Nala menghena napas, seolah lelaki muda itu tengah menyesali sesuatu. Dayu tak mengucap sepatah kata pun, tak mengeluarkan suara bahkan tak membuat gerakan yang terlalu jelas meskipun dadanya terasa nyeri dan sesak. Rasa sakit menjalar dari dada sampai ke seluruh tubuhnya, sementara kepalanya berdenyut nyeri.Dokter koas itu duduk dengan gelisah di sofa, tak mengatakan apa pun lagi setelah pembicaraan singkat mereka yang terakhir. Dayu awalnya mengira Nala akan segera pergi dan meninggalkannya begitu saja seperti apa yang sudah terjadi sebelumnya, tapi ternyata pemilik wajah teduh itu justru hilir mudik di depan pintu kamar rawat Dayu yang sengaja dibiarkan terbuka, lantas duduk di sofa seperti sekarang."Aku tidak menyukai hal ini, kenapa aku aku harus melakukannya tadi?" Nala mengkritik dirinya sendiri. Dari tindak tanduknya, sepertinya Nala bahkan telah lupa bahwa dia tak sedang sendirian di sana, dan tanpa sengaja memperdengarkan keluhannya pada Dayu."Apa yang tidak kamu sukai, N
Brakk!!Suara itu keras, tentu saja membuat fokus tiga orang di dalam ruang rawat VVIP itu terpecah. Dayu hanya bisa menoleh sementara Anto langsung berdiri, hendak memeriksa benda apa kiranya yang jatuh di balkon."Jangan dibuka. Biarkan saja, dia mencoba mengganggu!" Nala memberi instruksi dengan cukup tegas.Anto dan Dayu sama-sama menoleh ke arah dokter koas itu karena tak paham dengan apa yang Nala coba sampaikan. Awalnya, Anto terlihat tak bisa menangkap apa yang Nala maksud, apa lagi Nala justru tak terlihat menoleh sama sekali. Dokter koas itu malah bertingkah seakan tak mendengar apapun. Anto yang tak mendapat jawaban akhirnya kembali duduk.Brak !!!Suara benda jatuh setelah dilempar dengan keras sampai menabrak dinding terdengar lebih kerasa. Masih dari arah balkon.Dayu menoleh seketika dan dia terkejut melihat sepintas ada makhluk bertubuh besar dengah tangan panjang nyaris mencapai lantai menatap ke dalam. Matanya merah terang."Jangan dilihat!" Nala berkata, memperingat
Dayu diam sejenak, memikirkan kembali apakah dia perlu menanyakan pada Nala cara apa yang dokter koas itu maksud. Cara lain yang bisa membantu dirinya, cara untuk mengetahui siapa dukun itu, siapa yang telah menjadi penghubung antara seseroang dengan Danyang. Yang lebih penting lagi, tanpa bisa membuka mulut dukun yang mulai mengirimkan teror padanya itu, Dayu tak akan tahu siapa yang sudah menumbalkan dirinya, Dimas, ayah dan tante Sekar.Ada sesuatu yang membuat Dayu merasa ragu. Apakah dalam waktu yang hanya tersisa sembilan puluh lima hari, dia bisa menyelamatkan dirinya dari Danyang. Apakah dalam waktu yang akan terus berkurang seperti butiran halus di dalam jam pasir itu dia akan bisa memutus benang merah yang sudah terlanjur mengikat dirinya dengan Danyang.Apakah dia bisa menyelamatkan Dimas, ayah dan tante Sekar atau pada akhirnya harus menerima bahwa dia akan kehilangan segalanya. Dayu tak yakin dirinya akan sanggup kehilangan ayah setelah jauh sebelumnya telah kehilangan so
Dayu melangkah mundur. Tubuhnya gemetar. Teriakannya diredam oleh sesuatu yang tak bisa dia pahami. Dia sudah berteriak, tapi telinganya tak mendengar suaranya sendiri. Dayu hanya bisa mendengar suara angin yang bergerak berisik dari dalam hutan, seolah seseorang sedang berlari menembus pengap dan rapatnya vegetasi di bawah naungan pohon-pohon jati untuk mendatanginya.Tubuh ayah dan tante Sekar yang tergantung di salah satu cabang dari dua pohon jati yang berdekatan tak terlihat seperti orang mati. Mata mereka terbuka dan menatap Dayu dengan cara yang aneh, membuat Dayu menjadi semakin ketakutan.Dayu terus mundur.Suara berisik terdengar mendekatinya dari kedalaman hutan. Dayu ingin secepatnya berlari, tapi dia tak bisa menggerakkan tubuhnya dengan baik."Jangan diam saja, ayo lari!!"Seseorang berteriak persis di belakang Dayu. Tak sempat menoleh, tangan Dayu sudah diraih dan dia terpaksa mengikuti ayunan kaki cepat milik orang itu.Tangannya hangat, tapi Dayu tak bisa melihat waja
Dayu melihat bagaimana mata Nala sempat berkilat dengan warna merah, seolah ada api yang sedang dibakar di dalam kedua mutiara cokelat bening miliknya itu saat kelopak mata yang indah terbuka."Apa yang kamu lakukan di sini? Aku tidak menerima tamu tak diundang." Nala berucap dengan tenang tapi begitu dingin, membuat Dayu berpikir dia baru saja mengganggu dokter koas yang tampaknya begitu ngebut saat sekolah dan kuliah itu.Mungkin saja dia baru saja mengganggu tidurnya yang berharga. Dari apa yang Dayu dengar, pada dokter seperti Nala tak punya banyak waktu untuk dirinya sendiri, bahkan untuk sekedar tidur sekalipun."Maafkan aku. Aku tahu, aku baru saja mengganggu kamu. Tapi, bisakah aku menanyakan sesuatu?" tanya Dayu.Nala memisahkan punggungnya dari tembok yang dia sandari. Sebelumnya, Dayu sengaja mencarinya dan menemukan bahwa Nala sedang memejamkan mata dan duduk bersandar di tembok, tak jauh dari ruang mayat yang sepi. Entah apa yang dilakukan oleh dokter koas itu di sana, di
Motor yang Anto kemudikan akhirnya memasuki sebuah rumah paling ujung, sebelum tikungan. Rumah itu bisa dibilang sangat sederhana, meskipun rumah-rumah di sekitarnya juga tak jauh berbeda. Bisa dikatakan, rumah di dusun itu kurang lebih memiliki model dan karakteristik yang tak jauh berbeda. Pilar dari batang jati yang telah diamplas dan diukir dengan cantik, tembok bata merah, dengan halaman yang cukup luas.Awalnya, Dayu kira Anto salah jalan, karena cowok itu membawanya memasuki sebuah jalan sempit, lalu melewati jembatan yang hanya selebar satu meter. Rupanya, Anto menemukan jalan pintas itu agar bisa sampai lebij cepat.Ada dua pohon mangga besar di halaman rumah sang dukun, dan tiga motor parkir di bawah pohon lain yang berbunga warna api. Anto sendiri memarkirkan motornya tepat di sebuah motor lain, yang terlihat masih sangat baru.Dayu memutar tubuhnya, mencoba mengamati keadaan sekitar rumah dukun itu.Di depan rumah, ada pelataran yang cukup luas. Masih cukup jika akan diban
Tak ayal lagi, Dayu menjerit ketakutan karena berhadapan dengan kepala, yang menempel pada dinding di belakang kursi yang sedang dia tempati. Anto yang duduk di sebelahnya bukan hanya ikut terkejut, tapi juga menjadi panik karena Dayu secara mendadak menjadi histeris dan berlari keluar dari ruang tamu rumah dukun itu.Dua orang gadis cantik yang baru berdiri karena sudah tiba giliran mereka menerima jasa dari sang dukun batal masuk ke ruang berikutnya karena ulah Dayu. Mereka berdua terlihat bingung, sementara Anto segera berlari keluar untuk mengejar Dayu."Yu, ada apa? Kamu kenapa?" Anto menahan Dayu yang sudah hampir berlari ke jalan tanpa peduli jika ada pengendara motor yang tiba-tiba lewat atau apa.Dayu gemetaran. Langkahnya sudah berhenti, tapi dia masih belum bisa bernapas dengan tenang. Dayu langsung duduk di atas tanah, di halaman rumah sang dukun tanpa mau menoleh ke belakang."Sepertinya aku sudah gila!" Dayu berucap dengan napas yang masih terengah dan wajah menunduk, me
"Tidak bisa. Tumbalnya pasti tujuh nyawa. Kamu mungkin hanya menghitung enam orang tapi apa yang bisa membuat kamu yakin tidak akan ada korban ke tujuh. Dalam kontrak dengan penguasa alam ghaib, masih ada kemungkinan para tumbal ini tidak mati di saat yang sama." Mbah Nom menjawab dengan cara berpikir yang tak bisa Dayu komentari lebih jauh.Benar. Dia bahkan tak tahu siapa orang yang telah menumbalkan dirinya dan juga keluarganya. Dia bahkan tak mengenal dua orang di dalam truk. Lebih jauh dari itu, tidak ada saksi yang bisa memastikan bahwa tidak ada orang lain yang juga menjadi korban saat itu, bisa juga tumbal ke tujuh memang tak ada di sana saat itu.Oh, keberadaan tiga orang yang ada di saat saat kecelakaan terjadi saja masih menjadi pertanyaan bagi semua orang. Polisi sama sekali tidak menemukan petunjuk, sementara Dayu juga tak bisa mengingat apa yang persisnya terjadi saat kecelakaan berlangsung."Harus saya katakan, persetan dengan tumbal ke tujuh itu. Saya hanya memikirkan
"Apa maksudmu? Apa yang ada di sana?" Dayu bertanya pada sosok yang terus mengulang kata tunjuk yang sama itu.Dia tak merasa perlu untuk berpura-pura tak mendengar, karena dia yakin di dalam mobil itu bukan hanya dia yang mendengarnya."Di sana! Itu di sana!" Sosok gadis itu seolah tidak bisa memahami apa yang Dayu tanyakan, dia hanya menjawab dengan kalimat yang sudah dia ucapkan sebelumnya, dia ulang dan ulangi lagi saja."Hei!" Dayu merasa sedikit kesal sendiri sehingga dia langsung membentak sosok itu tanpa sadar.Nala terbangun karena suara bentakan Dayu, sementara sosok itu justru menghilang dari sana. Dalu tertawa dan terlihat senang sekali."Nah, seperti itu. Ketika kamu menunjukkan bahwa kamu juga bisa menjadi lebih kuat darinya, dia akan menyembunyikan dirinya darimu!" Dalu memuji apa yang baru saja Dayu lakukan, meski Dayu tak sengaja melakukannya."Ah, begitukah? Tapi, dia terus mengulang kalimat yang sama, menunjuk ke arah yang sama, menyebalkan sekali!" Dalu menyahut.N
"Hah? Bagaimana caranya aku memotong tangan makhluk ini?" Dayu bertanya dengan panik.Anehnya, Dalu terkekeh seolah semua itu hanyalah lelucon, sementara Nala menoleh dengan wajah tenangnya yang terlihat sedikit lebih pucat dari biasanya dan memberikan senyum yang membuat Kiana merasa nyaman."Tidak apa-apa. Setiap dari kita bisa memutus rantai jika kita mau!" Dalu berucap.Dayu menggelengkan kepalanya. Dia tak mengerti. Rasanya, hanya dengan mendengar apa yang Dalu katakan saja sudah terasa mengerikan.Wanita yang sudah bisa dikatakan dalam usia dewasa itu menunjukkan sikap yang sangat stabil. Dia tenang dalam situasi yang menurut Dayu bisa disebut genting atau tak menguntungkan sekalipun, sementara di saat yang lain dia bisa terlihat ceria dalam porsi yang tidak berlebihan. Kali ini juga sama. Dalu berjalan mendekat, memutari meja hingga berada di sebelah Dayu lalu menunjukkan apa yang dia maksud dengan memotong tangan makhluk itu.Dia tenang seperti air, tapi saat tangannya dengan
"Ya, semacam itulah. Apakah kamu tidak bisa melihat apa yang sedang dia ajak berbicara?" Dalu balik bertanya.Dayu langsung menggelengkan kepalanya tanpa ragu. Dia sangat yakin hanya melihat Nala di sana dan tak melihat apapun yang lain. Cowok itu berpenampilan santai tapi rapi, membuatnya terpesona. Sejujurnya, dia tak bisa memperhatikan hal lain karena Nala yang belum resmi menolaknya, dan cowok itu semakin hari juga terlihat semakin gemerlapan di matanya."Dia bersama dengan wujud dari ingatannya sendiri!" Dalu menjawab.Mobil yang Dalu kendarai mendekati Nala, lalu berhenti persis di depan cowok itu. Begitu roda mobik berhenti bergerak secara resmi, Dalu melepas sabuk pengamannya lalu turun dari mobil dan meninggalkan pintu mobil dalam keadaan terbuka.Nala mendatangi adik dari mendiang ibunya itu, menyapanya lalu mencium tangannya dengan sangat sopan. Dalu membisikkan sesuatu kepada Nala, dan saat itulah Dayu disadarkan bahwa Dalu memiliki tubuh yang terbilang tinggi.Begitu kedu
"Bukankah manusia sangat sombong? Ya, kamu benar, kalian sangat sombong. Itu adalah apa yang membuat kalian dan kami menjadi mirip, tapi semakin lama aku pikir manusia menjadi lebih serakah dari makhluk apapun. Ketika mereka berpikir bisa memperbudak aku, maka aku akan menang melawan orang-orang semacam itu!" Danyang berucap.Dalu terkekeh."Benar, benar. Benar sekali. Maka bukankah kamu hanya akan perlu melihat siapakah yang lebih baik di antara kami dan mereka, sementara kamu hanya akan menerima keuntungannya?" Gadis itu seolah tengah membenarkan apa yang Danyang katakan, tapi dalam makna yang sebenarnya, dia masih mengajukan sebuah dorongan agar Danyang tidak ikut campur.Danyang menyeringai. Dengan penampilan dan rupa Nala, seringaiannya itu tidak nampak menyenangkan untuk diingat bagi Dayu, karena itu bisa merusak sosok Nala dalam kepalanya.Begitu Danyang mengibaskan tangannya, Dayu langsung kembali menyaksikan penampakan genteng-genteng yang berjejeran. Dalu yang ada di sebelah
"Siapa yang kamu maksud?" tanya Dayu.Dalu menoleh lalu tersenyum. Gadis itu melepas outer yang dia pakai dan menggantungnya dengan rapi, meletakkan tas kecil yang menggantung di bahunya, lalu kembali berjalan ke arah balkon."Orang yang sedang mencoba menyeret Danyang keluar dari tempat tinggalnya dan membawa makhluk itu ke dunia manusia ini. Orang itu memang kuat dan dia berpikir bahwa dirinya akan menjadi lebih kuat dengan memanfaatkan energi Danyang. Kesombongan manusia benar-benar melampaui jangkauan akal!" Dalu menjelaskan apa yang dia maksud kepada Dayu sambil terus berjalan sampai dia bisa berada di balkon.Dayu turut berjalan untuk menyusul Dalu. Dia berdiri di sebelah wanita itu, menghirup aroma parfumnya dengan jelas sampai kemudian dia bisa menghirup aroma bebungaan yang bercampuran."Apakah itu dia?" tanya Dalu.Dayu mengenyitkan dahi, memandang ke kanan dan ke kiri."Di bawah sana. Laki-laki yang sudah mati itu, apakah itu dia yang kamu maksud?" tanya Dalu lagi, memperte
Dayu melambaikan tangan kepada adik barunya yang begitu muncul sudah langsung berusia enam belas tahun itu sambil tersenyum lebar, begitu juga ketika bunda dan ayah melambaikan tangan kepada dirinya. Seharusnya, jika sesuai rencana, dia akan turut serta mengantar Dimas ke sekolahnya, tapi dia akhirnya memutuskan untuk tinggal.Dia punya hal lain yang harus dilakukan, dan Dimas membantunya untuk meyakinkan ayah serta bunda bahwa Dayu memang lebih baik tinggal dan tak turut bepergian jauh untuk mengantar. Apa lagi, sebenarnya ayah sendiri juga belum memiliki kembali keberanian untuk menyetir sendiri dalam jarak jauh, membuat mereka harus menyertakan seorang supir yang kebetulan direkomendasikan oleh pihak hotel.Satu hal yang baru Dayu tahu adalah hotel itu merupakan salah satu aset milik keluarga Nala. Hotel paling besar di pusat kabupaten yang sebenarnya tak terlalu ramai, dan mungkin tidak akan memberikan keuntungan yang besar. Akan tetapi, menurut cerita Nala semalam setrlah ditodon
Nala tersenyum, dia tidak mengatakan apapun tapi dia sedang menelepon. Dayu tak mengerti mengapa cowok itu berlaku demikian, tapi sepertinya dia hanya sedang menerima instruksi dari seseorang setelah mengatakan satu kalimat saja selain salam."Seperti yang sudah kamu katakan waktu itu!"Setelah kalimat itu, selama sepuluh menit, Nala hanya diam dan mendengarkan. Sesekali dia mengangguk-angguk atau menggeleng, kadang dia memandang ke arah Dayu atau Dimas lalu tersenyum.Setelah menyelesaikan panggilan telepon itu, Nala menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi. Dia, entah mengapa melirik ke arah kirinya yang kosong sebentar lalu memberikan tatapan dan semakin lama semakin menajam, sebelum kemudian dia kembali menoleh ke arah lain dan memberikan tatapan lembutnya, seolah dia baru saja mengungkapkan ketidaksukaannya pada sesuatu yang ada di sampingnya."Siapa yang baru saja kamu telepon?" tanya Dayu."Oh, tanteku. Dia adik paling muda dari mendiang mama!" Nala menjawab sambil menyunggin
Dayu dibangunkan oleh Dimas ketika baru memejamkan mata dan membuatnya terkesiap."Katanya, tidak baik jika kita tidur dalam pergantian antara terang dan gelap!" Dimas mengingatkan Dayu.Sebenarnya, Dayu tak tahu dari mana Dimas bisa mendapatkan ide itu, tapi dia rasa apa yang Dimas katakan ada benarnya. Apa lagi setelah mengalami kejadian buruk seperti tadi, Dayu mengingatkan dirinya untuk tidak segampang itu tertidur."Berapa lama lagi sampai kita akan pergi ke restoran dan bertemu Nala?" tanya Dayu."Dayu, kamu merindukan Nala?"Suara ayah yang bertanya membuat Dayu menoleh. Sejenak dia sempat terlupa bahwa dia sedang berada di kamar kedua orang tuanya, dan pasangan itu sedang berada di dekatnya.Mereka menonton bersama-sama, sebuah series komedi yang bukannya membuat Dayu tertawa, tapi justru mengantuk."Oh, bukan begitu. Hanya saja ada yang mau aku bicarakan dengan Nala ketika kami bertemu nanti!" jawab Dayu.Ayah dan bunda tersenyum."Dia calon dokter yang sering kita temui buka
Dayu tak bisa menyembunyikan keterkejutannya. Tubuhnya bergetar dan dia mundur tiga langkah ke belakang. Dimas sendiri tak terlihat baik-baik saja. Cowok itu segera berbalik badan dan terlihat sedikit panik. Bagaimanapun, dari kejahatan yang sudah Agus lakukan, Dimas adalah target utama penumbalannya.Dua kakak beradik yang disatukan lewat ikatan pernikahan kedua orang tua mereka itu segera saling tatap. Tanpa mengatakan apapun, Dayu segera menyambar gawainya dan berusaha untuk menelepon Nala, tapi cowok itu tak mengangkatnya.Dimas juga terlihat kecewa saat Dayu menggelengkan kepalanya. Berdua, mereka kembali mengendap-endap ke arah balkon dan kembali memandang ke arah di mana tadi mereka bisa melihat sosok Agus berdiri mengawasi."Oh, syukurlah!" Dayu melepas napas lega saat melihat bahwa sosok itu sudah tak ada lagi di sana."Kak, kamu juga melihat dia tadi 'kan?" tanya Dimas dengan suara bergetar.Dayu menganggukkan kepala. Dia masih sangat terkejut sampai tak bisa menghentikan la