Interior ruang tamu tempat Leonardo berada saat itu ditata dengan gaya klasik Romawi. Laki-laki itu duduk di salah satu sofa besar berwarna abu-abu. Di meja kopi di depannya, sudah tersaji minuman botol.
“Sudah lama Wendy nggak ke sini.”
Tidak mengherankan, batin Leonardo. Sebaik menikah dengan adik tirinya, Wendy selalu menghabiskan waktu sehari-harinya di mansion Keluarga Armadjati. Kadang-kadang, pikiran jelek Leo mencurigai kalau Bastian tidak memberikan izin bagi Wendy untuk dapat ke luar rumah bersenang-senang.
“Iya, dia memang sudah jadi istri orang, tapi Ambu juga kan kangen.”
“Hmm,” gumam Leo karena tidak tahu harus berkata apa-apa.
“Nak Leo,” panggil Ambu memecah keheningan. “Wendy….”
Nada suara Ambu begitu berhati-hati. Leo mengartikannya sebagai tanda kalau ibu dari Wendy itu ingin didengar. Pria itu mendekatkan telinganya.
“Wendy tel
Ini di luar kebiasaannya, tapi Teman Danny tidak mungkin mengabaikan puluhan telepon tidak terjawab di ponselnya. Teman Danny menengok ke sekeliling. Ruang tunggu rental sedang sepi. Pemiliknya sedang mengecek mobil dan beberapa karyawan sedang duduk di belakang ruang kecil serupa loket. Dia pun mencoba menghubungi Danny. Nomor yang Anda tuju sedang berada di luar jangkauan.Ada setitik keringat di dahinya. Pria itu gugup. Dia bukannya takut aksinya ketahuan. Dia hanya cemas kalau-kalau ada yang tidak sempurna dari caranya menyelesaikan order dari Danny.Teman Danny memencet tombol ponselnya lagi. Ini kali penuh harap agar dapat tersambung dengan Danny. Dia bukan orang yang relijius, tapi saat itu dia memanjatkan doa agar situasinya baik-baik saja. Ada dering pertanda operator layanan telepon seluler sedang menyambungkan dengan nomor kontak tujuannya.“Status?”Teman Danny girang luar biasa tatkala mendengar suara yang menjawab panggi
Tidak ada gunanya cemas berlebihan terhadap Dina, begitu Leonardo mengandalkan logika. Posisi mereka berjauhan. Lebih baik dia menyelesaikan urusan yang ada di depan matanya terlebih dahulu. Dengan begitu, ahli waris Keluarga Armadjati itu menyimpan ponsel dan membawa boneka Teddy kepada pemilik aslinya.Leonardo sudah berada di lorong kamar tempat Wendy dirawat, ketika dia melihat Bastian setengah berlari dari ruang tunggu. Adik tirinya itu ditemani dokter dan perawat. Dia membatalkan niat. Leo tidak ingin keberadaannya disangka macam-macam, pun dia tidak ingin direcoki sewaktu bertemu dengan Wendy nanti.Dia mengalihkan tujuan ke ruang tunggu. Namun, menghentikan langkah sewaktu mendengar suara Danny di dalam sana. Untunglah, pintu ruangan itu tetap terbuka pascakepergian Bastian. Dia jadi dapat mendengar dengan jelas perbincangan asistennya itu dengan Tante Yasmine.Sepanjang menguping, dia bertanya-tanya; sejak kapan Danny dan istri ayahnya itu dekat? Apa ya
“Get out,” teriak Wendy. Dia menatap di hadapannya yang tak kunjung pergi dari tempat itu. “GO AWAY!” jeritnya kemudian.Hatinya terluka. Bisa-bisanya Leonardo mengatakan bahwa pria itu tidak menginginkannya. Aaargh. Seumur hidupnya baru kali ini dia merasa terhina. Apa yang salah dengan penampilannya? Walaupun tanpa mengenakan rias wajah, Wendy yakin dirinya tampak keren. Dia rajin merawat tubuh dan pelanggan di salah satu dokter kosmetika ternama di Jakarta. Mengapa pria itu menolaknya?Wendy melirik baju yang dia pakai. Pantas saja ahli waris Armadjati itu tidak mengindahkannya. Gaun pasien itu membuatnya buruk rupa. Apakah ada orang yang membawakan baju-bajunya. Wendy harus mengganti kain lap ini sesegera mungkin. Dia harus cari di mana barang-barangnya di letakkan. Wanita itu mencoba melepaskan infus yang terpasang di lengannya.“Wendy!”Wendy menoleh. Itu Ambu. Dan Daddy. Mata wanita itu menyalan
Suasana malam hari menyelimuti sewaktu Leonardo memasuki mansion Keluarga Armadjati. Tidak ada yang menyambutnya. Pria itu menebak kalau Bastian pasti menemani istrinya di rumah sakit. Papanya paling-paling masih sibuk di kantor perusahaan mereka. Sedangkan Tante Yasmine, bergidik Leo mengingat nama istri ayahnya itu. Sontak, dia meneliti sekeliling. Dia harus berhati-hati. Setelah mengetahui niat Tante Yasmine untuk menghabisinya, setiap sudut rumah itu menjadi tempat berbahaya bagi Leo.Langkah kakinya melewati ruang makan yang biasanya selalu penuh karena perintah Papa untuk menghabiskan waktu untuk makan malam bersama-sama. Miris dia mengingat kalau ide Papa itu dihancurkan oleh istrinya sendiri. Dia terus melanjutkan ke tempat tujuannya, yaitu kamar tidur.Dia harus mengambil barang-barang penting miliknya untuk segera kabur dari rumah ini. Kalau sebelumnya, ada sedikit keengganan Leo meninggalkan rumah tersebut karena walau bagaimanapun, ayah kandungnya tinggal d
Dari monitor, Leonardo dapat melihat kalau wajah Danny semakin mendekat ke kamera CCTV. Dan, layarnya mendadak gelap. Rasa takut Leo semakin menjadi-jadi melihatnya. Dia harus kabur secepat mungkin. Namun, ada satu yang tidak boleh dia lupakan.Pria itu mengecek rekaman kamera CCTV yang menjadi bukti percakapan Danny dan Tante Yasmine. Monitor menunjukkan banyak data yang ditandai dengan tanggal sebagai nama dokumen. Tidak, bukan ini. Dia merekamnya sesaat tadi. Jadi, videonya belum menjadi fail karena penanggung jawab ruang pemindai itu pasti baru akan memindahkannya esok hari.Sesaat, ekor mata Leo tertuju pada deretan layar. Pada salah satunya, tampak Danny yang berlari. Jantung Leo memompa udara lebih cepat. Dia harus buru-buru menemukan tempat rekaman video itu berada. Dia mengeklik salah satu folder. Nah, itu dia. Sekarang, pria itu bingung cara memindahkan data tersebut untuknya. Seharusnya ada memori penyimpanan data yang bisa dia gun
Rupanya, Olivia yang membuka pintu itu. Entah karena sebelumnya merasa ketakutan dan lega dengan penampakan adiknya itu, Leonardo tertawa.“Quiet,” perintah Olivia dengan berbisik.Leo sadar kalau dia masih dalam persembunyian. Kalau suaranya sampai terdengar ke luar, bisa-bisa dia ketahuan. Seketika, dia menutup mulutnya.Olivia menarik tangan Leo dan menggiringnya duduk di meja rias. “Now, tell me everything.”***Bastian meringkukkan badannya sewaktu mobil memasuki halaman kabin. Detak jantungnya bertalu-talu. Kabin adalah tempat teraman baginya karena Papi tidak pernah pergi ke sini. Rupanya, dia salah. Dia lupa kalau pria itu adalah pemilik tempat ini. Tentu saja, Papi bebas mau datang atau tidak.Masalahnya, Bastian tidak siap didatangi hari ini. Dia tidak ingin Papi mengetahui kalau kabin telah dia ubah fungsinya menjadi kantor pribadinya. Dari tempat itulah, Bastian mengendalikan semua bisnis
Leonardo menempelkan jari di bibirnya. Pria itu mengambil rak mantel yang ada di dekat pintu. Setelahnya, pria itu berjingkat-jingkat berpindah ke belakang pintu bersiap-siap untuk menyerang jika terjadi apa-apa. Dia memberikan kode kepada Olivia dengan menganggukkan kepala.“Yaaa?” kata Olivia mencoba untuk tidak acuh.“Kopinya, Mbak Olivia.”Mbok Surti. Helaan napas lega diembuskan oleh keduanya. Leo menurunkan gantungan mantel, sedangkan Olivia membukakan pintu.Mata Mbok Surti cerah berbinar begitu Leonardo berada dalam jangkauan penglihatannya. Sampai-sampai, Leo mesti mengingatkan asisten rumah tangga itu untuk tidak berlebihan dalam mengungkapkan rasa senangnya.***Sudah semalaman, Danny berjaga-jaga di ruang pengawas. Dia sudah mengecek banyak rekaman video dan menghapus fail yang menunjukkan kedekatannya dengan Ibu Yasmine. Perempuan itu mengacaukan semuanya. Dia sudah menjaga hubungan mereka berdua tetap ra
Danny mengetuk pintu kamar Ibu Yasmine. Tidak ada jawaban apa-apa. Dia meneliti sekeliling sebelum melangkah masuk ke ruangan itu. Di sana, Ibu Yasmine tergolek di atas ranjang. Wajah Nyonya Rumah itu begitu lembut dan aristokrat khas Eropa. Laki-laki itu tergoda untuk ikut berbaring di samping wanita itu.Tiba-tiba, ponsel Danny berdering. Dia menerimanya. “Nggak ada siapa-siapa di pos jaga?”Dahi Danny berkerut. Pak Hidayat selalu bawel jika melihat ruang sekuriti tanpa penjagaan. Dia mengecek jam dinding. Pukul tujuh pagi. Mungkin satpam mansion sedang melakukan ronda. Sebenarnya, terbersit rasa curiga di hatinya. Dia harus mengonfirmasinya nanti dari ruang CCTV.***Olivia sedang berada di dapur dan membuat waffle sewaktu mendengar langkah kaki. Pandangannya berganti-gantian antara kompor dan pembatas arch demi menyelidiki siapa sumber suara itu. Tidak lama kemudian, matanya bertabrakan dengan Danny.“Bangun
Dina tidak lagi takut berhadap-hadapan dengan wanita secantik malaikat itu. Dia sudah mendengar semuanya dari Leonardo. Bagaimana Wendy sebenarnya memiliki cita-cita lain sekadar dari menjadi seorang nyonya rumah. Dia bahkan mengagumi upaya Leo agar istri Bastian itu mendapatkan apa yang diinginkan. Awalnya, dia tidak setuju kalau niat baik itu dibalut dengan perjanjian antara Wendy dan Bastian untuk tetap dalam ikatan pernikahan. Namun, dia bisa bilang apa kalau dua-duanya telah setuju. Seperti Leo, dia hanya berharap di tengah-tengah perjanjian itu, cinta antara Wendy dan Bastian akan kembali bertumbuh.“Hai,” sapa Dina.Wendy mengedikkan bahu. Bahkan cara wanita itu bersikap tidak peduli dengan apa yang terjadi di sekeliingnya tampak menakjubkan. Elegan dan membuat orang lain berniat untuk memberikan apa saja yang diminta oleh Wendy.“Nona Wendy ikut makan, ya,” ajaknya santai sambil menata piring baru di meja yang kosong.Tidak
Dari kejauhan, Dina sudah melihat bayangan Leonardo. Senyum di wajah laki-laki itu menerbitkan cahaya benderang di kepalanya. Leonardo setengah berlari menghampirinya. Pria itu langsung mengambil alih kursi roda dari pegawai bandara untuk mendorong ayahnya. Cerminan seorang pria yang bertanggung jawab.“Gimana Bali?” tanya laki-laki itu.“Sepi.” Itu karena tidak ada kehadiran Leonardo di sana. Tapi, tentu saja Dina tidak akan mengungkapkan bagian terakhir dari pikirannya itu terang-terangan. Dia masih malu mengakui perasaannya terhadap laki-laki itu. Ditambah, dia juga tidak ingin Leonardo menggodanya terus-terusan.Mereka telah berada di parkiran mobil. Dengan sigap laki-laki itu membantu mendudukkan Ayah di kursi tengah, sedangkan Dina mengatur tas bawaan mereka di bagasi. Ketika Dina menutup pintu bagasi, Leonardo sedang mengembalikan kursi roda kepada petugas bandara.Dina cukup heran karena tidak menemukan satu orang pengawal
Ditinggal oleh Dina, Leonardo belingsatan. Apa jawaban Dina? Apa dia kelewatan sudah menarik tangan perempuan itu? Apa dia tidak sopan karena terdengar begitu memaksa? Bagaimana kalau Dina menolaknya? Jantungnya berdegup kencang. Biasanya, Leonardo adalah orang yang dapat menerima apa saja: baik ataupun buruk. Tapi kali ini, dia punya asa. Dia ingin harapannya kali ini terkabul. Dia tidak tahu apa yang akan dia lakukan kalau usahanya gagal.Leonardo berjalan mondar-mandir dengan sepatu Dina di tangannya. Sekarang apa? Menunggu gadis itu dan menuntut jawaban darinya? Atau, dia bisa pergi dan keinginannya. Tidak, tidak. Leo tidak siap apabila dia gagal mendapatkan bahagia.“Mas Leo.”Leonardo membalikkan badannya. Dan di sana, pada salah satu anak tangga, ada Dina yang memandanginya. Rambut panjang gadis itu ditata kuncir kuda. Mata besarnya berbinar-binar dan senyumnya merekah sampai ke telinga. Seakan-akan waktu bergerak melambat, Leonardo menikmati
Begitu Leo turun ke lantai bawah, dia tepergok dengan Dina yang sedang mendudukkan ayahnya di kursi di foyer. Di sebelah Ayah, telah tersedia tas dan satu buah koper. Rupanya, gadis itu serius dengan rencana kepindahannya ke Bali. Leo sedikit kesal karena perempuan itu tidak berniat sedikitpun untuk pamit kepadanya.“Uhm, Pak Hidayat ada?” tanya gadis itu.Dengan dagunya, Leonardo memberikan kode kalau ayahnya ada di ruang kerja di lantai atas. Dia menyaksikan Dina yang berjongkok dan pamit kepada Ayah sebelum meneruskan langkah sesuai petunjuk Leo.Leo sudah memerhatikan bahwa sejak bertemu dengan ayahnya kembali, Dina selalu enggan untuk berjauh-jauhan dengan orangtuanya itu. Seolah-olah gadis itu takut akan terjadi apa-apa kepada ayahnya jika dia meleng sebentar saja. Benar-benar sosok yang penyayang.Kata-kata Olivia jadi terngiang-ngiang di telinganya. Satu yang tidak dapat dia enyahkan adalah perihal penyesalan karena kata-kata
Sepeninggal Mbok Surti, Bacon mengambil sebuah amplop dari balik jas belakangnya. Pengawal itu memberikannya kepada Pak Hidayat, bos paling tinggi dalam hierarki Grup Armadjati.“Itu dari pantat kamu?” sindir Pak Hidayat. Mana mungkin dia mau memegang sesuatu yang entah sudah berapa lama mengendap di bokong pengawal itu. “Apa itu?” tanyanya seraya menyembunyikan tangan di punggung, pertanda dia tidak mau menyentuh amplop tersebut.Bacon mengeluarkan isinya yang berupa kertas-kertas dokumen, dia menjejerkan semuanya di atas meja kopi. “Identitas pembunuh bayaran Danny.”“Foto dan kirim ke saya,” perintah Pak Hidayat sedikitpun tidak mau memegang dokumen.Bacon melakukan apa yang dia perintahkan. Sebaik foto-foto itu masuk ke folder pesan di telepon genggamnya, Pak Hidayat mengamati dokumen tersebut. Sayangnya, tidak banyak yang dapat dia telaah dari laporan Bacon tersebut. Pasalnya, ada beberapa kartu tanda p
Pak Hidayat mencoret satu baris dari daftar kegiatan yang harus dia lakukan hari ini. Tahu-tahu, teleponnya mengalunkan notifikasi tanda pesan masuk. Dia membacanya sekilas. Dari sekretarisnya yang menanyakan apakah dia akan datang ke kantor hari ini.Jawabannya adalah tidak, pikir laki-laki itu seraya membalas pesan. Beberapa hari terakhir, dia harus membereskan kekacauan yang terjadi di rumahnya. Pak Hidayat mengecek email. Dia menunggu kabar penting seputar keberadaan istrinya dan Danny. Geram hatinya kalau mengingat-ingat dua makhluk tak berguna itu.Notifikasi pesan terdengar lagi. Every ship needs a captain.Pak Hidayat mengembuskan napas panjang. Dia juga tahu maksud tersembunyi dari pesan yang dikirimkan oleh sekretarisnya itu. Tapi, mau bagaimana lagi? Keluarganya lebih membutuhkan perhatiannya saat ini. Pak Hidayat tidak mau mengulangi kesalahan yang sama seperti yang sudah-sudah dengan mengabaikan mereka. Terlebih sewaktu anak-anaknya telah b
Olivia mencari-cari Mbok Surti ke seluruh penjuru rumah. Beginilah susahnya memiliki tempat tinggal yang memiliki banyak ruangan. Ditambah, asisten senior Keluarga Armadjati itu tidak dibekali dengan lonceng atau telepon genggam yang membuatnya dapat dihubungi kapan saja.Gadis Kaukasia itu akhirnya menemukan Mbok Surti sedang membereskan debu-debu di atas lemari dan rak Olivia.“Mbok Surti, biarkan saja. Bukannya ada cleaning service yang datang setiap hari?”“Tapi Mbak Olivia bangunnya siang terus. Jadi mereka keburu pulang.”Olivia terkekeh ringan. Ya, tidak salah apa yang dikatakan oleh pesuruh itu. Beginilah nikmatnya menjadi seorang influencer. Bekerja sesuai waktu yang dia tentukan sendiri. Tidak ada kewajiban harus hadir di kantor sebelum jam tertentu.“Papi manggil Mbok. Di ruang kerjanya.”Mbok Surti buru-buru meletakkan kemoceng yang dipegangnya. Wanita tua itu mengelap tangann
“Ini maksudnya apa, ya?” tanya Leo mengandalkan jawaban dari adik tirinya.“The restaurant that I’ve told you about.”“Tapi Bali?”“Becky yang mengusulkan. Bagus juga, sih. Secara marketing, lebih gampang memasarkannya. Bisa dijual dengan harga lebih tinggi dibandingkan di Jakarta.”Keputusan itu begitu tiba-tiba. Apa yang ada dalam pikiran Dina? Bukankah dia telah menjanjikan kalau utang perempuan itu lunas seluruhnya? Tidak ada lagi yang membebani gadis itu. Dia bebas dari kewajiban membayar utang. Bebas. Leonardo terhenyak. Itu kata kuncinya. Leo tidak berhak marah kalau gadis itu memang mau pergi. Dina adalah perempuan mandiri yang tidak terikat dengan siapapun, termasuk dirinya.“Oh, begitu.” Leonardo memandangi makanan-makanan yang tersaji di hadapannya. Tiga menu terakhir dari enam belas yang menjadi tugas Leo. Awalnya, dia menciptakan tugas itu agar Dina tid
Dina mondar-mandir di depan kamar Leonardo. Dia ingin memeriksa ayahnya yang dari tadi pagi belum muncul untuk sarapan. Dina tahu semestinya dia mengetuk pintu dan Leo pasti akan mengizinkannya menjemput Ayah. Tapi, hari itu langkahnya berat. Dia tahu penyebabnya adalah karena setelah hari ini, Dina tidak bisa bertemu dengan laki-laki itu sebebas yang sekarang. Hatinya seperti ditimpa baja seberat seribu ton kalau mengingat-ingat hal itu.Dina masih berkutat dengan pikirannya sendiri sewaktu pintu di hadapannya mendadak terbuka.“Dina?”Dina salah tingkah. “Eh… itu… hmm… Ayah dari tadi belum turun,” katanya.Pagi itu, Leonardo terlihat segar seperti baru habis mandi. Ada aroma sabun yang khas yang dia yakin berasal dari sabun yang mahal harganya. Rambut laki-laki itu masih basah dan bagian depan rambutnya ada yang menjuntai di dahi. Leonardo tampak relaks, berbeda dari biasanya.“Ayah lagi di kamar