Jenar masuk ke dalam klub malam dengan gugup. Wajahnya melongo memandangi sekitar. Melebihi ekspektasinya, klub malam itu jauh lebih gemerlap dan mewah tampaknya. Klub malam itu berlantai dua, dengan panggung yang cukup besar. Lampu berwarna-warni berpendar di segala arah. DJ bermain musik dari atas panggung, lantai dasar adalah lantai dansa tempat orang-orang menari, dan ada juga bar. Sementara di lantai dua ada banyak sofa dan meja tempat para pengunjung bisa duduk menikmati musik atau hanya mengobrol.
Seluruh klub malam itu disewa oleh Ratu untuk malam ini, semua tamu bisa meminum atau memesan makanan apa saja tanpa perlu khawatir dengan harganya, jelas sekali dia adalah putri orang kaya. Jenar sampai tak bisa membayangkan kenapa dia bisa emmiliki rekan kerja sekaya Ratu. Dia tak tahu latar belakang gadis cantik itu, tapi pastinya dia bukan berasal dari keluarga sembarangan.jenar kikuk berjalan berputar-putar di lantai dasar klub malam dengan mata yang tak fokus. Seluruh orang di sekitarnya tampak sibuk dengan kegiatan masing-masing, ada yang menari, ada yang minum, ada yang mengobrol, tak satu pun dari mereka memperhatikan keberadaan Jenar. Dia hanya berharap bisa menggali lubang di sana dan melarikan diri."Ha ... harusnya tadi aku ajak Angel ke sini, aku gak perlu kayak anak kesasar di sini," gumam jenar linglung.Angel adalah nama sahabatnya sejak kecil, cewek yang satu itu bekerja sebagai komikus, hidupnya tak jauh berbeda dari Jenar, bahkan waktunya lebih banyak dihabiskan di kamar untuk menggambar komik. Jenar mengedarkan pandangannya lagi, tak ada siapa pun yang dia kenal di antara kegelapan klub malam itu, sedang sang bintang utama alias Ratu belum terlihat batang hidungnya.Aroma parfum dari orang-orang di sekelilingnya begitu kuat, pakaian mereka juga terlihat sangat mewah dan elegan, jenar makin kehabisan kepercayaan diri. Dia memutuskan untuk menyingkir ke bagian sudut bar, dia memesan minuman tanpa alkohol. Meski canggung, dia menenggak minuman itu sedikit demi sedikit."Pertama kali ke pesta, ya?"Sebuah suara manis menyapa telinga Jenar, dia langsung menoleh ke samping, Jenar terkejut bukan main kala menemukan seorang pria berwajah super tampan duduk di sampingnya. Jenar nyaris tersedak ketika dia mempertajam pandangannya, sebab wajah pria tampan itu memang terlihat sangat familiar. Jenar mengingat-ingat, dia pernah melihatnya di televisi."Kamu bintang iklan ya? Kamu ..." Jenar bergumam.Pria itu tersenyum hangat lalu mengangguk pelan. "Ya, aku membintangi beberapa iklan, kamu tau aku siapa?" Pria setengah mabuk itu menunjuk wajahnya.Jenar menggeleng."Dia model papan atas, Dean!" Sang bartender yang sejak tadi diam-diam mendengar percakapan mereka ikut nimbrung.Mulut Jenar menganga, padahal dia tak tahu siapa yang dimaksud dengan "Dean", tapi dia memang pernah mendengar namanya."Wah, aku gak tau kalau Ratu punya temen selebriti," gumam Jenar lagi, makin mengagumi sosok Ratu.Namun, baru saja mencetuskan hal itu, Ratu masuk ke dalam klub malam dengan gaun mewahnya. Dia langsung menjadi pusat perhatian. Dan, dia tak sendirian, ada banyak orang-orang keren yang datang bersamanya, wajah-wajah mereka seperti tidak asing di mata Jenar.Jenar tak bisa berlama-lama, dia masih gugup ketika pemandu acara memulai pesta meriah itu. Potong kue sudah berlalu, kini sebagian besar tamu sibuk menari di lantai dansa. Ratu sendiri telah asyik duduk di singgasananya bersama teman-temannya yang tak kalah memesona.Jenar tak bisa pergi begitu saja, setidaknya dia harus memberikan kado yang dia bawa sejak tadi. Dia bertekad setelah memberi kado itu, dia akan langsung pulang. Jenar memberanikan diri untuk mendekati meja tempat Jenar duduk melingkar bersama teman-teman dekatnya."Ra-Ratu ..." panggil Jenar gugup, suara pelannya terhalangi dengan suara musik yang keras menggema.Jenar tak mau menyerah begitu saja, dia mencoba sekali lagi. "Ratu!" panggilnya. Ratu akhirnya menoleh padanya. Namun, bukan hanya Ratu, teman-teman keren Ratu juga menoleh padanya, mereka semua langsung memberi tatapan intimidasi pada Jenar."Ratu ... gak salah nih? Lu ngundang tikus got dari mana?" ejek seorang gadis angkuh yang sepertinya sudah setengah mabuk. Jenar tak mau menanggapi perkataan tajam itu sebab baginya meladeni orang mabuk sama bodohnya dengan menghadapi orang gila."Ratu, selamat ulang tahun ya, gue cuma mau ngasih kado aja, habis ini gue mau langsung balik. Gue datang karna lu ngundang gue, gue hargai kebaikan lu udah ngundang gue ke pesta ulang tahun lu." Jenar menyerahkan kado yang dia bawa.Entah karena efek minuman beralkohol, atau memang sengaja ingin menghina Jenar, sikap Ratu tak seperti di kantor tadi sore. Ratu justru tertawa terbahak-bahak. "Ya ... gue sengaja mengajak satu mainan ke sini!" kata Ratu, senang telah mengolok-olok Jenar.Mendengar kata-kata Ratu, hati Jenar langsung teriris. Dia tak berkata apa-apa, tapi meletakkan kotak kado di atas meja Ratu begitu saja. Ratu dan teman-temannya tertawa puas.Sial banget! Ngapain aku datang tadi kalau cuma buat kayak gini?! Buang-buang waktu aja! gerutu Jenar dalam hati. Sebelum Jenar sampai di pintu keluar, pria yang bernama Dean menarik tangannya. "Sudah mau pulang? Kok cepat banget? Ayo minum dulu, lupakan masalah kamu sebentar ..." ajaknya masih dengan gaya sedikit sempoyongan akibat efek minuman beralkohol.Jenar tak mengenal siapa Dean, dia baru beberapa menit yang lalu mengenal pria asing ini, tapi wajahnya yang polos sulit untuk ditolak. "Maaf, ya ... aku gak suka dengan pesta, aku harus pulang," tolak Jenar tak enak hati.Ekspresi Dean berubah makin kecewa, "Ya ... aku juga, aku terpaksa datang karna papanya Ratu itu pemilik agensi, temani aku minum, please?" Mata Dean tampak memelas.Oh rupanya papa Ratu pemilik agensi hiburan? Pantas aja, buset ... pasti konglomerat tuh cewek, batin Jenar terkesima. Sekarang dia mengerti kenapa ada banyak selebriti di pesta ini, Ratu pasti bergaul dengan mereka sudah lama. Lantaran kasihan dengan Dean, Jenar akhirnya duduk kembali di bar. Dean membuatnya meneguk beberapa gelas minuman beralkohol rendah, tak membuatnya mabuk berat.Suasana klub malam tiba-tiba berubah jadi panas ketika terjadi sebuah kegaduhan di lantai dansa. Dengan mata sayu akibat nyaris mabuk, Jenar memperhatikan sebuah pertengkaran di lantai dansa yang melibatkan seorang pria super tampan lainnya dan dua orang gadis yang terlihat sangat cantik."Itu Remo, kan?" tanya sang bartender pada Dean."Hm ...." Dean menggumam cuek.Jenar tak tahu siapa pria bernama Remo, tapi tampaknya pertengkaran itu dipicu oleh kecemburuan kekasihnya. Dua gadis itu saling menjambak rambut masing-masing, Jenar masih terus memperhatikan diam-diam, bahkan sampai kelopak matanya perlahan menutup. Samar-samar Jenar bisa mendengar ada suara yang memanggilnya, "Hei ... hei ..., kamu jangan tidur di sini, aku harus antar kamu ke mana? Oi ..."Namun, mata Jenar kalah, selanjutnya yang dia lihat hanya gelap.
Kepala Jenar sakit luar biasa, cahaya matahari yang menembus jendela tepat mengenai matanya. Dia bergerak gelisah, rasanya seluruh tubuhnya terasa berat dan mukanya terasa membengkak. Jenar tak tahu dia sedang berbaring di atas tempat tidur siapa, tapi pastinya ini bukan tempat tidurnya, terasa berbeda, ini jauh lebih empuk dari tempat tidurnya di kamar kost.Jenar berbalik badan, mencoba membuka mata dan menatap langit-langit. Putih bersih, langit-langit kamar itu putih bersih. Jenar ingat kalau cat kamar kostnya seluruhnya berwarna biru langit. Jenar seketika langsung bangkit, dia lebih kaget lagi saat sadar tubuhnya hanya dibalut sebuah selimut. "Aku di mana?!" pekiknya panik sambil memegang rambutnya yang berantakan.Dia merasa ada yang aneh, ada yang tak biasa, ada yang berbeda di tubuhnya. Dia merasa bagian bawahnya terasa perih dan berbeda, dia tak pernah merasa seperti ini sebelumnya. Dia ingat semalam, dia minum bersama model tampan asing bernama Dean,
"Gue gak butuh tanggung jawab lu! Manusia monster!" Jenar memukul lengan Remo kuat-kuat. Dia masih belum tenang juga.Remo melongo melihat amukan Jenar yang tak main-main. Pikirannya jadi diimpit dua hal, dia merasa bersalah sekaligus merasa tak bersalah dalam waktu bersamaan. "Santai! Rileks ~! Udah kayak mau mati aja!" sahutnya mencoba menganggap remeh."Ya! Gue lebih baik mati ketimbang harus ngelakuin ini sama lu!" Air mata Jenar terus membanjiri pipinya.Rasa iba Remo jadi kian membumbung, rasa bersalahnya pada Jenar jadi makin tinggi. Biasanya hal seperti ini terjadi, para perempuan itu justru senang, baru kali ini ada perempuan yang secara mentah-mentah menolak dirinya. Dia tak bisa tinggal diam begitu saja. "Gue tau gue salah ... tapi gue akan tanggung jawab kalau terjadi apa-apa, gue gak akan meninggalkan lu gitu aja, rileks oke?" katanya pelan, matanya berkedip-kedip, menandakan tak enak hati pada Jenar."Apa kata Jaka nanti? Gue
"Ada apa, Nar? Cerita sama aku." Jaka duduk di depan TV tanpa ragu. Dia ingin tahu apa yang terjadi pada Jenar semalam hingga gadis itu tak bisa dia hubungi.Bibir Jenar menjadi lebih kering, dia gugup luar biasa. Tidak mungkin dia jujur pada Jaka soal yang terjadi padanya dan Remo. "Kamu kenapa? Duduk aja, kita ngobrol dulu." Jaka meminta Jenar untuk tetap bersikap tenang."Ya ... aku gak apa-apa, kok." Jenar duduk di hadapan Jaka, tapi dia agak terlalu jauh seolah sengaja ingin menghindar dari pacarnya itu."Kenapa? Baju aku bau?" tanya Jaka sambil menempelkan hidungnya ke ketiaknya. "Gak bau, kok!" katanya polos."Bu-Bukan gitu!" Jenar menggoyangkan kedua telapak tangannya."Terus apa?" tanya Jaka lagi."Ya, itu aku .... aku cuma agak kikuk aja. Maaf, ya." Jenar kehabisan kata-kata.Sikap Jenar yang tak pandai menutupi perasaannya malah membuat Jaka langsung bisa tahu kalau ada sesuatu yang dia tutupi.
Gara-gara Remo, hidup Jenar sekarang benar-benar kacau. Semuanya terasa berantakan. Jaka meminta mereka untuk berpisah sementara dengan alasan dia butuh waktu. Sementara di tempat kerja, Jenar tak bisa fokus sama sekali pada pekerjaannya, dia masih terus dihantui oleh Remo. Anehnya, dia malah kepikiran Remo terus. Seharusnya dia membenci pria itu setengah mati, bukannya malah terus-terusan memikirkannya. Semuanya jadi kacau balau.Jenar ingin menyalahkan Ratu, tapi bagaimana pun, Ratu tidak sepenuhnya salah, Jenar sendiri yang menerima tawaran minum dari Dean. Kini dia hidup dalam kebimbangan, impian untuk menikah dengan Jaka tampaknya juga akan kandas tanpa harapan. Mana mungkin pria baik-baik dari keluarga baik-baik seperti Jaka akan memaafkan dan menerima Jenar kembali.***"Jenar, ada yang nyariin lu tuh di bawah!" panggil seorang teman kerja Jenar.Jenar melongo, siapa yang ingin bertemu dengannya sekarang saat dia sedang sibuk bekerja.
Dean pura-pura tak mendengar apa yang dikatakan oleh Jenar. "Ayo keluar! Orang-orang udah nunggu kita!" Dean keluar dari mobilnya lebih dulu lalu menarik tangan Jenar."Ngapain juga orang-orang mesti nungguin gue?! Lu pergi sendiri aja sana!" tolak Jenar.Dalam aksi saling tarik-menarik itu, seorang perempuan cantik berpakaian sederhana melintas. "Dean? Kamu datang juga? Ayo cepat bergabung, kami lagi bakar daging!" Perempuan manis itu melirik pada Jenar yang masih berada di dalam mobil. "Kamu ngajak pacar kamu juga?" tanyanya jahil."Ha ha! Bukan! DiaJenar, diacuma temen," jawab Dean langsung menyangkal."Gue juga ogah jadi pacar lu! Jangan dekat-dekat!" Jenar mendorong Dean dengan sebal.Perempuan manis itu tampak kebingungan, dia tak tahu apa yang terjadi di antara Dean dan Jenar. "Ya udah, ayo join aja, semua udah pada nungguin tuh."Melihat sikap manis perempuan asing itu, Jenar akhirnya setuju untuk turun, dia merasa
"Gak usah sok ngegombal, deh!" Muka Jenar masih berlipat-lipat.Remo mengangguk sekadarnya, tak menanggapi kejudesan Jenar. Kalau terus diopeni, bisa-bisa mereka akan terjebak dalam aksi saling oceh tiada henti."Lu ngapain sih bawa gue ke sini?" tanya Jenar mengikuti langkah Remo masuk ke dalam sebuah kafe bernuansa kayu nan hangat."Gak ada, aku tau kamu gak sibuk, dan jarang keluar rumah, makanya aku berinisiatif. Harusnya kamu bersyukur." Jawaban Remo malah terdengar seperti sebuah hinaan.Kali ini Jenar yang mengalah untuk tak menyahut lagi. Remo membukakan kursi dari meja untuk Jenar. Tak bisa ditutupi lagi, pipi Jenar merona merah."Tau tadi mau ke tempat kayak gini, aku bakal ganti baju dulu," bisik Jenar."Kamu mau pake baju yang seksi?" goda Remo."Pikiran kamu itu isinya emang cuma itu ya?" damprat Jenar. Remo hanya tertawa seraya melepas jaketnya."Kalau aku bi
Seolah ingatannya telah kembali pulih, Jenar teringat pada kejadian beberapa waktu lalu di rumah Remo, rupanya pria mata keranjang ini masih sama. Dia akan melakukan apa saja untuk mendapat apa yang dia mau."Padahal waktu itu aja lu ngejek badan gue! Sekarang mendadak nyanjung-nyanjung gue!" Jenar mendorong Remo dengan tegas untuk kali ini. Dia menolak terbuai pada bujuk rayu si buaya darat itu. Jelas sekali Remo hanya ingin memanfaatkannya. "Kalau lu gak mau antar gue pulang, ya udah gue pulang naik taksi."Remo menghela napas panjang. "Keras kepala banget sih," katanya sambil menggaruk kepalanya yang tak gatal. "Ya udah, ayo aku antar pulang." Walau keinginannya tak bisa dia lancarkan, dia tetap bersikap manis pada Jenar. Apa boleh buat, pikirnya, rencananya untuk membius Jenar lagi sepertinya akan gagal malam ini.***Remo menginjak rem saat sampai di depan gedung kost tempat tinggal Jenar. "Kamu tinggal di sini?" tanya Remo sambil ikut turun dari mob
Pipi Jenar bersemu merah mendengar pertanyaan nakal dari Remo barusan. "Kamu jangan menggoda aku, nanti aku berubah pikiran nih!" ancamnya malu-malu.Remo tersenyum jahil seraya mengarahkan miliknya pada milik Jenar yang telah menanti sejak tadi.Sebelum Remo melakukannya, Jenar sesaat menahan dada pria tampan itu. Dia mengulum bibirnya sesaat. "Kamu ..., janji gak akan meninggalkan aku, kan?" tanya Jenar akhirnya menyerah. Tak guna baginya menolak Remo, toh kalau dipikir-pikir, Remo sangat memesona, tak ada yang kurang darinya. Berpacaran dengan pria seperti Remo seharusnya adalah sebuah karunia bukannya musibah.Remo menatap sendu kedua manik Jenar yang sayu. "Kamu takut? Kamu takut aku akan mencampakkan kamu kayak mantan kamu yang buruk rupa itu?" Sekali lagi dia bertanya usil."Ish! serius dikit, dong! Kenapa malah ngebahas Jaka, sih?" Jenar jadi teringat pada mantannya yang menyebalkan itu. Dia masi
Berita tentang kejadian di Bandara sampai disiarkan di Amerika, tapi untungnya Remo dan Jenar bisa lolos tanpa dijerat masalah apa pun. Nana terbukti bersalah, namun dia tidak dijebloskan ke penjara sebab berdasarkan pengecekan yang dilakukan dokter kejiwaan, mental Nana tidak stabil dan dia mesti menjalani pengobatan dan terapi di rumah sakit jiwa. Pihak keluarga sempat menolak, tapi dibanding harus membiarkan anak mereka masuk penjara, terpaksa mereka setuju agar Nana mendapat pengobatan.Apartemen baru Remo dan Janer terletak di pusat kota, sementara restoran yang mereka beli ada di seberang jalan. Harapan untuk memulai hidup baru yang normal kian bersemi, syuting film Hollywood Remo yang pertama pun berjalan lancar sesuai ekspektasi.Nasib baik memang sedang berada di pihak mereka, bagaimana tidak, film Hollywood pertama Remo sukses ebsar, dan berhasil melambungkan namanya. Berkat film itu, dia berhasil mendapat peran untuk bermain
Remo dan Jenar menarik koper di tangan masing-masing, mereka akan berangkat hari ini. Sekali lagi Jenar memeriksa segala yang mereka bawa. "Gak ada yang tinggal kan?" Dia bicara dengan dirinya sendiri."Gak ada, tenang aja." Remo menyahut.Setelah menunggu beberapa menit di ruang tunggu, seseorang setengah berlari ke arah mereka, mata Jenar terbelalak mendapati yang datang adalah Jaka! Padahal beberapa hari lalu dia sudah berpamitan pula dengan orang-orang di kantor, tapi mau apa Jaka datang ke sini? Jenar berdesis di hatinya.Sorot mata Remo seolah siap untuk menerkam Jaka. "Kenapa?" tanyanya dingin."Ada apa?" Jenar bertanya sopan."Cuma mau liat kamu terakhir kali," jawab Jaka pelan, namun sukses membakar hati Remo.Sesaat Jenar menoleh pada Remo, matanya meminta agar Remo tetap tenang, toh ini hanya perpisahan biasa. "Ya, semoga suatu hari nanti kit
Keputusan untuk pindah sudah bulat, semakin cepat lebih baik sebab akan ada waktu bagi Remo dan Jenar untuk mempersiapkan rumah baru, usaha, dan persiapan kelahiran anak pertama mereka tentunya. Rencana syuting film baru dibatalkan, dan Remo harus membayar sejumlah uang sebagai ganti rugi. Tak apa, pikirnya. Dia masih bisa mencari uang yang lebih banyak dari itu nantinya di Amerika. Namun, saat produser tahu bahwa Remo akan pindah ke Amerika, justru berita baik yang dia terima. Produser itu menawarinya film Hollywood, tapi sebagai pemeran pembantu tentunya, tawaran itu disambut positif, setidaknya sebelum usaha mereka nanti berjalan stabil.Sebelum berangkat, Remo dan Jenar lebih dulu menemui ayah dan ibu Jenar. Betapa girangnya mereka saat melihat perut Jenar kian membesar walau masih tak seberapa besar, membayangkan akan menggendong cucu saja sudah cukup membuat hati mereka berbunga.***"Jadi, kalian udah beli r
Remo tak bisa menahan dirinya, setidaknya untuk menunggu sampai dirinya dan Jenar duduk manis di sofa. Belum sampai pantatnya berada di atas sofa, mulutnya sudah mengoceh, "Dokter bilang kamu hamil, berhenti kerja dari kantor itu, sayang!""Kamu bisa kasih aku waktu gak? Minimal aku mau minum dulu, aku haus!" protes Jenar.Sebagai suami siaga dan cepat tanggap, Remo berdiri dan mengambil segelas air minum dari dapur. "Nih, silakan tuan puteri," katanya lembut."Mentang-mentang sekarang aku lagi hamil anak kamu, kamu mau memperlakukan aku kayak ratu?" cibir Jenar."Dimanjakan salah, entar gak dimanjakan juga salah!" gumam Remo mengomel.Jenar menenggak habis segelas air putih dingin itu. "Kalau memang kamu mau aku berhenti dari kantor aku, oke aku lakukan," katanya pelan.Roman muka langsung semringah seperti orang baru gajian, "Iya?! Makasih, sayang! Makasih!
Baru selangkah turun dari taksi yang mengantar sampai ke depan rumah, Jenar dan Remo kompak dikejutkan dengan kehadiran Nana di depan pagar."Baru pulang bulan madu ya, pasutri muda?" sapa Nana dengan senyum picik tersungging di sudut bibir."Lu mau ngapain ke sini? Besok-besok aja ngomongnya, kami baru nyampe, masih capek efek jetlag." Remo menyahut datar."Jetlag? Yelah, ke india doang pake acara jetlag!" Nana tertawa."Tau dari mana kami bulan madu ke india?" tanya Remo lagi. Namun, belum terjawab pertanyaannya itu, Jenar menyela,"Udah deh, Mo, ngapain sih kita ladeni dia? Aku capek banget nih! Ayo masuk, aku mau tidur!""Lu mau tidur ya tidur aja sendiri! Gue gak ada urusan sama lu, gue cuma punya urusan sama Remo!" sergah Nana."Udah ..., udah ..., ini kenapa malah ribut sih?" Remo segera menengahi sebelum perang dunia ketiga pecah
Kawanan burung beterbangan di atas langit yang tak seberapa cerah. Untuk Jenar yang pertama kali datang ke Taj Mahal tentu momen ini begitu menakjubkan baginya, tak cukup-cukup dia mengambil gambar sementara Remo memandangi sambil sesekali tertawa mengejek sikap Jenar yang terlihat begitu norak."Udah ambil fotonya, kamu diliatin orang tuh!" Remo menunjuk cowok-cowok lokal yang memandangi Jenar seperti memandang manusia berkepala tiga."Ayo ambil foto ala film india! Ayo, yang! Biar kayak pasangan romantis gitu!" pinta Jenar setengah merengek."Ogah ah, aku masih punya urat malu!" tolak Remo.Muka Jenar langsung cemberut. "Ayo lah ..., mumpung kita di sini!" Jenar menarik tangan Remo, akhirnya Remo menurut.Seorang pria lokal memotret keduanya dengan pose yang menurut Remo sangat menggelikan, namun petualangan mereka tak sampai di sana, kini beberapa cewek justru memandang
Sebuket bunga mawar merah yang wangi menyambut Jenar malam itu, sebuah kejutan manis telah disiapkan Remo untuknya saat dia kembali dari kantor. Bukan hanya sebuket bunga indah, tapi juga makan malam mewah yang disiapkan sendiri oleh Remo."Aku masak pasta, tapi kalau rasanya mengerikan, aku minta maaf, sayang." Remo mengecup tangan Jenar."Tumbenan banget, kamu lagi berbuat salah ya?" tuduh Jenar."No ... aku masih punya satu lagi kejutan, tapi kita habiskan dulu makan malam kita, oke?"Sudut mata Jenar bisa menemukan sebuah amplop di tepi meja, dia bisa menebak-nebak apa isinya tapi untuk sementara, dia tak akan membahasnya sampai Remo sendiri yang memberikan kepadanya. Dan untungnya, makan malam mereka berjalan lancar. Rasa pasta yang dibuat oleh Remo cukup nikmat ternyata, tak seburuk yang mereka kira."Jadi itu apa? Kejutan apa lagi yang kamu punya untuk aku? Hm?" Jenar bert
Tidak terhitung berapa kali Jenar memeriksa penampilannya di depan cermin besar di ruang rias. Hari ini akan sangat penting baginya, akan menjadi hari bersejarah. Wartawan-wartawan telah berkumpul di depan gedung sejak pagi, bahkan jauh sebelum acara resepsi pernikahan dimulai. Ayah dan ibu Jenar menolak untuk hadir. Selain karena sedang musim panen, mereka juga enggan untuk masuk media cetak ataupun elektronik. Jenar tahu betul risiko bila dia memperkenalkan orang tuanya kepada media, orang tuanya tidak akan bisa hidup sebagai "orang normal" lagi. Wartawan akan mengejar mereka demi rating, mengusik ketenangan dan hidup damai mereka.Tak yakin juga, apakah mama dan papa Remo akan datang, yang pasti rekan-rekan sesama selebriti yang diundang Remo pasti akan datang, termasuk Dean dan Nana.Remo yang telah mengenakan setelan jas berwarna putih mendekati Jenar yang gelisah. "Kamu udah siap? Kenapa muka kamu tegang banget?" tanyanya lembut.
Remo menghela napas lalu menarik tangan Jenar ke dalam dekapannya kemudian mengecup punggung tangannya dengan halus. "Kamu tenang aja, ada aku di sisi kamu. Aku paham tekanan kamu, tapi selama kita bareng, semua akan baik-baik aja.""Maaf ya, Mo. Kemarin aku kurang memahami dilema kamu, kamu pasti kesulitan karna ego aku, aku terlalu egois, aku terlalu mikirin diri sendiri. Padahal ..., pasti berat juga untuk kamu memilih.""Gak apa-apa, Sayang. Gak usah kita pikirin, kita liat aja masa depan bersama, hm?" Remo mengecup punggung tangan Jenar lagi. "Yuk kita lanjut makan lagi, habis itu kita tempur lagi!" katanya genit."Ish! Sumpah jijay!" Jenar melemparkan tisue tepat ke wajah Remo lalu mereka cengengesan bersama.***Hari berganti hari, minggu berganti minggu, tiba sampai menjelang hari H resepsi pernikahan Remo dan Jenar. Gedung sudah siap, tema pun telah ditentukan berikut dengan kater