Siapa lagi? Sweety, gerutunya dalam hati. Sosok perempuan yang mengisi hati Leo. Dari cerita laki-laki itu, Dina tahu bahwa Leo masih mengharapkan bisa bersama-sama dengan Sweety. Walaupun belum pernah bertemu, tidak mungkin dia menang bersaing dengan perempuan yang dia yakini pasti sangat cantik itu, sehingga dapat merebut posisi spesial di hati Leo.
Dina sampai di tempat parkir dan langsung disambut pantulan wajahnya sendiri sebaik mendekati mobil Leonardo. Sosok perempuan yang memucat memandangnya balik. Tidak heran kalau cowok itu tidak menyukainya, bisik Dina lirih.
“Siapa?” tanya sebuah suara.
Dina terkesiap. Jangan bilang kalau ucapan yang dimaksudkan untuk dirinya sendiri itu terdengar oleh Leo?
Laki-laki itu membuka pintu mobil. “Ayo, masuk. Ke mana lagi?” tanyanya.
Meskipun masih merasa gusar, Dina menuruti Leo. Tapi, dia tidak tenang. Bayangan laki-laki itu bercengkerama dengan Sweet
Perempuan yang dijuluki Sweety itu pasti cantik luar biasa. Kalau tidak begitu, tidak mungkin ada laki-laki yang masih tergila-gila dan tetap menjaga cintanya. Padahal sang perempuan sudah melabuhkan hati ke laki-laki lain. Dina menghela napas.“Permisiii!”Teguran orang yang lewat itu bikin Dina terlonjak ke sudut yang lebih tersembunyi. Dia berserobok dengan bayangan dirinya sendiri yang terpantul dari sebuah cermin milik kios pakaian.Dina meneliti perawakannya lekat-lekat. Badannya memang agak lebih kurus dibandingkan terakhir yang dia ingat. Tapi itu tidak dapat memungkiri kalau tubuhnya berfungsi sempurna. Alisnya memang tebal dan tidak mengenal teknologi sulam alis. Namun, bukankah Cara Delevingne yang beralis serupa sudah wira-wiri di panggung peragaan busana internasional? Jadi, alis yang diejek laksana gorila itu tidaklah sesuatu yang jelek. Begitu pula bintik hitam di pipinya, maupun bibirnya yang dikatakan jontor. Tidak jelek karena orang
“Why can’t you be more like your brother?”Bajingan! Mata Bastian menyalang menatap punggung Papi yang berjalan semakin menjauhinya. Tangannya sudah terkepal dan siap-siap dilayangkan. Tahu-tahu, sebentuk jari-jemari menempel di sana. Kelembutannya mengusap-usap demi meredakan kemarahannya.Bastian sangat mengenali pemilik jari itu. Wendy Sasongko. Dia balas menggenggam tangan istrinya tersebut.“Sudah malam, Bas. Kita tidur, yuk,” ajak Wendy dengan merangkul pinggangnya.Tinggi Bastian dan istrinya tidak berbeda jauh. Oleh sebab itu, lengan wanita itu melingkar sempurna di punggungnya. Sedetik kemudian, Bastian merasakan kepala perempuan itu menumpu di bahunya. Harum rambut perempuan itu seketika mendarat di hidungnya. Aroma ini selalu dapat menyingkirkan semua masalah yang seliweran di kepala Bastian. Laki-laki itupun mengecup pucuk kepala istrinya.Tiba-tiba, Wendy melepaskan rangkulannya dan menja
Dini hari itu, matahari belum ada tanda-tanda hendak terbit. Tapi di sebuah kamar mewah yang luasnya serupa rumah sederhana tipe 27, sudah terbangun seorang perempuan yang bernama Wendy. Tidurnya terganggu karena sedang terjadi kekacauan di perutnya. Cepat-cepat, wanita itu berlari ke kamar mandi.Dia berlutut di depan kloset dan mengeluarkan apapun itu yang mendesak di mulutnya. Berulang-ulang dia melakukannya meskipun terkadang tidak ada yang dia muntahkan. Setiap muntahan, perutnya semakin melilit dan rasa mual tetap mengisi mulutnya. Dia ingin penderitaan ini segera berakhir.Wendy sengaja berlutut lebih lama, berjaga-jaga apabila ada serangan lanjutan. Setelah dia merasa aman untuk meninggalkan toilet, barulah dia beranjak ke wastafel dan berkumur-kumur.Melangkah ke ruang tidur, seonggok tubuh berbaring dengan nyaman di atas ranjang. Dia mendelikkan mata ke atas dan menggerutu pelan. Laki-laki yang sedang tidur itu memang berstatus sebagai suaminya. Tapi,
Bastian menengok tak tentu arah. Ruang kerja Papi yang didominasi dengan furnitur kayu penuh ukiran kerap menjadi saksi biru kesepakatan bisnis penting yang dilakukan oleh ayahnya itu. Namun, kali ini, situasinya tidak berkaitan dengan Armadjati Group. Kedua tangan Bastian terkepal erat.“You can ask your mother,” kata pria tua itu menambahkan garam pada lukanya yang baru saja tercipta.Mami? Dia meremehkan saran itu dalam hati. Ibunya saja tidak berkutik di hadapan pria itu. Ibunya saja tidak dapat menyelamatkan diri ketika mendapatkan pukulan dari laki-laki yang berstatus sebagai suami saja ternyata bukan. Ibunya memilih bertahan dan menerima perlakuan bengis dari si tua bengis itu. Kepalan di tangan Bastian bertambah ketat. Dia dapat merasakan tajam kuku-kuku yang menggores telapak tangannya.“Why such a long face? Dari lahir kebutuhanmu tercukupi. Disekolahkan, walaupun ternyata kamu bodoh. Bergelimang harta yang
Pintu kulkas terbuka lebar, sedangkan Wendy terdiam menyelidiki semua isinya. Pada tempat terluar, ada makanan yang disiapkan katering malam kemarin. Tapi, bukan itu yang ingin dia ambil. Dia berpindah tempat ke bagian lebih dalam dari lemari pendingin tersebut.Di sana, batinnya. Satu botol besar minuman yang dia cari-cari. Jus tropikal dari pesta yang diadakan oleh Olivia tempo hari. Wendy tidak paham detailnya, tapi dia tahu ada nanas di dalam minuman itu. Jika apa yang dikatakan oleh orang-orang itu benar, bahan buah tersebut akan membuat makhluk yang bersemayam di perutnya saat itu luruh tanpa sempat membesar.Namun begitupun, tangan Wendy belum juga meraihnya. Pikirannya bercabang ke mana-mana, memikirkan segala kemungkinan dan akibat. Bayang wajah Bastian memenuhi benaknya. Semburat sosok Leonardo berseliweran di kepalanya.Wendy mengambil botol dan meminum isinya langsung tanpa memindahkannya terlebih dahulu ke dalam gelas. Jika orang-orang melihat, past
“Aku datang sekarang!”Wendy tersenyum. Begitulah Leonardo, selalu memperhatikannya. Tak pernah sekalipun pria itu gagal memenuhi keinginannya. Lihat saja, ahli waris Keluarga Armadjati itu sedang di luar kota; berduaan dengan tunangannya. Akan tetapi, secepat kilat laki-laki itu meninggalkan Dina demi menemuinya.Wendy menyimpan gawainya ke saku. Sontak, pandangannya menuju ke arah perut. Dia tidak merasakan apa-apa meskipun sudah menghabiskan jus nanas sisa pesta. Bagaimana semestinya? Bukankah seharusnya sekarang perutnya terasa melilit? Alam bawah sadar Wendy menggerakkan tangannya memukul-mukul tempat janinnya bertumbuh.“Hilanglah. Ayo, cepat menghilang!” teriaknya tak lepas dari aksinya menyakiti perutnya sendiri itu.Tiba-tiba, sekelebat kekhawatiran menyergap otaknya. Kalau Leo datang ke sini dan mendapatinya baik-baik saja, apa yang akan terjadi? Apa kata Ambu? Mana ada laki-laki yang mau sama ibu hamil?W
Tidak ada siapa-siapa yang menyambut Leonardo sebaik dia tiba di mansion Keluarga Armadjati. Senyumnya tersungging tipis menyadari kalau dia sudah sangat jarang menyebut tempat itu sebagai rumah. Bagaimana tidak? Tempat itu terkesan dingin sekaligus jauh dari kata nyaman. Padahal, ketika dia kecil, Bastian masih ingat kalau rumah yang dia tempati ini terlihat lebih hidup dan ramai. Pagi-pagi, karyawan di rumahnya akan mengisi sudut-sudut ruangan dengan bunga yang baru dipetik dari kebun mereka. Musik bergema ke seluruh penjuru rumah. Wangi masakan memenuhi penciumannya. Ditambah kehangatan kasih Mbok Surti yang bersusah-payah menyuapinya. Menyenangkan adalah istilah yang tepat untuk menggambarkan suasana rumahnya ketika Mama masih ada.“Mas Leo….”“Mbok Surti. Kok sepi?” Dia bukan mengharapkan untuk tahu keberadaan semua orang, melainkan hanya satu sosok semata.Di depannya, Mbok Surti tampak gelisah. Leonardo mengikuti pandangan a
Satpam hotel menuntun jalan Dina yang sedang tersedu-sedu. Keduanya sudah berada di lorong hotel dan menuju kamar yang dia inapi. Jangan salah sangka dulu. Petugas sekuriti itu hanya mengantarkannya karena merasa khawatir setelah melihatnya berurai air mata di lobi hotel.“Mbak mau saya panggilkan dokter?”Dina menggelengkan kepalanya seraya mengutuk air matanya yang tidak mau berhenti-henti.“Atau pesan makanan?”Dina kembali menggeleng. Untungnya, dia sudah di depan pintu. Dina membukanya dan mengucapkan, “Terima kasih, Pak,” sebelum masuk ke kamar hotelnya.Berada sendirian di kamar itu, tangis Dina semakin keras.***Dina sedang membersihkan sisa tangisannya. Sambil bercermin, dia mengusapkan pelembab yang disediakan hotel ke area bagian mata. Bukannya dia tipe wanita yang maniak perawatan tubuh, melainkan karena Dina ingin menyibukkan diri saja.Dina melihat jam digital di samping tempat
Dina tidak lagi takut berhadap-hadapan dengan wanita secantik malaikat itu. Dia sudah mendengar semuanya dari Leonardo. Bagaimana Wendy sebenarnya memiliki cita-cita lain sekadar dari menjadi seorang nyonya rumah. Dia bahkan mengagumi upaya Leo agar istri Bastian itu mendapatkan apa yang diinginkan. Awalnya, dia tidak setuju kalau niat baik itu dibalut dengan perjanjian antara Wendy dan Bastian untuk tetap dalam ikatan pernikahan. Namun, dia bisa bilang apa kalau dua-duanya telah setuju. Seperti Leo, dia hanya berharap di tengah-tengah perjanjian itu, cinta antara Wendy dan Bastian akan kembali bertumbuh.“Hai,” sapa Dina.Wendy mengedikkan bahu. Bahkan cara wanita itu bersikap tidak peduli dengan apa yang terjadi di sekeliingnya tampak menakjubkan. Elegan dan membuat orang lain berniat untuk memberikan apa saja yang diminta oleh Wendy.“Nona Wendy ikut makan, ya,” ajaknya santai sambil menata piring baru di meja yang kosong.Tidak
Dari kejauhan, Dina sudah melihat bayangan Leonardo. Senyum di wajah laki-laki itu menerbitkan cahaya benderang di kepalanya. Leonardo setengah berlari menghampirinya. Pria itu langsung mengambil alih kursi roda dari pegawai bandara untuk mendorong ayahnya. Cerminan seorang pria yang bertanggung jawab.“Gimana Bali?” tanya laki-laki itu.“Sepi.” Itu karena tidak ada kehadiran Leonardo di sana. Tapi, tentu saja Dina tidak akan mengungkapkan bagian terakhir dari pikirannya itu terang-terangan. Dia masih malu mengakui perasaannya terhadap laki-laki itu. Ditambah, dia juga tidak ingin Leonardo menggodanya terus-terusan.Mereka telah berada di parkiran mobil. Dengan sigap laki-laki itu membantu mendudukkan Ayah di kursi tengah, sedangkan Dina mengatur tas bawaan mereka di bagasi. Ketika Dina menutup pintu bagasi, Leonardo sedang mengembalikan kursi roda kepada petugas bandara.Dina cukup heran karena tidak menemukan satu orang pengawal
Ditinggal oleh Dina, Leonardo belingsatan. Apa jawaban Dina? Apa dia kelewatan sudah menarik tangan perempuan itu? Apa dia tidak sopan karena terdengar begitu memaksa? Bagaimana kalau Dina menolaknya? Jantungnya berdegup kencang. Biasanya, Leonardo adalah orang yang dapat menerima apa saja: baik ataupun buruk. Tapi kali ini, dia punya asa. Dia ingin harapannya kali ini terkabul. Dia tidak tahu apa yang akan dia lakukan kalau usahanya gagal.Leonardo berjalan mondar-mandir dengan sepatu Dina di tangannya. Sekarang apa? Menunggu gadis itu dan menuntut jawaban darinya? Atau, dia bisa pergi dan keinginannya. Tidak, tidak. Leo tidak siap apabila dia gagal mendapatkan bahagia.“Mas Leo.”Leonardo membalikkan badannya. Dan di sana, pada salah satu anak tangga, ada Dina yang memandanginya. Rambut panjang gadis itu ditata kuncir kuda. Mata besarnya berbinar-binar dan senyumnya merekah sampai ke telinga. Seakan-akan waktu bergerak melambat, Leonardo menikmati
Begitu Leo turun ke lantai bawah, dia tepergok dengan Dina yang sedang mendudukkan ayahnya di kursi di foyer. Di sebelah Ayah, telah tersedia tas dan satu buah koper. Rupanya, gadis itu serius dengan rencana kepindahannya ke Bali. Leo sedikit kesal karena perempuan itu tidak berniat sedikitpun untuk pamit kepadanya.“Uhm, Pak Hidayat ada?” tanya gadis itu.Dengan dagunya, Leonardo memberikan kode kalau ayahnya ada di ruang kerja di lantai atas. Dia menyaksikan Dina yang berjongkok dan pamit kepada Ayah sebelum meneruskan langkah sesuai petunjuk Leo.Leo sudah memerhatikan bahwa sejak bertemu dengan ayahnya kembali, Dina selalu enggan untuk berjauh-jauhan dengan orangtuanya itu. Seolah-olah gadis itu takut akan terjadi apa-apa kepada ayahnya jika dia meleng sebentar saja. Benar-benar sosok yang penyayang.Kata-kata Olivia jadi terngiang-ngiang di telinganya. Satu yang tidak dapat dia enyahkan adalah perihal penyesalan karena kata-kata
Sepeninggal Mbok Surti, Bacon mengambil sebuah amplop dari balik jas belakangnya. Pengawal itu memberikannya kepada Pak Hidayat, bos paling tinggi dalam hierarki Grup Armadjati.“Itu dari pantat kamu?” sindir Pak Hidayat. Mana mungkin dia mau memegang sesuatu yang entah sudah berapa lama mengendap di bokong pengawal itu. “Apa itu?” tanyanya seraya menyembunyikan tangan di punggung, pertanda dia tidak mau menyentuh amplop tersebut.Bacon mengeluarkan isinya yang berupa kertas-kertas dokumen, dia menjejerkan semuanya di atas meja kopi. “Identitas pembunuh bayaran Danny.”“Foto dan kirim ke saya,” perintah Pak Hidayat sedikitpun tidak mau memegang dokumen.Bacon melakukan apa yang dia perintahkan. Sebaik foto-foto itu masuk ke folder pesan di telepon genggamnya, Pak Hidayat mengamati dokumen tersebut. Sayangnya, tidak banyak yang dapat dia telaah dari laporan Bacon tersebut. Pasalnya, ada beberapa kartu tanda p
Pak Hidayat mencoret satu baris dari daftar kegiatan yang harus dia lakukan hari ini. Tahu-tahu, teleponnya mengalunkan notifikasi tanda pesan masuk. Dia membacanya sekilas. Dari sekretarisnya yang menanyakan apakah dia akan datang ke kantor hari ini.Jawabannya adalah tidak, pikir laki-laki itu seraya membalas pesan. Beberapa hari terakhir, dia harus membereskan kekacauan yang terjadi di rumahnya. Pak Hidayat mengecek email. Dia menunggu kabar penting seputar keberadaan istrinya dan Danny. Geram hatinya kalau mengingat-ingat dua makhluk tak berguna itu.Notifikasi pesan terdengar lagi. Every ship needs a captain.Pak Hidayat mengembuskan napas panjang. Dia juga tahu maksud tersembunyi dari pesan yang dikirimkan oleh sekretarisnya itu. Tapi, mau bagaimana lagi? Keluarganya lebih membutuhkan perhatiannya saat ini. Pak Hidayat tidak mau mengulangi kesalahan yang sama seperti yang sudah-sudah dengan mengabaikan mereka. Terlebih sewaktu anak-anaknya telah b
Olivia mencari-cari Mbok Surti ke seluruh penjuru rumah. Beginilah susahnya memiliki tempat tinggal yang memiliki banyak ruangan. Ditambah, asisten senior Keluarga Armadjati itu tidak dibekali dengan lonceng atau telepon genggam yang membuatnya dapat dihubungi kapan saja.Gadis Kaukasia itu akhirnya menemukan Mbok Surti sedang membereskan debu-debu di atas lemari dan rak Olivia.“Mbok Surti, biarkan saja. Bukannya ada cleaning service yang datang setiap hari?”“Tapi Mbak Olivia bangunnya siang terus. Jadi mereka keburu pulang.”Olivia terkekeh ringan. Ya, tidak salah apa yang dikatakan oleh pesuruh itu. Beginilah nikmatnya menjadi seorang influencer. Bekerja sesuai waktu yang dia tentukan sendiri. Tidak ada kewajiban harus hadir di kantor sebelum jam tertentu.“Papi manggil Mbok. Di ruang kerjanya.”Mbok Surti buru-buru meletakkan kemoceng yang dipegangnya. Wanita tua itu mengelap tangann
“Ini maksudnya apa, ya?” tanya Leo mengandalkan jawaban dari adik tirinya.“The restaurant that I’ve told you about.”“Tapi Bali?”“Becky yang mengusulkan. Bagus juga, sih. Secara marketing, lebih gampang memasarkannya. Bisa dijual dengan harga lebih tinggi dibandingkan di Jakarta.”Keputusan itu begitu tiba-tiba. Apa yang ada dalam pikiran Dina? Bukankah dia telah menjanjikan kalau utang perempuan itu lunas seluruhnya? Tidak ada lagi yang membebani gadis itu. Dia bebas dari kewajiban membayar utang. Bebas. Leonardo terhenyak. Itu kata kuncinya. Leo tidak berhak marah kalau gadis itu memang mau pergi. Dina adalah perempuan mandiri yang tidak terikat dengan siapapun, termasuk dirinya.“Oh, begitu.” Leonardo memandangi makanan-makanan yang tersaji di hadapannya. Tiga menu terakhir dari enam belas yang menjadi tugas Leo. Awalnya, dia menciptakan tugas itu agar Dina tid
Dina mondar-mandir di depan kamar Leonardo. Dia ingin memeriksa ayahnya yang dari tadi pagi belum muncul untuk sarapan. Dina tahu semestinya dia mengetuk pintu dan Leo pasti akan mengizinkannya menjemput Ayah. Tapi, hari itu langkahnya berat. Dia tahu penyebabnya adalah karena setelah hari ini, Dina tidak bisa bertemu dengan laki-laki itu sebebas yang sekarang. Hatinya seperti ditimpa baja seberat seribu ton kalau mengingat-ingat hal itu.Dina masih berkutat dengan pikirannya sendiri sewaktu pintu di hadapannya mendadak terbuka.“Dina?”Dina salah tingkah. “Eh… itu… hmm… Ayah dari tadi belum turun,” katanya.Pagi itu, Leonardo terlihat segar seperti baru habis mandi. Ada aroma sabun yang khas yang dia yakin berasal dari sabun yang mahal harganya. Rambut laki-laki itu masih basah dan bagian depan rambutnya ada yang menjuntai di dahi. Leonardo tampak relaks, berbeda dari biasanya.“Ayah lagi di kamar