Pagi sudah menyapa dan kini Ale sudah keluar dari kamar untuk mencari keberadaan Rainer. Ia berjalan menyusuri setiap sudut rumah ini dan Langkahnya terhenti saat ia menemukan pria itu sedang duduk di meja makan dengan tampilan yang sudah rapi sembari menghisap rokok seorang diri. Dengan ketika ia mendekat Rainer langsung membalikan badannya seolah tau jika ada seseorang yang berjalan di belakangnya.
Mata mereka bertemu dalam 1 garis lurus dan seketika sekelebat ingatan tentang percintaan panas mereka melintas di fikiran Ale dan hal itu membuat wajahnya merah padam. Ingin rasanya ia berlari menjauh tapi itu sungguh tak mungkin saat Rainer sudah mengulurkan tangannya untuk meminta Ale mendekat padanya.
"Selamat pagi Amor." Sapanya seraya menarik Ale untuk duduk dipangkuannya.
Tangan Rainer yang kini menyentuh lembut permukaan wajahnya dengan sorot mata yang tak berpindah sedikitpun darinya berhasil membuat jantung Ale berdetak seribu kali lebih kencang dan ia merasa semakin sering ia berdekatan dengan pria ini akan berbahaya untuk kesehatan jantungnya.
"Pelayan akan menyiapkan sarapan untuk kita, Tunggu sebentar." Ale hanya diam terpaku memandangi pemandangan indah didepannya ini. Pria yang suah menjadi suaminya secara tiba-tiba.
"Apakah masih sakit disana." Tanya Rainer sembari menunjuk di antara kedua paha Ale dengan dagunya.
Ale menggelengkan kepalanya lalu setelahnya ia menunduk malu akan pertanyaan yang di ajukan laki-laki itu dan Rainer yang melihat itu hanya tersenyum tipis mendapati wajah Ale yang memerah karena pertanyaanya. Hingga tak beberapa lama seorang pelayan datang dan mengatakan bahwa sarapan mereka telah siap.
Dan setelahnya mereka bangkit dengan Rainer yang masih menggenggam tangan Ale untuk mengikuti langkahnya menuju taman belakang rumah Rainer. Dan ketika sampai disana mata Ale seolah termanjakan oleh pemandangan taman yang begitu indah. dipenuhi dengan berbagai jenis bunga dengan kolam ikan di sudut taman. Rainer menarik kursi untuk Ale dan mempersilakannya untuk duduk lalu setelahnya ia duduk di kursi depan Ale.
"Aku tidak suka bercinta dengan kerangka jadi makanlah yang banyak." katanya sembari menyerahkan sepotong pinco de tortilla dan menuang jus kedalam gelas Ale.
Dan hal itu semakin membuat Ale semakin terkagum bagaimana untuk pertama kalinya dalam hidup ia di layani oleh laki-laki super tampan yang pernah ia temui.
"Harusnya aku yang melayanimu."
Rainer tersenyum tipis, "Tugasmu hanya melayaniku di atas ranjang, Amor."
Lalu setelahnya mereka hanya diam tanpa kata sembari menikmati sarapan mereka hingga akhir dan Rainer telah menyelesaikan sarapannya lalu menyandarkan tubuhnya sembari menatap Ale dengan tatapan yang sulit untuk didefinisikan.
"Travis akan mengantarmu pergi ke dokter setelah ini."
Ale mengernyitkan keningnya, "Aku tidak sakit."
"Aku tidak menginginkan adanya anak dalam pernikahan kita jadi pastikan kau harus menggunakan kontrasepsi."
Deg. Jantung Ale seperti terpukul oleh palu tak kasat mata. Berbagai fikiran buruk mulai berjalan-jalan dalam otaknya namun ia berusaha menampik itu semua. Tujuannya disini adalah menerima tawaran Rainer untuk membantu membalaskan dendamnya. Seharusnya ia tak boleh kecewa atau berkecil hati dengan pilihan Rainer yang tidak menginginkan anak dalam pernikahan mereka karena mulai saat ini ia telah menggadaikan tubuh dan hidupnya kepada seorang Rainer Gravilo.
"Aku mengerti." Jawab Ale patuh sembari menyelesaikan makanannya.
"Apa yang akan kau lakukan hari ini?." Tanya Rainer.
"Aku akan pergi ke Bakery setelah dari dokter. Aku harus menjalankan Bakrie kembali sembari menyusun rencana pembalasan."
Rainer menyilangkan kakinya sembari menyulut kembali rokoknya. Ia memperhatikan raut wajah Ale yang kini telah berubah menjadi lebih dingin. Ia faham dan tau betul bagaimana rasanya orang yang kita sayangi di rebut paksa oleh seseorang hingga hanya menyiksakan rasa sakit yang menjadi sebuah kenangan buruk yang sialnya selalu bercokol di dalam otaknya.
"Cukup temukan siapa pembunuh ibuku." Lanjut Ale berucap.
"Lalu setelahnya?."
"Biarkan aku yang menyelesaikan." Jawab Ale dingin dengan sorot mata tajam penuh dendam.
Rainer menghisap rokoknya lalu menghembuskan asapnya pelan, masih dengan fokus matanya yang tak pernah berpindah dari wajah cantik Ale. Dalam hatinya menghangat setelah sekian lama ia selalu menikmati sarapannya dalam kesendirian dan kini ia duduk di temani seseorang dengan status yang berbeda. Mungkin ini adalah hal tergila dalam hidupnya menarik Ale masuk dalam dunianya, tapi ia berjanji dengan nyawanya bahwa ia akan menjaga Ale dengan sebaik-baiknya.
"Berhenti memandangiku seperti itu Rainer." Ucap Ale yang merasa tak nyaman karena di tatap dengan begitu intens oleh laki-laki tersebut.
"Seperti apa aku memandangimu?."
"Penuh dengan kemesuman."
Dan jawaban itu mampu membuat Tawa kecil Rainer muncul dan semakin membuat jantung Ale berpacu kencang. Apakah separah ini efek senyuman Rainer kepadanya?. Jika iya ini sangat berbahaya untuk kelangsungan hidupnya. Bahkan dengan Davin yang sudah menjalin hubungan lama dengannya tidak pernah ia meraskan desiran aneh seperti yang ia rasakan kepada Rainer.
Iya mencoba menekan dalam-dalam perasaannya. Ia tak boleh melibatkan perasaan apapun kepada Rainer atau kepada laki-laki manapun karena ia tak ingin terluka kesekian kali karena cinta. Ia harus bisa melindungi dirinya sendiri dari rasa sakit karena mencintai seseorang.
"Kau boleh melakukan apapun diluar sana asalkan kau harus kembali kerumah ini sebelum aku pulang bekerja." Ucap Rainer sembari menekan putung rokoknya ke dalam ice tray lalu ia beranjak bangkit dari kursinya.
"Aku mengerti."
Rainer masih berdiri disamping Ale dengan tatapan yang terarah kepadanya. Ale mengernyit tak mengerti dengan tatapan itu. "Jadilah istri yang baik,setidaknya antar aku kedepan atau berikan aku sedikit ciuman perpisahan."
"Apakah harus?."
"Tentu saja, kau milikku, wanitaku, istriku sudah seharusnya kau memperlakukanku istimewa lebih dari siapapun."
Dan tanpa sengaja Ale memutar bola matanya jengah mendengar kata-kata yang meluncur dari bibir pria itu. "Baiklah." Ale bangkit, berjalan mendekat kepada Rainer lalu mengecup singkat pipinya. Dan hal itu membuat Rainer mengernyitkan keningnya seketika karena merasa apa yang ia dapatkan sangat jauh dari ekspetasinya.
"Apa lagi?."
"Biar aku memberitahu salah satu cara memuaskan suamimu." Lalu Rainer menarik tengkuk Ale dan menghisap dalam bibir ranum itu dalam. Ia menelesakkan lidahnya kedalam rongga mulut Ale. Mengabsen setiap sudut mulut wanita itu tanpa terlewatkan sedikitpun. Dan hal itu seketika berhasil menyulut gairah Ale karena dengan sama baiknya ia membalas ciuman Rainer dengan penuh hasrat. Hingga entah berapa lama ciuman itu berlangsung lalu dengan perasaan tak rela Rainer memilih untuk mengakhirinya, akan berbahaya jika ia bertahan disini karena jelas akan sulit baginya untuk menahan gairahnya jika sudah berdekatan dengan Ale.
Dan dengan penuh keterpaksaan ciuman panas itu di akhiri dengan kecupan lembut yang Rainer berikan di kening Ale. Disaat yang bersamaan relung hatinya menghangat mendapati ia di perlakukan dengan begitu manis. Mungkin ia akan kesulitan untuk menahan diri agar tidak terjatuh dalam pesona Rainer Gravilo. Dan ketika tatapan mereka bertemu dengan deru nafas Ale yang sudah mulai normal tanpa ia sadari mukanya yang sudah memerah karena terlalu terang-terangan menikmati ciuman diantara mereka.
"Travis sebentar lagi akan datang dan dia akan menjadi asistenmu mulai hari ini. Semoga harimu menyenangkan Amor." Lanjutnya berucap seraya beranjak pergi meninggalkan Ale dengan desiran aneh yang merongrong dalam hatinya.
Ale melangkah masuk ke kediamannya tepat pukul 3 sore. Setelah menyelesaikan urusannya di bakery lalu ia bertemu dengan dokter obgyn untuk membahas kontrasepsi apa yang akan ia gunakan selama pernikahannya dengan Rainer.. Ia menghela nafas pelan memasuki rumah tersebut tanpa salam atau sapaan ia melewati keluarga bahagia yang tengah menikmati kebersamaan sorenya mereka dengan penuh kebahagiaan.
"Kedatanganmu tidak diterima di tempat ini, jadi pergilah." Ale berucap tenang tapi penuh dengan aura yang begitu mencekam. Ia menatap tajam laki-laki yang beberapa hari yang lalu masih menjadi tunangannya dan detik ini menjadi salah satu manusia yang paling ia benci. Laki-laki itu mendekat, men
Rainer terlihat sangat menakutkan di mata Ale. Sorot matanya yang menggelap di lengkapi dengan aura dingin yang mengelilinginya. Pria itu memang jenis pria yang tak banyak bicara dan lebih suka bertindak sesuka kemauannya. Dan karena itu Ale masih belum bisa
"Sampai kapan kau akan mengurungku disini?." Tanya Ale setelah menyelesaikan sarapannya.Hukuman yang ia dapat dari Rainer bukan hanya melakukan seks maraton secara keras, tapi harus berla
Ale masuk kedala ruangan eksekusi diikuti dengan Paul di belakangnya. Langkah kakinya terhenti didepan sebuah meja dengan berbagai pistol di atasnya. Ia mengambil salah satu dari pistol-pistol tersebut dan membersihkan debu-debu yang menempel di senjata itu. Paul yang melihat hal itu merasakan bagaimana mengerikannya wanita didepannya ini tapi sialnya dengan wajah cantik bak dewi itu tak akan ada yang percaya bahwa seorang Taralle adalah wanita berdarah dingin yang siap meledakan siapa saja yang mengganggunya. "Jadi, katakan padaku apa yang kau dapatkan?." Tanyanya Ale. "Sebelum ibumu meninggal ia terlibat pertengkaran dengan nyonya Eleanor. Dan dari bukti cctv yang aku dapatkan nyonya Eleanor terlihat cukup sering berada disekitaran tempat ibumu tertembak selama kurang lebih 1 bulan." Dan ucapan itu seketika membuat Kemarahan Ale terlihat jelas dari bola mata wanita itu. Ia meletakan pistol yang sudah ia bersihkan dan beralih pada pistol
Ale duduk dengan tenang sembari menatap seorang laki-laki dan perempuan yang sedang berdebat didepannya. Tangan yang menyilang didepan dada dengan kaca mata yang bertengger indah di wajah cantinknya membuat ia terlihat sangat angkuh sekaligus mempesona disaat yang bersamaan. "Tuan Demetrio, aku ingin tempat ini di kosongkan dalam waktu 1 minggu." Ale berucap tenang, Menyela perdebatan diantara mereka sejenak. Lak-laki bernama Demetrio tersebut menatap Ale sejenak lalu setelahnya kembali menatap wanita didepannya. "Kau dengar Nona Fidel, pemilik baru tempat ini ingin kau mengosongkan tempat ini dalam waktu 1 minggu." Lanjutnya berucap dengan tegas. Ana menatap tak percaya laki-laki didepannya tersebut, bagaimana bisa laki-laki itu melakukan hal mengerikan seperti ini pada dirinya. Memutuskan kontrak sewa sesuka hati dan hanya memberikan waktu 1 minggu untuk mengosongkan tempat dimana butiknya berada. Bukankah hal ini terlalu kejam untuknya.
Ale menatap gedung tinggi didepannya. Pandangannya menyapu lalu lalang manusia disana, terlihat sekali kemegahan dan kejayaan Gravillo Group. Ia melangkah masuk menghampiri resepsionis, terlihat wanita berambung pirang dengan lipstik merah menyala menatapnya dengan tatapan yang sangat ia ketahui sebagai tatapan merendahkan. "Aku ingin bertemu dengan Rainer Gravillo." Ucap Ale dingin yang penuh akan aura intimindasi. "Apakah anda sudah membuat janji, Nona?." "Dilantai berapa ruangannya?." "Sekali lagi maaf Nona. Tuan Rainer bukan tipe orang yang suka di ganggu saat sedang bekerja." "Aku bertanya dimana ruangannya?." Ale bertnya kembali dengan sorot mata tajamnya. Resepsionis itu berdeham pelan, mencoba menghilangkan kegugupan akan tatapan yang Ale layangkan untuknya. Hingga di detik selanjutnya wanita itu melakukan panggilan dan memberitahukan bahwa ada wanita yang ingin menemui atasannya. "Na
Mahkamah Agung Spanyol telah resmi membuka penyelidikan tentang dugaan keterlibatan pengusaha muda Davino Carlos dalam kontrak proyek pembangunan gedung olahraga terbesar di Real Madrid. Diduga ia telah memberikan suap kepada anggota pemerintahan untuk mendapatkan proyek tersebut. Kini, pihak Mahkamah Agung sudah mengamankan beberapa saksi untuk melancarkan pemeriksaan. Ale bersenandung pelan sembari mendengarkan berita tentang Davin dari airpodnya. Tangannya yang tengah asyik membolak-balik daging yang sedang ia pangang untuk makan malamnya dan Rainer. Ia melirik jam sekilas yang sudah menunjukan pukul 7.15 tetapi laki-laki yang ia tunggu masih belum menampakan batang hidungnya. Tak jauh dari sana ternyata Rainer sudah bersandar pada dinding sembari memperhatikan tubuh indah Ale yang berdiri memunggunginya, bokong indahnya yang bergerak menggoda dengan senandung riang yang tak henti dari mulutnya. Dengan langk