Tertegun menatap layar komputer, wanita cantik berambut coklat sebahu memakai headset sambil menunggu telepon masuk. Ia terus mengetuk jemarinya sambil melirik ke pojok kanan bawah monitor, berharap waktu cepat berlalu dan ia bisa pulang ke rumah.
Rasa bosan tak terbendung lagi oleh wanita itu, dan ia pun beberapa kali menguap di susul dengan tangan yang mengucek kedua matanya. Jam sudah menunjukkan pukul 20:55 dan lima menit lagi shiftnya akan berakhir, akan tetapi lima menit terasa lama sekali jika terus dipandangi. Tidak banyak orang tersisa di ruangan itu, hanya tinggal 10 orang termasuk wanita itu. Ada 8 orang pria yang memang jadwalnya selalu malam, dan 2 orang wanita yang tinggal menunggu shift kerjanya berakhir.
“Aku benci jika harus pulang selarut ini,” gumam wanita berambut coklat itu dalam hati. Wajah wanita berambut coklat itu cantik, dengan mata besar berwarna biru gelap dan bulu mata lentik asli ciptaan Tuhan.
Para pria di sana tak ada yang berani menggodanya, jangankan menggoda, menegur saja mereka enggan. Hal itu di sebabkan karena wanita itu terlalu pendiam dan sangat tertutup, alias introvert. Hanya ada satu pria yang berani menggodanya dan selalu dicampakkan olehnya, tapi sayangnya pria itu sedang libur hari ini, jadi wanita itu sedikit tenang tak ada yang menggodanya. “Ayolah... dua menit ini terasa seperti dua hari, lama sekali!” wanita itu menggerutu dalam hati, meluapkan rasa bosannya.
Menit pun berganti, dan tinggal satu menit lagi jam kerjanya berakhir. Tapi tiba-tiba “kring-kring...” Telepon yang tersambung ke komputer pun berdering, kemudian sistem mulai pop-up data si penelepon.
“Ah sial... kenapa di saat seperti ini malah ada telepon masuk,” ucapnya kesal dalam hati. Wanita itu pun langsung mengeklik icon telepon berwarna hijau yang muncul di layar komputernya, dan ia pun langsung mengucapkan salam.
“Happyshop selamat malam, dengan Stella ada yang bisa kami bantu?” ucap wanita itu menyambut customer dengan salam yang sudah ditetapkan perusahaannya. Salamnya pun tak terjawab, suara dari panggilan itu pun hening tetapi masih terhubung.
“Happyshop selamat malam, dengan Stella, ada yang bisa kami bantu?” wanita itu mengulangi salamnya, dan berharap ada balasan dari customer.
Salam ke dua pun masih tak ada respons dari si penelepon, dan ketentuan yang berlaku “jika penelepon tidak menjawab salam customer service yang sudah dilontarkan sebanyak tiga kali, maka customer service berhak mengakhiri panggilan agar tidak membuang-buang waktu.”
Wanita itu pun menarik nafas dan mengucapkan salam yang sama untuk ke tiga kalinya. “Happyshop selamat malam, dengan Stella, ada yang bisa kami ban—”
Ucapan wanita terpotong oleh suara tak jelas yang memekik keras, sampai ia menutup sebelah matanya dan mengangkat pundaknya.
“Tut-tut...” Telepon itu terputus, dan seketika bulu kuduk wanita itu pun terbangun.
Ia memperhatikan lagi data costumer yang meneleponnya barusan, dan ia terkejut saat mengetahui bahwa yang menelepon barusan adalah Hellen Watson, wanita tua berusia 72 tahun yang memang menjadi konsumen tetap di Happyshop. Wanita itu pun menutup aplikasi yang terhubung dengan telepon, agar tidak ada lagi panggilan yang masuk ke jalurnya. Ia juga tak lupa mengisi laporan panggilan terakhirnya itu, dan ia menuliskan “panggilan terputus.”
Stella mematikan komputernya dan merapikan meja kerjanya, kemudian ia berdiri dan memutar badanya. Kemudian Stella pun terkejut sampai sedikit lompat, saat teman wanita satu shiftnya sudah menunggu di belakangnya.
“Kamu betah banget, Stell!” ujar wanita berkaki jenjang dengan setelan blus berwarna biru tua.
“Jika kamu melakukan itu lagi, maka aku akan betah berada di rumah sakit, karena serangan jantung!” tegas Stella sambil mengusap-usap dadanya.
Teman Stella pun tertawa sambil menutup mulutnya yang sudah dilapisi gincu berwarna merah seperti apel. Ia pun menggandeng Stella dan berjalan meninggalkan ruangan kerjanya. Delapan pasang mata pria genit pun tertuju ke arah Ellie yang sedang menggandeng Stella.
“Ellie, pulang bareng aku saja...” sayup-sayup terdengar suara-suara dari pria yang menggoda Ellie.
Ellie hanya tersenyum dan mempercepat langkah kaki jenjangnya itu. Rok mini di atas lutut menjadi faktor utama Ellie digoda malam ini, didukung dengan bentuk tubuhnya yang aduhai dan paras cantik bak model, menjadikan ia incaran para pria genit yang bekerja di sini.
“Kalau bukan karena gajinya besar, aku tak sudi bekerja di kandang buaya ini...” bisik Ellie.
“Sudah tahu masuk kandang buaya, tapi kamu malah memberikan tontonan gratis padanya.”
“Apa maksudmu dengan tontonan gratis, Stell?” tanya Ellie sambil menyenggol Stella.
Stella menggelengkan kepala diiringi senyum culasnya, kemudian Ellie membuka pintu dan meninggalkan kandang buaya itu, mereka pun langsung menuju loker untuk mengambil tas mereka. Saat berjalan di lorong yang sepi menuju loker, tiba-tiba Stella merasa aneh dan bulu kuduknya berdiri. Sontak ia pun menghentikan langkahnya dan Ellie pun menatapnya.
“Ada apa, Stell?” tanya Ellie bingung.
“Tiba-tiba bulu kudukku berdiri, El!” tegas Stella.
“Kamu jangan bercanda Stell, ini sudah malam!” tegas Ellie yang perlahan menghampiri Stella.
Stella pun merasakan ada angin yang bertiup dari belakang, dan membuatnya semakin merinding. Bola mata Stella pun bergerak melirik ke arah kiri, tepat di bawah lukisan ikan koi.
“Ahhhkkkk!” teriak Stella sambil menutup matanya.
Ellie pun berlari ke arah Stella dan langsung merangkulnya, dengan menepuk perlahan pundak Stella, ia pun bertanya, “Ada apa, Stell?”
“Ada nenek-nenek berdiri tepat di bawah lukisan dengan lidah menjulur sampai ke dagunya...” jawab Stella lirih.
Ellie yang penasaran dengan ucapan Stella pun memberanikan diri melihat ke bawah lukisan, dan ternyata tidak ada apa-apa di sana. “Tidak ada apa-apa di sana, Stell!” tegas Ellie.
“Di bawah lukisan itu, tepat di bawah lukisan, El!” ucap Stella mempertegas ucapannya.
Ellie melihat lagi ke arah lukisan dan tidak ada apa-apa di sana. Ellie melepaskan rangkulannya dan dengan lembut ia memegang tangan Stella dan menyuruhnya melepaskan tangan yang menutupi matanya itu secara perlahan. Stella pun menuruti apa kata Ellie dan menurunkan tangannya, matanya masih tertutup dan dahinya pun mengkerut.
“Buka matamu dan lihat sendiri, tidak ada apa-apa di sana!” tegas Ellie yang mencoba meyakinkan Stella.
Stella pun membuka matanya perlahan dan— “Aaaaaaaaaaaaaaaaa!” teriak Stella pun terdengar kencang sekali.
Kemudian saat ia membuka mata, ia melihat wanita tua yang menjulurkan lidahnya tepat berada di depan matanya dan hanya berjarak satu jengkal saja. Stella pun teriak sekuat tenaga sampai ia tak sadarkan diri. Ellie pun kalang kabut melihat Stella yang tiba-tiba pingsan dan untungnya ia masih sempat menahan badan Stella, agar tidak langsung jatuh ke lantai.
Stella membuka matanya setelah mencium bau minyak angin yang sangat menyengat, dan ia langsung tahu kalau ini ruang UKS di tempat kerjanya. Masih di temani Ellie dan ada satu office girl yang sedang memegangi botol minyak angin yang tidak ia suka baunya.“Silakan di minum teh hangatnya, Bu Stella!” ucap office girl berbadan gemuk.“Terima kasih, mbak Ria... tapi tolong jangan panggil saya Ibu, usia mbak kan lebih tua dari saya 3 tahun, jadi panggil saya Stella saja.”Mbak Ria menganggukkan kepalanya dan tersenyum, Stella pun menanggapi teh hangat pemberian mbak Ria dan langsung meminumnya.“Kalau boleh tahu, kenapa kak Stella pingsan di lorong?” tanya mbak Ria.“Sekarang malah di panggil kakak,” keluh Stella.Ellie menggelengkan kepalnya sambil berkata, “Masalah panggilan saja di bikin ribet!”
Nyonya Hellen Watson adalah wanita tua yang tinggal sendiri di rumah yang cukup besar di pinggir kota, dia mempunyai dua anak dan mereka semua sudah berkeluarga. Semenjak kematian suaminya, Gerry Watson, nyonya Hellen gila-gilaan menghabiskan banyak uang untuk membeli hal-hal yang tidak penting di Happyshop.Hellen Watson juga sering menghubungi customer service, bukan untuk mengeluh barang yang di belinya, melainkan ingin sekedar mengobrol dengan customer service karena ia merasa kesepian.Modus awalnya pasti selalu meminta rekomendasi barang bagus di Happyshop, kemudian setelah customer service memberi beberapa pilhan barang terlaris, ia mulai menanyakan beberapa pertanyaan sampai akhirnya komunikasi mereka pun berjalan lama.Sedangkan Stella, belum pernah menjawab panggilan dari nyonya Hellen, tapi ia pernah mendengar bahwa ada wanita tua kesepian yang sering mencurahkan isi hatinya ke customer service. Stella tak begitu menanggapi
“Hei penakut, bangun!”Stella merasa ada yang menampar-nampar pipinya dengan pelan, tapi berulang-ulang kali. Ia pun memaksakan diri membuka matanya dan cahaya matahari dari jendela menyorot tepat ke wajah Stella sampai ia tak sanggup membuka matanya.Saat Stella berhasil membuka matanya Ellie pun langsung bertanya “kamu kalau tidur segaduh itu, Stell?”“Gaduh?” tanya Stella bingung dan mengubah posisinya menjadi duduk di kasur.“Iya gaduh, teriak-teriak sendiri saat tidur!” tegas Ellie.Stella mengangkat kedua pundaknya, dan ia tak membalas perkataan Ellie, lalu ia pun teringat dengan kepala Ellie yang copot dan menggelinding tadi malam.Stella menghela nafas dan kemudian bersandar di kasurnya. “Syukurlah ternyata itu hanya mimpi...” ucap Stella lirih.“Apa? Kamu bilang apa barusan?&rdq
Ellie sudah kembali ke kamar apartemennya, dan sekarang hanya tinggal Stella seorang diri. Ia melanjutkan membaca buku romance yang belum selesai ia baca, dengan di temani sebotol bir ia membaca buku di sofa ruang tamunya. Terbesit olehnya bayangan nyonya Hellen yang berdiri tegak di bawah lukisan kantornya.Stella pun menggelengkan kepalanya dan melanjutkan membaca buku, Stella melihat ke arah jam dan tak terasa sudah pukul 12:02 siang. Ia pun memutuskan untuk makan siang di luar. Hari ini ia libur, karena setelah shift siang keesokan harinya pasti ia mendapatkan jatah libur.Untuk hari liburnya tak mesti weekend, bisa juga weekday seperti ini. Karena ia bekerja di layanan yang beroperasi 24 jam, jadi hari liburnya tidak menentu. Stella berjalan melewati lorong yang sepi di antara kamar-kamar yang tertutup rapat.Stella sedang berjalan menuju lift, padahal ini siang hari, tapi suasananya mencekam seperti ini. Sepi meman
Kini Stella dan Ellie sudah berada satu meja dengan keluarga Watson, dan salah satu anak nyonya Hellen bertanya dan belum mampu di jawab oleh Ellie. Ia masih memutar otaknya, untuk mendapatkan jawaban yang pas untuk pertanyaan pria itu.“Sebelumnya perkenalkan dulu nama kalian, agar kita lebih akrab lagi,” cetus Stella.“Stell, itu tidak sopan...” bisik Ellie.“Astaga kami sampai lupa memperkenalkan diri,” jawab wanita berambut hitam sambil tersenyum, “namaku Anne Lucyanne Watson, aku adalah menantu nyonya Hellen.”“Tak perlu memperkenalkan nama lengkapmu, Ann!” ujar pria yang ada di sampingnya.“Tidak masalah, aku yakin mereka ini orang baik,” bantah Anne.Sosok nyonya Hellen yang tadi sempat menghilang, kini tiba-tiba ia muncul kembali. Ia hanya menatap ke arah meja mereka dengan lidah
Stella membuka matanya dan ia melihat ke langit-langit kamarnya, kemudian pandangannya mengarah ke jendela kamarnya. Awan sore yang cerah memberi warna biru yang indah dengan awan Altocumulus yang jadi pemanis pada sore itu, saat menuju senja.“Kemana perginya Eliie?” tanya Stella dalam hati, saat mengetahui Ellie tak ada. Mungkin ia kembali ke kamarnya selagi aku tidur tadi, pikir Stella. Ia pun bangun dari tempat tidurnya dan menuju sofa, dan Stella pun tersenyum saat melihat Ellie tertidur pulas di sofa.“Hei, wanita idaman pria, bangun!” ujar Stella.Ellie pun langsung membuka matanya dan ia berkata, “Kamu sudah sadar?” Stella pun bingung dengan kata-kata “sudah sadar,” ia mengelak dan mengatakan kalau ia barusan itu tertidur. Ellie pun menghela nafasnya dan mengalah.“Saat kamu pingsan tadi, aku mencari tahu alamat nyonya Hellen,” ucap
Pemandangan setelah pintu terbuka adalah, kamar yang berantakan dan beraroma tak sedap, tapi Ellie sangat menikmatinya dan ia mulai melangkahkan kakinya masuk ke dalam. Stella yang mempunyai firasat tak enak, akhirnya mau tak mau mengikuti Ellie masuk ke dalam.Ellie langsung berlari ke arah jendela nyonya Hellen, dan ia mengambil gambar goresan yang berada di sisi-sisi jendela nyonya Hellen dengan kamera ponselnya. Sedangkan Stella masih tak percaya kalau ia sampai sejauh ini, ia melihat sekeliling dan ia tak menemukan cermin di dalam kamar nyonya Hellen.“Ell, aku merasa ada yang aneh dengan rumah ini…” bisik Stella.Ellie yang sudah selesai mengambil gambar, langsung menghampiri Stella dan bertanya, “Apanya yang aneh?”“Aku tidak melihat cermin di rumah ini,” jawab Stella sambil melirik ke kiri, ke arah kasur nyonya Hellen.Ellie yang
Stella membuka matanya dan dia merasa heran karena sudah berada di apartemennya, dia lantas menyingkap selimut dan bangun dari kasurnya. Ia pun melihat ke ruang santainya dan tak ada seseorang pun di sana, kemudian Stella pun menyalakan TV dan tak sengaja ia langsung melihat berita yang sedang menyiarkan kasus lanjutan nyonya Hellen.Stella teringat kembali terakhir kali dia membuka mata, dan ia baru sadar kalau waktu itu ia di hajar menggunakan gagang pistol oleh sahabatnya sendiri, dan ia bingung kenapa sekarang ia bisa berada di apartemennya.Breaking news “Pembunuhan Hellen Watson akhirnya terungkap, tersangka yang tidak lain adalah menantunya sendiri dan di bantu adik perempuanya. Anehnya tak ada penyesalan di wajah mereka berdua, dan senyum lebar terpampang jelas di wajah mereka berdua.”Stella terdiam dan tak menyangka kalau Ellie benar-benar melakukan itu, tapi kenapa dia mengajak dan menyeret Stella
Tiga hari berlalu, masa-masa membosankan saat berada di rumah sakit akhirnya selesai juga. Stella tersenyum saat meninggalkan rumah sakit, dan ia berkata “semoga aku tak berakhir di sini, lagi.”Saat perjalanan pulang Stella tak banyak berbicara, seperti biasanya. Gibran juga tak membuka pembicaraan seperti biasanya. “Mau sampai kapan berdua tidak saling sapa?” cetus Eva yang berada di kursi belakang.Stella hanya tersenyum dan memalingkan wajah, kemudian ia berkata “aku ingin menemuinya.”“Siapa?” tanya Gibran tanpa melihat ke arah Stella.“Ellie. Aku ingin bertemu dengannya,” jawab Stella dengan raut wajah masam.Gibran melirik Stella dan perlahan ia mulai tersenyum. Eva yang melihat hal itu ikut tersenyum dan ia memeluk Stella dari belakang.Tidak lama kemudian mereka sampai ke apartemen Stella, G
“Dimana aku? Kenapa semua hitam, dan aku tidak bisa melihat apa-apa,” ucap Stella panik. Stella berjalan perlahan, langkah kakinya diseret dengan tangan meraba. Stella terus berjalan sampai ia merasa putus asa dan menghentikan langkah kakinya.“Se—seorang… tolong aku, aku takut…” ucap Stella lirih sambil merendahkan badannya dan jongkok perlahan. Tiba-tiba saat ia menundukkan kepala, ada cahaya biru bergerak lambat di atas kepala Stella.Spontan Stella mengangkat kepalanya dan melihat cahaya biru itu, dan ia pun tersenyum. “Cantik sekali,” ucap Stella saat melihat cahaya biru itu yang perlahan berubah bentuk menjadi kupu-kupu hitam dengan corak biru yang bercahaya.Saat sedang asyik menatap kupu-kupu itu, tiba-tiba ada suara bergema yang berkata “jangan menyerah, Stella!”Stella melihat sekeliling dan cahaya dari kupu-kupu itu tak bi
“Aku tahu dia ada di dalam kamarku,” ucap Joe yang sudah berada di depan Stella. “Dia? Dia siapa maksudmu?” tanya Stella sambil melangkah mundur perlahan. Senyum Joe tiba-tiba hilang begitu saja, kali ini tatapan mata Joe sangat tajam kepada Stella. Stella merasa ketakutan dan langkah kakinya semakin cepat berjalan mundur. Keringat Stella sudah sebesar biji jagung, menetes dari kening dan terhalang oleh alisnya. Tingkat kesabaran Joe sudah mulai habis dan ia lari menghampiri Stella. Stella yang ketakutan langsung memutar badannya dan berlari menuju tangga, ia hanya mengikuti langkah kaki membawanya tanpa berfikir terlebih dahulu. Sementara itu di lantai dua, Gibran sudah menemukan apa yang ia cari. “Ketemu!” teriak Gibran sambil menunjukkan amplop coklat kepada Eva. Eva terlihat bingung dan bertanya “itu apa, kak?” “Ini adalah….” Ucapan Gibran terpotong oleh teriakan Stella dari bawah, kemudi
“Dimana kamu, Gibran…” ucap Stella lirih sambil berlarian di lobby. Ia menoleh ke kanan dan ke kiri, mencari sosok Gibran yang tiba-tiba menghilang begitu saja. Langkah Stella terhenti dan ia mengeluarkan ponselnya lagi dan menghubungi Gibran.“Ah sial, kali ini malah tidak aktif,” gumam Stella dalam hati.Sedang panik-paniknya, tiba-tiba Eva muncul di hadapan Stella. “Ada apa kak?” tanya Eva dengan tenang.“Dari mana saja kamu?” jawab Stella, “Gi—gibran hilang.”“Kalian bertengkar?” tanya Eva dengan ekspresi bingung. “Ceritanya panjang … yang penting kita harus menemukan dia dulu,” jawab Stella yang kemudian berjalan meninggalkan Eva.Eva mengikuti Stella berjalan di belakang, dan langkah kaki Stella yang cepat membuat Eva bertanya-tanya dalam hati. Sebenarnya apa yang sudah t
“Jadi apa idemu, Stell?” tanya Gibran dengan wajah penasaran.Stella hanya tersenyum ia pun sudah selesai dengan makan siangnya. Ia juga langsung meninggalkan Gibran untuk membayar makanannya dan langsung kembali ke kantor. Gibran berlari menyusul Stella, sesekali Stella menoleh ke belakang dan tersenyum melihat Gibran yang mengejarnya.“Hei Stell, tunggu!” panggil Gibran saat jaraknya sudah dekat dengan Stella. Stella menghentikan langkahnya dan bertanya “ada apa sih?”Sambil terengah-engah Gibran menanyakan lagi apa ide Stella. “Nanti saat di loker room akan aku beritahu ideku!” bentak Stella, kemudian ia kembali berjalan menuju kantornya. Sedankan Eva menghilang sedari tadi, tapi Stella dan tidak ada yang menyadarinya.Saat di dalam lift Gibran hanya terdiam saja, tapi mulutnya sudah gatal ingin bertanya kepada Stella. Mereka pun hanya terdiam sampai
Sebelum menjalankan mobilnya Gibran melihat kertas yang di berikan oleh wanita itu, dan di kertas itu tertulis alamat Cendrawasih VII no 21. Gibran pun bertanya-tanya alamat siapa ini sebenarnya, apakah alamat Liza Magdalena?Eva melihat tulisan itu dari bangku belakang dan Gibran yang terkejut langsung melipat kertas itu. “Cendrawasih VII no 21, bukannya itu rumahku?” tanya Eva yang tiba-ttiba sudah duduk di kursi depan.“Hah? Ini alamat rumahmu?” tanya Gibran, “tapi kenapa dia memberikan alamat rumahmu kepadaku.”“Mungkin ia menyuruh kakak untuk bertanya langsung kepada papa,” jawab Eva sambil menundukkan kepalanya. Gibran menggelengkan kepalanya dan ia pun menjalankan mobilnya, ia berniat kembali ke kantornya untuk menyampaikan semuanya kepada Stella.Saat perjalanan Eva selalu saja mengatakan kalau ia tak suka dengan Ellie, sampai Gibran bosan mende
Akhirnya Gibran sampai di kantor polisi tempat Ellie di tahan, karena belum sidang maka Ellie belum di pindahkan ke rutan. Eva juga mengikutinya di belakang Gibran sambil menoleh ke kanan dan ke kiri seperti mencari seseorang.Gibran yang sudah dapat izin untuk menjenguk Ellie pun hanya mempunyai waktu 15 menit saja. Dengan gelisah Gibran menunggu Ellie yang sedang di jemput polisi.“Kak ini kantor papaku,” ucap Eva, “jangan sampai ia tahu dan mencurigai kak Gibran.”Gibran pun menganggukkan kepalanya dan tak lama kemudian polis datang membawa Ellie. “Hai Gibran apa kabar?” teriak Ellie saat melihat Gibran.“Baik, bagaimana kondisimu?” tanya Gibran.“Sangat menyenangkan!” jawab Ellie dengan nada tinggi. Gibran yang mendengar jawaban Ellie hanya bisa tersenyum.“Langsung saja! Ada apa kamu ke si
“Selamat pagi kak Stella,” sapa Eva saat melihat Stella terbangun dari tidurnya. Stella pun tersenyum dan membalas sapaan Eva, “selamat pagi juga.”Stella menyingkap selimut dan ia mengambil ponselnya yang berada tepat di meja samping ranjangnya, kemudian ia mengecek pemberitahuan di ponselnya seperti biasanya, dan kali ini banyak sekali pesan dari Gibran.“Astaga, aku merasa bodoh karena telah menghubungi pria ini tadi malam…” ucap Stella lirih.Eva yang mendengar itu pun tersenyum dan berkata, “Cepat balas pesannya dan segera mandi kak, hari ini kan kakak harus kerja!”Stella yang mendengar itu langsung mengalihkan pandangannya ke arah jam yang ada di ponselnya. Ia pun menghebuskan nafasnya dan berkata “masih ada waktu untuk memblokir nomor ini.”“Jangan kak! Ingat dia kan ingin membantu kita,” ucap
Gibran tersenyum saat mendengar Stella menyebut nama Maldeva, ia tak menyangka kalau kali ini ia harus terlibat dengan kasus ini.“Kenapa kamu tersenyum?” tanya Stella.“Akhirnya aku dapat kesempatan untuk menyelidiki kasusnya,” jawab Gibran.Pelayan pun datang ke meja mereka dan mengantarkan iced cappuccino milik Stella, Stella pun menanggapi dan tersenyum sambil berterima kasih. Saat pelayan itu pergi Stella pun berkata, “Kali ini aku bukan ingin membahas tentang kasusnya.”Ekspresi bingung pun terlihat di wajah Gibran kemudian Stella menceritakan lagi tentang mimpinya yang baru saja di alaminya, dan Gibran pun terlihat antusias mendengarkan cerita Stella. Eva yang duduk di sebelah Gibran juga ikut fokus memperhatikan mereka berdua.“Jadi intinya kamu ingin membantumu, mencari ibu dari anak itu?” tanya Gibran setelah mendengar cer