Leo memalingkan muka. Berulang kali laki-laki itu mengusap-usap wajahnya. Baru kali ini Dina melihat Leo kehabisan kata-kata. Apakah diamnya Leo menandakan laki-laki itu tidak sedikitpun memperhatikannya sebagai lawan jenis yang lebih dari sekadar teman? Dia belum mau merasa kecewa karena pria itu tidak menjawab pertanyaannya. Sekuat tenaga dia menahan agar hatinya tidak terluka.
“Pak Leo, semua barang sudah dipindahkan,” sela seorang pengawal.
Pembicaraan serius yang terjalin antara Dina dan Leo pun terganggu karena itu. Dina mengamati tingkah pria itu yang menanggapi pengawalnya dengan cepat. Leo bahkan mencoba mengikuti mereka ke luar ruangan.
“Lho, Bapak jangan keluar. Biar aman,” hadang salah satu pengawal sembari melebarkan lengannya.
Dina menyembunyikan senyum. Rasain, ujarnya dalam hati. Anak pertama Keluarga Armadjati itu semakin salah tingkah.
“Sebentar saja. Saya… saya perlu merokok,” kata Leo beralasan.
Sang Pengaw
“Tentu saja aku tahu. Kamu selalu mengabulkan keinginan cewek itu. Mungkin… aku harus ucapkan… selamat!” kata Dina mengulurkan tangannya. Leo tidak menyambutnya sama sekali, sehingga gadis itu merasa perlu melanjutkan dengan, “Keinginanmu terkabul. Menjadi pelindung. To her.” “Kamu nggak tahu Sweety itu siapa.” Apa Leo bersungguh-sungguh? Sudah jelas-jelas, Sweety adalah wanita yang mengisi relung hati pria itu. “Nggak mungkin. Dia dan saya… nggak mungkin.” Leo seperti kehabisan akal untuk memaksakannya untuk percaya. Tergerak hatinya untuk memamerkan kalau dia sudah tahu segalanya. “It’s Wendy,” katanya cepat. Dina sengaja tidak mengalihkan pandangannya kepada laki-laki itu, semata-mata karena dia ingin menyaksikan reaksi Leonardo. Benar saja dugaannya. Sebentar pria itu membuang muka, kemudian melihat Dina namun untuk mengalihkan tatapan lagi sedetik kemudian. Leo yang gugup mengusap-usap dagu dengan punggung jemarinya. “Ngg
Suasana canggung tercipta antara Leonardo dan Dina. Mata gadis itu sudah berkaca-kaca. Sungguh mati, Leo ingin merengkuh gadis itu ke dalam pelukannya dan mengungkapkan isi hatinya yang sebenarnya. Dia memberanikan diri, “Dina – “Sudahlah,” setop gadis itu. “Tinggalkan aku sendiri.” Tidak seperti Bastian yang sudah berpengalaman menghadapi wanita, Leo tidak mengerti apa yang harus dia lakukan dalam situasi seperti ini. Dia menghormati Dina, termasuk menghargai permintaannya. Namun, dia pernah sekilas membaca majalah wanita kalau apa yang mereka ucapkan terkadang berbanding terbalik dengan yang diinginkan kaum hawa tersebut. Leo begitu lamban mengambil keputusan: Haruskah dia mendekati Dina dan memaksakan penjelasannya kepada wanita itu. “Nggak paham Bahasa Indonesia?” Leo dapat merasakan kejengkelan dari nada suara perempuan itu. “Leave me alone,” teriak Dina. Meskipun volume suara itu tinggi, tapi tidak sekeras yang biasanya
Sudah tiga hari berlalu semenjak Leonardo diperintahkan untuk kembali ke Jakarta. Namun dalam jangka waktu tersebut, belum juga pria itu bertemu dengan ayahnya. Dia menghabiskan hari-harinya dengan berdiam diri saja di kamar. Bagaimana pula dia bisa keluar? Danny masih bebas dengan ancaman untuk membunuh dirinya. Dia pun tidak dapat menghubungi Dina atau menghabiskan waktu dengan gadis itu. Dina mengusirnya, sedih batin Leo merasa. Terdengar ketukan di pintu kamarnya. Disusul dengan panggilan, “Mas Leo!” Mbok Surti. Asisten rumah tangga Keluarga Armadjati yang memastikan dia memperoleh kebutuhannya. “Masuk, Mbok.” Tanpa menengok ke jam dinding, dia hapal kalau saat itu telah menunjukkan pukul delapan pagi. Biasanya, Mbok Surti akan meletakkan sarapan di meja kerjanya. Leo tidak sanggup menelan makanan itu sehingga di pertengahan hari nanti, piring itu masih bersisa banyak, hampir-hampir tidak ada yang dia makan. Siklus itu terus berlangsung sampai hari ini ta
“Kenapa kalian bermalas-malasan seperti ini?” Mbok Surtilah yang paling kaget melihat kehadiran laki-laki tinggi besar itu. Wajar saja karena identitas pria itu adalah Pak Hidayat, orang paling penting dalam jajaran Keluarga Armadjati. Kehadirannya selalu mengintimidasi dan menakutkan. Tidak demikian halnya bagi Leo. Dia sudah menyaksikan sisi lain dari ayahnya itu. Kepribadian yang lebih lembut dan peduli dengan anak-anaknya, setidaknya itu yang dirasakan oleh Leo akhir-akhir ini. Dia tidak dapat menilai dengan mengatasnamakan Bastian ataupun Olivia. “Papi!” Adik tirinya yang berdarah Kaukasia itu cepat merespons. Olivia menggelayut manja menggandeng lengan pria tua itu. Memanglah dapat dikatakan perangai anak laki-laki dan perempuan nyata berbeda. Leonardo tidak akan mampu bermanis-manis seperti itu. Interaksinya dengan satu-satunya orangtuanya itu tidak pernah diwarnai basa-basi, selalu tertuju pada inti persoalan semata. Ayahnya tidak sedikitpun m
“Jadi kamu punca masalah ini!” bentak Papa lalu mengangkat tangan untuk memukul Leo. Pria itu tidak tinggal diam. Tangannya menjadi pelindung agar ayahnya itu tidak sampai melukainya. Sekarang, bahu Leo yang menjadi sasaran. Namun, pukulan itu tidak keras, seolah-olah Papa tidak berniat sedikitpun untuk menghajarnya. “Nggak, Pa… nggak Pa,” bantahnya berusaha menghentikan serangan dari ayahnya. Tahu-tahu, kerah kimono tidurnya ditarik dan lengan Papa sudah berusaha mencekik lehernya. Leonardo jadi tidak lagi meyakini kalau Papa tidak bermaksud untuk menganiayanya. “Ya. Memang suka,” teriak Leonardo akhirnya. Mendadak, terdengar suara batuk kecil dari sosok yang terbaring di tempat tidur. “Bastian, Pi. Bastian. Dia sadar. Dia bangun,” ujar Olivia seraya mendekati tepi ranjang. “Well, finally. Terima kasih, Leo!” Laki-laki itu melongo. Apa baru saja ayahnya sengaja menciptakan adegan penuh drama agar Bastian tersa
Tiga hari berlalu sejak Dina ditinggalkan oleh Leonardo di rumah sakit tempatnya dirawat. Kakinya sudah dapat digerakkan dengan bebas dan dokter pun telah mengizinkannya untuk pulang. Gadis itu tidak lagi heran sewaktu pihak rumah sakit mengatakan kalau semua biaya telah dilunasi oleh Keluarga Armadjati. Akan tetapi, dia masih saja risih dengan kehadiran dua sosok asing yang ada di dekatnya dan Ayah. Pengawal-pengawal Leo. “Hm… kami nggak perlu ditemani – “Perintah Pak Hidayat.” Dina mesem saja mengetahui kalimatnya yang belum selesai sudah disela oleh para pengawal itu. Dia beranjak ke meja penerimaan obat. Dua pengawal ikut mendekatinya. “Mbak Dina, petunjuk penggunaannya ada pada masing-masing label,” kata Apoteker. “Dan… ayahnya di mana, Mbak?” “Sedang konsultasi dengan dr. Agus.” Apoteker mengangguk-angguk. Kemudian, petugas itu mengucapkan, “Nah, saya ingin mengingatkan kalau Pak Indra sebaiknya dirawat di bagian Psikiatri.” Ada
Olivia menelan ludah mendengar pertanyaan Papi itu. Jangan sampai ayah tirinya itu bermaksud menikahinya. “It’s inappropriate, Pi,” ujarnya cepat seraya cepat-cepat berjalan menuju kamar Bastian kembali. Tak disangka-sangka, tawa Papi malah bergema. Sambil menjejeri langkah Olivia, ayah tirinya itu berkata, “Kamu saja yang pikirannya ngelantur. Anak teman bisnis Papi ada yang seumuran kamu – “Papi nggak belajar apa-apa,” hardik perempuan itu. “Lho, kok?” “Bastian jadi begini kan gara-gara pernikahan bisnis,” jelas Olivia yang saat itu telah berada tepat di depan pintu kamar Bastian. “Tidak, dong. Wendy kan hamil duluan.” “Sst,” bisik Olivia menghentikan pembicaraan. Dia menempelkan telinganya untuk mengetahui apa pembicaraan antara Leo dan Bastian telah selesai. *** Tidak pernah berada dalam satu ruangan dengan adik tirinya sebelum ini, kebersamaan mereka saat itu bikin Leonardo canggung. Dia mencoba melunturka
“Biarkan mereka urus permasalahan antara mereka sendiri,” kata Papi sambil menjawil pundaknya. Olivia menepis tangan ayah tirinya itu. Susah mendengarkan apapun dari ruangan sebelah kalau Papi mengganggunya terus. “Memangnya ada hal yang penting apa sampai kamu menguping?” Olivia menelengkan kepala dan berpikir keras. Ada sesuatu yang dia perlu lakukan. Itu sebabnya dia pulang ke rumah ini. Dia mengingat-ingat. Ah, ketemu. “Saya mau minta nomor telepon Dina. Saya mau ngobrol sama dia.” Olivia berhenti sejenak karena dia tidak mau mengungkapkan alasannya bahwa dia ingin tunangan Leo itu menjadi koki di restorannya nanti. “Persiapan pesta,” katanya terburu-buru. Papi manggut-manggut. “You don’t know?” tanya ayah tirinya itu. “Yaaah memang semakin dekat waktunya. Makanya kita harus cepat-cepat mengatur vendor dan event organizer, Pi.” “Yang Papi maksud bukan itu. Tapi, kekhawatiran kamu benar juga. Neti
Dina tidak lagi takut berhadap-hadapan dengan wanita secantik malaikat itu. Dia sudah mendengar semuanya dari Leonardo. Bagaimana Wendy sebenarnya memiliki cita-cita lain sekadar dari menjadi seorang nyonya rumah. Dia bahkan mengagumi upaya Leo agar istri Bastian itu mendapatkan apa yang diinginkan. Awalnya, dia tidak setuju kalau niat baik itu dibalut dengan perjanjian antara Wendy dan Bastian untuk tetap dalam ikatan pernikahan. Namun, dia bisa bilang apa kalau dua-duanya telah setuju. Seperti Leo, dia hanya berharap di tengah-tengah perjanjian itu, cinta antara Wendy dan Bastian akan kembali bertumbuh.“Hai,” sapa Dina.Wendy mengedikkan bahu. Bahkan cara wanita itu bersikap tidak peduli dengan apa yang terjadi di sekeliingnya tampak menakjubkan. Elegan dan membuat orang lain berniat untuk memberikan apa saja yang diminta oleh Wendy.“Nona Wendy ikut makan, ya,” ajaknya santai sambil menata piring baru di meja yang kosong.Tidak
Dari kejauhan, Dina sudah melihat bayangan Leonardo. Senyum di wajah laki-laki itu menerbitkan cahaya benderang di kepalanya. Leonardo setengah berlari menghampirinya. Pria itu langsung mengambil alih kursi roda dari pegawai bandara untuk mendorong ayahnya. Cerminan seorang pria yang bertanggung jawab.“Gimana Bali?” tanya laki-laki itu.“Sepi.” Itu karena tidak ada kehadiran Leonardo di sana. Tapi, tentu saja Dina tidak akan mengungkapkan bagian terakhir dari pikirannya itu terang-terangan. Dia masih malu mengakui perasaannya terhadap laki-laki itu. Ditambah, dia juga tidak ingin Leonardo menggodanya terus-terusan.Mereka telah berada di parkiran mobil. Dengan sigap laki-laki itu membantu mendudukkan Ayah di kursi tengah, sedangkan Dina mengatur tas bawaan mereka di bagasi. Ketika Dina menutup pintu bagasi, Leonardo sedang mengembalikan kursi roda kepada petugas bandara.Dina cukup heran karena tidak menemukan satu orang pengawal
Ditinggal oleh Dina, Leonardo belingsatan. Apa jawaban Dina? Apa dia kelewatan sudah menarik tangan perempuan itu? Apa dia tidak sopan karena terdengar begitu memaksa? Bagaimana kalau Dina menolaknya? Jantungnya berdegup kencang. Biasanya, Leonardo adalah orang yang dapat menerima apa saja: baik ataupun buruk. Tapi kali ini, dia punya asa. Dia ingin harapannya kali ini terkabul. Dia tidak tahu apa yang akan dia lakukan kalau usahanya gagal.Leonardo berjalan mondar-mandir dengan sepatu Dina di tangannya. Sekarang apa? Menunggu gadis itu dan menuntut jawaban darinya? Atau, dia bisa pergi dan keinginannya. Tidak, tidak. Leo tidak siap apabila dia gagal mendapatkan bahagia.“Mas Leo.”Leonardo membalikkan badannya. Dan di sana, pada salah satu anak tangga, ada Dina yang memandanginya. Rambut panjang gadis itu ditata kuncir kuda. Mata besarnya berbinar-binar dan senyumnya merekah sampai ke telinga. Seakan-akan waktu bergerak melambat, Leonardo menikmati
Begitu Leo turun ke lantai bawah, dia tepergok dengan Dina yang sedang mendudukkan ayahnya di kursi di foyer. Di sebelah Ayah, telah tersedia tas dan satu buah koper. Rupanya, gadis itu serius dengan rencana kepindahannya ke Bali. Leo sedikit kesal karena perempuan itu tidak berniat sedikitpun untuk pamit kepadanya.“Uhm, Pak Hidayat ada?” tanya gadis itu.Dengan dagunya, Leonardo memberikan kode kalau ayahnya ada di ruang kerja di lantai atas. Dia menyaksikan Dina yang berjongkok dan pamit kepada Ayah sebelum meneruskan langkah sesuai petunjuk Leo.Leo sudah memerhatikan bahwa sejak bertemu dengan ayahnya kembali, Dina selalu enggan untuk berjauh-jauhan dengan orangtuanya itu. Seolah-olah gadis itu takut akan terjadi apa-apa kepada ayahnya jika dia meleng sebentar saja. Benar-benar sosok yang penyayang.Kata-kata Olivia jadi terngiang-ngiang di telinganya. Satu yang tidak dapat dia enyahkan adalah perihal penyesalan karena kata-kata
Sepeninggal Mbok Surti, Bacon mengambil sebuah amplop dari balik jas belakangnya. Pengawal itu memberikannya kepada Pak Hidayat, bos paling tinggi dalam hierarki Grup Armadjati.“Itu dari pantat kamu?” sindir Pak Hidayat. Mana mungkin dia mau memegang sesuatu yang entah sudah berapa lama mengendap di bokong pengawal itu. “Apa itu?” tanyanya seraya menyembunyikan tangan di punggung, pertanda dia tidak mau menyentuh amplop tersebut.Bacon mengeluarkan isinya yang berupa kertas-kertas dokumen, dia menjejerkan semuanya di atas meja kopi. “Identitas pembunuh bayaran Danny.”“Foto dan kirim ke saya,” perintah Pak Hidayat sedikitpun tidak mau memegang dokumen.Bacon melakukan apa yang dia perintahkan. Sebaik foto-foto itu masuk ke folder pesan di telepon genggamnya, Pak Hidayat mengamati dokumen tersebut. Sayangnya, tidak banyak yang dapat dia telaah dari laporan Bacon tersebut. Pasalnya, ada beberapa kartu tanda p
Pak Hidayat mencoret satu baris dari daftar kegiatan yang harus dia lakukan hari ini. Tahu-tahu, teleponnya mengalunkan notifikasi tanda pesan masuk. Dia membacanya sekilas. Dari sekretarisnya yang menanyakan apakah dia akan datang ke kantor hari ini.Jawabannya adalah tidak, pikir laki-laki itu seraya membalas pesan. Beberapa hari terakhir, dia harus membereskan kekacauan yang terjadi di rumahnya. Pak Hidayat mengecek email. Dia menunggu kabar penting seputar keberadaan istrinya dan Danny. Geram hatinya kalau mengingat-ingat dua makhluk tak berguna itu.Notifikasi pesan terdengar lagi. Every ship needs a captain.Pak Hidayat mengembuskan napas panjang. Dia juga tahu maksud tersembunyi dari pesan yang dikirimkan oleh sekretarisnya itu. Tapi, mau bagaimana lagi? Keluarganya lebih membutuhkan perhatiannya saat ini. Pak Hidayat tidak mau mengulangi kesalahan yang sama seperti yang sudah-sudah dengan mengabaikan mereka. Terlebih sewaktu anak-anaknya telah b
Olivia mencari-cari Mbok Surti ke seluruh penjuru rumah. Beginilah susahnya memiliki tempat tinggal yang memiliki banyak ruangan. Ditambah, asisten senior Keluarga Armadjati itu tidak dibekali dengan lonceng atau telepon genggam yang membuatnya dapat dihubungi kapan saja.Gadis Kaukasia itu akhirnya menemukan Mbok Surti sedang membereskan debu-debu di atas lemari dan rak Olivia.“Mbok Surti, biarkan saja. Bukannya ada cleaning service yang datang setiap hari?”“Tapi Mbak Olivia bangunnya siang terus. Jadi mereka keburu pulang.”Olivia terkekeh ringan. Ya, tidak salah apa yang dikatakan oleh pesuruh itu. Beginilah nikmatnya menjadi seorang influencer. Bekerja sesuai waktu yang dia tentukan sendiri. Tidak ada kewajiban harus hadir di kantor sebelum jam tertentu.“Papi manggil Mbok. Di ruang kerjanya.”Mbok Surti buru-buru meletakkan kemoceng yang dipegangnya. Wanita tua itu mengelap tangann
“Ini maksudnya apa, ya?” tanya Leo mengandalkan jawaban dari adik tirinya.“The restaurant that I’ve told you about.”“Tapi Bali?”“Becky yang mengusulkan. Bagus juga, sih. Secara marketing, lebih gampang memasarkannya. Bisa dijual dengan harga lebih tinggi dibandingkan di Jakarta.”Keputusan itu begitu tiba-tiba. Apa yang ada dalam pikiran Dina? Bukankah dia telah menjanjikan kalau utang perempuan itu lunas seluruhnya? Tidak ada lagi yang membebani gadis itu. Dia bebas dari kewajiban membayar utang. Bebas. Leonardo terhenyak. Itu kata kuncinya. Leo tidak berhak marah kalau gadis itu memang mau pergi. Dina adalah perempuan mandiri yang tidak terikat dengan siapapun, termasuk dirinya.“Oh, begitu.” Leonardo memandangi makanan-makanan yang tersaji di hadapannya. Tiga menu terakhir dari enam belas yang menjadi tugas Leo. Awalnya, dia menciptakan tugas itu agar Dina tid
Dina mondar-mandir di depan kamar Leonardo. Dia ingin memeriksa ayahnya yang dari tadi pagi belum muncul untuk sarapan. Dina tahu semestinya dia mengetuk pintu dan Leo pasti akan mengizinkannya menjemput Ayah. Tapi, hari itu langkahnya berat. Dia tahu penyebabnya adalah karena setelah hari ini, Dina tidak bisa bertemu dengan laki-laki itu sebebas yang sekarang. Hatinya seperti ditimpa baja seberat seribu ton kalau mengingat-ingat hal itu.Dina masih berkutat dengan pikirannya sendiri sewaktu pintu di hadapannya mendadak terbuka.“Dina?”Dina salah tingkah. “Eh… itu… hmm… Ayah dari tadi belum turun,” katanya.Pagi itu, Leonardo terlihat segar seperti baru habis mandi. Ada aroma sabun yang khas yang dia yakin berasal dari sabun yang mahal harganya. Rambut laki-laki itu masih basah dan bagian depan rambutnya ada yang menjuntai di dahi. Leonardo tampak relaks, berbeda dari biasanya.“Ayah lagi di kamar