Ellie sudah kembali ke kamar apartemennya, dan sekarang hanya tinggal Stella seorang diri. Ia melanjutkan membaca buku romance yang belum selesai ia baca, dengan di temani sebotol bir ia membaca buku di sofa ruang tamunya. Terbesit olehnya bayangan nyonya Hellen yang berdiri tegak di bawah lukisan kantornya.
Stella pun menggelengkan kepalanya dan melanjutkan membaca buku, Stella melihat ke arah jam dan tak terasa sudah pukul 12:02 siang. Ia pun memutuskan untuk makan siang di luar. Hari ini ia libur, karena setelah shift siang keesokan harinya pasti ia mendapatkan jatah libur.
Untuk hari liburnya tak mesti weekend, bisa juga weekday seperti ini. Karena ia bekerja di layanan yang beroperasi 24 jam, jadi hari liburnya tidak menentu. Stella berjalan melewati lorong yang sepi di antara kamar-kamar yang tertutup rapat.
Stella sedang berjalan menuju lift, padahal ini siang hari, tapi suasananya mencekam seperti ini. Sepi memantulkan suara langkah kaki Stella, dan sepanjang lorong Stella hanya berani melihat ke bawah dan ke depan saja, ia tak berani melihat ke kanan dan ke kiri.
Mungkin ia masih trauma dengan penampakan nyonya Hellen saat di lorong tempat kerjanya. Langkah demi langkah membawanya sampai ke depan lift, ia pun mengelus dadanya sambil menghembuskan nafasnya. Jemari lentik dengan kuku berwarna merah muda menekan tombol ke bawah pada lift, dan Stella menunggu pintu lift terbuka sambil melipat kedua tangannya.
“Ting” suara lift berdenting dan tak lama kemudian pintunya pun terbuka. Stella masuk di lift kosong itu dan ia langsung menekan tombol G yang berada di urutan 3 paling bawah. Pintu lift pun mulai tertutup, dan terdengar suara “tunggu ... aku ikut!” Buru-buru Stella menekan tombol membuka pintu dan akhirnya lift pun kembali terbuka.
“Terima kasih,” ucap pria berwajah oriental dengan mata sipitnya.
Ia masuk ke dalam lift, dan terdengar jelas nafasnya yang terengah-engah. Pria itu juga mengibas-ngibaskan kerah bajunya dan beberapa kali mengeluarkan nafas dari mulutnya, sampai berbunyi.
“Aku belum pernah melihat ia sebelumnya, mungkin dia tamu seseorang yang kebetulan satu lantai denganku,” ucap Stella dalam hati sambil melirik ke arah pria itu.
Setelannya rapi dengan kemeja slim fit berwarna putih, dan juga celana bahan berwarna abu-abu. Pria itu juga mengenakan sepatu pantofel hitam dengan brand ternama. Pria itu pun mulai merasa kalau Stella sedang memperhatikannya, ia pun menoleh ke arah Stella dan tersenyum. Stella yang sudah terlanjur melihat senyuman pria itu pun langsung membalas senyumannya, sambil menundukkan kepalanya perlahan.
“Ting” suara lift berbunyi, menandakan kalau mereka sudah sampai di lobi. Pria itu bergeser sedikit dan mengisyaratkan tangannya sambil menundukkan badannya. Tangan pria itu mengarah ke pintu lift yang terbuka perlahan.
Stella pun tersenyum dan berjalan keluar dari lift. Saat Stella ingin sampai ke pintu lobi utama, tiba-tiba ia berpapasan dengan Ellie. Ellie pun tersenyum dan melambaikan tangannya, Stella membalas lambaian tangan Ellie dengan wajah masam.
“Mau ke mana, Stell?” tanya Ellie yang masih melambaikan tangannya.
Stella yang bingung, akhirnya menoleh ke belakang dan melihat pria yang bersamanya di lift tadi sedang membalas lambaian tangan Ellie. Seiring langkah kaki pria itu yang cepat, Stella pun merasa malu karena sudah membalas lambaian tangan Ellie.
“Stell, jawab... kamu mau ke mana?” tanya Ellie.
“Aa—anu ... aku mau mencari makan siang,” jawab Stella gugup.
“Kebetulan sekali aku juga ingin mencari makan siang,” sahut Ellie dengan senyuman menggodanya, “aku bersama gebetan baruku...”
“Ha? Orang itu?” tanya Stella.
Ellie menganggukkan kepalanya dan kemudian ia menyambut pria berwajah oriental itu, yang sudah sampai di dekatnya.
“Joe kenalkan ini sahabatku, Stella.” Ellie mengenalkan gebetan barunya kepada Stella.
“Jonathan Lim,” ucap pria itu sambil menyodorkan tangannya. “Stella Agatha ... salam kenal ya, Joe.”
Stella menyambut tangan Joe dan mereka pun bersalaman.
“Sudah cukup kenalannya, sekarang kita pergi cari makan!” ujar Ellie sambil memisahkan kedua tangan mereka yang sedang bersalaman.
Mereka bertiga akhirnya ke luar dari lobi dan menuju tempat parkir, Joe berjalan di depan dan sudah menyiapkan kunci mobilnya. Suara alarm dari mobil mewah berwarna merah terang pun berbunyi. Joe menarik pintu mobil mewah itu dan ia kemudian masuk ke dalam mobilnya. Stella dan Ellie pun menyusul dan ikut masuk ke dalam mobilnya, Ellie memilih duduk di kursi depan bersebelahan dengan Joe.
“Kita mau makan dimana?” tanya Joe saat kedua wanita itu sudah masuk ke dalam mobil.
“Terserah kamu saja,” jawab Ellie.
“Bagaimana kalau steak?” balas Joe sambil menghidupkan mesin mobilnya.
“Boleh juga, aku dengar di dekat sini ada restoran steak yang enak,” ucap Ellie.
Stella hanya diam saja dan mengikuti kemauan pasangan muda-mudi yang belum punya status itu. Stella sedikit iri dengan Ellie yang begitu mudahnya berganti-ganti pasangan di setiap harinya.
“Stell kamu mau steak, kan?” tanya Ellie yang sudah memutar setengah badanya ke belakang.
Stella menganggukkan kepalanya dan tersenyum, Ellie pun mengedipkan matanya dengan tujuan meledek Stella. “Dasar playgirl,” gerutu Stella dalam hati.
Sabuk pengaman sudah terpasang, dan mobil sudah mulai bergerak. Joe terlihat keren saat memegang setir mobilnya yang di lapisi kulit berwarna merah terang. Kemejanya yang di gulung sampai siku, seolah ingin menunjukkan kulitnya yang putih dengan coretan tato berbahasa Thailand.
“Hari ini kamu libur, El?” tanya Joe.
“Iya aku sedang libur dua hari,” jawab Ellie sambil tersenyum dan menatap Joe, “kalau pekerjaanmu hari ini, bagaimana?”
“Tidak terlalu sibuk, makanya aku bisa menyempatkan makan siang bersamamu, El!” ujar Joe.
“Ahh so sweet,” ucap Ellie dengan nada menggoda. “Aku ingin muntah rasanya, mendengar percakapan kedua orang ini!” gumam Stella kesal dalam hati.
“Kalau Stella bekerja, atau masih kuliah?” tanya Joe kepada Stella yang sedang melamun menatap jendela mobil.
“Aa—anu... aku—“
“Dia bekerja juga dan satu kantor denganku,” ucap Ellie memotong ucapan gugup Stella.
“Oh ... cantik-cantik ya, costumer service itu rupanya,” ucap Joe.
“Sok tahu... tidak semuanya Joe, hanya beberapa saja!” bantah Ellie.
Mereka berdua pun asyik dengan obrolan yang tak jelas dan membuat Stella seperti nyamuk dimobil itu. Stella tak memedulikan itu, ia hanya ingin cepat-cepat sampai ke restoran karena perutnya sudah mulai menagih jatah harian kepadanya.
Tidak lama kemudian mereka pun akhirnya sampai ke restoran steak yang sedang ramai di bicarakan orang-orang perihal rasanya yang bintang lima, namun harganya bintang tiga. Security menunjukkan tempat parkir yang kosong, karena melihat mobil mewah Joe, ia mendapat fasilitas parkir di tempat VIP.
Mereka turun dari mobil, dan Joe mengeluarkan selembar uang pecahan lima puluh ribu dan memberikan kepada security itu.
“Titip mobilnya ya pak,” ucap Joe dengan nada yang ramah.
“Siap pak, aman pokoknya!” jawab security berkumis itu dengan senyum lebar, lantaran telah menerima uang tip yang lumayan besar dari Joe.
“Kamu enggak salah kasih uang kan, Joe?” tanya Ellie berbisik pada Joe.
“Tidak El, lagi pula apa salahnya membagi sedikit rezeki kepada orang lain,” jawab Joe.
Stella sudah menatap Ellie dengan tatapan sinis dan kata-kata sudah berada di ujung lidahnya. “Stop! Aku tidak butuh komentarmu, Stell!” tegas Ellie yang sudah tahu kalau Stella ingin berkomentar pedas. Stella pun menelan kata-katanya dan ia pun menutup mulutnya sambil tertawa.
Mereka bertiga masuk ke restoran steak yang lumayan ramai pengunjungnya siang ini. Joe melihat sekeliling berharap menemukan meja kosong, namun tampaknya harapan Joe mulai sirna karena setelah matanya menyisir ruangan itu, ia tak melihat satu pun meja yang kosong.
“Ada yang bisa saya bantu tuan,” ucap salah satu pelayan mengagetkan Joe.
“Oh astaga! Ummm… apakah masih ada tempat yang kosong?” tanya Joe.
“Untuk saat ini masih full, tuan... jika berkenan menunggu, sebaiknya mengisi daftar waiting list terlebih dahulu,” jawab pelayan itu dengan ramah sambil menyodorkan buku yang berukuran besar.
Joe menerima buku itu, dan langsung membukanya. Ia terkejut karena sudah ada 13 orang yang ada di dalam daftar waiting list.
“Bagaimana?” tanya Joe sambil menunjukkan daftar waiting list kepada Ellie.
Ellie melihat daftar itu dan menghela nafasnya sambil berkata, “Kita gagal makan steak kali ini.”
“El...” bisik Stella sambil menarik baju Ellie.
“Ada apa, Stell?” tanya Ellie dengan wajah bingung.
“Hellen Watson ada di sini dan sedang memperhatikan kita dari sudut ruangan,” jawab Stella.
“Apa? Siang-siang seperti ini?” Ellie pun terkejut mendengar ucapan Stella.
“Di sana!” ujar Stella sambil menunjuk ke arah meja paling pojok.
Mata Ellie langsung menuju arah yang di tunjuk Stella, dan ia melihat ada 3 orang di sana. Satu orang wanita dan dua orang pria sedang asyik makan steak, sambil mengobrol.
“Kalian kenal dengan orang itu?” tanya Joe, “jika kenal kita bisa gabung dengan dia.”
“Tidak kenal sama sekali!” bantah Ellie.
“Mereka itu bukannya anak-anak nyonya Hellen dan menantunya?” ucap Stella yang belum yakin dengan dugaanya.
“Mungkin hanya mirip saja,” balas Ellie yang meragukan ucapan Stella.
“Benar yang di katakan mbaknya, mereka itu keluarga Watson,” sahut pelayan itu dengan senyuman.
Mata Ellie dan Stella pun saling menatap, dan mereka berbicara dari mata ke mata, seakan tidak percaya kalau mereka adalah keluarga Watson.
“Apakah ini kebetulan?” bisik Stella.
Ellie menggelengkan kepalanya dan ia masih belum mengedipkan matanya. Mungkin ia sedang berpikir kalau ini semua ada kaitannya dengan pesan yang di sampaikan nyonya Hellen. Sampai-sampai terlintas di otak Ellie, untuk menghampiri mereka dan mengajukan beberapa pertanyaan.
“Ayo kita cari tempat lain saja,” cetus Joe.
“Tidak!” ucap Stella dan Ellie kompak.
“Kita tetap makan steak, dan bergabung dengan keluarga Watson!” ujar Ellie.
“Kamu sudah gila, El?” Stella pun terkejut.
“Aku ada ide,” jawab Ellie sambil menarik tangan Stella dan menuju ke meja keluarga Watson.
Langkah Ellie cepat dan penuh keyakinan, sedangkan Stella merasa ragu serta malu, karena ia sedang di tarik seperti hewan ternak.
“Selamat siang maaf mengganggu, apakah kalian benar keluarga Watson?” sapa Ellie setelah sampai di meja keluarga Watson.
“Iya benar,” jawab perempuan cantik berambut panjang terurai dan berwarna hitam pekat.
“Kalian?” sahut bingung dari pria yang duduk di sebelah wanita itu.
“Perkenalkan namaku Ellie dan ini temanku, namanya Stella.” Ellie melemparkan senyum ramah setelah memperkenalkan diri, tapi ketiga orang itu malah menatap sinis ke arah Ellie. Ellie pun mulai gugup, terlihat dari tangannya yang mulai memainkan kuku jarinya.
“Ada perlu apa?” tanya pria yang duduk di seberang wanita berambut hitam, sambil meletakan pisau dan garpunya.
Pria itu juga melipat tangannya dan menunggu jawaban dari Ellie.
“Aa—aku kenal dengan almarhum ibu kalian, nyonya Hellen.” Ellie yang mulai kehilangan percaya diri, mulai menurunkan nada bicaranya.
“Kami berdua turut berduka yang sedalam-dalamnya untuk nyonya Hellen,” sahut Stella yang akhirnya buka suara.
“Mertuaku memang orang yang ramah, sampai-sampai punya kenalan wanita cantik seperti kalian,” ucap wanita berambut hitam pekat yang mulai tersenyum.
“Kalau boleh tahu, kalian kenal di mana dengan Ibuku,” sahut pria yang duduk di sebelah wanita itu.
Ellie terus menatap kursi kosong di sebelah pria yang tampak lebih muda, dari pria yang barusan bertanya.
“Sebelum aku jawab, bolehkah kami gabung di meja kalian?” tanya Ellie.
Wanita berambut hitam pun berbisik ke pria yang ada di sebelahnya, ia menutup mulutnya dan berbicara langsung ke telinga pria itu. Ellie semakin cepat memainkan kuku jarinya, dan terlihat sangat gugup. Berbeda dengan Stella yang masih tenang, dan menunggu hasil diskusi kedua orang itu.
Wanita cantik itu pun sudah selesai berbisik, dan pria itu langsung berbicara, “Silakan jika kalian ingin bergabung.”
Ellie yang mendengar itu langsung berhenti memainkan kuku jarinya dan ia berkata, “Ada satu lagi teman kami, pria yang berdiri di depan pintu masuk itu.”
“Oh iya ... tidak masalah,” ucap wanita itu yang kemudian mengangkat tangannya memberi kode pada pelayan.
Ellie berjalan meninggalkan Stella yang masih berdiri, ia menuju ke arah Joe untuk mengajaknya bergabung dengan keluarga Watson. Joe tampaknya setuju dengan Ellie, dan ia pun berjalan lagi ke meja keluarga Watson.
“Kamu tidak lelah, berdiri terus?” tegur pria yang duduk di seberang wanita berambut hitam, kepada Stella.
“Silakan isi dulu kursi yang kosong itu,” sahut wanita itu.
Stella pun menganggukkan kepalanya dan ia berjalan menuju kursi kosong itu, dan mendaratkan tubuh langsingnya di kursi kosong. Pandangan pria yang duduk di sebelah wanita berambut hitam tak lepas dari Stella dan membuatnya agak risi.
Ellie pun datang dan susul oleh Joe di belakangnya. “Perkenalkan ini temanku juga, namanya Jonathan, biasa di panggil Joe,” ucap Ellie mengenalkan Joe pada keluarga Watson.
“Baik, sekarang kalian silakan isi kursi kosongnya... ada beberapa pertanyaan yang ingin aku tanyakan, kepada kalian!” wanita berambut hitam itu sudah mulai serius, terdengar dari suaranya yang lantang dan tak ada getaran sama sekali.
Ellie mengajak Joe untuk mengisi kursi yang kosong, dan Ellie memilih duduk di sebelah Stella ketimbang duduk di samping pria yang usianya sekitar 30 an. Pelayan datang menghampiri meja keluarga Watson, dan memberikan buku menu kepada mereka yang baru saja duduk. Mereka langsung memesan menu yang sama, dan pelayan langsung mengambil kembali daftar menunya.
“Jawab pertanyaanku tadi... kalian kenal dimana dengan Ibuku?” tanya pria yang duduk di sebelah wanita berambut hitam.
Kini Stella dan Ellie sudah berada satu meja dengan keluarga Watson, dan salah satu anak nyonya Hellen bertanya dan belum mampu di jawab oleh Ellie. Ia masih memutar otaknya, untuk mendapatkan jawaban yang pas untuk pertanyaan pria itu.“Sebelumnya perkenalkan dulu nama kalian, agar kita lebih akrab lagi,” cetus Stella.“Stell, itu tidak sopan...” bisik Ellie.“Astaga kami sampai lupa memperkenalkan diri,” jawab wanita berambut hitam sambil tersenyum, “namaku Anne Lucyanne Watson, aku adalah menantu nyonya Hellen.”“Tak perlu memperkenalkan nama lengkapmu, Ann!” ujar pria yang ada di sampingnya.“Tidak masalah, aku yakin mereka ini orang baik,” bantah Anne.Sosok nyonya Hellen yang tadi sempat menghilang, kini tiba-tiba ia muncul kembali. Ia hanya menatap ke arah meja mereka dengan lidah
Stella membuka matanya dan ia melihat ke langit-langit kamarnya, kemudian pandangannya mengarah ke jendela kamarnya. Awan sore yang cerah memberi warna biru yang indah dengan awan Altocumulus yang jadi pemanis pada sore itu, saat menuju senja.“Kemana perginya Eliie?” tanya Stella dalam hati, saat mengetahui Ellie tak ada. Mungkin ia kembali ke kamarnya selagi aku tidur tadi, pikir Stella. Ia pun bangun dari tempat tidurnya dan menuju sofa, dan Stella pun tersenyum saat melihat Ellie tertidur pulas di sofa.“Hei, wanita idaman pria, bangun!” ujar Stella.Ellie pun langsung membuka matanya dan ia berkata, “Kamu sudah sadar?” Stella pun bingung dengan kata-kata “sudah sadar,” ia mengelak dan mengatakan kalau ia barusan itu tertidur. Ellie pun menghela nafasnya dan mengalah.“Saat kamu pingsan tadi, aku mencari tahu alamat nyonya Hellen,” ucap
Pemandangan setelah pintu terbuka adalah, kamar yang berantakan dan beraroma tak sedap, tapi Ellie sangat menikmatinya dan ia mulai melangkahkan kakinya masuk ke dalam. Stella yang mempunyai firasat tak enak, akhirnya mau tak mau mengikuti Ellie masuk ke dalam.Ellie langsung berlari ke arah jendela nyonya Hellen, dan ia mengambil gambar goresan yang berada di sisi-sisi jendela nyonya Hellen dengan kamera ponselnya. Sedangkan Stella masih tak percaya kalau ia sampai sejauh ini, ia melihat sekeliling dan ia tak menemukan cermin di dalam kamar nyonya Hellen.“Ell, aku merasa ada yang aneh dengan rumah ini…” bisik Stella.Ellie yang sudah selesai mengambil gambar, langsung menghampiri Stella dan bertanya, “Apanya yang aneh?”“Aku tidak melihat cermin di rumah ini,” jawab Stella sambil melirik ke kiri, ke arah kasur nyonya Hellen.Ellie yang
Stella membuka matanya dan dia merasa heran karena sudah berada di apartemennya, dia lantas menyingkap selimut dan bangun dari kasurnya. Ia pun melihat ke ruang santainya dan tak ada seseorang pun di sana, kemudian Stella pun menyalakan TV dan tak sengaja ia langsung melihat berita yang sedang menyiarkan kasus lanjutan nyonya Hellen.Stella teringat kembali terakhir kali dia membuka mata, dan ia baru sadar kalau waktu itu ia di hajar menggunakan gagang pistol oleh sahabatnya sendiri, dan ia bingung kenapa sekarang ia bisa berada di apartemennya.Breaking news “Pembunuhan Hellen Watson akhirnya terungkap, tersangka yang tidak lain adalah menantunya sendiri dan di bantu adik perempuanya. Anehnya tak ada penyesalan di wajah mereka berdua, dan senyum lebar terpampang jelas di wajah mereka berdua.”Stella terdiam dan tak menyangka kalau Ellie benar-benar melakukan itu, tapi kenapa dia mengajak dan menyeret Stella
Stella yang sudah 2 jam tak sadarkan diri, akhirnya terbangun dan terkejut setelah melihat sosok pria duduk di sampingnya.“Kamu sudah sadar?” tanya pria itu. Stella menganggukkan kepalanya dan ia pun merubah posisi yang awalnya telentang menjadi duduk.“Kamu sedang apa di sini?” tanya Stella.“Menjengukmu, apa lagi?” jawab pria itu sambil tersenyum.Stella pun menggelengkan kepalanya dan ia pun melipat tangannya diperutnya, “kamu libur hari ini?”“Aku masuk nanti sore, makanya aku sempatkan utnuk menjengukmu,” jawab pria itu.Pria itu adalah Gibran Triguna, pria yang menyukai Stella dan selalu di campakkan oleh Stella. Wajahnya tidak terlalu buruk, tapi memang ia bukan tipe pria yang di sukai Stella. Meskipun Stella sering mencampakkannya dan cuek kepadanya, Gibran tetap berusaha untuk mendapatkan h
“Tolong…” “Ampun papa, aku janji tidak akan nakal lagi.” Terdengar suara anak perempuan yang meminta ampun. Gelap pun berubah menjadi terang dan Stella terbawa ke suatu kamar yang ia sendiri tak tahu di mana itu. Stella membuka matanya dan ia melihat sosok anak perempuan yang sedang terbaring di lantai sambil menangis. Badan anak perempuan itu penuh memar dan tampaknya ia tak bisa berdiri, Stella yang melihat itu pun langsung menghampirinya. “Hei, kamu tidak apa-apa?” tanya Stella. Anak perempuan itu tak menjawab, bahkan ia seperti tak menyadari kehadiran Stella. Stella pun menghampiri amak itu dan ia ingin membantu anak itu bangun, tapi ternyata Stella tak bisa menyentuh anak itu. Stella pun mencoba lagi dan lagi, tetapi tetap saja tak bisa. Tiba-tiba air mata anak itu jatuh dan ia berbisik, “Aku rindu kamu, mama….” Anak itu berusaha bang
Seketika semua orang yang ada di dalam ruangan menjadi panik dan suasana di dalam ruang kerja pun menjadi bising seperti di pasar. Semua orang menyalakan senter dari ponsel mereka masing-masing untuk penerangan.Stella berusaha agar tidak panik dan tetap duduk di kursinya, tapi tampaknya pikirannya terganggu oleh suara anak perempuan yang baru saja meminta tolong. “Apakah ini sama dengan kasus nyonya Hellen?” gumam Stella dalam hati.Tidak lama kemudian listrik kembali menyala, dan pak Diky masuk ke ruangan mengarahkan anak buahnya untuk kembali bekerja. Stella yang masih duduk di bangkunya langsung menyalakan kembali komputernya, dan lanjut bekerja seperti biasanya.Setelah listrik menyala kerjaan Stella kembali normal dan tak ada telepon yang aneh-aneh, sampai akhirnya waktu menunjukkan pukul 13:00 dan Stella meninggalkan ruangan kerjanya untuk makan siang. Stella berjalan ke loker room untuk mengambil domp
Stella dan Gibran akhirnya tiba di loker room, kemudian Stella menceritakan mimpinya yang melihat Maldeva bunuh diri. Gibran pun fokus mendengarkan dan tak banyak berkomentar, ekspresinya terlihat seperti memikirkan sesuatu.“Yang buat aku bingung itu, mimpinya terlalu nyata,” ucap Stella mengakhiri ceritanya.Gibran masih belum berkomentar, dan ia terlihat menarik nafas dalam-dalam. Stella yang melihat tingakah laku Gibran, langsung mendorong bahunya sambil berkata “jika kamu tidak percaya, silahkan saja!”Gibran menggelengkan kepalanya dan ia pun menjawab, “Aku bukannya tak percaya, tapi aku sedang mencerna setiap ucapanmu, dan menurutku sepertinya itu bukanlah mimpi.”“Lalu kalau itu bukan mimpi, apa?” tanya Stella sambil berjalan menuju lokernya untuk menaruh dompetnya.“Mungkin itu ingatan Maldeva yang di transfer ke inga
Tiga hari berlalu, masa-masa membosankan saat berada di rumah sakit akhirnya selesai juga. Stella tersenyum saat meninggalkan rumah sakit, dan ia berkata “semoga aku tak berakhir di sini, lagi.”Saat perjalanan pulang Stella tak banyak berbicara, seperti biasanya. Gibran juga tak membuka pembicaraan seperti biasanya. “Mau sampai kapan berdua tidak saling sapa?” cetus Eva yang berada di kursi belakang.Stella hanya tersenyum dan memalingkan wajah, kemudian ia berkata “aku ingin menemuinya.”“Siapa?” tanya Gibran tanpa melihat ke arah Stella.“Ellie. Aku ingin bertemu dengannya,” jawab Stella dengan raut wajah masam.Gibran melirik Stella dan perlahan ia mulai tersenyum. Eva yang melihat hal itu ikut tersenyum dan ia memeluk Stella dari belakang.Tidak lama kemudian mereka sampai ke apartemen Stella, G
“Dimana aku? Kenapa semua hitam, dan aku tidak bisa melihat apa-apa,” ucap Stella panik. Stella berjalan perlahan, langkah kakinya diseret dengan tangan meraba. Stella terus berjalan sampai ia merasa putus asa dan menghentikan langkah kakinya.“Se—seorang… tolong aku, aku takut…” ucap Stella lirih sambil merendahkan badannya dan jongkok perlahan. Tiba-tiba saat ia menundukkan kepala, ada cahaya biru bergerak lambat di atas kepala Stella.Spontan Stella mengangkat kepalanya dan melihat cahaya biru itu, dan ia pun tersenyum. “Cantik sekali,” ucap Stella saat melihat cahaya biru itu yang perlahan berubah bentuk menjadi kupu-kupu hitam dengan corak biru yang bercahaya.Saat sedang asyik menatap kupu-kupu itu, tiba-tiba ada suara bergema yang berkata “jangan menyerah, Stella!”Stella melihat sekeliling dan cahaya dari kupu-kupu itu tak bi
“Aku tahu dia ada di dalam kamarku,” ucap Joe yang sudah berada di depan Stella. “Dia? Dia siapa maksudmu?” tanya Stella sambil melangkah mundur perlahan. Senyum Joe tiba-tiba hilang begitu saja, kali ini tatapan mata Joe sangat tajam kepada Stella. Stella merasa ketakutan dan langkah kakinya semakin cepat berjalan mundur. Keringat Stella sudah sebesar biji jagung, menetes dari kening dan terhalang oleh alisnya. Tingkat kesabaran Joe sudah mulai habis dan ia lari menghampiri Stella. Stella yang ketakutan langsung memutar badannya dan berlari menuju tangga, ia hanya mengikuti langkah kaki membawanya tanpa berfikir terlebih dahulu. Sementara itu di lantai dua, Gibran sudah menemukan apa yang ia cari. “Ketemu!” teriak Gibran sambil menunjukkan amplop coklat kepada Eva. Eva terlihat bingung dan bertanya “itu apa, kak?” “Ini adalah….” Ucapan Gibran terpotong oleh teriakan Stella dari bawah, kemudi
“Dimana kamu, Gibran…” ucap Stella lirih sambil berlarian di lobby. Ia menoleh ke kanan dan ke kiri, mencari sosok Gibran yang tiba-tiba menghilang begitu saja. Langkah Stella terhenti dan ia mengeluarkan ponselnya lagi dan menghubungi Gibran.“Ah sial, kali ini malah tidak aktif,” gumam Stella dalam hati.Sedang panik-paniknya, tiba-tiba Eva muncul di hadapan Stella. “Ada apa kak?” tanya Eva dengan tenang.“Dari mana saja kamu?” jawab Stella, “Gi—gibran hilang.”“Kalian bertengkar?” tanya Eva dengan ekspresi bingung. “Ceritanya panjang … yang penting kita harus menemukan dia dulu,” jawab Stella yang kemudian berjalan meninggalkan Eva.Eva mengikuti Stella berjalan di belakang, dan langkah kaki Stella yang cepat membuat Eva bertanya-tanya dalam hati. Sebenarnya apa yang sudah t
“Jadi apa idemu, Stell?” tanya Gibran dengan wajah penasaran.Stella hanya tersenyum ia pun sudah selesai dengan makan siangnya. Ia juga langsung meninggalkan Gibran untuk membayar makanannya dan langsung kembali ke kantor. Gibran berlari menyusul Stella, sesekali Stella menoleh ke belakang dan tersenyum melihat Gibran yang mengejarnya.“Hei Stell, tunggu!” panggil Gibran saat jaraknya sudah dekat dengan Stella. Stella menghentikan langkahnya dan bertanya “ada apa sih?”Sambil terengah-engah Gibran menanyakan lagi apa ide Stella. “Nanti saat di loker room akan aku beritahu ideku!” bentak Stella, kemudian ia kembali berjalan menuju kantornya. Sedankan Eva menghilang sedari tadi, tapi Stella dan tidak ada yang menyadarinya.Saat di dalam lift Gibran hanya terdiam saja, tapi mulutnya sudah gatal ingin bertanya kepada Stella. Mereka pun hanya terdiam sampai
Sebelum menjalankan mobilnya Gibran melihat kertas yang di berikan oleh wanita itu, dan di kertas itu tertulis alamat Cendrawasih VII no 21. Gibran pun bertanya-tanya alamat siapa ini sebenarnya, apakah alamat Liza Magdalena?Eva melihat tulisan itu dari bangku belakang dan Gibran yang terkejut langsung melipat kertas itu. “Cendrawasih VII no 21, bukannya itu rumahku?” tanya Eva yang tiba-ttiba sudah duduk di kursi depan.“Hah? Ini alamat rumahmu?” tanya Gibran, “tapi kenapa dia memberikan alamat rumahmu kepadaku.”“Mungkin ia menyuruh kakak untuk bertanya langsung kepada papa,” jawab Eva sambil menundukkan kepalanya. Gibran menggelengkan kepalanya dan ia pun menjalankan mobilnya, ia berniat kembali ke kantornya untuk menyampaikan semuanya kepada Stella.Saat perjalanan Eva selalu saja mengatakan kalau ia tak suka dengan Ellie, sampai Gibran bosan mende
Akhirnya Gibran sampai di kantor polisi tempat Ellie di tahan, karena belum sidang maka Ellie belum di pindahkan ke rutan. Eva juga mengikutinya di belakang Gibran sambil menoleh ke kanan dan ke kiri seperti mencari seseorang.Gibran yang sudah dapat izin untuk menjenguk Ellie pun hanya mempunyai waktu 15 menit saja. Dengan gelisah Gibran menunggu Ellie yang sedang di jemput polisi.“Kak ini kantor papaku,” ucap Eva, “jangan sampai ia tahu dan mencurigai kak Gibran.”Gibran pun menganggukkan kepalanya dan tak lama kemudian polis datang membawa Ellie. “Hai Gibran apa kabar?” teriak Ellie saat melihat Gibran.“Baik, bagaimana kondisimu?” tanya Gibran.“Sangat menyenangkan!” jawab Ellie dengan nada tinggi. Gibran yang mendengar jawaban Ellie hanya bisa tersenyum.“Langsung saja! Ada apa kamu ke si
“Selamat pagi kak Stella,” sapa Eva saat melihat Stella terbangun dari tidurnya. Stella pun tersenyum dan membalas sapaan Eva, “selamat pagi juga.”Stella menyingkap selimut dan ia mengambil ponselnya yang berada tepat di meja samping ranjangnya, kemudian ia mengecek pemberitahuan di ponselnya seperti biasanya, dan kali ini banyak sekali pesan dari Gibran.“Astaga, aku merasa bodoh karena telah menghubungi pria ini tadi malam…” ucap Stella lirih.Eva yang mendengar itu pun tersenyum dan berkata, “Cepat balas pesannya dan segera mandi kak, hari ini kan kakak harus kerja!”Stella yang mendengar itu langsung mengalihkan pandangannya ke arah jam yang ada di ponselnya. Ia pun menghebuskan nafasnya dan berkata “masih ada waktu untuk memblokir nomor ini.”“Jangan kak! Ingat dia kan ingin membantu kita,” ucap
Gibran tersenyum saat mendengar Stella menyebut nama Maldeva, ia tak menyangka kalau kali ini ia harus terlibat dengan kasus ini.“Kenapa kamu tersenyum?” tanya Stella.“Akhirnya aku dapat kesempatan untuk menyelidiki kasusnya,” jawab Gibran.Pelayan pun datang ke meja mereka dan mengantarkan iced cappuccino milik Stella, Stella pun menanggapi dan tersenyum sambil berterima kasih. Saat pelayan itu pergi Stella pun berkata, “Kali ini aku bukan ingin membahas tentang kasusnya.”Ekspresi bingung pun terlihat di wajah Gibran kemudian Stella menceritakan lagi tentang mimpinya yang baru saja di alaminya, dan Gibran pun terlihat antusias mendengarkan cerita Stella. Eva yang duduk di sebelah Gibran juga ikut fokus memperhatikan mereka berdua.“Jadi intinya kamu ingin membantumu, mencari ibu dari anak itu?” tanya Gibran setelah mendengar cer