33.
Malam tak dilalui Wangsa dengan tenang, meski berulang-kali pria tua itu berusaha memejamkan mata. Helaan napas lelah, penuh keputus-asaan dan rasa bersalah. Andai dulu dia tidak membawa Dara ke dalam rumahnya, mungkin Joya masih seutuhnya menjadi anak gadis penurut yang senantiasa manis bertingkah dan bertutur kata.
Ingatan Wangsa terlempar, mengenang hari itu, saat prahara itu memulai episodnya.
Senja yang tenang seharusnya, istri Wangsa terbaring lemas di atas ranjang, sementara Joya menungguinya dengan sabar. Gadis itu amat ceria, berceloteh riang tentang pertemuannya dengan Damar beberapa hari yang lalu.
“Ma, Mas Damar anaknya Paklik Darmawan ternyata orangnya ganteng banget. Dia juga baik, nggak seperti saudaranya. Joy suka nginep di tempat Paklik Darmawan, kapan-kapan, kalau Papa ke Magelang lagi, Joya mau ikut, boleh, kan, Ma?” Joya menggoyang-goyangkan lengan ibunya dengan lembut.
Sementara wanita yang tengah berbar
hai, maafkan daku yang bolos dua hari ini dikarenakan sakit. hiks ...
Damar menemui Darmawan dan Rahayu di lobi rumah sakit, sementara Wangsa menemui Joya di dalam ruangan. "Damar, ibuk ndak memaksa kamu buat menikahi Joya, nak. Justru ibuk mau bertemu dengan perempuan pilihanmu." Rahayu bersedekap,menatap lurus ke depan. Darmawan mendengarkan, sengaja tidak menginterupsi percakapan. "Tapi, Buk. Sebelum bertemu, Damar mau bilang sesuatu tentang dia." Rahayu menoleh ke arah Damar. Mengangguk. "Namanya Keyra." Damar memulai. Rahayu mengernyitkan dahi, menggali ingatan tentang nama yang baru saja Damar sebutkan. Kemudian menoleh ke arah suaminya.
Mendua? Siapa yang sanggup? Namuh Keyra juga tak kuasa menahan sisi kemanusiaan di dalam dirinya menyubur saat melihat kondisi Joya. Rahayu mengajaknya mampir ke rumah sakit dalam perjalanan pulang. Tentu saja Keyra juga setuju. Sungguh tersayat menyaksikan tubuh kurus kering Joya terbaring di ranjang rumah sakit. Sementara seorang lelaki tua dengan sabar menungguinya, menggenggam selalu jemari Joya. Damar berdiri di depan pintu ruangan Joya. Memandang pemandangan yang sama. "Kita nggak harus menggunakan cara ini untuk menyembuhkan Joya, Buk. Pikirkan perasaan Joya, pikirkan perasaan Damar juga." "Ibuk tahu, Le. Ibuk sadar sekali jika permintaan ibuk pasti akan menyakiti kalian berdua. Tapi lihat, Nak. Lihat perempuan di dalam sana yang seperti raga tanpa nyawa. Dia terluka. Remuk seluruh kehidupannya." Rahayu terguncang. Sesak menumpahkan tangisan. Keyra sekuat tenaga
Kenapa minta maaf? Mas salah apa?" Keyra bertanya. Mengulang entah yang ke berapa.Damar masih enggan melepas pelukan. Pria itu merasa butuh banyak kekuatan dari pelukan."Mas jangan seperti ini. Mas kenapa? Bilang, Mas, aku nggak ngerti." Keyra memaksa.Mengejar penuh rasa penasaran.Damar melepaskan pelukan perlahan. Menatap mata Keyra yang semakin padam sinarnya."Key, maafkan aku." Damar berujar lirih."Untuk apa?" tanya Keyra lagi."Key … aku sayang sama kamu. Aku mencintaimu lebih dari apapun di dunia ini." Damar meraih jemari Keyra, meremasnya perlahan."Tentang Mbak Joya? Ini tentang permintaan mereka, kan?" Keyra menebak. Dan sayangnya tebakan gadis itu tepat.Damar tak lekas menjawab. Dia menunduk dalam, amat dalam seolah ingin menyembunyikan wajahnya yang penuh oleh kesedihan.Keyra tak
Ada yang terpancar jelas di wajah ayu Joya. Sebuah luka dan kecemasan yang tak memudar meski lagu favoritnya disetel berurutan. Dia akhirnya berhasil membujuk Bimo untuk mengantarnya pergi menemui Keyra.Bimo yang awalnya hendak menolak pun berakhir mengiakan permintaan Joya.Bimo mengendarai mobilnya dengan santai. Sengaja memutar lagu lama milik boyband terkenal pada masanya, Westlife."Bim, Kita cari di sekitar perumahan dulu. Jangan langsung masuk. Takutnya nanti Keyra tinggal di pinggir jalan." Joya memberi usulan.Bimo mengangguk. Berdebar hatinya menanti detik demi detik pertemuan dengan Keyra. Dirinya teramat yakin hari ini pasti akan berjumpa dengannya.Pada akhirnya Bimo juga menuruti Joya. Begitu tiba di daerah perumahan yang dimaksudkan, Bimo mengurangi kecepatan. Matanya awas memindai sekitaran. Berharap menemukan Keyra di tepi jalan, di pertokoan, atau dimana pun asalkan Keyra ada di sana.Dua jam lebih Bimo mengendarai m
Joya dan Bimo tiba di Kafe sebelum jam istirahat para Karyawan, dengan percaya diri Joya bertingkah layaknnya pemilik Kafe tersebut, membuat beberapa Karawan canggung. Bahkan, gadis itu sempat meremehkan karyawan wanita yang berpapasan dengannya.“Hey, kamu, ikut aku!” perintah Joya dengan ketus.Karyawan perempuan itu pun menurut, membawa firasat buruk. Patuh mengikuti langkah Joya menuju ruang kerja Damar. Di sana, karyawan bernama Ana itu berdiri dan menunduk. Sementara Joya duduk di kursi Damar.“Kamu tahu, kan, kamu Cuma karyawan kafe, tugas kamu nganter makanan, nggak perlu dandan semenor itu!” Joya berapi-api. Tegas berucap layaknya bos besar pemilik kafe.Ana menunduk, mengangguk-angguk. “Iya, Bu. Maaf, ke depannya tidak akan saya ulangi.”Joya menatap sinis. “Aku akan terus ngawasin pegawai centil kaya kamu. Apalagi di depan Mas Damar kalian pasti sering caper, kan? Kelihatan banget. Tipe-tipe cewe
Bimo mengendarai mobilnya dengan perlahan. Bukan kecepatan biasanya. Entah karena suasana yang mendadak canggung itu, atau sebab dia ingin berlama-lama dengan Keyra. Sesekali matanya mencuri pandang, mengagumi sosok Keyra dalam keheningan.“Mas …”“Key …”Terhenti. Bersamaan keduanya bersuara, bersamaan pula keduanya mengikat diam.“Kamu dulu aja, Key.” Bimo gagap.“Mas Bimo dulu nggak apa-apa.” Keyra menoleh, menatap canggung Bimo yang dulunya adalah penikmat raga yang dia punya.“Kamu … apa kabar, Key?” Bimo merasa bersalah karena pertemuan terakhirnya dengan Keyra tak berjalan lancar.“Baik, Mas.” keyra menunduk. Belum berani berlama-lama melakukan kontak mata dengan mantan pelanggannya itu.Bimo menghembuskan napas. Menatap Keyra yang menunduk, hati kecilnya berteriak, ‘Setakut itukah menatapku, Key?’“Mas B
Bimo memegangi rahangnya yang masih terasa nyeri. Duduk sendirian di tepi ranjang sembari mengutuk diri sendiri. Penyesalan itu kian terasa kini, harusnya Keyra tak menerima benda yang akan membuka kembali kenangan buruknya itu.Sementara Damar yang sudah agak tenang memilih untuk setia pada keheningan. Ruangan kamar Bimo cukup besar, cukup luas untuk sekadar membuang asap rokok yang sejak tadi dia hembuskan. Seusai memukuli Bimo tadi Damar memuuskan untuk meraih sebungkus rokok mentol dari nakas Bimo. Menyulutnya tanpa meminta izin lebih dulu.“Maaf, Mas. aku nggak kepikiran sampai situ. Aku nggak mikir tentang perasaan Keyra kalau nerima hapenya.” Bimo menunduk. Mencuri tatap Damar yang duduk bersandar dinding kamarnya sembari menyesap sebatang rokok dengan wajah putus asa.“Sudah terjadi. Keyra pasti sedang berusaha keras berdamai dengan dirinya sendiri.” Damar menatap lantai ruangan.Bimo menghembuskan napas lelah. &ldquo
Semua berjalan normal selama hari-hari yang panjang itu, merangkak perlahan mengantarkan pada waktu yang selalu ditunggu. Hari pernikahan.Sederhana sekali. Karena hanya akan berlangsung akad. Damar dan Keyra tersenyum bahagia dengan busana sederhana, sesuai permintaan Keyra. Perempuan itu hanya ingin hari bersejarahnya berjalan lancar meski jauh dari kesan kemewahan.Rahayu menangis haru selama proses pelafalan ijab qobul oleh Damar. Tak kuasa wanita itu membendung bahagia melihat sinar ceria di wajah anak lelakinya. Sedangkan Darmawan memilih menutupi seluruh buncah di dalam diri dengan ekspresi dingin seperti biasa. seolah tak merasakan bahagia padahal benar di seluruh ruang hatinya sedang berpesta pora merayakan pernikahan anak kesayangannya.Setelah akad nikah yang dilaksanakan di masjid perumahan, Damar membawa Keyra dan Naina ke rumah baru. Sebuah rumah joglo besar yang dikelilingi kolam dan taman, asri, indah dan menenangkan, yang terle
Dalam cengkeraman malam dan tangan-tangan lapar itu, Keyra merapalkan doa dalam hatinya. Doa ang sungguh-sungguh terlontar ke langit, menggetarkan angkasa beserta penghuninya.“Tuhan, aku mohon selamatkan aku dan anakku. Aku tahu aku tidak pantas meminta, bahkan namaMu tak seharusnya terukir di dalam benak perempuan hina ini, tapi, Tuhan, Aku mohon … sekali ini saja selamatkan aku.”Kala itu, Keyra melantunkan doanya penuh pengharapan, kesungguhan dan kepercayaan. Untuk pertama kalinya dalam kehidupan, sepanjang perjalanan kelamya, sepanjang kilas balik seluruh cerita, itu adalah kali pertama Keyra memutuskan percaya pada Tuhan.Dan seperti terjawab, detik-detik sebelum tubuh itu terjaman oleh tangan-tangan penuh noda jalanan, pertolongan datang tanpa peingatan.“HENTIKAAAN!” teriakan itu disertai serangan barbar oleh kemarahan. Tinjunya melayang, lengannya menangkis pukulan para preman, sesekali terjungkal, namun, dia bangkit dengan berkali lipat kekuatan.Keyra beringsut, berlari ke
Joya meneteskan air mata bahagia. Seperti baru saja menenggak jernih air pelepas dahaga seelah lama mengembara. Perempuan itu menikmati setiap sentuhan Damar, merasakan panas yang menjalar di aliran darah. Indah, namun terasa salah. “Mas …,” bisik Joya. Damar tak mempedulikan bisikan Joya, meneruskan aksinya menjelajahi leher jenjang istri keduanya tanpa jeda. Terus menghadiahi ciuman bertubi-tubi, tanpa henti. Perlahan ritual itu terjadi, erangan tanpa irama itu mengiringi peluh yang menetes dari kedua raga, dibuai nafsu membara. Lelah, Joya terbaring dengan napas terengah, sementara Dama terlelap setelah birahinya usai tersalurkan tadi. Joya tahu bahwa apa yang dilakukan Damar tetap tanpa rasa, hanya sebatas upaya membuang gerah di dada. Joya menangis lirih, untuk pertama kalinya dia besedih tanpa dalih. Perlahan tangisnya menjelma menjadi suara-suara pilu, tangisan penuh kesedihan yang mengganggu tidur Damar. Damar mengucek matanya, melirik Joya yang terguncang tubuhnya dalam
Hari itu, saat mendung menggantung di antara redup senja dan keheningan yang melanda jiwa, Keyra dan Damar duduk berhadap-hadapan. Lebih dari satu jam lamanya kedua insan itu memeluk kesunyian, saling memasung diri dalam bungkam."Key, katakan sesuatu." Damar hampir menangis, setengah berbisik.Keyra mengangkat wajahnya, menatap garis wajah Damar yang semakin dia lupakan. "Maaf, Mas. Aku … aku tidak tahu harus memulai darimana.""Katakan apa saja, Key. Asal jangan menghukum dengan mendiamkanku seperti ini, rasanya tidak nyaman." Damar hendak berdiri dan menghampiri Keyra ke tempat duduknya, namun gerakan Keyra yang serta merta hendak menarik jarak itu membuat Damar mengurungkan niatnya."Mas, gimana kalau kit
Damar baru saja hendak membuka pintu toilet saat handphonenya berdering. Dengan wajah kesal dia menghela napas. Joya."Halo, Joy. Ada apa?" Damar berkata dengan nada yang dibuat ramah. Meskipun sungguh, hatinya teramat penuh dengan kesal."Mas, istirahat pulang, kan? Aku masak loh. Spesial buat kamu. Pulang, ya?" Joya girang bertutur.Damar tak jadi ke kamar mandi. Dia memilih menjauh dari ruangan itu, melangkah kembali menuju ruang kerjanya. Danar yang melihat kedatangan Damar mengernyitkan dahi. Seolah bertanya tentang apa yang terjadi.Damar melambaikan tangan pada adik lelakinya. Memberi isyarat untuk menunda banyak tanya. "Joy, aku banyak kerjaan di sini."
Semua tak akan sama lagi bagi Keyra. Kini, saat lelakinya pulang dan berharap pelukan hangat, Keyra akan berpikir tentang banyak hal yang amat dia sesali. Bahwa tubuh itu semalam habis memeluk perempuan lain. Bahwa aroma tubuh itu telah dihidu oleh perempuan lain. Bahwa kehangatan itu tak lagi mutlak miliknya seorang.Keyra sadar dia telah berbagi. Sepenuh hati mengakui bawa dia turut andil dalam hal ini. Namun, terluka kini merupakan hal yang tak direncanakan olehnya. Dia berikir akan mampu mendamaikakn diri, akan mampu berbagi tanpa tersakiti. Nyatanya, Keyra hanya wanita biasa. Hatinya rapuh.Pagi itu, tepat setelah semalaman menahan kram tangan karena Joya hanya bisa tidur di atas lengannya, Damar pulang. Pulang pada Keyra, sang cinta sejatinya.“Key … Mas pulang, Loh. Kamu nggak mau meluk Masmu ini?” Damar merentangkan tangan. Menatap Keyra yang melamun sendirian di muka pintu. Seperti sedang menunggunya, akan tetapi tak menyadari kehadir
Pernikahan kedua itu akhirnya datang. Sepi saja karena memang demikian harusnya. Tak banyak tamu yang datang.Wangsa sendirian selaku wali dari Joya. Darmawan dan dan Rahayu hanya mengundang beberapa kerabat saja. Sungguh tak banyak.Damar duduk di sisi ranjang, menatap layar handphone yang sedari tadi diam. Jemarinya ragu mengetik Kalimat panjang kemudian mengahpusnya lagi. Hampir saja ponselnya terlempar andai saja Rahayu tak masuk ke dalam kamar."Le, sudah siap. Ayo, semua sudah menunggu di mobil." Rahayu mengelus lembut kepala anaknya.Damar menatap sang ibu. Kemudian mengangguk setuju. Meski ragu akhirnya jalan itu pula yang Damar pijaki. Jalan menuju akad keduanya.
Malam menjelang bak untaian luka bagi dua insan di rumah itu. Damar hanya berani menatap istrinya yang masih menyibukkan diri dengan segala hal.Keyra sendiri berusaha untuk tak berinteraksi dengan sang suami. Bukan marah, dia hanya belum siap menghadapi kesedihan dan luka yang sama. Membayangkan esok pagi suaminya akan mengucapkan janji suci dengan perempuan lain, tentu saja membuatnya begitu menderita.Sementara Danar yang tak tahu menahu duduk perkaranya hanya bisa terheran. Menatap dua polah suami istri yang biasanya mengumbar kemesraan mendadak seperti diselimuti jarak."Oy, kenapa, Bro?" bisik Danar begitu tiba di kursi yang letaknya tepat di sisi kanan Damar.Damar menoleh sesaat, kemudian menatap kembali Keyra yang tengah menyiapkan makan malam."Berantem?" tanya Danar lagi.Damar menggeleng. Masih menujukan pandangan ke tempat yang sama.
Dua malam tanpa Keyra di sisinya, Damar terpaksa menjalani detik menyiksa di sisi Joya. Bukan mendua. Bukan. Sama sekali bukan."Mas, besok kita mau nikah. Kenapa Mas nggak kelihatan bahagia?" Joya yang sedang duduk di sebelah lelaki tampan itu menarik tangan Damar, menggenggamnya erat.Damar berusaha tersenyum sebisanya. Setelah kemarin bersusah-payah meyakinkan Joya untuk melakukan pernikahan sederhana saja, setelah berkeras upaya membuat Joya menerima rencananya untuk menikah di masjid terdekat, tak mungkin merusak mood gadis itu dengan jawaban yang salah."Nggak, kok, aku cuma gugup aja." Damar mengelus pundak Joya. Masih dengan senyuman terpaksa.Joya tersenyum bahagia. Sungguh teramat banyak bunga-bunga
Andai gelap bisa menyamarkan noda, andai pula pekat mampu mengurai hina, mungkin luka di dalam hati dan jiwa Keyra akan sirna seiring bertambahnya masa. Namun, bahkan setelah fakta baru bahwa Danar adalah saudara kandug Damar, luka dan trauma itu masih terasa nyata.“Kamu kemana saja, Dan? Kami kesulitan nyari kamu. Dan, ya, aku nikah tanpa kehadiran adik badungku ini.” damar mengacak-acak rambut gondrong adiknya.Danar yang biasanya banyak bicara hari itu terlihat sebaliknnya. Melirik Keyra beberapa kali dengan tatapan tak terjabarkan. Namun, sungguh sandiwara itu bahkan tak mampu menyembunyikan rasa bersalahnya.Danar tersenyum, setengah dipaksakan. “Iya, maaf, Mar. tahu sendirilah liarnya adikmu ini.”Damar menyerang kelapa adiknya dengan kepalan tangan, tak sampai memukul, hanya sekadar menyampaikan rasa sayang dengan gesekan tinju.“So, jadi dia istri kamu?” Danar menunjuk Keyra yang sudah tenggelam dalam ke