“Aku datang sekarang!”
Wendy tersenyum. Begitulah Leonardo, selalu memperhatikannya. Tak pernah sekalipun pria itu gagal memenuhi keinginannya. Lihat saja, ahli waris Keluarga Armadjati itu sedang di luar kota; berduaan dengan tunangannya. Akan tetapi, secepat kilat laki-laki itu meninggalkan Dina demi menemuinya.
Wendy menyimpan gawainya ke saku. Sontak, pandangannya menuju ke arah perut. Dia tidak merasakan apa-apa meskipun sudah menghabiskan jus nanas sisa pesta. Bagaimana semestinya? Bukankah seharusnya sekarang perutnya terasa melilit? Alam bawah sadar Wendy menggerakkan tangannya memukul-mukul tempat janinnya bertumbuh.
“Hilanglah. Ayo, cepat menghilang!” teriaknya tak lepas dari aksinya menyakiti perutnya sendiri itu.
Tiba-tiba, sekelebat kekhawatiran menyergap otaknya. Kalau Leo datang ke sini dan mendapatinya baik-baik saja, apa yang akan terjadi? Apa kata Ambu? Mana ada laki-laki yang mau sama ibu hamil?
W
Tidak ada siapa-siapa yang menyambut Leonardo sebaik dia tiba di mansion Keluarga Armadjati. Senyumnya tersungging tipis menyadari kalau dia sudah sangat jarang menyebut tempat itu sebagai rumah. Bagaimana tidak? Tempat itu terkesan dingin sekaligus jauh dari kata nyaman. Padahal, ketika dia kecil, Bastian masih ingat kalau rumah yang dia tempati ini terlihat lebih hidup dan ramai. Pagi-pagi, karyawan di rumahnya akan mengisi sudut-sudut ruangan dengan bunga yang baru dipetik dari kebun mereka. Musik bergema ke seluruh penjuru rumah. Wangi masakan memenuhi penciumannya. Ditambah kehangatan kasih Mbok Surti yang bersusah-payah menyuapinya. Menyenangkan adalah istilah yang tepat untuk menggambarkan suasana rumahnya ketika Mama masih ada.“Mas Leo….”“Mbok Surti. Kok sepi?” Dia bukan mengharapkan untuk tahu keberadaan semua orang, melainkan hanya satu sosok semata.Di depannya, Mbok Surti tampak gelisah. Leonardo mengikuti pandangan a
Satpam hotel menuntun jalan Dina yang sedang tersedu-sedu. Keduanya sudah berada di lorong hotel dan menuju kamar yang dia inapi. Jangan salah sangka dulu. Petugas sekuriti itu hanya mengantarkannya karena merasa khawatir setelah melihatnya berurai air mata di lobi hotel.“Mbak mau saya panggilkan dokter?”Dina menggelengkan kepalanya seraya mengutuk air matanya yang tidak mau berhenti-henti.“Atau pesan makanan?”Dina kembali menggeleng. Untungnya, dia sudah di depan pintu. Dina membukanya dan mengucapkan, “Terima kasih, Pak,” sebelum masuk ke kamar hotelnya.Berada sendirian di kamar itu, tangis Dina semakin keras.***Dina sedang membersihkan sisa tangisannya. Sambil bercermin, dia mengusapkan pelembab yang disediakan hotel ke area bagian mata. Bukannya dia tipe wanita yang maniak perawatan tubuh, melainkan karena Dina ingin menyibukkan diri saja.Dina melihat jam digital di samping tempat
Seorang laki-laki membawa tas besar keluar dari sebuah pusat kebugaran. Setelan jas rapi yang dikenakan pria itu kontras dengan pengunjung lain yang santai dengan kaos dan celana pendek. Paling-paling, laki-laki itu adalah karyawan yang harus segera kembali ke kantornya setelah berolah raga. Mungkin itu anggapan orang-orang yang melihatnya. Pria itu menaikkan kacamatanya yang agak melorot. Kemudian, dia mengencangkan posisi tali sandang tasnya. Dia berbelok ke sebuah pintu dan keluar dari gedung tersebut dengan menuruni tangga darurat. Tiba-tiba, ponsel yang dia simpan di saku bergetar. Laki-laki itu berhenti dan memeriksanya. Cepat bersihkan lengkuas sekarang. Dia mematikan dan menyimpan telepon genggamnya itu. Dia tidak ingin diganggu dalam menjalankan misi. Dia juga tidak ingin jejaknya dapat ditelusuri ketika tugasnya selesai. Langkah pria itu santai saja sewaktu berjalan kaki mendatangi sebuah mobil yang terparkir di gang sempit di samping gedung pusat
Rumah masa kecil Dina terletak agak jauh dari pusat kota. Semburat jingga telah muncul di langit sewaktu dia menghentikan mobil di depan sebuah rumah. Meskipun sudah pindah ketika dia masih empat belas tahun, Dina mengingat tempat itu dengan jelas. Rumah itu kediaman Bibi Asih. Walaupun sekarang sudah ada pagar yang membatasi bagian rumah dengan area jalan. Tapi, bunga yang menempel di pagar besi itu tetap sama. Dina menggeser pagar dan mengetuk pintunya. Seseorang yang asing menyambut gadis itu. Rupanya, penghuni rumah ini juga telah berubah. Meskipun demikian, tidak ada salahnya mencoba kalau-kalau ayahnya ada di tempat ini. “Bibi Asih tinggal di sini?” tanya Dina. Penyambutnya tidak mengatakan apa-apa, tapi dari dalam rumah ada sosok lain yang mendekati pintu. Wanita tua itu mengenakan tongkat untuk membantunya berjalan. Tapi, tidak ada satupun yang meragukan Dina kalau perempuan itu adalah Bibi Asih. Dina merasa perlu untuk memperkenalkan dirinya lagi dem
Mobil yang menjadi target Teman Danny terlihat maju. Teman Danny pun ikut bergerak dan mengekori mobil tersebut. Berdasarkan pengamatannya, mobil itu tidak lagi berputar-putar seperti sebelumnya. Ini kali, targetnya seperti sudah tahu jelas arah dan tujuannya.Meskipun telah berulang kali melakukan pesanan semacam ini, tetap saja kegugupan melanda Teman Danny. Dia tidak pernah mengenyahkan rasa itu. Dia malah anggap itu bagus. Dia menggunakan kegugupan itu agar waspada dalam melakukan misinya. Dengan demikian, dia yakin akan mendapatkan hasil yang sempurna.Mata Teman Danny tidak pernah lepas dari bagian belakang mobil yang dia ikuti. Dia memperhatikan mobil yang di depannya itu melajukan kecepatan. Teman Danny tidak mau menebak-nebak apa alasan targetnya terburu-buru menuju suatu tempat. Perubahan ini justru menguntungkannya. Dengan mudah, dia dapat mengaburkan misinya menjadi sebuah kecelakaan biasa.Sepanjang perjalanan ke tempat ini tadi, Teman Danny sudah m
Interior ruang tamu tempat Leonardo berada saat itu ditata dengan gaya klasik Romawi. Laki-laki itu duduk di salah satu sofa besar berwarna abu-abu. Di meja kopi di depannya, sudah tersaji minuman botol.“Sudah lama Wendy nggak ke sini.”Tidak mengherankan, batin Leonardo. Sebaik menikah dengan adik tirinya, Wendy selalu menghabiskan waktu sehari-harinya di mansion Keluarga Armadjati. Kadang-kadang, pikiran jelek Leo mencurigai kalau Bastian tidak memberikan izin bagi Wendy untuk dapat ke luar rumah bersenang-senang.“Iya, dia memang sudah jadi istri orang, tapi Ambu juga kan kangen.”“Hmm,” gumam Leo karena tidak tahu harus berkata apa-apa.“Nak Leo,” panggil Ambu memecah keheningan. “Wendy….”Nada suara Ambu begitu berhati-hati. Leo mengartikannya sebagai tanda kalau ibu dari Wendy itu ingin didengar. Pria itu mendekatkan telinganya.“Wendy tel
Ini di luar kebiasaannya, tapi Teman Danny tidak mungkin mengabaikan puluhan telepon tidak terjawab di ponselnya. Teman Danny menengok ke sekeliling. Ruang tunggu rental sedang sepi. Pemiliknya sedang mengecek mobil dan beberapa karyawan sedang duduk di belakang ruang kecil serupa loket. Dia pun mencoba menghubungi Danny. Nomor yang Anda tuju sedang berada di luar jangkauan.Ada setitik keringat di dahinya. Pria itu gugup. Dia bukannya takut aksinya ketahuan. Dia hanya cemas kalau-kalau ada yang tidak sempurna dari caranya menyelesaikan order dari Danny.Teman Danny memencet tombol ponselnya lagi. Ini kali penuh harap agar dapat tersambung dengan Danny. Dia bukan orang yang relijius, tapi saat itu dia memanjatkan doa agar situasinya baik-baik saja. Ada dering pertanda operator layanan telepon seluler sedang menyambungkan dengan nomor kontak tujuannya.“Status?”Teman Danny girang luar biasa tatkala mendengar suara yang menjawab panggi
Tidak ada gunanya cemas berlebihan terhadap Dina, begitu Leonardo mengandalkan logika. Posisi mereka berjauhan. Lebih baik dia menyelesaikan urusan yang ada di depan matanya terlebih dahulu. Dengan begitu, ahli waris Keluarga Armadjati itu menyimpan ponsel dan membawa boneka Teddy kepada pemilik aslinya.Leonardo sudah berada di lorong kamar tempat Wendy dirawat, ketika dia melihat Bastian setengah berlari dari ruang tunggu. Adik tirinya itu ditemani dokter dan perawat. Dia membatalkan niat. Leo tidak ingin keberadaannya disangka macam-macam, pun dia tidak ingin direcoki sewaktu bertemu dengan Wendy nanti.Dia mengalihkan tujuan ke ruang tunggu. Namun, menghentikan langkah sewaktu mendengar suara Danny di dalam sana. Untunglah, pintu ruangan itu tetap terbuka pascakepergian Bastian. Dia jadi dapat mendengar dengan jelas perbincangan asistennya itu dengan Tante Yasmine.Sepanjang menguping, dia bertanya-tanya; sejak kapan Danny dan istri ayahnya itu dekat? Apa ya
Dina tidak lagi takut berhadap-hadapan dengan wanita secantik malaikat itu. Dia sudah mendengar semuanya dari Leonardo. Bagaimana Wendy sebenarnya memiliki cita-cita lain sekadar dari menjadi seorang nyonya rumah. Dia bahkan mengagumi upaya Leo agar istri Bastian itu mendapatkan apa yang diinginkan. Awalnya, dia tidak setuju kalau niat baik itu dibalut dengan perjanjian antara Wendy dan Bastian untuk tetap dalam ikatan pernikahan. Namun, dia bisa bilang apa kalau dua-duanya telah setuju. Seperti Leo, dia hanya berharap di tengah-tengah perjanjian itu, cinta antara Wendy dan Bastian akan kembali bertumbuh.“Hai,” sapa Dina.Wendy mengedikkan bahu. Bahkan cara wanita itu bersikap tidak peduli dengan apa yang terjadi di sekeliingnya tampak menakjubkan. Elegan dan membuat orang lain berniat untuk memberikan apa saja yang diminta oleh Wendy.“Nona Wendy ikut makan, ya,” ajaknya santai sambil menata piring baru di meja yang kosong.Tidak
Dari kejauhan, Dina sudah melihat bayangan Leonardo. Senyum di wajah laki-laki itu menerbitkan cahaya benderang di kepalanya. Leonardo setengah berlari menghampirinya. Pria itu langsung mengambil alih kursi roda dari pegawai bandara untuk mendorong ayahnya. Cerminan seorang pria yang bertanggung jawab.“Gimana Bali?” tanya laki-laki itu.“Sepi.” Itu karena tidak ada kehadiran Leonardo di sana. Tapi, tentu saja Dina tidak akan mengungkapkan bagian terakhir dari pikirannya itu terang-terangan. Dia masih malu mengakui perasaannya terhadap laki-laki itu. Ditambah, dia juga tidak ingin Leonardo menggodanya terus-terusan.Mereka telah berada di parkiran mobil. Dengan sigap laki-laki itu membantu mendudukkan Ayah di kursi tengah, sedangkan Dina mengatur tas bawaan mereka di bagasi. Ketika Dina menutup pintu bagasi, Leonardo sedang mengembalikan kursi roda kepada petugas bandara.Dina cukup heran karena tidak menemukan satu orang pengawal
Ditinggal oleh Dina, Leonardo belingsatan. Apa jawaban Dina? Apa dia kelewatan sudah menarik tangan perempuan itu? Apa dia tidak sopan karena terdengar begitu memaksa? Bagaimana kalau Dina menolaknya? Jantungnya berdegup kencang. Biasanya, Leonardo adalah orang yang dapat menerima apa saja: baik ataupun buruk. Tapi kali ini, dia punya asa. Dia ingin harapannya kali ini terkabul. Dia tidak tahu apa yang akan dia lakukan kalau usahanya gagal.Leonardo berjalan mondar-mandir dengan sepatu Dina di tangannya. Sekarang apa? Menunggu gadis itu dan menuntut jawaban darinya? Atau, dia bisa pergi dan keinginannya. Tidak, tidak. Leo tidak siap apabila dia gagal mendapatkan bahagia.“Mas Leo.”Leonardo membalikkan badannya. Dan di sana, pada salah satu anak tangga, ada Dina yang memandanginya. Rambut panjang gadis itu ditata kuncir kuda. Mata besarnya berbinar-binar dan senyumnya merekah sampai ke telinga. Seakan-akan waktu bergerak melambat, Leonardo menikmati
Begitu Leo turun ke lantai bawah, dia tepergok dengan Dina yang sedang mendudukkan ayahnya di kursi di foyer. Di sebelah Ayah, telah tersedia tas dan satu buah koper. Rupanya, gadis itu serius dengan rencana kepindahannya ke Bali. Leo sedikit kesal karena perempuan itu tidak berniat sedikitpun untuk pamit kepadanya.“Uhm, Pak Hidayat ada?” tanya gadis itu.Dengan dagunya, Leonardo memberikan kode kalau ayahnya ada di ruang kerja di lantai atas. Dia menyaksikan Dina yang berjongkok dan pamit kepada Ayah sebelum meneruskan langkah sesuai petunjuk Leo.Leo sudah memerhatikan bahwa sejak bertemu dengan ayahnya kembali, Dina selalu enggan untuk berjauh-jauhan dengan orangtuanya itu. Seolah-olah gadis itu takut akan terjadi apa-apa kepada ayahnya jika dia meleng sebentar saja. Benar-benar sosok yang penyayang.Kata-kata Olivia jadi terngiang-ngiang di telinganya. Satu yang tidak dapat dia enyahkan adalah perihal penyesalan karena kata-kata
Sepeninggal Mbok Surti, Bacon mengambil sebuah amplop dari balik jas belakangnya. Pengawal itu memberikannya kepada Pak Hidayat, bos paling tinggi dalam hierarki Grup Armadjati.“Itu dari pantat kamu?” sindir Pak Hidayat. Mana mungkin dia mau memegang sesuatu yang entah sudah berapa lama mengendap di bokong pengawal itu. “Apa itu?” tanyanya seraya menyembunyikan tangan di punggung, pertanda dia tidak mau menyentuh amplop tersebut.Bacon mengeluarkan isinya yang berupa kertas-kertas dokumen, dia menjejerkan semuanya di atas meja kopi. “Identitas pembunuh bayaran Danny.”“Foto dan kirim ke saya,” perintah Pak Hidayat sedikitpun tidak mau memegang dokumen.Bacon melakukan apa yang dia perintahkan. Sebaik foto-foto itu masuk ke folder pesan di telepon genggamnya, Pak Hidayat mengamati dokumen tersebut. Sayangnya, tidak banyak yang dapat dia telaah dari laporan Bacon tersebut. Pasalnya, ada beberapa kartu tanda p
Pak Hidayat mencoret satu baris dari daftar kegiatan yang harus dia lakukan hari ini. Tahu-tahu, teleponnya mengalunkan notifikasi tanda pesan masuk. Dia membacanya sekilas. Dari sekretarisnya yang menanyakan apakah dia akan datang ke kantor hari ini.Jawabannya adalah tidak, pikir laki-laki itu seraya membalas pesan. Beberapa hari terakhir, dia harus membereskan kekacauan yang terjadi di rumahnya. Pak Hidayat mengecek email. Dia menunggu kabar penting seputar keberadaan istrinya dan Danny. Geram hatinya kalau mengingat-ingat dua makhluk tak berguna itu.Notifikasi pesan terdengar lagi. Every ship needs a captain.Pak Hidayat mengembuskan napas panjang. Dia juga tahu maksud tersembunyi dari pesan yang dikirimkan oleh sekretarisnya itu. Tapi, mau bagaimana lagi? Keluarganya lebih membutuhkan perhatiannya saat ini. Pak Hidayat tidak mau mengulangi kesalahan yang sama seperti yang sudah-sudah dengan mengabaikan mereka. Terlebih sewaktu anak-anaknya telah b
Olivia mencari-cari Mbok Surti ke seluruh penjuru rumah. Beginilah susahnya memiliki tempat tinggal yang memiliki banyak ruangan. Ditambah, asisten senior Keluarga Armadjati itu tidak dibekali dengan lonceng atau telepon genggam yang membuatnya dapat dihubungi kapan saja.Gadis Kaukasia itu akhirnya menemukan Mbok Surti sedang membereskan debu-debu di atas lemari dan rak Olivia.“Mbok Surti, biarkan saja. Bukannya ada cleaning service yang datang setiap hari?”“Tapi Mbak Olivia bangunnya siang terus. Jadi mereka keburu pulang.”Olivia terkekeh ringan. Ya, tidak salah apa yang dikatakan oleh pesuruh itu. Beginilah nikmatnya menjadi seorang influencer. Bekerja sesuai waktu yang dia tentukan sendiri. Tidak ada kewajiban harus hadir di kantor sebelum jam tertentu.“Papi manggil Mbok. Di ruang kerjanya.”Mbok Surti buru-buru meletakkan kemoceng yang dipegangnya. Wanita tua itu mengelap tangann
“Ini maksudnya apa, ya?” tanya Leo mengandalkan jawaban dari adik tirinya.“The restaurant that I’ve told you about.”“Tapi Bali?”“Becky yang mengusulkan. Bagus juga, sih. Secara marketing, lebih gampang memasarkannya. Bisa dijual dengan harga lebih tinggi dibandingkan di Jakarta.”Keputusan itu begitu tiba-tiba. Apa yang ada dalam pikiran Dina? Bukankah dia telah menjanjikan kalau utang perempuan itu lunas seluruhnya? Tidak ada lagi yang membebani gadis itu. Dia bebas dari kewajiban membayar utang. Bebas. Leonardo terhenyak. Itu kata kuncinya. Leo tidak berhak marah kalau gadis itu memang mau pergi. Dina adalah perempuan mandiri yang tidak terikat dengan siapapun, termasuk dirinya.“Oh, begitu.” Leonardo memandangi makanan-makanan yang tersaji di hadapannya. Tiga menu terakhir dari enam belas yang menjadi tugas Leo. Awalnya, dia menciptakan tugas itu agar Dina tid
Dina mondar-mandir di depan kamar Leonardo. Dia ingin memeriksa ayahnya yang dari tadi pagi belum muncul untuk sarapan. Dina tahu semestinya dia mengetuk pintu dan Leo pasti akan mengizinkannya menjemput Ayah. Tapi, hari itu langkahnya berat. Dia tahu penyebabnya adalah karena setelah hari ini, Dina tidak bisa bertemu dengan laki-laki itu sebebas yang sekarang. Hatinya seperti ditimpa baja seberat seribu ton kalau mengingat-ingat hal itu.Dina masih berkutat dengan pikirannya sendiri sewaktu pintu di hadapannya mendadak terbuka.“Dina?”Dina salah tingkah. “Eh… itu… hmm… Ayah dari tadi belum turun,” katanya.Pagi itu, Leonardo terlihat segar seperti baru habis mandi. Ada aroma sabun yang khas yang dia yakin berasal dari sabun yang mahal harganya. Rambut laki-laki itu masih basah dan bagian depan rambutnya ada yang menjuntai di dahi. Leonardo tampak relaks, berbeda dari biasanya.“Ayah lagi di kamar