"Gue gak butuh tanggung jawab lu! Manusia monster!" Jenar memukul lengan Remo kuat-kuat. Dia masih belum tenang juga.
Remo melongo melihat amukan Jenar yang tak main-main. Pikirannya jadi diimpit dua hal, dia merasa bersalah sekaligus merasa tak bersalah dalam waktu bersamaan. "Santai! Rileks ~! Udah kayak mau mati aja!" sahutnya mencoba menganggap remeh."Ya! Gue lebih baik mati ketimbang harus ngelakuin ini sama lu!" Air mata Jenar terus membanjiri pipinya.Rasa iba Remo jadi kian membumbung, rasa bersalahnya pada Jenar jadi makin tinggi. Biasanya hal seperti ini terjadi, para perempuan itu justru senang, baru kali ini ada perempuan yang secara mentah-mentah menolak dirinya. Dia tak bisa tinggal diam begitu saja. "Gue tau gue salah ... tapi gue akan tanggung jawab kalau terjadi apa-apa, gue gak akan meninggalkan lu gitu aja, rileks oke?" katanya pelan, matanya berkedip-kedip, menandakan tak enak hati pada Jenar."Apa kata Jaka nanti? Gue harus bilang apa ke Jaka?" isak Jenar sembari menyeka air matanya.Remo berusaha untuk menggapai Jenar dan nemeluknya, tapi Jenar langsung menepisnya cepat. "Minggir! Jangan berani-berani lu megang gue!" bentak Jenar galak.Remo menelan air ludahnya kasar, dia cukup takut pula melihat Jenar mengamuk. "Ya udah ... lu ganti baju aja dulu, kita sarapan, terus gue antar pulang gimana?" tawar Remo masih berusaha bersikap baik."Gak butuh! Gue bisa pulang sendiri! Lu keluar dulu! Gue mau pake baju!" teriak Jenar bersikap seolah berada di dalam rumah sendiri.Meski Remo mulai kesal, tapi dia turuti permintaan Jenar. Pria muda itu keluar dari kamarnya sebentar, membiarkan Jenar memakai pakaiannya di kamar sendirian saja.***"Yakin gak mau diantar?" tanya Remo setelah Jenar keluar dari kamar dengan pakaian lengkap di tubuh rampingnya."Ogah!!!" teriak Jenar sembari mengambil langkah panjang untuk keluar.Namun, tiba-tiba tangan Remo menyambar tangan kanan Jenar dan memutarnya cepat sampai tubuh Jenar nyaris terpeleset, untung Remo dengan sigap menangkapnya. "Apaan sih?! Minggir!" Jenar diserang berbagai perasaan, dia marah tapi dia juga tersipu malu, bahkan Jaka saja tidak pernah memperlakukannya seperti ini. Hubungannya dengan Jaka sangat kaku."Tunggu, jangan pergi begitu aja! Minimal kamu harus meninggalkan nomor kamu, yang bisa aku hubungi! Kita jangan sampe terputus kontak gitu aja!" pinta Remo memaksa.Jenar berusaha melepaskan diri, tapi Remo benar-benar memegangnya kuat, sampai pergelangan tangan Jenar tampak merah. "Gue gak mau berurusan lagi sama lu! Cepat lepasin gue!" teriak Jenar.Remo menyudutkan punggung Jenar di dinding rumahnya. "Gue gak akan lepasin lu sebelum lu kasih nomor lu ke gue! Kita harus tetap berhubungan, jangan bikin gue kayak penjahat!" teriak Remo tak mau mengalah.Dengan bersikap seperti itu justru Remo makin terlihat seperti seorang kriminal. Jenar sangat frustrasi melihat tingkah Remo. "Kenapa lu malah kayak terobsesi sama gue sih?" gerutu Jenar."Jangan ge-er! Gue cuma gak mau merasa bersalah, lagian bisa aja lu nuntut ke pengadilan dan bikin masalah, gue gak akan biarin itu terjadi!" Remo memberi alasan.Jenar tak bisa lagi menolak, dia terpaksa memberi nomor whatsapp-nya pada Remo. "Sekarang minta alamat!" paksa Remo seolah tak mau melepas Jenar begitu saja. Jenar bagaikan seekor ikan besar yang dia pancing, dan sedang mati-matian menarik tali pancing agar ikan besar itu tak lolos darinya."Alamat? Buat apa?!" Mata Jenar melotot."Lu bisa aja blokir gue nanti, atau ganti nomor! Minta alamat sekarang!" desak Remo.Jenar menghela napas berat, kenapa pula dia harus berurusan dengan pria aneh seperti Remo. Pria ini sudah mengubah hidupnya dalam semalam, dia menyentuhnya tanpa seizinnya tadi malam, lalu dia juga telah menghina tubuhnya tadi, dan sekarang dia malah memaksa tetap berhubungan, seolah ada yang salah dengan otaknya. Dia melakukan apa yang dia mau, dia pria tipe yang selalu melakukan apa yang dia suka, tak peduli apa kata orang lain, tak peduli bagaimana perasaan orang lain, dia seenaknya.Setelah menyelesaikan segala urusan dengan Remo, Jenar akhirnya benar-benar bisa pulang dengan naik taksi. Saat sampai di kamar kostnya, kaki Jenar langsung terjatuh dengan lemas, dia masih tak percaya dengan apa yang semalam terjadi. Bentuk tubuh tegap Remo dan wajahnya yang tampan dan mulus masih menghantui pikiran Jenar.Jenar berusaha untuk melupakan soal itu dulu, dia terlalu lapar sekarang. Gadis manis itu menyalakan kompornya, dia akan memasak mi instan, dia tak punya tenaga untuk memasak lauk pauk sekarang.***Jenar duduk di lantai kostnya dengan semangkuk mi instan di hadapannya, dia nyalakan TV kecil agar tak terlalu merasa sepi. Pikirannya tak bisa fokus, bayangan soal Remo masih terus mengisi kepalanya."Si brengsek itu!!!" Jenar mengumpat sambil mengunyah mi instannya yang tak terasa lezat saat ini.Mata Jenar kembali ke layar TV, dan kebetulan saat itu muncul sebuah iklan mobil mewah. Dan, sialnya, bintang iklan mobil mewah bermerek ternama itu adalah Remo! Jenar langsung memejamkan matanya saking kesalnya dia, pria ini muncul lagi bahkan saat dia di rumah. Remo terlihat sangat keren di TV, dia memakai setelan hitam dan juga jam tangan mahal. Jenar bisa melihat jelas wajahnya sekarang, tak diragukan memang pesona pria itu. Dia mengingatkannya pada aktor keren dari negeri ginseng Korea Selatan, Remo memiliki mata sendu yang tajam, matanya punya pesona yang paling kuat, sanggup mengiris hati perempuan mana saja."Sial, kenapa dia harus seganteng ini?" gerutu Jenar seraya mengganti channel.Jenar nyaris tersedak ketika di channel yang baru dia putar pun, muncul kembali Remo. Ada promo dari film baru yang dia bintangi, dia berperan sebagai pria penyakitan, wajah pucatnya membuat jantung Jenar makin berdebar, tapi dia masih jengkel. "Kenapa dia kayak hantu di mana-mana?!" gerutu Jenar sambil mematikan TV-nya.Bisa-bisa Jenar harus berhenti menonton TV kalau begini, dia tak mau melihat wajah Remo lagi. Sudah cukup pria itu mengusik hidupnya. Remo adalah bintang papan atas, hampir di seluruh channel dia akan muncul, minimal ada iklan yang dia bintangi. Jenar kehabisan kata-kata sekarang.***TOK TOK TOKTepat saat Jenar sedang mencuci mangkuk kotornya, ada seseorang yang mengetuk pintu kamar kost. Jenar membuka cepat-cepat, matanya melebar saat menemukan Jaka di hadapannya. "Kamu gak angkat telepon aku semalam?! Kamu di mana aja?! Gak pulang semalam dari pesta Ratu?!" Jaka langsung menghujaninya dengan pertanyaan tak berujung."Ma-Masuk dulu ... kita ngomong di dalam ...." Jenar mempersilakan Jaka untuk masuk, dia terasa sangat gugup, bayangan soal yang terjadi dengan Remo berputar bagai kaset usang di kepalanya."Kamu keliatan aneh, ada apa? Terjadi sesuatu?" tanya Jaka setelah dia duduk di lantai."Bentar, aku buatkan teh dulu, ya." Jenar tak langsung menjawab pertanyaan Jaka.***"Ada apa, Nar? Cerita sama aku." Jaka duduk di depan TV tanpa ragu. Dia ingin tahu apa yang terjadi pada Jenar semalam hingga gadis itu tak bisa dia hubungi.Bibir Jenar menjadi lebih kering, dia gugup luar biasa. Tidak mungkin dia jujur pada Jaka soal yang terjadi padanya dan Remo. "Kamu kenapa? Duduk aja, kita ngobrol dulu." Jaka meminta Jenar untuk tetap bersikap tenang."Ya ... aku gak apa-apa, kok." Jenar duduk di hadapan Jaka, tapi dia agak terlalu jauh seolah sengaja ingin menghindar dari pacarnya itu."Kenapa? Baju aku bau?" tanya Jaka sambil menempelkan hidungnya ke ketiaknya. "Gak bau, kok!" katanya polos."Bu-Bukan gitu!" Jenar menggoyangkan kedua telapak tangannya."Terus apa?" tanya Jaka lagi."Ya, itu aku .... aku cuma agak kikuk aja. Maaf, ya." Jenar kehabisan kata-kata.Sikap Jenar yang tak pandai menutupi perasaannya malah membuat Jaka langsung bisa tahu kalau ada sesuatu yang dia tutupi.
Gara-gara Remo, hidup Jenar sekarang benar-benar kacau. Semuanya terasa berantakan. Jaka meminta mereka untuk berpisah sementara dengan alasan dia butuh waktu. Sementara di tempat kerja, Jenar tak bisa fokus sama sekali pada pekerjaannya, dia masih terus dihantui oleh Remo. Anehnya, dia malah kepikiran Remo terus. Seharusnya dia membenci pria itu setengah mati, bukannya malah terus-terusan memikirkannya. Semuanya jadi kacau balau.Jenar ingin menyalahkan Ratu, tapi bagaimana pun, Ratu tidak sepenuhnya salah, Jenar sendiri yang menerima tawaran minum dari Dean. Kini dia hidup dalam kebimbangan, impian untuk menikah dengan Jaka tampaknya juga akan kandas tanpa harapan. Mana mungkin pria baik-baik dari keluarga baik-baik seperti Jaka akan memaafkan dan menerima Jenar kembali.***"Jenar, ada yang nyariin lu tuh di bawah!" panggil seorang teman kerja Jenar.Jenar melongo, siapa yang ingin bertemu dengannya sekarang saat dia sedang sibuk bekerja.
Dean pura-pura tak mendengar apa yang dikatakan oleh Jenar. "Ayo keluar! Orang-orang udah nunggu kita!" Dean keluar dari mobilnya lebih dulu lalu menarik tangan Jenar."Ngapain juga orang-orang mesti nungguin gue?! Lu pergi sendiri aja sana!" tolak Jenar.Dalam aksi saling tarik-menarik itu, seorang perempuan cantik berpakaian sederhana melintas. "Dean? Kamu datang juga? Ayo cepat bergabung, kami lagi bakar daging!" Perempuan manis itu melirik pada Jenar yang masih berada di dalam mobil. "Kamu ngajak pacar kamu juga?" tanyanya jahil."Ha ha! Bukan! DiaJenar, diacuma temen," jawab Dean langsung menyangkal."Gue juga ogah jadi pacar lu! Jangan dekat-dekat!" Jenar mendorong Dean dengan sebal.Perempuan manis itu tampak kebingungan, dia tak tahu apa yang terjadi di antara Dean dan Jenar. "Ya udah, ayo join aja, semua udah pada nungguin tuh."Melihat sikap manis perempuan asing itu, Jenar akhirnya setuju untuk turun, dia merasa
"Gak usah sok ngegombal, deh!" Muka Jenar masih berlipat-lipat.Remo mengangguk sekadarnya, tak menanggapi kejudesan Jenar. Kalau terus diopeni, bisa-bisa mereka akan terjebak dalam aksi saling oceh tiada henti."Lu ngapain sih bawa gue ke sini?" tanya Jenar mengikuti langkah Remo masuk ke dalam sebuah kafe bernuansa kayu nan hangat."Gak ada, aku tau kamu gak sibuk, dan jarang keluar rumah, makanya aku berinisiatif. Harusnya kamu bersyukur." Jawaban Remo malah terdengar seperti sebuah hinaan.Kali ini Jenar yang mengalah untuk tak menyahut lagi. Remo membukakan kursi dari meja untuk Jenar. Tak bisa ditutupi lagi, pipi Jenar merona merah."Tau tadi mau ke tempat kayak gini, aku bakal ganti baju dulu," bisik Jenar."Kamu mau pake baju yang seksi?" goda Remo."Pikiran kamu itu isinya emang cuma itu ya?" damprat Jenar. Remo hanya tertawa seraya melepas jaketnya."Kalau aku bi
Seolah ingatannya telah kembali pulih, Jenar teringat pada kejadian beberapa waktu lalu di rumah Remo, rupanya pria mata keranjang ini masih sama. Dia akan melakukan apa saja untuk mendapat apa yang dia mau."Padahal waktu itu aja lu ngejek badan gue! Sekarang mendadak nyanjung-nyanjung gue!" Jenar mendorong Remo dengan tegas untuk kali ini. Dia menolak terbuai pada bujuk rayu si buaya darat itu. Jelas sekali Remo hanya ingin memanfaatkannya. "Kalau lu gak mau antar gue pulang, ya udah gue pulang naik taksi."Remo menghela napas panjang. "Keras kepala banget sih," katanya sambil menggaruk kepalanya yang tak gatal. "Ya udah, ayo aku antar pulang." Walau keinginannya tak bisa dia lancarkan, dia tetap bersikap manis pada Jenar. Apa boleh buat, pikirnya, rencananya untuk membius Jenar lagi sepertinya akan gagal malam ini.***Remo menginjak rem saat sampai di depan gedung kost tempat tinggal Jenar. "Kamu tinggal di sini?" tanya Remo sambil ikut turun dari mob
Pipi Jenar bersemu merah mendengar pertanyaan nakal dari Remo barusan. "Kamu jangan menggoda aku, nanti aku berubah pikiran nih!" ancamnya malu-malu.Remo tersenyum jahil seraya mengarahkan miliknya pada milik Jenar yang telah menanti sejak tadi.Sebelum Remo melakukannya, Jenar sesaat menahan dada pria tampan itu. Dia mengulum bibirnya sesaat. "Kamu ..., janji gak akan meninggalkan aku, kan?" tanya Jenar akhirnya menyerah. Tak guna baginya menolak Remo, toh kalau dipikir-pikir, Remo sangat memesona, tak ada yang kurang darinya. Berpacaran dengan pria seperti Remo seharusnya adalah sebuah karunia bukannya musibah.Remo menatap sendu kedua manik Jenar yang sayu. "Kamu takut? Kamu takut aku akan mencampakkan kamu kayak mantan kamu yang buruk rupa itu?" Sekali lagi dia bertanya usil."Ish! serius dikit, dong! Kenapa malah ngebahas Jaka, sih?" Jenar jadi teringat pada mantannya yang menyebalkan itu. Dia masi
Cuaca cerah di luar. Langit biru sepenuhnya, nyaris tak ada awan putih menggantung di atas cakrawala siang itu. Tak banyak pula angin yang berembus hingga cukup sesak rasanya.Jenar menatap laptopnya dengan lesu. Hari ini dia rasanya lebih malas dari biasanya, pikirannya tak mau pergi dari sosok tampan Remo. Hari ini dia bilang ada syuting, apa aku liat nanti ya? Dih ngapain sih, batin Jenar bimbang sendiri.Lamunan Jenar pecah ketika sebungkus es loli diletakkan di atas mejanya. Jenar terkejut bukan main, rupanya ada Jaka di hadapannya. Es loli dengan rasa melon itu adalah favorit Jenar, biasa Jaka yang membelikannya, dan sekarang dia belikan lagi.Jenar mengangkat kepalanya pelan, menatap Jaka dengan muka bingung. "Kenapa?" tanyanya pelan."Itu es untuk kamu. Aku ..., datang untuk berbaikan, aku minta maaf udah ..., udah menyakiti hati kamu kemarin." Jaka berucap pelan.&nb
Jaka melepas sepatunya setiba di kamar kost Jenar. Jenar masih terus mengoceh dalam hati, bertanya-tanya kenapa Jaka tak langsung pamit pulang, dan malah meminta untuk datang ke kamar kost Jenar, katanya hanya mau meminta segelas teh hangat.Mata Jaka seperti mata keong, melihat sepertinya ada perubahan di kamar kost kekasihnya. Dan benar saja, dia menangkap perubahan itu dengan cermat. "Mana foto kita yang biasa ada di atas TV?" Dia menunjuk pada bagian yang biasanya diisi dengan bingkai foto.Jenar yang sedang merajang air panas terpaku. Semalam foto itu dibuang oleh Remo, dan tadi pagi dia sudah membuang sampah ke tong sampah besar, pastinya telah diangkut oleh tukang angkut sampah."Hm?" gumam Jaka bertanya sekali lagi."Kemarin ..., eh aku baru cek kalau pinggiran frame-nya udah busuk, lapuk dimakan rayap mungkin, jadi aku bawa ke tukang foto buat dibaikin, tapi frame ukuran segitu l
Berita tentang kejadian di Bandara sampai disiarkan di Amerika, tapi untungnya Remo dan Jenar bisa lolos tanpa dijerat masalah apa pun. Nana terbukti bersalah, namun dia tidak dijebloskan ke penjara sebab berdasarkan pengecekan yang dilakukan dokter kejiwaan, mental Nana tidak stabil dan dia mesti menjalani pengobatan dan terapi di rumah sakit jiwa. Pihak keluarga sempat menolak, tapi dibanding harus membiarkan anak mereka masuk penjara, terpaksa mereka setuju agar Nana mendapat pengobatan.Apartemen baru Remo dan Janer terletak di pusat kota, sementara restoran yang mereka beli ada di seberang jalan. Harapan untuk memulai hidup baru yang normal kian bersemi, syuting film Hollywood Remo yang pertama pun berjalan lancar sesuai ekspektasi.Nasib baik memang sedang berada di pihak mereka, bagaimana tidak, film Hollywood pertama Remo sukses ebsar, dan berhasil melambungkan namanya. Berkat film itu, dia berhasil mendapat peran untuk bermain
Remo dan Jenar menarik koper di tangan masing-masing, mereka akan berangkat hari ini. Sekali lagi Jenar memeriksa segala yang mereka bawa. "Gak ada yang tinggal kan?" Dia bicara dengan dirinya sendiri."Gak ada, tenang aja." Remo menyahut.Setelah menunggu beberapa menit di ruang tunggu, seseorang setengah berlari ke arah mereka, mata Jenar terbelalak mendapati yang datang adalah Jaka! Padahal beberapa hari lalu dia sudah berpamitan pula dengan orang-orang di kantor, tapi mau apa Jaka datang ke sini? Jenar berdesis di hatinya.Sorot mata Remo seolah siap untuk menerkam Jaka. "Kenapa?" tanyanya dingin."Ada apa?" Jenar bertanya sopan."Cuma mau liat kamu terakhir kali," jawab Jaka pelan, namun sukses membakar hati Remo.Sesaat Jenar menoleh pada Remo, matanya meminta agar Remo tetap tenang, toh ini hanya perpisahan biasa. "Ya, semoga suatu hari nanti kit
Keputusan untuk pindah sudah bulat, semakin cepat lebih baik sebab akan ada waktu bagi Remo dan Jenar untuk mempersiapkan rumah baru, usaha, dan persiapan kelahiran anak pertama mereka tentunya. Rencana syuting film baru dibatalkan, dan Remo harus membayar sejumlah uang sebagai ganti rugi. Tak apa, pikirnya. Dia masih bisa mencari uang yang lebih banyak dari itu nantinya di Amerika. Namun, saat produser tahu bahwa Remo akan pindah ke Amerika, justru berita baik yang dia terima. Produser itu menawarinya film Hollywood, tapi sebagai pemeran pembantu tentunya, tawaran itu disambut positif, setidaknya sebelum usaha mereka nanti berjalan stabil.Sebelum berangkat, Remo dan Jenar lebih dulu menemui ayah dan ibu Jenar. Betapa girangnya mereka saat melihat perut Jenar kian membesar walau masih tak seberapa besar, membayangkan akan menggendong cucu saja sudah cukup membuat hati mereka berbunga.***"Jadi, kalian udah beli r
Remo tak bisa menahan dirinya, setidaknya untuk menunggu sampai dirinya dan Jenar duduk manis di sofa. Belum sampai pantatnya berada di atas sofa, mulutnya sudah mengoceh, "Dokter bilang kamu hamil, berhenti kerja dari kantor itu, sayang!""Kamu bisa kasih aku waktu gak? Minimal aku mau minum dulu, aku haus!" protes Jenar.Sebagai suami siaga dan cepat tanggap, Remo berdiri dan mengambil segelas air minum dari dapur. "Nih, silakan tuan puteri," katanya lembut."Mentang-mentang sekarang aku lagi hamil anak kamu, kamu mau memperlakukan aku kayak ratu?" cibir Jenar."Dimanjakan salah, entar gak dimanjakan juga salah!" gumam Remo mengomel.Jenar menenggak habis segelas air putih dingin itu. "Kalau memang kamu mau aku berhenti dari kantor aku, oke aku lakukan," katanya pelan.Roman muka langsung semringah seperti orang baru gajian, "Iya?! Makasih, sayang! Makasih!
Baru selangkah turun dari taksi yang mengantar sampai ke depan rumah, Jenar dan Remo kompak dikejutkan dengan kehadiran Nana di depan pagar."Baru pulang bulan madu ya, pasutri muda?" sapa Nana dengan senyum picik tersungging di sudut bibir."Lu mau ngapain ke sini? Besok-besok aja ngomongnya, kami baru nyampe, masih capek efek jetlag." Remo menyahut datar."Jetlag? Yelah, ke india doang pake acara jetlag!" Nana tertawa."Tau dari mana kami bulan madu ke india?" tanya Remo lagi. Namun, belum terjawab pertanyaannya itu, Jenar menyela,"Udah deh, Mo, ngapain sih kita ladeni dia? Aku capek banget nih! Ayo masuk, aku mau tidur!""Lu mau tidur ya tidur aja sendiri! Gue gak ada urusan sama lu, gue cuma punya urusan sama Remo!" sergah Nana."Udah ..., udah ..., ini kenapa malah ribut sih?" Remo segera menengahi sebelum perang dunia ketiga pecah
Kawanan burung beterbangan di atas langit yang tak seberapa cerah. Untuk Jenar yang pertama kali datang ke Taj Mahal tentu momen ini begitu menakjubkan baginya, tak cukup-cukup dia mengambil gambar sementara Remo memandangi sambil sesekali tertawa mengejek sikap Jenar yang terlihat begitu norak."Udah ambil fotonya, kamu diliatin orang tuh!" Remo menunjuk cowok-cowok lokal yang memandangi Jenar seperti memandang manusia berkepala tiga."Ayo ambil foto ala film india! Ayo, yang! Biar kayak pasangan romantis gitu!" pinta Jenar setengah merengek."Ogah ah, aku masih punya urat malu!" tolak Remo.Muka Jenar langsung cemberut. "Ayo lah ..., mumpung kita di sini!" Jenar menarik tangan Remo, akhirnya Remo menurut.Seorang pria lokal memotret keduanya dengan pose yang menurut Remo sangat menggelikan, namun petualangan mereka tak sampai di sana, kini beberapa cewek justru memandang
Sebuket bunga mawar merah yang wangi menyambut Jenar malam itu, sebuah kejutan manis telah disiapkan Remo untuknya saat dia kembali dari kantor. Bukan hanya sebuket bunga indah, tapi juga makan malam mewah yang disiapkan sendiri oleh Remo."Aku masak pasta, tapi kalau rasanya mengerikan, aku minta maaf, sayang." Remo mengecup tangan Jenar."Tumbenan banget, kamu lagi berbuat salah ya?" tuduh Jenar."No ... aku masih punya satu lagi kejutan, tapi kita habiskan dulu makan malam kita, oke?"Sudut mata Jenar bisa menemukan sebuah amplop di tepi meja, dia bisa menebak-nebak apa isinya tapi untuk sementara, dia tak akan membahasnya sampai Remo sendiri yang memberikan kepadanya. Dan untungnya, makan malam mereka berjalan lancar. Rasa pasta yang dibuat oleh Remo cukup nikmat ternyata, tak seburuk yang mereka kira."Jadi itu apa? Kejutan apa lagi yang kamu punya untuk aku? Hm?" Jenar bert
Tidak terhitung berapa kali Jenar memeriksa penampilannya di depan cermin besar di ruang rias. Hari ini akan sangat penting baginya, akan menjadi hari bersejarah. Wartawan-wartawan telah berkumpul di depan gedung sejak pagi, bahkan jauh sebelum acara resepsi pernikahan dimulai. Ayah dan ibu Jenar menolak untuk hadir. Selain karena sedang musim panen, mereka juga enggan untuk masuk media cetak ataupun elektronik. Jenar tahu betul risiko bila dia memperkenalkan orang tuanya kepada media, orang tuanya tidak akan bisa hidup sebagai "orang normal" lagi. Wartawan akan mengejar mereka demi rating, mengusik ketenangan dan hidup damai mereka.Tak yakin juga, apakah mama dan papa Remo akan datang, yang pasti rekan-rekan sesama selebriti yang diundang Remo pasti akan datang, termasuk Dean dan Nana.Remo yang telah mengenakan setelan jas berwarna putih mendekati Jenar yang gelisah. "Kamu udah siap? Kenapa muka kamu tegang banget?" tanyanya lembut.
Remo menghela napas lalu menarik tangan Jenar ke dalam dekapannya kemudian mengecup punggung tangannya dengan halus. "Kamu tenang aja, ada aku di sisi kamu. Aku paham tekanan kamu, tapi selama kita bareng, semua akan baik-baik aja.""Maaf ya, Mo. Kemarin aku kurang memahami dilema kamu, kamu pasti kesulitan karna ego aku, aku terlalu egois, aku terlalu mikirin diri sendiri. Padahal ..., pasti berat juga untuk kamu memilih.""Gak apa-apa, Sayang. Gak usah kita pikirin, kita liat aja masa depan bersama, hm?" Remo mengecup punggung tangan Jenar lagi. "Yuk kita lanjut makan lagi, habis itu kita tempur lagi!" katanya genit."Ish! Sumpah jijay!" Jenar melemparkan tisue tepat ke wajah Remo lalu mereka cengengesan bersama.***Hari berganti hari, minggu berganti minggu, tiba sampai menjelang hari H resepsi pernikahan Remo dan Jenar. Gedung sudah siap, tema pun telah ditentukan berikut dengan kater