian seketika membuat Laura menjadi kaku, sesaat dia seperti patung, menatap Bian hampir tak bernafas.
***
Laura gadis muda berusia baru genap 18 tahun itu, sekolahnya terputus karena ayah tirinya meninggal dunia dan ibunya menjadi depresi, dia berhenti sekolah tepat di kelas tiga SMA untuk merawat ibu dan adik tirinya yang masih kecil. Dia dalah gadis ceria dan rajin yang bekerja pada sebuah rumah Laundry.
Sebenarnya dia gadis baik, meskipun sedikit kurang pergaulan karena hanya sempat mengecap pendidikan sampai tamat bangku SMP saja.
Ayah kandung Laura, pergi saat Laura masih masih kecil entah kemana. Ibunya menikah lagi ketika dia berusia lima tahun. Tapi ayah tiri Laura meninggal karena penyakit kangker kelenjar yang di deritanya setahun yang lalu.Ibunya sangat mencintai ayah tirinya itu, bahkan saking cintanya sang ibu sampai mengalami depresi berat. Mereka pindah ke rumah petak sederhana dari rumah kontrakan yang lama karena tak sanggup membayar sewanya.
Ibu Laura, hanya sibuk menghibur dirinya sendiri, selalu pulang mabuk dari bar tempatnya bekerja sebagai cleaning service di situ. Gajinya habis untuk membayar hutang minumannya. Otomatis Laura lah yang mengurus semua kebutuhan hidup mereka termasuk merawat adik tirinya yang masih kecil itu. Adik yang sering dititipnya di tempat tetangga jika dia harus pergi bekerja sementara ibunya belum pulang di subuh buta.
Kisah perkenalannya dengan Bian berawal dari suatu hari, sekitar empat atau lima bulan yang lalu ketika Laura di tugaskan oleh Bosnya untuk mengantarkan stelan jas ke sebuah wisma, karena customer itu katanya akan menggunakannya malam itu juga.
Laura mengantarkan jas itu, dan saat itulah pertama kali dia bertemu dengan Bian, seorang laki-laki yang menyewa Wisma elite tidak jauh dari rumah laundry tempatnya bekerja, laki-laki bernama Bian Sanjaya, dia tampan, elegan dan matang pada usia 37 tahun.
Bian, yang diketahui Laura laki-laki berdasi yang necis, seperti tampilan seorang pegawai Bank. Laura tak tahu persis pekerjaannya, hanya Bian mengatakan kebetulan sedang bertugas di kota kecil tempat Laura tinggal.
Laura yang begitu merindukan sosok ayah menemukan kehangatan pada laki-laki dewasa ini, dalam pandangan pertamapun dia merasa telah jatuh hati pada sosok yang di panggilnya dengan Om Bian ini.
Bian sendiri tak bisa menyangkal, kepolosan dan kemolekan Laura yang di balut dalam tampilannya yang sederhana sungguh membuat dirinya tergoda untuk memiliki gadis ini.
Awalnya Bian hanya sekedar ngobrol ringan, menahan gadis itu sedikit lebih lama saat mengantar pakaiannya dengan secangkir cokelat panas dan biskuit. Dia mendengarkan semua cerita Laura dengan wajah sabar dan kadang sedikit antusias, semua hal itu membuatnya nyaman karena kehadiran Laura membuatnya merasa berbeda. Keceriaan, tingkah polos dan keserhanaannya membuat Bian tak berhenti untuk memikirkan gadis muda ini.
Setiap dua hari sekali dia meminta layanan Laundry itu untuk mengantarkan pakaiannya sekaligus memberinya kesempatan untuk mengobrol dan bercengkerama dengan Laura sampai akhirnya gadis muda tak berpengalaman ini terjerat pada pesona Bian.
Dan pada malam itu, saat hujan sedang turun dengan derasnya, Laura yang terjebak di dalam wismanya akhirnya di bimbing oleh Bian untuk melakukan hal yang tak pernah sama sekali di lakukan oleh si polos Laura.
"Laura, apakah kamu bisa melipat sepray untukku? Aku tak pernah rapi melakukannya." Dalih Bian kala itu.
"Sepray? Tentu saja aku bisa. Dimana?" Sambut Laura dengan tanpa curiga.
"Di kamarku." Jawab Bian sambil menelan ludahnya, degup jantungnya berpacu dengan bunyi derai hujan yang menyentuh atap rumah.
Laura mengiyakan dan mengikuti langkah Bian menuju kamar laki-laki itu.
Dan ketika Laura asyik mengoceh sambil melipat sepray yang tampak tertumpuk di atas tempat tidur seakan habis di acak-acak itu.
Bian memeluk Laura dari belakang punggung gadis itu, dengan gerakan lamban dan hembusan nafas yang setengah tersengal.
"Laura sayang..." Bisiknya parau di telinga Laura. Deru nafasnya yang hangat berhembus di tengkuk gadis itu, membuat Laura merinding seketika.
"Om Bian..." Tubuh ramping Laura menegang saat tangan Bian melingkari lehernya. "Laura sayang..." Bisik Bian parau di telinga Laura, desah nafasnya yang hangat dan setengah tersengal itu menghembus semakin kuat di tengkuk Laura. Masih dengan perasaan terkejut, Laura membalikkan badannya dan di sambut dengan wajah Bian yang hanya sejengkal dari wajahnya. Sesaat mereka berdua berhadapan saling memandang tak berkedip. "Kenapa om Bian memelukku?" Tanya Laura sambil dengan canggung mendorong dada Bian, tetapi lelaki tinggi atletis itu malah melingkarkan tangannya ke pinggang Laura dan menarik tubuh gadis itu semakin merapat ke tubuhnya sendiri. "Karena aku menyukaimu, Laura." Bisik Bian, suaranya hampir tak terdengar di telan suara hujan yang semakin menggila, bunyi rinainya menyentuh atap rumah semakin memekakkan telinga. Mata Laura membeliak, dia terlihat tegang. "Om Bian lepaskan Laura..." Ucapnya dengan sedikit memohon. "Kamu cantik sekali, Laura." Bian malah semakin menja
(Kembali ke cerita awal)"Om Bian sudah mempunyai istri?" Laura duduk dengan tegang di pinggir tempat tidur itu, matanya nyalang. "Om Bian tak pernah bilang kalau om Bian sudah mempunyai istri." Ulang Laura dengan suara gemetar. "Maafkan aku..." Bian menjambak rambutnya sendiri dengan muka frustasi di depan Laura. "Bagaimana dengan janji om Bian?" Mata Laura membesar, berkaca-kaca."Janji apa?" Bian berusaha mengingat setiap kalimat yang tersembur dari mulutnya saat dia mencumbui Laura."Janji om Bian untuk selalu menjaga Laura, janji Om untuk selalu mencintai Laura?" "Laura, itu...itu berbeda..." Bian menarik nafasnya panjang-panjang berusaha meredakan ketegangannya. "Berbeda bagaimana, Om?" "Aku tak pernah menjanjikan pernikahan padamu, aku hanya berjanji menjagamu." Pungkas Bian."Bagaimana cara om Bian menjagaku jika tak menikahiku?" Cecar Laura, dia benar-benar polos dengan fikirannya yang sederhana. "Laura, kamu tak mengerti. Aku mempunyai dua orang anak dan seorang istr
Sejak hari itu, Laura tak pernah muncul lagi di Wisma tempat tinggal Bian. Meskipun Bian berusaha menghubunginya lewat handphone, gadis itu selalu mematikannya. Sudah ratusan pesan WA di kirimkannya, meminta Laura untuk datang dan membicarakan lagi jalan keluar untuk masalah mereka berdua ini. Bian tak pernah menyangka, gadis belia yang dikiranya hanya sekedar bodoh ini, ternyata juga keras kepala. Dia serius untuk tak meminta tanggung jawab Bian tetapi dia juga kekeuh untuk mempertahankan kehamilannya. Yang jadi masalah bagi Bian sekarang adalah, anak yang kini di kandung oleh Laura. Dia takut anak itu akan menjadi petaka untuk hidupnya. Hari ini, Bian sengaja datang ke Laundry tempat Laura bekerja. Dia benar-benar ingin bertemu dengan Laura setelah dua minggu gadis ini menghilang tak pernah kelihatan batang hidungnya. Awalnya Laura tak memperdulikan kedatangannya bahkan menolak bertemu dengan alasan dia harus menyetrika baju customer yang harus segera di antar. Tapi, Bian memaks
"Laura tolonglah jangan begini, kamu tak mengerti apa-apa, kamu tidak tahu apa yang akan kamu alami jika tetap melakukan apa yang kamu katakan. Seorang bayi perlu ayah, seorang bayi perlu biaya. Berikan aku cara untuk sedikit membayar kesalahan ini." "Om Bian ingin membayarnya dengan apa? Dengan uang? Dengan mempermalukan Laura lebih banyak lagi? Status apa yang bisa om Bian beri untuk bayi Laura? Ayah pura-pura? Tidak ada bukan? " Laura menatap pada Bian dengan nyalang. Dia tak pernah berani melakukan ini, tetapi hari ini dia bahkan merasa sanggup untuk melukai laki-laki yang telah membuatnya terjebak dalam derita ini. "Bukan seperti itu..." Bian meringis dengan putus asa. "Mulai hari ini, jangan temui Laura lagi. Jangan lagi om Bian." Laura menghapus air mata yang memenuhi wajahnya dengan kasar. Keriangan khas gadis remajanya yang sering membuat Bian terpesona itu hilang entah kemana. "Laura!" "Pergilah om Bian! Pergilah, Laura tak mencintai om Bian, Laura membenci om Bian!" T
"Ayo, katakan padaku, siapa yang menghamilimu? Aku akan menyeretnya untuk menikahimu!" Teriakan ibunya sampai pada telinga seorang laki-laki yang sedang berbaring di tempat tidurnya.Tristan termangu sambil meletakkan lengannya di atas kepalanya, suara tamparan di wajah Laura membuatnya bergidik. "Aku...aku tidak mengenalnya." Laura tersedu sambil menurunkan tubuhnya, menggelosor ke bawah dan meringkuk melindungi wajahnya ketika dia melihat tangan ibunya terangkat untuk kesekian kalinya. "Oh, astaga anak ini memang luar biasa. Berapa manusia yang telah menggilirmu hingga kamu tak mengenal orang yang menghamilimu?!" Ibu Laura menggeleng-gelengkan kepalanya dengan tatapan jijik pada anak kandungnya itu. Laura hanya meringkuk tanpa menjawab apapun, wajah Bian lewat di depan matanya tetapi dia berusaha mengusirnya. Dia hanya bungkam seribu bahasa. "Baiklah Laura jika kamu tak ingin mengatakan siapa bangsa@t yang telah menodaimu, aku tidak akan perduli lagi padamu! Kamu buang anak hara
Laura mengenakan pakaian yang dibelikan oleh Bian terakhir kali, dia mematutnya sebentar di cermin lemarinya yang terpecah dua itu. cermin lemari usang yang telah menemaninya sekian lama. Rasa sakit mengiris hatinya, di elusnya perutnya yang mulai sedikit membuncit itu. Belum kentara memang tetapi laura tahu ada bayi di dalamnya, bayi hasil hubungan terlarangnya dengan Bian, suami seseorang yang tak dia tahu bagaimana wajah istrinya itu. Setetes bulir bening jatuh untuk kesekian kalinya, selalu saja jika dia mengingat om Bian kesedihannya tak terbendung. Laura sangat menyukai Bian. Sangat menyukainya, karena itulah dia percaya sepenuhnya dengan apapun yang di ucapkan oleh Bian padanya. Sosok laki-laki dewasa yang begitu lembut dan perhatian ditemukannya pada laki-laki ini, dia bahkan berharap wajah ayah kandungnya setampan om Bian. Laki-laki ini begitu sabar mendengar keluh kesahnya, memperhatikannya layaknya seorang ayah tetapi dia punya tatapan penuh cinta yang selalu membuat
"Kenakan cepat! Ibu akan menunggumu di kamar ibu. Secepatnya!" Ibu Laura tersenyum misterius, dia terlihat puas dengan apa yang di lakukannya. Laura masih berdiri, terpana sambil memegang dress yang ada di tangannya itu. "Kamu yang memakaikan sendiri? atau ibu yang akan memaksamu memakainya?" Mata ibunya terlihat nyalang, dia terlihat sangat tidak sabar sekarang. "A..aku..aku akan memakainya sendiri." Sahut Laura dengan takut-takut. Ibunya mengangguk puas mendengarnya. "Lakukan cepat! dan langsung temui ibu di kamar ibu!" "BRAK!" Pintu itu ditutup dengan kasar, teriakannya menggema, selanjutnya hanya terdengar langkah kaki yang diseret-seret dari balik pintu, langkah kaki itu menjauh. Laura mengalihkan perhatiannya kembali pada dress di tangannya itu, entah kapan ibunya membelinya. Dia tak pernah mengenakan pakaian se seksi ini tetapi dia tahu dari kemarahan ibunya itu, tak ada alasan untuknya tidak memakainya. Dengan gemetar dia melepas kancing kemeja yang di pakainya dan be
Laura yang badannya lebih kecil dari sang ibu tak bisa melawan saat dia di seret dengan paksa ke dalam kamar ibunya. Dan dengan kasar ibunya mendorongnya ke atas tempat tidur. Tubuh Laura terhempas di atas tilam tipis sang ibu. "Aww..." laura Terpekik dan ketika dia menoleh ke sebuah arah, dia baru menyadari ada sesosok tubuh yang duduk di sebuah kursi sudut kamarnya. Tubuh tambun dengan rambut ikal dan kumis jarang-jarang yang membuat laura terkejut bukan alang kepalang. "Hai, Lina...jangan terlalu kasar padanya. Dia kan anakmu?" Tegur laki-laki itu sambil menyeringai pada laura, sama sekali sebenarnya tak menampakkan simpatik dengan apa yang telah terjadi pada Laura. Dia hanya berpura-pura perduli saja. "Tidak perlu banyak bicara, aku tidak perlu banyak bacotmu." Ibu Laura mendelik sambil berkacak pinggang lalu mengeluarkan sebuah kertas yang dilipat begitu ryupa dari dalam saku bajunya. "Harman, kamu boleh melakukan apapun padanya dalam waktu satu jam. Tapi jangan sampa
"Seharusnya kamu meyakinkan dirimu bukan bertanya padaku." Sahut Clair sambil menarik punggungnya dan bersandar di kursi dengan sikap rileks. "Baiklah, aku ingin kau menjaganya baik-baik untukku, tapi ingat jangan sentuh dia!" Bian berucap dengan nada yang dalam seolah dia tak punya pilihan tapi di akhir kalimat dia memberi penekanan yang dalam. "Aku akan mengambilnya jika waktunya tiba, tapi tetap harus kau ingat dengan benar, tanamkan di otakmu jika Laura itu milikku!" Bian terlihat sangat serius dengan apa yang dia ucapkan.Clair terdiam dengan tampang yang santai dan acuh tak acuh lalu dia menyeringai serta mengangkat tangan kanannya, dan mulai mengacungkan jari jempol tanda dia mengerti dan menyetujui. ***Sementara itu di tempat berbeda dalam waktu yang sama, terlihat wanita cantik dengan pakaian modis tadi yang sedang duduk di dalam sebuah cafe bersama dengan teman-temannya, menikmati musik live dengan
"sebelum aku membeberkan rencanaku, aku ingin mengatakan satu hal lagi padamu sekedar mengingatkanmu..." "Apa?' Clair terdiam sejenak saat pria di depannya itu. "Apa? katakan saja, aku tak suka menunggu." "Apakah kau pernah berpikir saat melakukan semua yang kau inginkan sekrang ada beberapa banyak orang yang kebahagiaan mereka terenggut paksa? Seperti saat ini, tanpa kau sadari, semua rasa sakit, yang Laura hadapi kali ini timbul dikarenakan dirimu, masalah wanita itu sudah menumpuk banyak, layak tidak jika aku menganggapmu egois? Kau tidak bisa mencintai Kejora, bukankah itu adalah masalahmu? Seharusnya sebelum kau membawa dalam kehidupanmu, sebaiknya kau selesaikan semua urusanmu, dengan tempramen Laura yang saat ini, dengan bagaimana kondisimu, aku rasa kau akan bisa memilikinya begitu saja, aku melihat kelembutan dari dalam diri Laura, jadi saranku, sebaiknya kau lepaskan dia terlebih dahulu, selesaikan masalah yang kau hadapi, dan jangan menambah beban Laura yang suatu hari
Mata Bian berkedip sesaat, menatap lurus pada Clair, dia tahu temannya ini kadang memang menentangnya tetapi tak pernah membiarkannya sendiri. "Aku tak mencintai Kejora!" "Kamu tak mencintai Kejora? it's Ok! Pada awalnya mungkin begitu tetapi masa tujuh tahun lebih pernikahan kalian berdua Kejora tak membuatmu mempunyai perasaan apa-apa padanya?" tanya Clair dengan sikap penasaran. "Aku tak memiliki perasaan apa-apa pada kejora seperti dia juga tak pernah memiliki perasaan apapun padaku." "Bagaimana kamu bisa menyimpulkan jika kalian tak memiliki perasaan apa-apa satu sama lain?" Selidik Clair. "Akh, kamu tak akan mengerti apapun, Clair karena kamu tak pernah menikah." "Ya, aku mungkin tak mengerti apapun tentang pernikahan dan perasaan yang terlibat di dalamnya karena itu aku tidak salah untuk bertanya padamu bukan?" "Aku harus mengatakan berapa kali padamu, Clair. Aku tak pernah menginginkan pernikahanku dengan Kejora tetapi orang-orang di sekitar kami sangat menginginkan
Bian merogoh kantong celananya, dan menelpon seseorang menggunakan smartphone yang dia genggam."Hallo An! Lunasi semua biaya pengobatan Ibu Laura, sekarang juga. Aku akan mengirimkan tagihannya padamu. " kata Bian dengan suara yang tegas.An Baibai tak punya waktu bertanya karena Bian sudah menutup panggilan. ***Laura yang sedang duduk di dalam Kamar pasien. Ibunya telah dipindahkan ke ruang rawat ini dan alat-alat medis itu satu persatu di lepas. Ibunya sudah jauh lebih baik dari sebalumnya, dia menatap wajah Ibunya yang tak kunjung membuka mata setelah di berikan obat tidur mungkin karena tadi ibunya bergumam-gumam tak jelas saat dia masu, suasana kamar yang senyap dan dingin, Laura terlihat sedih memandangi kondisi dari sang ibu."Ibu... maafkan aku, Bu! Maaf...." Ucap laura dengan suara yang lirih. Laura tidak pernah membenci ibunya sendiri, dia tak pernah benar-benar menyalahkan ibunya untuk apa yang telah
"Aku tidak meperdaya dirimu, Laura sayang. Tetapi aku ingin nanti kamu melunasinya dengan jasamu saja, jadilah asistenku selama beberapa hari, maka aku akan menanggap hutang ini lunas!" ucap, Bian dengan lugas dan bibirnya yang menyunggingkan senyum. "Ck! Ternyata benar dugaanku, Om Bian. Tak ada yang tanpa pamrih darimu." "hey, bukankah kamu tak ingin berhutang apapun padaku, aku telah menawarkan bantuan secara percuma atas nama anak kita tetapi kamu jelas-jelas menolakku? Itu hanyalah satu-satu cara untuk membuatmu merasa tak berhutang budi padaku, jadi aku tetap bisa melaksana bagianku." Bian menggedikkan bahunya. Laura terdiam tetapi matanya sekarang menantang ke arah Bian. "Tawaran dari Om Bian ini terlihat sangat matang, begitu mudahnya om Bian memnberikan solusi padaku. Apakah sudah di rencanakan jauh-jauh hari?" tanya Laura kemudian sambil memicingkan matanya. Bian hanya menggelengkan kepalanya mendengar ucapan Laura, kemudian pria itu tersenyum kecut di hadapan seoran
Melihat Laura yang tak menunjukkan sikap senang dengan perbuatannya, Bian mengerutkan dahinya. Dia mulai tak sabar sebenarnya. "Aku tak punya maksud apa-apa, aku hanya ingin membiayai perawatan Ibumu, apakah aku baru saja melakukan kesalahan?" jawab Bian dengan polos, seolah tidak mengerti arah keberatan Laura. Laura menatap wajah Bian dengan sangat tajam. "Aku memahami manusia licik seperti dirimu om, tidak akan ada hal baik yang kau lakukan dengan cuma-cuma! Jadi, sekarang apa maumu? Om Bian ingin aku melakukan apa untuk membalas budi, kau ingin aku bagaimana untuk membayar?" Sambut Laura yang langsung masuk pada intinya. "Laura..." Bian berusaha meraih pundak Laura, meski dengan kasar Laura menepisnya. Sekarang gadis ini terlihat tidak suka berbasa basi. "Jangan berkata begitu, aku tahu bayi di dalam kandunganmu itu adalah anakku, setidaknya beri aku kesempatan..." "Aku lupa jika anak ini adalah anak om Bian!" "Laura ada apa dengan dirimu? Kemana dirimu yang polos itu?
Laura terlihat sangat terburu, ingin langsung keluar dari dalam Mobil. Akan tetapi, Clair menghadangnya dengan merentangkan tangan, dia memberikan isyarat kepada Laura agar jangan bergerak."Tunggu saja di sini. Aku akan mengurus semuanya."Ucap Clair acuh tak acuh tapi jelas dia bersikap tulus dengan perkataannya. Mobil berhenti tepat di depan pintu utama rumah sakit, Clair membuka pintu, dan berjalan ke luar pria itu mendatangi petugas rumah sakit, mereka sedang bersama pasien yang pingsan.Di dalam mobil terlihat suasana yang begitu sunyi, tidak ada perbincangan apa pun, Laura hanya memalingkan wajahnya, menatap Clair yang memasuki rumah sakit cukup lama, tak kunjung keluar.Bian yang masih berada di tempat pengemudi, diam-diam pria itu memperhatikan Laura yang terlihat jelas sangat panik, ingin rasanya Bian mendatangi wanita itu dan mencoba untuk memenangkannya. Akan tetapi dia tersadar lagi bagaimana kondisi dirinya dan Laura saat ini.Hingga akhirnya, Clair kembali bersama denga
Dengan segera Bian mengambil kemudi Mobil, dia menjalankan mobil warna siver miliknya dengan hati-hati. Bian beberapa kali menatap wajah Laura dari kaca mobil. Namun sama sekali wanita muda itu tidak menatap dirinya, Laura terlihat cemas akan kondisi dari ibunya yang sangat mengkhawatirkan. Nafas Laura setengah tersengal. "Laura, bagaimana kondisimu? Bagaimana dengan kandunganmu?" tanya Bian tiba-tiba yang menunjukkan rasa khawatir, pria itu mencoba untuk bicara, berharap dapat mencairkan suasana. Laura tak bergeming, dia tak berniat untuk menjawab pertanyaan Bian. "Laura?" "Apa Perdulimu?" Laura menyambar dengan kesal. "Aku hanya bertanya." Bian memelan ludahnya. Dahi pria itu berkerut, dan tatapan dari sepasang bola matanya tajam, terus memperhatikan Laura dari spion di atas kepalanya, memperhatikan wajah gadis kecilnya yang terlihat kelelahan itu. "Akh, senang rasanya tahu bahwa kalian berdua adalah orang yang saling mengenal dan tampaknya pernah begitu akrab." Seloroh Cl
"Menyingkirlah! Jangan mengganggunya!" bentak Clair seakan tak mengenal Bian "Aku yang akan mengurusnya." Bian terdiam, tetapi kemudian dia mengerti saat Clair memberi isyarat agar dirinya menyingkir. Laki-laki ini sedang membuat sebuah skenario dadakan. Clair berjalan ke arah Laura. "Nyonya, aku tak bisa meninggalkanmu sendirian. Aku bisa melihat kamu sangat kesulitan, bagaimana jika aku mengantarmu? Kau ingin pergi ke mana? Ke rumah sakit mana" dalam sekejap mata, Clair terlihat sangat lembut dihadapan Laura, tersenyum manis, kepada wanita itu. "Bukankah kau...." Laura terhenyak melihat wajah Clair pria yang sebelumnya telah membantu dirinya. Pria itu tersenyum sambil mengangguk, "Ya, itu aku yang kamu kira malaikat tadi." Ucap Clair dengan menyeringai. "Sebaiknya kita mengantarkan ibumu sekarang. Jangan terlalu banyak menimbang." Lanjut Clair lagi dengan ramah. Laura terdiam bingung, kemudian Laura memalingkan wajahnya kepada Bian, setidaknya dia lebih mengenal Bian dari