Remo dan Jenar menarik koper di tangan masing-masing, mereka akan berangkat hari ini. Sekali lagi Jenar memeriksa segala yang mereka bawa. "Gak ada yang tinggal kan?" Dia bicara dengan dirinya sendiri.
"Gak ada, tenang aja." Remo menyahut.
Setelah menunggu beberapa menit di ruang tunggu, seseorang setengah berlari ke arah mereka, mata Jenar terbelalak mendapati yang datang adalah Jaka! Padahal beberapa hari lalu dia sudah berpamitan pula dengan orang-orang di kantor, tapi mau apa Jaka datang ke sini? Jenar berdesis di hatinya.
Sorot mata Remo seolah siap untuk menerkam Jaka. "Kenapa?" tanyanya dingin.
"Ada apa?" Jenar bertanya sopan.
"Cuma mau liat kamu terakhir kali," jawab Jaka pelan, namun sukses membakar hati Remo.
Sesaat Jenar menoleh pada Remo, matanya meminta agar Remo tetap tenang, toh ini hanya perpisahan biasa. "Ya, semoga suatu hari nanti kit
Berita tentang kejadian di Bandara sampai disiarkan di Amerika, tapi untungnya Remo dan Jenar bisa lolos tanpa dijerat masalah apa pun. Nana terbukti bersalah, namun dia tidak dijebloskan ke penjara sebab berdasarkan pengecekan yang dilakukan dokter kejiwaan, mental Nana tidak stabil dan dia mesti menjalani pengobatan dan terapi di rumah sakit jiwa. Pihak keluarga sempat menolak, tapi dibanding harus membiarkan anak mereka masuk penjara, terpaksa mereka setuju agar Nana mendapat pengobatan.Apartemen baru Remo dan Janer terletak di pusat kota, sementara restoran yang mereka beli ada di seberang jalan. Harapan untuk memulai hidup baru yang normal kian bersemi, syuting film Hollywood Remo yang pertama pun berjalan lancar sesuai ekspektasi.Nasib baik memang sedang berada di pihak mereka, bagaimana tidak, film Hollywood pertama Remo sukses ebsar, dan berhasil melambungkan namanya. Berkat film itu, dia berhasil mendapat peran untuk bermain
Jarum pendek jam dinding menunjuk angka lima. Jenar menutup laptopnya, lalu melepas kacamata anti radiasi yang selalu dia kenakan saat bekerja di depan perangkat komputer. Sudah waktunya pulang, pikirnya dengan hati riang. Gadis berusia 23 tahun itu hidup dengan cara sederhana dan juga dengan pola pikir yang sederhana. Baginya, hidupnya kini sudah sempurna, setidaknya hampir sempurna.Lulus dari fakultas akuntansi setahun yang lalu dengan tepat waktu, bekerja di sebuah perusahaan kecil delapan jam sehari, tinggal di sebuah kost yang dia dekorasi sendiri, libur di akhir pekan dan bisa bermalas-malasan seharian, semuanya sempurna. Jenar tak pernah merasa kekurangan lagi, meski orang-orang bilang hidupnya terlalu membosankan dan agak datar. Jenar tak peduli apa kata orang. Apa lagi, sejak sebulan yang lalu, untuk pertama kali dalam hidupnya, dia punya pacar.Pacarnya bekerja satu divisi dengannya, seorang senior bernama Jaka. Mereka mulai saling tertarik sejak beb
Jenar masuk ke dalam klub malam dengan gugup. Wajahnya melongo memandangi sekitar. Melebihi ekspektasinya, klub malam itu jauh lebih gemerlap dan mewah tampaknya. Klub malam itu berlantai dua, dengan panggung yang cukup besar. Lampu berwarna-warni berpendar di segala arah. DJ bermain musik dari atas panggung, lantai dasar adalah lantai dansa tempat orang-orang menari, dan ada juga bar. Sementara di lantai dua ada banyak sofa dan meja tempat para pengunjung bisa duduk menikmati musik atau hanya mengobrol.Seluruh klub malam itu disewa oleh Ratu untuk malam ini, semua tamu bisa meminum atau memesan makanan apa saja tanpa perlu khawatir dengan harganya, jelas sekali dia adalah putri orang kaya. Jenar sampai tak bisa membayangkan kenapa dia bisa emmiliki rekan kerja sekaya Ratu. Dia tak tahu latar belakang gadis cantik itu, tapi pastinya dia bukan berasal dari keluarga sembarangan.jenar kikuk berjalan berputar-putar di lantai dasar klub malam dengan mata yang tak
Kepala Jenar sakit luar biasa, cahaya matahari yang menembus jendela tepat mengenai matanya. Dia bergerak gelisah, rasanya seluruh tubuhnya terasa berat dan mukanya terasa membengkak. Jenar tak tahu dia sedang berbaring di atas tempat tidur siapa, tapi pastinya ini bukan tempat tidurnya, terasa berbeda, ini jauh lebih empuk dari tempat tidurnya di kamar kost.Jenar berbalik badan, mencoba membuka mata dan menatap langit-langit. Putih bersih, langit-langit kamar itu putih bersih. Jenar ingat kalau cat kamar kostnya seluruhnya berwarna biru langit. Jenar seketika langsung bangkit, dia lebih kaget lagi saat sadar tubuhnya hanya dibalut sebuah selimut. "Aku di mana?!" pekiknya panik sambil memegang rambutnya yang berantakan.Dia merasa ada yang aneh, ada yang tak biasa, ada yang berbeda di tubuhnya. Dia merasa bagian bawahnya terasa perih dan berbeda, dia tak pernah merasa seperti ini sebelumnya. Dia ingat semalam, dia minum bersama model tampan asing bernama Dean,
"Gue gak butuh tanggung jawab lu! Manusia monster!" Jenar memukul lengan Remo kuat-kuat. Dia masih belum tenang juga.Remo melongo melihat amukan Jenar yang tak main-main. Pikirannya jadi diimpit dua hal, dia merasa bersalah sekaligus merasa tak bersalah dalam waktu bersamaan. "Santai! Rileks ~! Udah kayak mau mati aja!" sahutnya mencoba menganggap remeh."Ya! Gue lebih baik mati ketimbang harus ngelakuin ini sama lu!" Air mata Jenar terus membanjiri pipinya.Rasa iba Remo jadi kian membumbung, rasa bersalahnya pada Jenar jadi makin tinggi. Biasanya hal seperti ini terjadi, para perempuan itu justru senang, baru kali ini ada perempuan yang secara mentah-mentah menolak dirinya. Dia tak bisa tinggal diam begitu saja. "Gue tau gue salah ... tapi gue akan tanggung jawab kalau terjadi apa-apa, gue gak akan meninggalkan lu gitu aja, rileks oke?" katanya pelan, matanya berkedip-kedip, menandakan tak enak hati pada Jenar."Apa kata Jaka nanti? Gue
"Ada apa, Nar? Cerita sama aku." Jaka duduk di depan TV tanpa ragu. Dia ingin tahu apa yang terjadi pada Jenar semalam hingga gadis itu tak bisa dia hubungi.Bibir Jenar menjadi lebih kering, dia gugup luar biasa. Tidak mungkin dia jujur pada Jaka soal yang terjadi padanya dan Remo. "Kamu kenapa? Duduk aja, kita ngobrol dulu." Jaka meminta Jenar untuk tetap bersikap tenang."Ya ... aku gak apa-apa, kok." Jenar duduk di hadapan Jaka, tapi dia agak terlalu jauh seolah sengaja ingin menghindar dari pacarnya itu."Kenapa? Baju aku bau?" tanya Jaka sambil menempelkan hidungnya ke ketiaknya. "Gak bau, kok!" katanya polos."Bu-Bukan gitu!" Jenar menggoyangkan kedua telapak tangannya."Terus apa?" tanya Jaka lagi."Ya, itu aku .... aku cuma agak kikuk aja. Maaf, ya." Jenar kehabisan kata-kata.Sikap Jenar yang tak pandai menutupi perasaannya malah membuat Jaka langsung bisa tahu kalau ada sesuatu yang dia tutupi.
Gara-gara Remo, hidup Jenar sekarang benar-benar kacau. Semuanya terasa berantakan. Jaka meminta mereka untuk berpisah sementara dengan alasan dia butuh waktu. Sementara di tempat kerja, Jenar tak bisa fokus sama sekali pada pekerjaannya, dia masih terus dihantui oleh Remo. Anehnya, dia malah kepikiran Remo terus. Seharusnya dia membenci pria itu setengah mati, bukannya malah terus-terusan memikirkannya. Semuanya jadi kacau balau.Jenar ingin menyalahkan Ratu, tapi bagaimana pun, Ratu tidak sepenuhnya salah, Jenar sendiri yang menerima tawaran minum dari Dean. Kini dia hidup dalam kebimbangan, impian untuk menikah dengan Jaka tampaknya juga akan kandas tanpa harapan. Mana mungkin pria baik-baik dari keluarga baik-baik seperti Jaka akan memaafkan dan menerima Jenar kembali.***"Jenar, ada yang nyariin lu tuh di bawah!" panggil seorang teman kerja Jenar.Jenar melongo, siapa yang ingin bertemu dengannya sekarang saat dia sedang sibuk bekerja.
Dean pura-pura tak mendengar apa yang dikatakan oleh Jenar. "Ayo keluar! Orang-orang udah nunggu kita!" Dean keluar dari mobilnya lebih dulu lalu menarik tangan Jenar."Ngapain juga orang-orang mesti nungguin gue?! Lu pergi sendiri aja sana!" tolak Jenar.Dalam aksi saling tarik-menarik itu, seorang perempuan cantik berpakaian sederhana melintas. "Dean? Kamu datang juga? Ayo cepat bergabung, kami lagi bakar daging!" Perempuan manis itu melirik pada Jenar yang masih berada di dalam mobil. "Kamu ngajak pacar kamu juga?" tanyanya jahil."Ha ha! Bukan! DiaJenar, diacuma temen," jawab Dean langsung menyangkal."Gue juga ogah jadi pacar lu! Jangan dekat-dekat!" Jenar mendorong Dean dengan sebal.Perempuan manis itu tampak kebingungan, dia tak tahu apa yang terjadi di antara Dean dan Jenar. "Ya udah, ayo join aja, semua udah pada nungguin tuh."Melihat sikap manis perempuan asing itu, Jenar akhirnya setuju untuk turun, dia merasa
Berita tentang kejadian di Bandara sampai disiarkan di Amerika, tapi untungnya Remo dan Jenar bisa lolos tanpa dijerat masalah apa pun. Nana terbukti bersalah, namun dia tidak dijebloskan ke penjara sebab berdasarkan pengecekan yang dilakukan dokter kejiwaan, mental Nana tidak stabil dan dia mesti menjalani pengobatan dan terapi di rumah sakit jiwa. Pihak keluarga sempat menolak, tapi dibanding harus membiarkan anak mereka masuk penjara, terpaksa mereka setuju agar Nana mendapat pengobatan.Apartemen baru Remo dan Janer terletak di pusat kota, sementara restoran yang mereka beli ada di seberang jalan. Harapan untuk memulai hidup baru yang normal kian bersemi, syuting film Hollywood Remo yang pertama pun berjalan lancar sesuai ekspektasi.Nasib baik memang sedang berada di pihak mereka, bagaimana tidak, film Hollywood pertama Remo sukses ebsar, dan berhasil melambungkan namanya. Berkat film itu, dia berhasil mendapat peran untuk bermain
Remo dan Jenar menarik koper di tangan masing-masing, mereka akan berangkat hari ini. Sekali lagi Jenar memeriksa segala yang mereka bawa. "Gak ada yang tinggal kan?" Dia bicara dengan dirinya sendiri."Gak ada, tenang aja." Remo menyahut.Setelah menunggu beberapa menit di ruang tunggu, seseorang setengah berlari ke arah mereka, mata Jenar terbelalak mendapati yang datang adalah Jaka! Padahal beberapa hari lalu dia sudah berpamitan pula dengan orang-orang di kantor, tapi mau apa Jaka datang ke sini? Jenar berdesis di hatinya.Sorot mata Remo seolah siap untuk menerkam Jaka. "Kenapa?" tanyanya dingin."Ada apa?" Jenar bertanya sopan."Cuma mau liat kamu terakhir kali," jawab Jaka pelan, namun sukses membakar hati Remo.Sesaat Jenar menoleh pada Remo, matanya meminta agar Remo tetap tenang, toh ini hanya perpisahan biasa. "Ya, semoga suatu hari nanti kit
Keputusan untuk pindah sudah bulat, semakin cepat lebih baik sebab akan ada waktu bagi Remo dan Jenar untuk mempersiapkan rumah baru, usaha, dan persiapan kelahiran anak pertama mereka tentunya. Rencana syuting film baru dibatalkan, dan Remo harus membayar sejumlah uang sebagai ganti rugi. Tak apa, pikirnya. Dia masih bisa mencari uang yang lebih banyak dari itu nantinya di Amerika. Namun, saat produser tahu bahwa Remo akan pindah ke Amerika, justru berita baik yang dia terima. Produser itu menawarinya film Hollywood, tapi sebagai pemeran pembantu tentunya, tawaran itu disambut positif, setidaknya sebelum usaha mereka nanti berjalan stabil.Sebelum berangkat, Remo dan Jenar lebih dulu menemui ayah dan ibu Jenar. Betapa girangnya mereka saat melihat perut Jenar kian membesar walau masih tak seberapa besar, membayangkan akan menggendong cucu saja sudah cukup membuat hati mereka berbunga.***"Jadi, kalian udah beli r
Remo tak bisa menahan dirinya, setidaknya untuk menunggu sampai dirinya dan Jenar duduk manis di sofa. Belum sampai pantatnya berada di atas sofa, mulutnya sudah mengoceh, "Dokter bilang kamu hamil, berhenti kerja dari kantor itu, sayang!""Kamu bisa kasih aku waktu gak? Minimal aku mau minum dulu, aku haus!" protes Jenar.Sebagai suami siaga dan cepat tanggap, Remo berdiri dan mengambil segelas air minum dari dapur. "Nih, silakan tuan puteri," katanya lembut."Mentang-mentang sekarang aku lagi hamil anak kamu, kamu mau memperlakukan aku kayak ratu?" cibir Jenar."Dimanjakan salah, entar gak dimanjakan juga salah!" gumam Remo mengomel.Jenar menenggak habis segelas air putih dingin itu. "Kalau memang kamu mau aku berhenti dari kantor aku, oke aku lakukan," katanya pelan.Roman muka langsung semringah seperti orang baru gajian, "Iya?! Makasih, sayang! Makasih!
Baru selangkah turun dari taksi yang mengantar sampai ke depan rumah, Jenar dan Remo kompak dikejutkan dengan kehadiran Nana di depan pagar."Baru pulang bulan madu ya, pasutri muda?" sapa Nana dengan senyum picik tersungging di sudut bibir."Lu mau ngapain ke sini? Besok-besok aja ngomongnya, kami baru nyampe, masih capek efek jetlag." Remo menyahut datar."Jetlag? Yelah, ke india doang pake acara jetlag!" Nana tertawa."Tau dari mana kami bulan madu ke india?" tanya Remo lagi. Namun, belum terjawab pertanyaannya itu, Jenar menyela,"Udah deh, Mo, ngapain sih kita ladeni dia? Aku capek banget nih! Ayo masuk, aku mau tidur!""Lu mau tidur ya tidur aja sendiri! Gue gak ada urusan sama lu, gue cuma punya urusan sama Remo!" sergah Nana."Udah ..., udah ..., ini kenapa malah ribut sih?" Remo segera menengahi sebelum perang dunia ketiga pecah
Kawanan burung beterbangan di atas langit yang tak seberapa cerah. Untuk Jenar yang pertama kali datang ke Taj Mahal tentu momen ini begitu menakjubkan baginya, tak cukup-cukup dia mengambil gambar sementara Remo memandangi sambil sesekali tertawa mengejek sikap Jenar yang terlihat begitu norak."Udah ambil fotonya, kamu diliatin orang tuh!" Remo menunjuk cowok-cowok lokal yang memandangi Jenar seperti memandang manusia berkepala tiga."Ayo ambil foto ala film india! Ayo, yang! Biar kayak pasangan romantis gitu!" pinta Jenar setengah merengek."Ogah ah, aku masih punya urat malu!" tolak Remo.Muka Jenar langsung cemberut. "Ayo lah ..., mumpung kita di sini!" Jenar menarik tangan Remo, akhirnya Remo menurut.Seorang pria lokal memotret keduanya dengan pose yang menurut Remo sangat menggelikan, namun petualangan mereka tak sampai di sana, kini beberapa cewek justru memandang
Sebuket bunga mawar merah yang wangi menyambut Jenar malam itu, sebuah kejutan manis telah disiapkan Remo untuknya saat dia kembali dari kantor. Bukan hanya sebuket bunga indah, tapi juga makan malam mewah yang disiapkan sendiri oleh Remo."Aku masak pasta, tapi kalau rasanya mengerikan, aku minta maaf, sayang." Remo mengecup tangan Jenar."Tumbenan banget, kamu lagi berbuat salah ya?" tuduh Jenar."No ... aku masih punya satu lagi kejutan, tapi kita habiskan dulu makan malam kita, oke?"Sudut mata Jenar bisa menemukan sebuah amplop di tepi meja, dia bisa menebak-nebak apa isinya tapi untuk sementara, dia tak akan membahasnya sampai Remo sendiri yang memberikan kepadanya. Dan untungnya, makan malam mereka berjalan lancar. Rasa pasta yang dibuat oleh Remo cukup nikmat ternyata, tak seburuk yang mereka kira."Jadi itu apa? Kejutan apa lagi yang kamu punya untuk aku? Hm?" Jenar bert
Tidak terhitung berapa kali Jenar memeriksa penampilannya di depan cermin besar di ruang rias. Hari ini akan sangat penting baginya, akan menjadi hari bersejarah. Wartawan-wartawan telah berkumpul di depan gedung sejak pagi, bahkan jauh sebelum acara resepsi pernikahan dimulai. Ayah dan ibu Jenar menolak untuk hadir. Selain karena sedang musim panen, mereka juga enggan untuk masuk media cetak ataupun elektronik. Jenar tahu betul risiko bila dia memperkenalkan orang tuanya kepada media, orang tuanya tidak akan bisa hidup sebagai "orang normal" lagi. Wartawan akan mengejar mereka demi rating, mengusik ketenangan dan hidup damai mereka.Tak yakin juga, apakah mama dan papa Remo akan datang, yang pasti rekan-rekan sesama selebriti yang diundang Remo pasti akan datang, termasuk Dean dan Nana.Remo yang telah mengenakan setelan jas berwarna putih mendekati Jenar yang gelisah. "Kamu udah siap? Kenapa muka kamu tegang banget?" tanyanya lembut.
Remo menghela napas lalu menarik tangan Jenar ke dalam dekapannya kemudian mengecup punggung tangannya dengan halus. "Kamu tenang aja, ada aku di sisi kamu. Aku paham tekanan kamu, tapi selama kita bareng, semua akan baik-baik aja.""Maaf ya, Mo. Kemarin aku kurang memahami dilema kamu, kamu pasti kesulitan karna ego aku, aku terlalu egois, aku terlalu mikirin diri sendiri. Padahal ..., pasti berat juga untuk kamu memilih.""Gak apa-apa, Sayang. Gak usah kita pikirin, kita liat aja masa depan bersama, hm?" Remo mengecup punggung tangan Jenar lagi. "Yuk kita lanjut makan lagi, habis itu kita tempur lagi!" katanya genit."Ish! Sumpah jijay!" Jenar melemparkan tisue tepat ke wajah Remo lalu mereka cengengesan bersama.***Hari berganti hari, minggu berganti minggu, tiba sampai menjelang hari H resepsi pernikahan Remo dan Jenar. Gedung sudah siap, tema pun telah ditentukan berikut dengan kater