Bimo mengendarai mobilnya dengan perlahan. Bukan kecepatan biasanya. Entah karena suasana yang mendadak canggung itu, atau sebab dia ingin berlama-lama dengan Keyra. Sesekali matanya mencuri pandang, mengagumi sosok Keyra dalam keheningan.
“Mas …”
“Key …”
Terhenti. Bersamaan keduanya bersuara, bersamaan pula keduanya mengikat diam.
“Kamu dulu aja, Key.” Bimo gagap.
“Mas Bimo dulu nggak apa-apa.” Keyra menoleh, menatap canggung Bimo yang dulunya adalah penikmat raga yang dia punya.
“Kamu … apa kabar, Key?” Bimo merasa bersalah karena pertemuan terakhirnya dengan Keyra tak berjalan lancar.
“Baik, Mas.” keyra menunduk. Belum berani berlama-lama melakukan kontak mata dengan mantan pelanggannya itu.
Bimo menghembuskan napas. Menatap Keyra yang menunduk, hati kecilnya berteriak, ‘Setakut itukah menatapku, Key?’
“Mas B
Bimo memegangi rahangnya yang masih terasa nyeri. Duduk sendirian di tepi ranjang sembari mengutuk diri sendiri. Penyesalan itu kian terasa kini, harusnya Keyra tak menerima benda yang akan membuka kembali kenangan buruknya itu.Sementara Damar yang sudah agak tenang memilih untuk setia pada keheningan. Ruangan kamar Bimo cukup besar, cukup luas untuk sekadar membuang asap rokok yang sejak tadi dia hembuskan. Seusai memukuli Bimo tadi Damar memuuskan untuk meraih sebungkus rokok mentol dari nakas Bimo. Menyulutnya tanpa meminta izin lebih dulu.“Maaf, Mas. aku nggak kepikiran sampai situ. Aku nggak mikir tentang perasaan Keyra kalau nerima hapenya.” Bimo menunduk. Mencuri tatap Damar yang duduk bersandar dinding kamarnya sembari menyesap sebatang rokok dengan wajah putus asa.“Sudah terjadi. Keyra pasti sedang berusaha keras berdamai dengan dirinya sendiri.” Damar menatap lantai ruangan.Bimo menghembuskan napas lelah. &ldquo
Semua berjalan normal selama hari-hari yang panjang itu, merangkak perlahan mengantarkan pada waktu yang selalu ditunggu. Hari pernikahan.Sederhana sekali. Karena hanya akan berlangsung akad. Damar dan Keyra tersenyum bahagia dengan busana sederhana, sesuai permintaan Keyra. Perempuan itu hanya ingin hari bersejarahnya berjalan lancar meski jauh dari kesan kemewahan.Rahayu menangis haru selama proses pelafalan ijab qobul oleh Damar. Tak kuasa wanita itu membendung bahagia melihat sinar ceria di wajah anak lelakinya. Sedangkan Darmawan memilih menutupi seluruh buncah di dalam diri dengan ekspresi dingin seperti biasa. seolah tak merasakan bahagia padahal benar di seluruh ruang hatinya sedang berpesta pora merayakan pernikahan anak kesayangannya.Setelah akad nikah yang dilaksanakan di masjid perumahan, Damar membawa Keyra dan Naina ke rumah baru. Sebuah rumah joglo besar yang dikelilingi kolam dan taman, asri, indah dan menenangkan, yang terle
Pergulatan entah yang ke berapa itu selesai sudah. Dengan Keyra yang terbaring pasrah di atas ranjang mewah, dengan sekujur tubuhnya yang penuh dengan tanda merah. Sementara bai kecil di dalam box itu masih tertidur, seolah mengerti kebutuhan orang dewasa di sekitarnya.“Capek, Key.” Damar menatap langit-langit kamar dengan sorot penuh kebahagiaan.Keyra menggeser tubuhnya, meletakkan kepala di lengan sang suami. Nyaman. “Iya capek.”Damar mengusap kepala Keyra dengan lembut, menciuminya dengan penuh sayang, menghirup dalam-dalam aroma yang akan selalu dia rindukan. “Maaf, ya. Aku habis ini harus pergi. Kamu nggak apa-apa kan di rumah sendirian sama Naina?”Keyra mendongak, menatap wajah lelakinya. “Iya, nggak apa-apa. kan, Mas juga harus kerja.”“Kalau bosen kamu bisa ke Kafe, deket kok dari sini. Sengaja biar kamu bisa nyamperin aku kalau kangen.” Damar mengecup kening Keyra,
Damar memacu mobilnya lamban. Sengaja menikmati kesunyian yang tercipta demi meringkas beban. Bayangan sorot mata Keyra yang sendu saat membahas Joya, senyum pura-pura sang belahan jiwa, juga hari yang remuk redam terluka itu, selalu membayangi hati dan benaknya. Pria itu masih sibuk bergelut dengan suara-suara di kepalanya saat tiba-tiba gawainya berdering nyaring. Langsung saja Damar menekan ikon hijau di layar. "Iya, Joy, ada apa lagi? Aku belum lama, loh, perginya." Suara Damar kesal. "Aku nyusul ke Kafe, ya, Mas?" bujuk Joya dengan suara Manja. Damar melenguh kesal. Mencoba mengais sisa kesabaran. "Buat apa, Joy? Besok kan ketemu di rumah."
Keyra selesai berpakaian. Sempurna menutup kembali seluruh badan. Sementara tangannya gemetaran meraih Naina di dalam kereta dorong, menimangnya dengan air mata berlinang.Lelaki asing itu menyadari suara bising memekakkan telinga, matanya yang sempat terpejam mengerjap. Lelaki itu berdiri, mengenakan celana dengan benar kemudian menghampiri asal suara. Tubuhnya bersandar pada tiang kayu besar peyangga bangunan pendopo, matanya menatap prihatin.“Is that your baby?” tanyanya senormal mungkin. seolah adegan rudupaksa yang barusan terjadi hanyalah mimpi. Tak pernah terjadi.“Hei, aku bicara sama kamu.”Keyra bergeming, masih sibuk menata jiwanya yang terguncang hebat. Terserang badai maha dahsyat yang mengamuk di dalam dirinya.“jadi lelaki tua itu mengizinkan ibu muda bekerja di sini nungguin villa berhantu ini?” lelaki itu mulai terima diacuhkan.“Atau dia juga menikmati kamu? Wait … atau jang
Andai gelap bisa menyamarkan noda, andai pula pekat mampu mengurai hina, mungkin luka di dalam hati dan jiwa Keyra akan sirna seiring bertambahnya masa. Namun, bahkan setelah fakta baru bahwa Danar adalah saudara kandug Damar, luka dan trauma itu masih terasa nyata.“Kamu kemana saja, Dan? Kami kesulitan nyari kamu. Dan, ya, aku nikah tanpa kehadiran adik badungku ini.” damar mengacak-acak rambut gondrong adiknya.Danar yang biasanya banyak bicara hari itu terlihat sebaliknnya. Melirik Keyra beberapa kali dengan tatapan tak terjabarkan. Namun, sungguh sandiwara itu bahkan tak mampu menyembunyikan rasa bersalahnya.Danar tersenyum, setengah dipaksakan. “Iya, maaf, Mar. tahu sendirilah liarnya adikmu ini.”Damar menyerang kelapa adiknya dengan kepalan tangan, tak sampai memukul, hanya sekadar menyampaikan rasa sayang dengan gesekan tinju.“So, jadi dia istri kamu?” Danar menunjuk Keyra yang sudah tenggelam dalam ke
Dua malam tanpa Keyra di sisinya, Damar terpaksa menjalani detik menyiksa di sisi Joya. Bukan mendua. Bukan. Sama sekali bukan."Mas, besok kita mau nikah. Kenapa Mas nggak kelihatan bahagia?" Joya yang sedang duduk di sebelah lelaki tampan itu menarik tangan Damar, menggenggamnya erat.Damar berusaha tersenyum sebisanya. Setelah kemarin bersusah-payah meyakinkan Joya untuk melakukan pernikahan sederhana saja, setelah berkeras upaya membuat Joya menerima rencananya untuk menikah di masjid terdekat, tak mungkin merusak mood gadis itu dengan jawaban yang salah."Nggak, kok, aku cuma gugup aja." Damar mengelus pundak Joya. Masih dengan senyuman terpaksa.Joya tersenyum bahagia. Sungguh teramat banyak bunga-bunga
Malam menjelang bak untaian luka bagi dua insan di rumah itu. Damar hanya berani menatap istrinya yang masih menyibukkan diri dengan segala hal.Keyra sendiri berusaha untuk tak berinteraksi dengan sang suami. Bukan marah, dia hanya belum siap menghadapi kesedihan dan luka yang sama. Membayangkan esok pagi suaminya akan mengucapkan janji suci dengan perempuan lain, tentu saja membuatnya begitu menderita.Sementara Danar yang tak tahu menahu duduk perkaranya hanya bisa terheran. Menatap dua polah suami istri yang biasanya mengumbar kemesraan mendadak seperti diselimuti jarak."Oy, kenapa, Bro?" bisik Danar begitu tiba di kursi yang letaknya tepat di sisi kanan Damar.Damar menoleh sesaat, kemudian menatap kembali Keyra yang tengah menyiapkan makan malam."Berantem?" tanya Danar lagi.Damar menggeleng. Masih menujukan pandangan ke tempat yang sama.