Dayu berdehem, mencoba menetralkan pening di kepalanya yang makin menjadi.
"Jadi, apakah kamu mencoba mengatakan kepadaku, bahkan jika polisi nantinya menyatakan bahwa ayah, tante Sekar dan supir itu menghilang, para warga sekitar hanya akan membiarkannya saja?" tanya Dayu.
Anto membuang napas, terlihat jelas menyesali jawaban yang harus dia berikan sebelum akhirnya dia mengangguk.
"Jangan salahkan mereka. Daerah itu cukup terpencil, satu jam dari sini. Belum lagi, banyak dari mereka yang tak berpendidikan tinggi, dibesarkan dalam kepercayaan mengenai kerajaan ghaib pula. Mereka bukan tidak peduli, mereka hanya terlanjur mempercayai bahwa mereka harus berbagi wilayah dengan penguasa tempat itu." Anto mencoba untuk membuka pemahaman Dayu.
Mereka diam untuk sejenak, sampai kemudian Dayu meminta Anto untuk meninggalkannya sendirian. Awalnya, Anto masih mencoba untuk tetap di sana, tapi Dayu mengatakan dia butuh waktu untuk berpikir dan mengingat-ngingat apa yang sebenarnya terjadi saat kecelakaan itu berlangsung.
Dia butuh istirahat agar kondisinya segera pulih, dan kemudian mencari tahu mengenai keberadaan orang tuanya. Dengan alasan itu, Anto akhirnya pergi.
Setelah Anto meninggalkan ruangan itu, Dayu mencoba kembali tertidur. Dengan bantuan obat yang masuk ke tubuhnya sebelum pindah kamar, Dayu bisa dengan mudah terlelap.
"Hei, apakah kamu pikir kita akan terikat dengan tempat itu?"
"Aku pikir, mungkin kita semua tanpa sadar masih ada di sana."
Ada dua suara yang Dayu dengar. Salah satunya adalah suara Dimas, tapi Dayu tak bisa bereaksi. Dia hanya jatuh dalam lelapnya tidur menjelang siang.
***
Tok! Tok! Tok tok!!
Suara ketukan pintu terdengar lagi. Dayu membuka mata dan dengan malas turun dari kasurnya. Beruntunglah dia tidak memerlukan infus lagi, jadi dia bisa bergerak ke sana dan ke mari dengan lebih leluasa.
Tubuhnya terasa ringan dan Dayu merasa sangat sehat. Dengan langkah santai, Dayu membuka pintu kamar dan terkejut mendapati Dimas sudah berdiri di depan pintu kamarnya.
Adik tirinya yang memiliki kulit terang khas keturunan kaukasoid itu terlihat seperti menghela napas tapi Dayu tak mendengar suaranya sama sekali. Keterkejutan Dayu bertambah saat dia melihat sosok berlumuran darah dengan tangan yang patah dan kaki nyaris putus terseok-seok merangkak di dinding.
Tentu saja Dayu berteriak melihat pemandangan mengerikan itu. Dia menarik Dimas untuk masuk ke dalam ruang rawatnya sebelum sosok mengerikan itu mendekat.
Setelah Dimas masuk, Dayu menutup pintu dan berniat berlari masuk kembali ke dalam selimutnya, namun dia kembali berteriak. Kali ini lebih nyaring sampai Dimas menutup telinga, meski wajahnya tetap datar-datar saja.
"Berteriak sekeras apa pun, tak ada yang akan datang untuk memarahimu. Tidak apa-apa, kamu bisa mengomel sesukamu sekarang!" Dimas berucap.
Dayu menoleh ke arah Dimas, menunjuk cowok itu dengan jari telunjuknya tepat di depan hidung mancung sang adik.
"Kamu? Apa yang terjadi ...? Ha, bagaimana ini bisa terjadi?" Dayu bertanya dengan perasaan kalut. Dia menarik rambutnya dan mengaduh setelah merasakan sakit.
Akalnya tak bisa bekerja lantaran melihat dirinya sendiri sedang terbaring di atas ranjang dan Anis sedang menungguinya. Sementara di sampingnya, ada Dimas yang berdiri mengenakan pakaian yang dia gunakan di hari kecelakaan. Setelah memperhatikan Dimas, barulah Dayu menyadari bahwa dia juga memakai pakaian yang sama dengan yang dia pakai di hari kecelakaan kemarin, bukan baju pasien rumah sakit itu.
"Apa yang terjadi? Apakah aku sudah mati?" tanya Dayu dengan perasaan campur aduk.
"Aku tidak tahu, tapi aku pikir tidak. Tadi, aku sudah memeriksa diriku sendiri, dan jantungku masih berdetak." Dimas menjawab.
Dayu diam. Dia masih belum bisa memproses apa yang sedang dia alami. Dia sedang tidur dan Anis sedang menjaganya, tapi di saat yang sama dia juga berdiri bersama Dimas.
"Kak Anis tak bisa melihat kita?" tanya Dayu setelah mencoba memanggil Anis tapi kakaknya itu tak menggubris sama sekali.
"Aku pikir tidak. Aku dari tadi pagi juga mencoba untuk bicara padamu, tapi aku tidak bisa melakukannya. Aku berkeliling, aku melihat si penulis aneh itu juga, tapi tak ada yang bereaksi pada keberadaanku. Aku bahkan sampai frustasi mencari seseorang yang bisa kuajak bicara dan aku tanyai!" Dimas bicara dengan menunjukkan betapa sudah muaknya dia atas apa yang dia alami.
Cowok itu tiba-tiba duduk di lantai lalu memegang dadanya, dia jatuh meringkuk dalam satu detik dan Dayu langsung bereaksi keras. Dia kaget dan masih bingung, ketakutan setengah mati pula. Hal pertama yang terpikirkan olehnya adalah ikut duduk dan mencoba menarik Dimas agar kembali bangkit, tapi sialnya, dia malah merasa seperti tersengat listrik.
"Dayu, kamu baik-baik saja?" Anis bertanya begitu tubuh Dayu tersentak.
Dayu membuka mata dan nyaris menangis. Napasnya tersengal, matanya bergerak gelisah.
"Dimas!" Panggilnya begitu saja.
Anis menoleh ke arah pintu kamar yang masih tertutup, mengira adiknya memanggil seseorang tapi nyatanya tak ada siapapun di kamar itu selain dirinya sendiri dan si adik yang bangun dalam keadaan kacau.
Dayu lantas mengerang karena merasakan sakit di kepalanya. Lukanya masih baru, tentu saja tak akan sembuh dalam dua hari.
"Apakah kamu bermimpi buruk, hm?" Anis bertanya dengan sabar, mencoba mengirimkan ketenangan pada Dayu.
Mendengar kata mimpi, Dayu segera sadar bahwa ada kemungkinan dia memang baru saja bermimpi. Tak ada Dimas di sana, dan dia masih bisa bangun, masih bisa bicara dengan kakaknya.
"Ya, hah, aku pikir, hah-hah, aku hah, baru saja ber hah, bermimpi buruk!" Dayu menyahut dengan suara kacau dan napas yang masih berantakan.
Anis mengangguk-angguk, lantas memberikan gelas berisi air dengan sedotan pada Dayu. Seteguk saja dan Dayu bisa merasa lebih tenang.
Sejujurnya, setelah mencoba sekuat mungkin untuk meyakini bahwa dia hanya baru saja bermimpi buruk, Dayu mulai mengutuk. Pasti cerita dan penuturan-penuturan Anto mengenai keangkeran hutan tempat keluarganya mengalami kecelakaan adalah apa yang mengundang mimpi buruk itu.
"Bagaimana, Kak?" Dayu bertanya pada Anis, begitu napasnya telah kembali teratur.
"Apanya?" Anis balik bertanya karena tak mengerti apa yang Dayu coba tanyakan.
"Ayah dan tante Sekar tentu saja. Apakah polisi sudah menemukan petunjuk atau sesuatu begitu?" Dayu memperjelas pertanyaannya.
Anis membuang napas dan Dayu paham, wajah kecewa tak bisa dia sembunyikan.
"Polisi belum menemukan apa pun. Lucunya, mereka sendiri malah bingung karena tak menemukan petunjuk apa-apa. Keluarga dari supir truk yang mengalami kecelakaan bersama kalian mungkin adalah saksi kuncinya." Anis menjelaskan.
"Maksudnya?"
"Dari investigasi polisi yang disampaikan pada pihak kita, saat itu truk mengalami masalah mesin. Supir truk sedang beristirahat dan yang membawa truk adalah temannya. Mungkin saja rem mengalami masalah atau mesin mati tiba-tiba, ini masih diselidiki. Yang pasti, supir truk itu juga menghilang, tapi ada kemungkinan dia selamat dan meninggalkan truk sebelum warga datang menolong kalian. Supir pengganti itu sendiri sempat koma dan sayangnya dia baru saja meninggal pagi ini." Anis menjawab dengan cukup terperinci.
Dayu diam, dia mengucapkan doa untuk mendiang dengan pelan.
"Lukanya memang parah. Kaki dan tangannya, kepala. Jadi memang hal ini sudah harus diterima."
Mendengar apa yang Anis katakan, Dayu justru teringat pada sosok menakutkan yang muncul dalam mimpi buruknya tadi. Jantungnya berdetak lebih cepat, membuatnya merasa tak nyaman.
Ketukan pintu terdengar tiga kali dan tiga orang masuk setelah mengucap salam. Seorang dokter muda mengikuti dokter yang menangani Dayu dan Dimas, juga seorang perawat.
"Bagaimana kabarnya siang ini?" Dokter itu bertanya dengan ramah.
Dayu tersenyum dan menjawab tenang, "saya pikir saya sudah jauh lebih baik. Terima kasih."
Dokter itu tersenyum, lantas memeriksa keadaan Dayu. Sementara itu, dokter muda dengan wajah selevel aktor papan atas hanya tersenyum. Dalam senyum itu, Dayu sempat menangkap dia menoleh ke samping, tepat di sebelah Anis.
Setelah memeriksa Dayu, dokter itu menyampaikan bahwa Dayu memungkinkan untuk meninggalkan rumah sakit besok atau lusa. Anis terlihat sangat bersyukur, kemudian meminta kejelasan kondisi Dimas sekalian.
Saat dokter itu menjelaskan kondisi Dimas yang sudah semakin membaik tapi belum menunjukkan tanda-tanda kesadaran pada Anis, dokter muda yang tadi maju tiga langkah untuk bisa memperpendek jarak antara dirinya dengan Dayu.
"Bagaimana kamu bisa terhubung dengan Danyang?" tanya dokter muda itu dengan wajah yang berubah menjadi serius.
Jarak yang dekat, membuat Dayu bisa melihat bayangan dirinya sendiri di mata dokter itu, anehnya, juga sosok Dimas yang berdiri di samping ranjangnya.
***
"Siapa itu Danyang?" tanya Dayu.Dokter muda itu diam, seperti menyesal telah bertanya.Tak ada obrolan lebih lanjut, karena pembicaraan dokter dengan Anis juga sudah selesai. Dokter muda itu sepertinya adalah calon dokter yang sedang menjalankan koas di rumah sakit itu, jadi begitu sang dokter pergi, dia pun mengikuti.***Dayu tertidur setelah minum obat, dan baru bangun setelah lewat jam lima sore. Saat dia bangun, Anis tak ada di kamar, tapi ada pesan dari kakaknya itu bahwa Anis harus pergi ke kantor polisi untuk membahas masalah kecelakaan dan menghilangnya orang tua mereka, sekaligus pergi ke rumah duka dari supir pengganti.Selama sepuluh menit, Dayu hanya diam di dalam kamar, baru kemudian pergi ke kamar mandi untuk membasuh mukanya. Dia baru saja ingat, wajahnya belum tersentuh air sama sekali sejak sadar.Merasa segar tapi kesepian, Dayu melangkahkan kaki keluar dari kamar rawatnya. Lukanya masih terasa nyeri, tapi Dayu mengabaikannya.Suasana lengang karena tak banyak oran
Dayu ingin sekali meneriakkan bahwa apa yang Nala katakan tidak masuk akal. Lelaki muda itu seorang dokter koas, seharusnya berpikir rasional, seharusnya bersikap masuk akal. Tapi, tak ada yang bisa Dayu tolak lantaran Nala sendiri bisa menunjukkan sesuatu yang seperti sihir itu. Tak mungkin Dayu berpikir lebih jauh, menyangkal dan menuduh Nala sebagai pesulap.Benang merah itu nyaris transparan, tapi nyata adanya meski semula Dayu tak bisa melihatnya. Dimas juga terlihat sama kagetnya, tak menyangka ada benda semacam melilit lehernya.Dayu mencoba memastikan apakah benang merah itu asli dengan menyentuhnya, tapi begitu tangannya nyaris mencapainya, benang merah itu menghilang."Kamu tak bisa menyentuh benda itu, karena kamu adalah mangsanya. Benda ini akan menandai kalian berdua, dan membawa Danyang ke tempat di mana kalian berada, atau sebaliknya, tanpa kalian sadari membawa kalian mendatangi wilayah yang Danyang kuasai. Benda ini seperti jerat yang tidak bisa kalian lepas selama ka
Dayu menceritakan pada Anto setiap detail yang dia ingat, meski dia sendiri yakin bahwa ada bagian yang tak bisa dia ingat."Aku sangat yakin nendengar suara jeritan saat itu, bersamaan dengan suara benturan antara mobil kami dengan truk yang ada di depan. Aku sudah mengkonfirmasinya pada Dimas dan dia pun mengatakan hal yang sama, kami berdua sama-sama mendengar jeritan itu. Sebagai catatan, itu bukan suara salah satu dari kami, ayah atau tante Sekar. Aku bahkan tak yakin itu jeritan apa." Dayu mengakhiri ceritanya."Setelah itu, kamu tak ingat apa-apa lagi?" tanya Anto.Dayu menganggukkan kepalanya. Dia benar-benar tak ingat apa yang terjadi setelah itu."Itu sama persis seperti apa yang aku alami, hanya saja aku tak mendengar suara jeritan seperti yang kamu sebutkan. Aku hanya ingat aku melihat sebuah truk datang dari arah depan, itu saja." Anto menyebutkan kesamaan kejadian yang mereka alami."Lalu, apa saja yang kamu lakukan setelah itu?" tanya Dayu.Anto diam sejenak, mengingat-
Dayu melirik ke kanan dan ke kiri. Dia mulai dihinggapi ketakutan dan kecemasan, membuatnya tak ingin memejamkan mata apalagi tertidur meskipun obat membuatnya mulai mengantuk. Dayu takut dia akan mulai memasuki mimpi menakutkan di hutan yang suram itu lagi jika jatuh terlelap.Dayu merasa tak nyaman. Dia mengenakan selimut sampai ke dada tapi masih merasakan dingin yang berasal dari sekitarnya. Seolah udara di dalam ruang rawatnya menjadi lebih dingin dan lebih lembab, membuat Dayu merasa seperti tengah berada di dalam hutan jati yang ada dalam mimpinya, tapi dalam versi yang lebi lh dingin.AC memang menyala, tapi suhu di dalam ruangan itu diatur untuk tak kurang dari dua puluh empat derajat celcius oleh Anis, sesuai keinginan Dayu.Setelah dokter yang memeriksanya menyarankan untuk melakukan pemeriksaan lebih lanjut, Anis menemaninya sebentar. Namun, setelah setengah jam mereka bicara mengenai perkembangan kasus menghilangnya ayah dan tante Sekar, Anis meninggalkan Dayu sendirian u
Nala menghena napas, seolah lelaki muda itu tengah menyesali sesuatu. Dayu tak mengucap sepatah kata pun, tak mengeluarkan suara bahkan tak membuat gerakan yang terlalu jelas meskipun dadanya terasa nyeri dan sesak. Rasa sakit menjalar dari dada sampai ke seluruh tubuhnya, sementara kepalanya berdenyut nyeri.Dokter koas itu duduk dengan gelisah di sofa, tak mengatakan apa pun lagi setelah pembicaraan singkat mereka yang terakhir. Dayu awalnya mengira Nala akan segera pergi dan meninggalkannya begitu saja seperti apa yang sudah terjadi sebelumnya, tapi ternyata pemilik wajah teduh itu justru hilir mudik di depan pintu kamar rawat Dayu yang sengaja dibiarkan terbuka, lantas duduk di sofa seperti sekarang."Aku tidak menyukai hal ini, kenapa aku aku harus melakukannya tadi?" Nala mengkritik dirinya sendiri. Dari tindak tanduknya, sepertinya Nala bahkan telah lupa bahwa dia tak sedang sendirian di sana, dan tanpa sengaja memperdengarkan keluhannya pada Dayu."Apa yang tidak kamu sukai, N
Brakk!!Suara itu keras, tentu saja membuat fokus tiga orang di dalam ruang rawat VVIP itu terpecah. Dayu hanya bisa menoleh sementara Anto langsung berdiri, hendak memeriksa benda apa kiranya yang jatuh di balkon."Jangan dibuka. Biarkan saja, dia mencoba mengganggu!" Nala memberi instruksi dengan cukup tegas.Anto dan Dayu sama-sama menoleh ke arah dokter koas itu karena tak paham dengan apa yang Nala coba sampaikan. Awalnya, Anto terlihat tak bisa menangkap apa yang Nala maksud, apa lagi Nala justru tak terlihat menoleh sama sekali. Dokter koas itu malah bertingkah seakan tak mendengar apapun. Anto yang tak mendapat jawaban akhirnya kembali duduk.Brak !!!Suara benda jatuh setelah dilempar dengan keras sampai menabrak dinding terdengar lebih kerasa. Masih dari arah balkon.Dayu menoleh seketika dan dia terkejut melihat sepintas ada makhluk bertubuh besar dengah tangan panjang nyaris mencapai lantai menatap ke dalam. Matanya merah terang."Jangan dilihat!" Nala berkata, memperingat
Dayu diam sejenak, memikirkan kembali apakah dia perlu menanyakan pada Nala cara apa yang dokter koas itu maksud. Cara lain yang bisa membantu dirinya, cara untuk mengetahui siapa dukun itu, siapa yang telah menjadi penghubung antara seseroang dengan Danyang. Yang lebih penting lagi, tanpa bisa membuka mulut dukun yang mulai mengirimkan teror padanya itu, Dayu tak akan tahu siapa yang sudah menumbalkan dirinya, Dimas, ayah dan tante Sekar.Ada sesuatu yang membuat Dayu merasa ragu. Apakah dalam waktu yang hanya tersisa sembilan puluh lima hari, dia bisa menyelamatkan dirinya dari Danyang. Apakah dalam waktu yang akan terus berkurang seperti butiran halus di dalam jam pasir itu dia akan bisa memutus benang merah yang sudah terlanjur mengikat dirinya dengan Danyang.Apakah dia bisa menyelamatkan Dimas, ayah dan tante Sekar atau pada akhirnya harus menerima bahwa dia akan kehilangan segalanya. Dayu tak yakin dirinya akan sanggup kehilangan ayah setelah jauh sebelumnya telah kehilangan so
Dayu melangkah mundur. Tubuhnya gemetar. Teriakannya diredam oleh sesuatu yang tak bisa dia pahami. Dia sudah berteriak, tapi telinganya tak mendengar suaranya sendiri. Dayu hanya bisa mendengar suara angin yang bergerak berisik dari dalam hutan, seolah seseorang sedang berlari menembus pengap dan rapatnya vegetasi di bawah naungan pohon-pohon jati untuk mendatanginya.Tubuh ayah dan tante Sekar yang tergantung di salah satu cabang dari dua pohon jati yang berdekatan tak terlihat seperti orang mati. Mata mereka terbuka dan menatap Dayu dengan cara yang aneh, membuat Dayu menjadi semakin ketakutan.Dayu terus mundur.Suara berisik terdengar mendekatinya dari kedalaman hutan. Dayu ingin secepatnya berlari, tapi dia tak bisa menggerakkan tubuhnya dengan baik."Jangan diam saja, ayo lari!!"Seseorang berteriak persis di belakang Dayu. Tak sempat menoleh, tangan Dayu sudah diraih dan dia terpaksa mengikuti ayunan kaki cepat milik orang itu.Tangannya hangat, tapi Dayu tak bisa melihat waja
"Apa maksudmu? Apa yang ada di sana?" Dayu bertanya pada sosok yang terus mengulang kata tunjuk yang sama itu.Dia tak merasa perlu untuk berpura-pura tak mendengar, karena dia yakin di dalam mobil itu bukan hanya dia yang mendengarnya."Di sana! Itu di sana!" Sosok gadis itu seolah tidak bisa memahami apa yang Dayu tanyakan, dia hanya menjawab dengan kalimat yang sudah dia ucapkan sebelumnya, dia ulang dan ulangi lagi saja."Hei!" Dayu merasa sedikit kesal sendiri sehingga dia langsung membentak sosok itu tanpa sadar.Nala terbangun karena suara bentakan Dayu, sementara sosok itu justru menghilang dari sana. Dalu tertawa dan terlihat senang sekali."Nah, seperti itu. Ketika kamu menunjukkan bahwa kamu juga bisa menjadi lebih kuat darinya, dia akan menyembunyikan dirinya darimu!" Dalu memuji apa yang baru saja Dayu lakukan, meski Dayu tak sengaja melakukannya."Ah, begitukah? Tapi, dia terus mengulang kalimat yang sama, menunjuk ke arah yang sama, menyebalkan sekali!" Dalu menyahut.N
"Hah? Bagaimana caranya aku memotong tangan makhluk ini?" Dayu bertanya dengan panik.Anehnya, Dalu terkekeh seolah semua itu hanyalah lelucon, sementara Nala menoleh dengan wajah tenangnya yang terlihat sedikit lebih pucat dari biasanya dan memberikan senyum yang membuat Kiana merasa nyaman."Tidak apa-apa. Setiap dari kita bisa memutus rantai jika kita mau!" Dalu berucap.Dayu menggelengkan kepalanya. Dia tak mengerti. Rasanya, hanya dengan mendengar apa yang Dalu katakan saja sudah terasa mengerikan.Wanita yang sudah bisa dikatakan dalam usia dewasa itu menunjukkan sikap yang sangat stabil. Dia tenang dalam situasi yang menurut Dayu bisa disebut genting atau tak menguntungkan sekalipun, sementara di saat yang lain dia bisa terlihat ceria dalam porsi yang tidak berlebihan. Kali ini juga sama. Dalu berjalan mendekat, memutari meja hingga berada di sebelah Dayu lalu menunjukkan apa yang dia maksud dengan memotong tangan makhluk itu.Dia tenang seperti air, tapi saat tangannya dengan
"Ya, semacam itulah. Apakah kamu tidak bisa melihat apa yang sedang dia ajak berbicara?" Dalu balik bertanya.Dayu langsung menggelengkan kepalanya tanpa ragu. Dia sangat yakin hanya melihat Nala di sana dan tak melihat apapun yang lain. Cowok itu berpenampilan santai tapi rapi, membuatnya terpesona. Sejujurnya, dia tak bisa memperhatikan hal lain karena Nala yang belum resmi menolaknya, dan cowok itu semakin hari juga terlihat semakin gemerlapan di matanya."Dia bersama dengan wujud dari ingatannya sendiri!" Dalu menjawab.Mobil yang Dalu kendarai mendekati Nala, lalu berhenti persis di depan cowok itu. Begitu roda mobik berhenti bergerak secara resmi, Dalu melepas sabuk pengamannya lalu turun dari mobil dan meninggalkan pintu mobil dalam keadaan terbuka.Nala mendatangi adik dari mendiang ibunya itu, menyapanya lalu mencium tangannya dengan sangat sopan. Dalu membisikkan sesuatu kepada Nala, dan saat itulah Dayu disadarkan bahwa Dalu memiliki tubuh yang terbilang tinggi.Begitu kedu
"Bukankah manusia sangat sombong? Ya, kamu benar, kalian sangat sombong. Itu adalah apa yang membuat kalian dan kami menjadi mirip, tapi semakin lama aku pikir manusia menjadi lebih serakah dari makhluk apapun. Ketika mereka berpikir bisa memperbudak aku, maka aku akan menang melawan orang-orang semacam itu!" Danyang berucap.Dalu terkekeh."Benar, benar. Benar sekali. Maka bukankah kamu hanya akan perlu melihat siapakah yang lebih baik di antara kami dan mereka, sementara kamu hanya akan menerima keuntungannya?" Gadis itu seolah tengah membenarkan apa yang Danyang katakan, tapi dalam makna yang sebenarnya, dia masih mengajukan sebuah dorongan agar Danyang tidak ikut campur.Danyang menyeringai. Dengan penampilan dan rupa Nala, seringaiannya itu tidak nampak menyenangkan untuk diingat bagi Dayu, karena itu bisa merusak sosok Nala dalam kepalanya.Begitu Danyang mengibaskan tangannya, Dayu langsung kembali menyaksikan penampakan genteng-genteng yang berjejeran. Dalu yang ada di sebelah
"Siapa yang kamu maksud?" tanya Dayu.Dalu menoleh lalu tersenyum. Gadis itu melepas outer yang dia pakai dan menggantungnya dengan rapi, meletakkan tas kecil yang menggantung di bahunya, lalu kembali berjalan ke arah balkon."Orang yang sedang mencoba menyeret Danyang keluar dari tempat tinggalnya dan membawa makhluk itu ke dunia manusia ini. Orang itu memang kuat dan dia berpikir bahwa dirinya akan menjadi lebih kuat dengan memanfaatkan energi Danyang. Kesombongan manusia benar-benar melampaui jangkauan akal!" Dalu menjelaskan apa yang dia maksud kepada Dayu sambil terus berjalan sampai dia bisa berada di balkon.Dayu turut berjalan untuk menyusul Dalu. Dia berdiri di sebelah wanita itu, menghirup aroma parfumnya dengan jelas sampai kemudian dia bisa menghirup aroma bebungaan yang bercampuran."Apakah itu dia?" tanya Dalu.Dayu mengenyitkan dahi, memandang ke kanan dan ke kiri."Di bawah sana. Laki-laki yang sudah mati itu, apakah itu dia yang kamu maksud?" tanya Dalu lagi, memperte
Dayu melambaikan tangan kepada adik barunya yang begitu muncul sudah langsung berusia enam belas tahun itu sambil tersenyum lebar, begitu juga ketika bunda dan ayah melambaikan tangan kepada dirinya. Seharusnya, jika sesuai rencana, dia akan turut serta mengantar Dimas ke sekolahnya, tapi dia akhirnya memutuskan untuk tinggal.Dia punya hal lain yang harus dilakukan, dan Dimas membantunya untuk meyakinkan ayah serta bunda bahwa Dayu memang lebih baik tinggal dan tak turut bepergian jauh untuk mengantar. Apa lagi, sebenarnya ayah sendiri juga belum memiliki kembali keberanian untuk menyetir sendiri dalam jarak jauh, membuat mereka harus menyertakan seorang supir yang kebetulan direkomendasikan oleh pihak hotel.Satu hal yang baru Dayu tahu adalah hotel itu merupakan salah satu aset milik keluarga Nala. Hotel paling besar di pusat kabupaten yang sebenarnya tak terlalu ramai, dan mungkin tidak akan memberikan keuntungan yang besar. Akan tetapi, menurut cerita Nala semalam setrlah ditodon
Nala tersenyum, dia tidak mengatakan apapun tapi dia sedang menelepon. Dayu tak mengerti mengapa cowok itu berlaku demikian, tapi sepertinya dia hanya sedang menerima instruksi dari seseorang setelah mengatakan satu kalimat saja selain salam."Seperti yang sudah kamu katakan waktu itu!"Setelah kalimat itu, selama sepuluh menit, Nala hanya diam dan mendengarkan. Sesekali dia mengangguk-angguk atau menggeleng, kadang dia memandang ke arah Dayu atau Dimas lalu tersenyum.Setelah menyelesaikan panggilan telepon itu, Nala menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi. Dia, entah mengapa melirik ke arah kirinya yang kosong sebentar lalu memberikan tatapan dan semakin lama semakin menajam, sebelum kemudian dia kembali menoleh ke arah lain dan memberikan tatapan lembutnya, seolah dia baru saja mengungkapkan ketidaksukaannya pada sesuatu yang ada di sampingnya."Siapa yang baru saja kamu telepon?" tanya Dayu."Oh, tanteku. Dia adik paling muda dari mendiang mama!" Nala menjawab sambil menyunggin
Dayu dibangunkan oleh Dimas ketika baru memejamkan mata dan membuatnya terkesiap."Katanya, tidak baik jika kita tidur dalam pergantian antara terang dan gelap!" Dimas mengingatkan Dayu.Sebenarnya, Dayu tak tahu dari mana Dimas bisa mendapatkan ide itu, tapi dia rasa apa yang Dimas katakan ada benarnya. Apa lagi setelah mengalami kejadian buruk seperti tadi, Dayu mengingatkan dirinya untuk tidak segampang itu tertidur."Berapa lama lagi sampai kita akan pergi ke restoran dan bertemu Nala?" tanya Dayu."Dayu, kamu merindukan Nala?"Suara ayah yang bertanya membuat Dayu menoleh. Sejenak dia sempat terlupa bahwa dia sedang berada di kamar kedua orang tuanya, dan pasangan itu sedang berada di dekatnya.Mereka menonton bersama-sama, sebuah series komedi yang bukannya membuat Dayu tertawa, tapi justru mengantuk."Oh, bukan begitu. Hanya saja ada yang mau aku bicarakan dengan Nala ketika kami bertemu nanti!" jawab Dayu.Ayah dan bunda tersenyum."Dia calon dokter yang sering kita temui buka
Dayu tak bisa menyembunyikan keterkejutannya. Tubuhnya bergetar dan dia mundur tiga langkah ke belakang. Dimas sendiri tak terlihat baik-baik saja. Cowok itu segera berbalik badan dan terlihat sedikit panik. Bagaimanapun, dari kejahatan yang sudah Agus lakukan, Dimas adalah target utama penumbalannya.Dua kakak beradik yang disatukan lewat ikatan pernikahan kedua orang tua mereka itu segera saling tatap. Tanpa mengatakan apapun, Dayu segera menyambar gawainya dan berusaha untuk menelepon Nala, tapi cowok itu tak mengangkatnya.Dimas juga terlihat kecewa saat Dayu menggelengkan kepalanya. Berdua, mereka kembali mengendap-endap ke arah balkon dan kembali memandang ke arah di mana tadi mereka bisa melihat sosok Agus berdiri mengawasi."Oh, syukurlah!" Dayu melepas napas lega saat melihat bahwa sosok itu sudah tak ada lagi di sana."Kak, kamu juga melihat dia tadi 'kan?" tanya Dimas dengan suara bergetar.Dayu menganggukkan kepala. Dia masih sangat terkejut sampai tak bisa menghentikan la