Nyonya Hellen Watson adalah wanita tua yang tinggal sendiri di rumah yang cukup besar di pinggir kota, dia mempunyai dua anak dan mereka semua sudah berkeluarga. Semenjak kematian suaminya, Gerry Watson, nyonya Hellen gila-gilaan menghabiskan banyak uang untuk membeli hal-hal yang tidak penting di Happyshop.
Hellen Watson juga sering menghubungi customer service, bukan untuk mengeluh barang yang di belinya, melainkan ingin sekedar mengobrol dengan customer service karena ia merasa kesepian.
Modus awalnya pasti selalu meminta rekomendasi barang bagus di Happyshop, kemudian setelah customer service memberi beberapa pilhan barang terlaris, ia mulai menanyakan beberapa pertanyaan sampai akhirnya komunikasi mereka pun berjalan lama.
Sedangkan Stella, belum pernah menjawab panggilan dari nyonya Hellen, tapi ia pernah mendengar bahwa ada wanita tua kesepian yang sering mencurahkan isi hatinya ke customer service. Stella tak begitu menanggapi, dan berharap orang tua itu tidak meneleponnya.
Nyonya Hellen tewas tergantung mengenaskan di kamarnya, tanpa surat wasiat dan tak memberikan tanda pada anak-anaknya. Hal itu tentu membuat kedua anaknya syok, dan menyesal karena menelantarkan ibunya di hari tua. Air mata anak itu pun berjatuhan seiring sesal yang ia dapati, sesal karena uang yang selama ini mereka kirim ternyata tak membantu menghilangkan kekosongan di hati nyonya Hellen.
Dugaan sementara nyonya Hellen tewas bunuh diri dengan cara melilitkan seprei ke lehernya dan menggantungkannya di langit-langit kamarnya. Polisi masih mengautopsi untuk mencari tahu kebenarannya, apakah ia benar bunuh diri atau sengaja ada yang membunuhnya.
Kini arwah penasaran nyonya Hellen menghantui Stella, dan entah apa motifnya sampai beliau menghantui Stella.
Menurut mbak Ria, hantu nyonya Hellen ingin menyampaikan pesan. Stella mulai memikirkan pesan itu, dan ia pun menjadi penasaran. Sekarang sudah pukul 23:00 tapi dua wanita itu masih duduk di depan TV dan sudah menghabiskan 4 botol bir hanya dalam waktu kurang dari 2 jam.
“Aku pulang dulu ya Stell untuk mengambil baju tidur,” ucap Ellie.
“Aku ikut!” tegas Stella yang sudah memegang tangan Ellie.
“Sudahlah... ayo cepat ikut, aku sudah tidak tahan dan ingin segera merebahkan badan ini!” bentak Ellie.
Mereka berdua pun pergi meninggalkan kamar Stella dan masuk ke kamar Ellie yang berada tepat di sebelah kamarnya. Stella menggelengkan kepalanya sesaat ia masuk ke dalam kamarnya.
“Ini lebih mirip lumbung padi, dari pada kamar seorang gadis!” sindir Stella saat melihat appartemen Ellie yang berantakan.
“Tutup mulutmu, atau aku sekap kau di kamar mandi!” bentak Ellie kesal.
Stella pun menarik senyumannya dan tetap berjalan di belakang Ellie. Kaos kaki berserakan di mana-mana, dan sepatu tak berpasangan pun ikut bertaburan di lantai. Jaket dan kardigan juga berserakan di sofa, tak beraturan. Stella mengarahkan matanya ke dinding dan melihat banyak foto-foto Ellie berukuran besar terpajang di dindingnya, Stella pun tertawa dalam hati dan berkata, “Ellie senarsis ini rupanya.”
Ellie mengangkat tumpukan jaket dan kardigan yang berserakan di sofa, setelah ia menguntal jaket-jaketnya, ia langsung menjulurkan lengannya memberi isyarat yang mempersilakan Stella untuk duduk. Stella hanya menatap sofa itu dan kemudian ia menggelengkan kepalanya.
“Kenapa? Kamu takut?” tanya Ellie.
Stella menganggukkan kepalanya setelah Ellie bertanya seperti itu, kemudian Ellie menepak dahinya dan sambil mengeluh, “Astaga... untungnya aku hanya punya satu teman yang menyusahkan, sepertimu!”
“Kamu tampak cantik saat wajahmu terpampang di foto berukuran besar, El…” bisik Stella.
“Jangan mengalihkan pembicaraan!” bentak Ellie.
Stella pun tersenyum dan sekarang ia mengedipkan matanya ke arah Ellie berulang kali. “Berhenti melakukan itu Stell, atau aku colok matamu dengan garpu!”
Stella pun tertawa terbahak-bahak, sedangkan Ellie langsung berjalan meninggalkannya. Ia melangkahkan kakinya menuju kamarnya, dan Stella mengikutinya sambil celingak-celinguk dan tetap waspada. Ellie pun membuka pintu kamarnya, dan Stella terkejut.
Stella seperti melihat dunia yang berbeda, karena kamar milik Ellie sangat rapi berbeda 180° dengan ruang tamunya.
“Ka—kamarmu rapi sekali?” kagum Stella.
“Karena aku jarang tidur di kamar,” sahut Ellie yang sedang membuka lemari pakaiannya yang besar.
Stella mengintip ke dalam lemari itu, dan ia melihat banyak sekali rok mini dengan bahan dan warna yang berbeda-beda.
“Ternyata gosip yang beredar di kantor benar, kalau kamu memiliki lusinan rok mini,” ledek Stella.
“Sejak kapan kamu peduli dengan gosip kantor?” tanya Ellie yang sudah memegang baju tidurnya.
“Sejak kamu di gosipkan punya hubungan dengan Pak Diky,” balas Stella sambil melemparkan senyumnya.
“Aku memang nakal, tapi aku pilih-pilih... mana mungkin aku menjalin hubungan dengan suami orang!” bantah Ellie.
“Ya namanya juga gosip, El... banyak salahnya dari pada benarnya,” ucap Stella.
“Setuju, ayo kita kembali ke kamarmu Stell! Aku sudah benar-benar lelah dengan hari ini!” jawab Ellie.
Mereka berdua akhirnya kembali ke kamar Stella, dan Ellie langsung menuju ke kamar mandi untuk membasuh badanya sebelum tidur. Sedangkan Stella sudah bersandar sedari tadi sambil membaca buku novel romance. Lampu kamar sudah dipadamkan, dan hanya menyisakan cahaya lampu meja saja yang berada di samping kanan Stella.
Setengah badan Stella sudah di tutupi selimut, dan kakinya lurus memanjang untuk meredakan rasa lelahnya karena seharian memakai sepatu berhak 5cm. Sedang asyik membaca, tiba-tiba Stella merasakan kakinya seperti ada yang mengelus. Ia benar-benar merasakan elusannya itu naik dari telapak kakinya sampai lutut.
Stella pun berhenti membaca dan berkali-kali menggigit bibir bawahnya untuk menahan rasa geli. Sedangkan Ellie masih asyik berendam di di bethub milik Stella, air hangat sudah terasa dingin, namun Ellie masih betah berada di sana. Elusan yang mengelus kaki Stella masih berjalan, sekarang elusan itu mulai naik perlahan ke paha Stella, dan terlihat ia sudah tak tahan lagi menahan rasa gelinya.
Stella pun langsung menyingkap selimut itu dan kedua kakinya pun terlihat dan tak ada apa-apa di kakinya. Stella mulai merinding dan ia pun menutup bukunya, sambil melihat ke sekitar dengan perlahan. Segala macam doa sudah dibaca di dalam hati, mulutnya komat-kamit seperti penyihir yang sedang merapal mantra.
Pintu kamar mandi yang berada di sudut kiri kamarnya pun terbuka, dan ia melihat Ellie keluar dari kamar mandi tanpa sehelai kain yang menempel di badanya. Ellie hanya berdiri saja setelah membuka pintu, dan tatapannya kosong ke arah Stella.
“Pakai handukku saja, El!” ujar Stella.
Ellie tak bergeming dan masih berdiri di balik pintu, wajahnya datar tanpa ekspresi dan juga tatapannya kosong.
“El, kamu baik-baik saja?” tanya Stella.
Ellie masih diam dan tak merespons sama sekali ucapan Stella. Stella pun mulai ketakutan dan ia meletakan buku yang sedari tadi di pegangnya.
“El, kamu baik-baik saja, kan?” tanya Stella lagi yang kali ini agak bergetar nadanya.
Ellie tak bergeming sama sekali, dan tubuhnya pun juga terlihat tidak ada pergerakan, seperti orang yang menahan nafasnya.
“El, jangan menakut-nakutiku!” tegas Stella.
Ellie mengangkat kaki kanannya dan melangkah, ketika kaki kanannya mendarat, tiba-tiba kepala Ellie copot dari lehernya, dan menggelinding ke arah Stella dengan mata melotot serta lidah yang menjulur keluar.
“Aaaaaaaaaaaaaaaaaa!” Stella pun teriak sampai suaranya hilang tertelan dalam gelap.
“Hei penakut, bangun!”Stella merasa ada yang menampar-nampar pipinya dengan pelan, tapi berulang-ulang kali. Ia pun memaksakan diri membuka matanya dan cahaya matahari dari jendela menyorot tepat ke wajah Stella sampai ia tak sanggup membuka matanya.Saat Stella berhasil membuka matanya Ellie pun langsung bertanya “kamu kalau tidur segaduh itu, Stell?”“Gaduh?” tanya Stella bingung dan mengubah posisinya menjadi duduk di kasur.“Iya gaduh, teriak-teriak sendiri saat tidur!” tegas Ellie.Stella mengangkat kedua pundaknya, dan ia tak membalas perkataan Ellie, lalu ia pun teringat dengan kepala Ellie yang copot dan menggelinding tadi malam.Stella menghela nafas dan kemudian bersandar di kasurnya. “Syukurlah ternyata itu hanya mimpi...” ucap Stella lirih.“Apa? Kamu bilang apa barusan?&rdq
Ellie sudah kembali ke kamar apartemennya, dan sekarang hanya tinggal Stella seorang diri. Ia melanjutkan membaca buku romance yang belum selesai ia baca, dengan di temani sebotol bir ia membaca buku di sofa ruang tamunya. Terbesit olehnya bayangan nyonya Hellen yang berdiri tegak di bawah lukisan kantornya.Stella pun menggelengkan kepalanya dan melanjutkan membaca buku, Stella melihat ke arah jam dan tak terasa sudah pukul 12:02 siang. Ia pun memutuskan untuk makan siang di luar. Hari ini ia libur, karena setelah shift siang keesokan harinya pasti ia mendapatkan jatah libur.Untuk hari liburnya tak mesti weekend, bisa juga weekday seperti ini. Karena ia bekerja di layanan yang beroperasi 24 jam, jadi hari liburnya tidak menentu. Stella berjalan melewati lorong yang sepi di antara kamar-kamar yang tertutup rapat.Stella sedang berjalan menuju lift, padahal ini siang hari, tapi suasananya mencekam seperti ini. Sepi meman
Kini Stella dan Ellie sudah berada satu meja dengan keluarga Watson, dan salah satu anak nyonya Hellen bertanya dan belum mampu di jawab oleh Ellie. Ia masih memutar otaknya, untuk mendapatkan jawaban yang pas untuk pertanyaan pria itu.“Sebelumnya perkenalkan dulu nama kalian, agar kita lebih akrab lagi,” cetus Stella.“Stell, itu tidak sopan...” bisik Ellie.“Astaga kami sampai lupa memperkenalkan diri,” jawab wanita berambut hitam sambil tersenyum, “namaku Anne Lucyanne Watson, aku adalah menantu nyonya Hellen.”“Tak perlu memperkenalkan nama lengkapmu, Ann!” ujar pria yang ada di sampingnya.“Tidak masalah, aku yakin mereka ini orang baik,” bantah Anne.Sosok nyonya Hellen yang tadi sempat menghilang, kini tiba-tiba ia muncul kembali. Ia hanya menatap ke arah meja mereka dengan lidah
Stella membuka matanya dan ia melihat ke langit-langit kamarnya, kemudian pandangannya mengarah ke jendela kamarnya. Awan sore yang cerah memberi warna biru yang indah dengan awan Altocumulus yang jadi pemanis pada sore itu, saat menuju senja.“Kemana perginya Eliie?” tanya Stella dalam hati, saat mengetahui Ellie tak ada. Mungkin ia kembali ke kamarnya selagi aku tidur tadi, pikir Stella. Ia pun bangun dari tempat tidurnya dan menuju sofa, dan Stella pun tersenyum saat melihat Ellie tertidur pulas di sofa.“Hei, wanita idaman pria, bangun!” ujar Stella.Ellie pun langsung membuka matanya dan ia berkata, “Kamu sudah sadar?” Stella pun bingung dengan kata-kata “sudah sadar,” ia mengelak dan mengatakan kalau ia barusan itu tertidur. Ellie pun menghela nafasnya dan mengalah.“Saat kamu pingsan tadi, aku mencari tahu alamat nyonya Hellen,” ucap
Pemandangan setelah pintu terbuka adalah, kamar yang berantakan dan beraroma tak sedap, tapi Ellie sangat menikmatinya dan ia mulai melangkahkan kakinya masuk ke dalam. Stella yang mempunyai firasat tak enak, akhirnya mau tak mau mengikuti Ellie masuk ke dalam.Ellie langsung berlari ke arah jendela nyonya Hellen, dan ia mengambil gambar goresan yang berada di sisi-sisi jendela nyonya Hellen dengan kamera ponselnya. Sedangkan Stella masih tak percaya kalau ia sampai sejauh ini, ia melihat sekeliling dan ia tak menemukan cermin di dalam kamar nyonya Hellen.“Ell, aku merasa ada yang aneh dengan rumah ini…” bisik Stella.Ellie yang sudah selesai mengambil gambar, langsung menghampiri Stella dan bertanya, “Apanya yang aneh?”“Aku tidak melihat cermin di rumah ini,” jawab Stella sambil melirik ke kiri, ke arah kasur nyonya Hellen.Ellie yang
Stella membuka matanya dan dia merasa heran karena sudah berada di apartemennya, dia lantas menyingkap selimut dan bangun dari kasurnya. Ia pun melihat ke ruang santainya dan tak ada seseorang pun di sana, kemudian Stella pun menyalakan TV dan tak sengaja ia langsung melihat berita yang sedang menyiarkan kasus lanjutan nyonya Hellen.Stella teringat kembali terakhir kali dia membuka mata, dan ia baru sadar kalau waktu itu ia di hajar menggunakan gagang pistol oleh sahabatnya sendiri, dan ia bingung kenapa sekarang ia bisa berada di apartemennya.Breaking news “Pembunuhan Hellen Watson akhirnya terungkap, tersangka yang tidak lain adalah menantunya sendiri dan di bantu adik perempuanya. Anehnya tak ada penyesalan di wajah mereka berdua, dan senyum lebar terpampang jelas di wajah mereka berdua.”Stella terdiam dan tak menyangka kalau Ellie benar-benar melakukan itu, tapi kenapa dia mengajak dan menyeret Stella
Stella yang sudah 2 jam tak sadarkan diri, akhirnya terbangun dan terkejut setelah melihat sosok pria duduk di sampingnya.“Kamu sudah sadar?” tanya pria itu. Stella menganggukkan kepalanya dan ia pun merubah posisi yang awalnya telentang menjadi duduk.“Kamu sedang apa di sini?” tanya Stella.“Menjengukmu, apa lagi?” jawab pria itu sambil tersenyum.Stella pun menggelengkan kepalanya dan ia pun melipat tangannya diperutnya, “kamu libur hari ini?”“Aku masuk nanti sore, makanya aku sempatkan utnuk menjengukmu,” jawab pria itu.Pria itu adalah Gibran Triguna, pria yang menyukai Stella dan selalu di campakkan oleh Stella. Wajahnya tidak terlalu buruk, tapi memang ia bukan tipe pria yang di sukai Stella. Meskipun Stella sering mencampakkannya dan cuek kepadanya, Gibran tetap berusaha untuk mendapatkan h
“Tolong…” “Ampun papa, aku janji tidak akan nakal lagi.” Terdengar suara anak perempuan yang meminta ampun. Gelap pun berubah menjadi terang dan Stella terbawa ke suatu kamar yang ia sendiri tak tahu di mana itu. Stella membuka matanya dan ia melihat sosok anak perempuan yang sedang terbaring di lantai sambil menangis. Badan anak perempuan itu penuh memar dan tampaknya ia tak bisa berdiri, Stella yang melihat itu pun langsung menghampirinya. “Hei, kamu tidak apa-apa?” tanya Stella. Anak perempuan itu tak menjawab, bahkan ia seperti tak menyadari kehadiran Stella. Stella pun menghampiri amak itu dan ia ingin membantu anak itu bangun, tapi ternyata Stella tak bisa menyentuh anak itu. Stella pun mencoba lagi dan lagi, tetapi tetap saja tak bisa. Tiba-tiba air mata anak itu jatuh dan ia berbisik, “Aku rindu kamu, mama….” Anak itu berusaha bang
Tiga hari berlalu, masa-masa membosankan saat berada di rumah sakit akhirnya selesai juga. Stella tersenyum saat meninggalkan rumah sakit, dan ia berkata “semoga aku tak berakhir di sini, lagi.”Saat perjalanan pulang Stella tak banyak berbicara, seperti biasanya. Gibran juga tak membuka pembicaraan seperti biasanya. “Mau sampai kapan berdua tidak saling sapa?” cetus Eva yang berada di kursi belakang.Stella hanya tersenyum dan memalingkan wajah, kemudian ia berkata “aku ingin menemuinya.”“Siapa?” tanya Gibran tanpa melihat ke arah Stella.“Ellie. Aku ingin bertemu dengannya,” jawab Stella dengan raut wajah masam.Gibran melirik Stella dan perlahan ia mulai tersenyum. Eva yang melihat hal itu ikut tersenyum dan ia memeluk Stella dari belakang.Tidak lama kemudian mereka sampai ke apartemen Stella, G
“Dimana aku? Kenapa semua hitam, dan aku tidak bisa melihat apa-apa,” ucap Stella panik. Stella berjalan perlahan, langkah kakinya diseret dengan tangan meraba. Stella terus berjalan sampai ia merasa putus asa dan menghentikan langkah kakinya.“Se—seorang… tolong aku, aku takut…” ucap Stella lirih sambil merendahkan badannya dan jongkok perlahan. Tiba-tiba saat ia menundukkan kepala, ada cahaya biru bergerak lambat di atas kepala Stella.Spontan Stella mengangkat kepalanya dan melihat cahaya biru itu, dan ia pun tersenyum. “Cantik sekali,” ucap Stella saat melihat cahaya biru itu yang perlahan berubah bentuk menjadi kupu-kupu hitam dengan corak biru yang bercahaya.Saat sedang asyik menatap kupu-kupu itu, tiba-tiba ada suara bergema yang berkata “jangan menyerah, Stella!”Stella melihat sekeliling dan cahaya dari kupu-kupu itu tak bi
“Aku tahu dia ada di dalam kamarku,” ucap Joe yang sudah berada di depan Stella. “Dia? Dia siapa maksudmu?” tanya Stella sambil melangkah mundur perlahan. Senyum Joe tiba-tiba hilang begitu saja, kali ini tatapan mata Joe sangat tajam kepada Stella. Stella merasa ketakutan dan langkah kakinya semakin cepat berjalan mundur. Keringat Stella sudah sebesar biji jagung, menetes dari kening dan terhalang oleh alisnya. Tingkat kesabaran Joe sudah mulai habis dan ia lari menghampiri Stella. Stella yang ketakutan langsung memutar badannya dan berlari menuju tangga, ia hanya mengikuti langkah kaki membawanya tanpa berfikir terlebih dahulu. Sementara itu di lantai dua, Gibran sudah menemukan apa yang ia cari. “Ketemu!” teriak Gibran sambil menunjukkan amplop coklat kepada Eva. Eva terlihat bingung dan bertanya “itu apa, kak?” “Ini adalah….” Ucapan Gibran terpotong oleh teriakan Stella dari bawah, kemudi
“Dimana kamu, Gibran…” ucap Stella lirih sambil berlarian di lobby. Ia menoleh ke kanan dan ke kiri, mencari sosok Gibran yang tiba-tiba menghilang begitu saja. Langkah Stella terhenti dan ia mengeluarkan ponselnya lagi dan menghubungi Gibran.“Ah sial, kali ini malah tidak aktif,” gumam Stella dalam hati.Sedang panik-paniknya, tiba-tiba Eva muncul di hadapan Stella. “Ada apa kak?” tanya Eva dengan tenang.“Dari mana saja kamu?” jawab Stella, “Gi—gibran hilang.”“Kalian bertengkar?” tanya Eva dengan ekspresi bingung. “Ceritanya panjang … yang penting kita harus menemukan dia dulu,” jawab Stella yang kemudian berjalan meninggalkan Eva.Eva mengikuti Stella berjalan di belakang, dan langkah kaki Stella yang cepat membuat Eva bertanya-tanya dalam hati. Sebenarnya apa yang sudah t
“Jadi apa idemu, Stell?” tanya Gibran dengan wajah penasaran.Stella hanya tersenyum ia pun sudah selesai dengan makan siangnya. Ia juga langsung meninggalkan Gibran untuk membayar makanannya dan langsung kembali ke kantor. Gibran berlari menyusul Stella, sesekali Stella menoleh ke belakang dan tersenyum melihat Gibran yang mengejarnya.“Hei Stell, tunggu!” panggil Gibran saat jaraknya sudah dekat dengan Stella. Stella menghentikan langkahnya dan bertanya “ada apa sih?”Sambil terengah-engah Gibran menanyakan lagi apa ide Stella. “Nanti saat di loker room akan aku beritahu ideku!” bentak Stella, kemudian ia kembali berjalan menuju kantornya. Sedankan Eva menghilang sedari tadi, tapi Stella dan tidak ada yang menyadarinya.Saat di dalam lift Gibran hanya terdiam saja, tapi mulutnya sudah gatal ingin bertanya kepada Stella. Mereka pun hanya terdiam sampai
Sebelum menjalankan mobilnya Gibran melihat kertas yang di berikan oleh wanita itu, dan di kertas itu tertulis alamat Cendrawasih VII no 21. Gibran pun bertanya-tanya alamat siapa ini sebenarnya, apakah alamat Liza Magdalena?Eva melihat tulisan itu dari bangku belakang dan Gibran yang terkejut langsung melipat kertas itu. “Cendrawasih VII no 21, bukannya itu rumahku?” tanya Eva yang tiba-ttiba sudah duduk di kursi depan.“Hah? Ini alamat rumahmu?” tanya Gibran, “tapi kenapa dia memberikan alamat rumahmu kepadaku.”“Mungkin ia menyuruh kakak untuk bertanya langsung kepada papa,” jawab Eva sambil menundukkan kepalanya. Gibran menggelengkan kepalanya dan ia pun menjalankan mobilnya, ia berniat kembali ke kantornya untuk menyampaikan semuanya kepada Stella.Saat perjalanan Eva selalu saja mengatakan kalau ia tak suka dengan Ellie, sampai Gibran bosan mende
Akhirnya Gibran sampai di kantor polisi tempat Ellie di tahan, karena belum sidang maka Ellie belum di pindahkan ke rutan. Eva juga mengikutinya di belakang Gibran sambil menoleh ke kanan dan ke kiri seperti mencari seseorang.Gibran yang sudah dapat izin untuk menjenguk Ellie pun hanya mempunyai waktu 15 menit saja. Dengan gelisah Gibran menunggu Ellie yang sedang di jemput polisi.“Kak ini kantor papaku,” ucap Eva, “jangan sampai ia tahu dan mencurigai kak Gibran.”Gibran pun menganggukkan kepalanya dan tak lama kemudian polis datang membawa Ellie. “Hai Gibran apa kabar?” teriak Ellie saat melihat Gibran.“Baik, bagaimana kondisimu?” tanya Gibran.“Sangat menyenangkan!” jawab Ellie dengan nada tinggi. Gibran yang mendengar jawaban Ellie hanya bisa tersenyum.“Langsung saja! Ada apa kamu ke si
“Selamat pagi kak Stella,” sapa Eva saat melihat Stella terbangun dari tidurnya. Stella pun tersenyum dan membalas sapaan Eva, “selamat pagi juga.”Stella menyingkap selimut dan ia mengambil ponselnya yang berada tepat di meja samping ranjangnya, kemudian ia mengecek pemberitahuan di ponselnya seperti biasanya, dan kali ini banyak sekali pesan dari Gibran.“Astaga, aku merasa bodoh karena telah menghubungi pria ini tadi malam…” ucap Stella lirih.Eva yang mendengar itu pun tersenyum dan berkata, “Cepat balas pesannya dan segera mandi kak, hari ini kan kakak harus kerja!”Stella yang mendengar itu langsung mengalihkan pandangannya ke arah jam yang ada di ponselnya. Ia pun menghebuskan nafasnya dan berkata “masih ada waktu untuk memblokir nomor ini.”“Jangan kak! Ingat dia kan ingin membantu kita,” ucap
Gibran tersenyum saat mendengar Stella menyebut nama Maldeva, ia tak menyangka kalau kali ini ia harus terlibat dengan kasus ini.“Kenapa kamu tersenyum?” tanya Stella.“Akhirnya aku dapat kesempatan untuk menyelidiki kasusnya,” jawab Gibran.Pelayan pun datang ke meja mereka dan mengantarkan iced cappuccino milik Stella, Stella pun menanggapi dan tersenyum sambil berterima kasih. Saat pelayan itu pergi Stella pun berkata, “Kali ini aku bukan ingin membahas tentang kasusnya.”Ekspresi bingung pun terlihat di wajah Gibran kemudian Stella menceritakan lagi tentang mimpinya yang baru saja di alaminya, dan Gibran pun terlihat antusias mendengarkan cerita Stella. Eva yang duduk di sebelah Gibran juga ikut fokus memperhatikan mereka berdua.“Jadi intinya kamu ingin membantumu, mencari ibu dari anak itu?” tanya Gibran setelah mendengar cer