Bagaimanapun, Earth dan Lilian masih memiliki rasa kasihan pada Hannah. 'Ia dulu bersahabat denganku dan aku tak boleh membencinya seperti ia begitu membenci keluarga Vagano!' - Demikian pikir Lilian sambil menyiapkan makan dan minum sekedarnya untuk 'tahanan' mereka yang berada di ruang puncak menara mercu suar.
"Earth, maukah kau membantuku? Bawakanlah ini untuk Hannah, kita tak ingin dia sampai mati, karena cepat atau lambat aku akan membawanya ke hadapan Ocean dan Sky untuk mempertanggungjawabkan semua perbuatannya."
Earth sebenarnya masih enggan. Emosinya yang masih labil seperti anak kecil berkata Si Tua harus diberi pelajaran, sebab sedari dahulu memeliharanya dalam kurungan dan memberinya makan makanan basi dan air mentah yang tak layak dikonsumsi.
Tapi melihat Lilian yang tak tega dan juga masih memiliki hati dan cinta seperti yang ia baru saja pelajari, walau berat, Earth mengambil juga hidangan ala kadarnya itu dan membawakannya ke atas. Tentunya i
“Jadi, Hannah menghilang dan sekarang, kita tahu bahwa adik atau ayah kita sebenarnya masih ada walau entah berada di mana?”Ocean yang telah bersih kembali duduk bersama Sky dan Emily di lounge. Mereka ingin mencari Hannah lagi karena sudah mulai ada titik terang bila ialah kunci sekaligus pelaku pembunuhan pertama, walau barang bukti belum ditemukan. “Kurasa Hannah bersembunyi bersama pedang itu. Mungkin ia menunggu saat yang tepat untuk keluar dan membunuh kita semua.” Sky yang imajinasinya sering liar bermaksud bercanda, tapi memang terdengar tak lucu, malah menakutkan sekaligus bisa saja jadi ke
(Point-of-view Earth Vagano:) ''Aku harus segera pergi dan kembali secepat mungkin agar Lilian tak tahu dan tak mencurigai kemana aku pergi. Karena aku yakin ia takkan pernah setuju bila aku keluar dan menampakkan diri di manapun, apalagi membuat kekacauan yang tak perlu. Aku tiba di area puri yang masih terjaga ketat. Namun istal kuda yang berada di dekat perkebunan termasuk area paling sepi yang tak sering dilewati para penjaga. Mungkin karena dianggap aman, jadi sangat mudah bagiku untuk menyelinap begitu petugas jaga terakhir pergi untuk makan malam. Isinya hanya beberapa puluh ekor kuda yang sering digunakan sebagai alat transportasi yang lumrah di pulau ini. Dan aku belum tahu di istal mana, sebab semua kuda pasti disediakan jerami di kandangnya. Jadi kuduga-duga saja kandang yang mana yang bukan milik para pekerja. Ada dua kuda yang terpisah dari kuda lainnya, yang kuduga milik Ocean dan Sky. Seekor kuda putih dan kuda cokelat muda keemas
Dalam keraguannya sekaligus mencoba untuk tetap berpikir positif dan tenang, Lilian melangkah naik menuju menara mercu suar dimana mantan sahabatnya masih terikat di sana. Karena ruang atas mercu suar itu gelap, Lilian membawa lentera lilin ke sana, dan perlahan naik dengan sangat hati-hati. Dan tentu saja Hannah sudah sadar kembali, matanya liar memandang Lilian sambil meronta-ronta seolah ingin lepas, tapi enggan meminta tolong. "Aku akan memaafkanmu, karena aku bukan orang jahat, Hannah." dengan segenap keberanian yang berhasil terkumpul, Lilian mendekat dan melepaskan bebat mulut Hannah yang sudah penuh darah kering. "Cih! Aku tak butuh mantan sahabat yang diam-diam memihak keluarga Vagano! Kau kuajak kemari karena kau sahabatku, tapi aku tak ingin kau yang sekarang! Kau tahu, aku ingin sekali kau tak menolong kelahiran ketiga putra orang yang kau benci. Aku ingin kau biarkan saja mereka, karena sejak Zeus mencampakkanku, baik dia
Sementara Ocean masih berkuda menuju ke mercusuar, Emily dan Sky yang masih menunggu dengan cemas di puri merasa perlu melakukan sesuatu. Keduanya menunggu di lounge, Sky mondar-mandir gelisah, sementara sesekali terdengar gema raungan seseorang tak jelas namun cukup menakutkan. Beda dengan yang dahulu-dahulu. Ini seperti suara berat seorang pria tua atau kakek-kakek. "Ahhh, Sky, aku tahu puri ini terjaga baik saat ini, tapi mengapa aku merasa, bila kita berada di sini saja tanpa berbuat apa-apa adalah sesuatu yang salah!" Emily berusaha keras menutup telinganya walau suara itu masih terus awet terngiang-ngiang dalam ingatan. "Betul, apa sebaiknya aku turun sendiri ke Lorong Bawah Tanah dan membereskan makhluk apapun itu?" ucap Sky. "Sebenarnya di puri ini ada cukup persenjataan untuk berperang sekalipun. Senjata tajam maupun senjata api. Hanya saja kami merahasiakannya agar tak terjadi pertumpahan darah.." "Aduh, jangan, Sky! Aku tak ingin kalian ter
Bagai dalam adegan super lambat di film-film, lentera dengan lilin yang masih menyala itu terjatuh ke atas karpet tua yang kering. Tak ada bensin maupun minyak tanah, tapi persentuhan benda kering dan api itu cukup cepat memberi reaksi kimia yang diinginkan. Panas dan pembakaran segera terjadi, sementara Hannah tertawa-tawa seperti kehilangan akal sehat. "Tak perlu menunggu hingga tanggal ulang tahun ketiga anak terkutuk itu! Lilin sudah dinyalakan dan semua sudah dimulai! Pestanya sudah dimulai! Dan hari ini semuanya akan berubah menjadi tragedi, meskipun aku sudah mati..." "Hannah, jangan!" Lilian berusaha lari menolong Hannah, namuh karpet yang mulai menyala-nyala di hadapannya dengan cepat dan kejam menghalangi. Kakinya nyaris terbakar, namun Hannah seperti tak perduli. Terus tertawa jahat dan malah berdiri diam saja bagaikan senang sekali sebentar lagi akan terpanggang hidup-hidup bersama 'lilin kecil' yang ia nyalakan. Hanya ada dua pili
Sedikit lebih lama, lewat tengah malam menjelang fajar, Ocean pun tiba kembali di area puri Vagano bersama kedua wanita tua yang ia dudukkan di atas kudanya. Lilian sang dokter setibanya di istal langsung sibuk menangani kuda milik Sky yang terluka parah sekaligus Hannah yang kondisi luka bakarnya sangat kritis dan memprihatinkan. "Emily! Sky!" pemuda itu buru-buru ke puri mencari kembarannya dan juga gadis yang ia suka, yang ia harap sedang menunggunya. Tapi lounge kosong melompong. "Hah, kemana mereka pergi? Semoga tak terjadi hal-hal buruk." Ocean bingung, dan dalam renungannya saat memikirkan apa yang sebaiknya ia lakukan saat ini, terdengar sayup-sayup raungan dari Lorong Bawah Tanah. Sudah beberapa hari ini begitu jelas seakan-akan semakin dekat. Sementara itu, di suatu tempat di Lorong Bawah Tanah... Sky sudah berada di sana sendirian di tengah malam kelam, hanya berteman sebuah senter besar nan terang yang disematkan di bandana kepala seperti
Sementara di luar sana, Emily yang sama sekali tak mengetahui kepulangan Ocean dan semua yang telah terjadi, lagi-lagi menemui dirinya sendiri tersesat di hutan belantara pulau Vagano, dimana walaupun malam itu tak turun hujan, namun suasananya cukup suram. Bulan sesekali memunculkan cahaya dari balik dedaunan kehitaman pohon-pohon maha tinggi. Udara dingin menggigit dan kabut tipis turun bagaikan selimut bumi yang enggan menyingkir untuk memberi jalan. Menutup semua rumput liar, semak dan bebatuan licin serta tanah yang Emily lalui. Cahaya kecil dari sorotan senternya tak mampu membantu dengan baik karena apapun yang diteranginya hanya berwarna hijau, cokelat dan hitam. Beberapa kali Emily tersandung akar pohon melintang dan juga terantuk bebatuan kasar. Tapi gadis itu pantang menyerah dan terus berjalan. Ketika ia tak begitu jauh lagi dari sumber cahaya di tepi pantai yang tampaknya seperti api itu, tiba-tiba Emily terjerembab pada sesuatu yang melintang hi
Begitu tersadar pada sebetik fakta itu, Emily seperti berada pada titik yang paling berat dalam hidupnya, antara kenyataan yang coba disangkalnya hingga apa yang memang ia sudah tunggu-tunggu, berjumpa dengan sosok kembar ketiga yang selama ini menghantuinya. "Kau... Earth?" "Begitulah Lilian memanggil namaku." ucap pemuda yang belum menunjukkan wajah di hadapan gadis yang masih begitu takjub sekaligus ketakutan, malu dan penasaran sekaligus. "Kita berjumpa lagi." Earth memiliki suara yang hampir sama dengan Ocean dan Sky, namun sedikit lebih parau dan juga sedih. Senyumnya hampir sama seperti senyum Ocean. Emily dalam penasarannya segera maju ke depan walau kakinya masih sedikit sakit, dan menyingkap tudung yang menutupi wajah Earth. "Astaga." ia terpana. Sangat amat mirip dengan kedua kakaknya, hanya Earth masih begitu kurus dan tirus dengan sedikit lingkaran hitam di bawah lingkaran matanya yang biru. "Aku jelek sekali bukan?" Earth
"Tidak, jangan lakukan itu, Nona Kate! Kami akan segera mencari dan menemukan Ocean Vagano!" di luar dugaan semua orang yang hadir di pagi menjelang siang benderang namun mencekam itu, tetiba Lilian maju, menempatkan dirinya di antara Kate yang nyaris terjun ke jurang dan Katy yang semakin bernafsu untuk mengakhiri hidup kakaknya! "Minggir, Wanita Tua! Kau bukan sasaran Pedang Terkutuk ini! Minggir sekarang juga, aku tidak main-main!" geram Katy kesal. "Tidak! aku memang bersalah! Kuakui semua sekarang juga! Aku yang mengundang kalian kemari karena ingin menjodohkan Ocean dengan harapan semua kutukan akan segera berlalu dan kalian semua bisa berkeluarga dan akhirnya hidup bahagia, melupakan Emily dan segala yang terjadi!" aku Lilian, membuat kedua gadis kembar itu terhenyak, "Namun ternyata semua ini terjadi! Ocean sudah hilang dan kemungkinan besar tewas di laut dan takkan pernah kembali! Jadi aku merasa gagal, aku merasa benar bila ini semua salahku! Sama seperti p
Semua yang hadir terpaku di tempat, tak berani bergerak sedikitpun setelah mereka berjarak sedemikian dekat dengan Katy yang mungkin akan melukai Kate sewaktu-waktu tanpa sempat mereka cegah."Berhenti di sana sekarang juga, Nona Siapapun Namamu! Sebab gara-gara dirimu, semua yang aku dan Emily ingin lakukan hingga pergi sejauh ini terpaksa tertunda!" Earth dengan suara keras menitahkan Katy yang belum ia kenal."Darimana kau mendapatkan pedang itu dan siapa sebenarnya kalian, mengapa bisa ada di puri ini?" tanya Sky yang juga belum tahu apa-apa."Mereka berdua gadis-gadis bangsawan Everopa, keluarga Forrester yang datang kemari dari jauh dengan tujuan ingin bertunangan dengan kakak kalian, Ocean Vagano," jelas Lilian yang merasa bersalah karena diam-diam mengundang mereka, namun tampaknya tak berjalan baik seperti yang direncanakan."Betul sekali! Dan aku sebagai adik, kali ini tak ingin mengalah untuk kakakku, sekalipun ia telah tidur dengan Ocean Vagan
"Tidak, jangan ikuti aku lagi! Kumohon! Lihat, tadi ada seorang Vagano datang entah darimana, Ocean atau bukan, dia bisa kaujadikan milikmu!" Kate Forrester berlari terus di jalan yang semakin menanjak di tepi pantai itu, tanpa sadar bahwa sebenarnya ia menuju 'dead end'. Jurang yang menghadap ke pantai, namun bukan yang berpasir putih, melainkan pantai curam berbatu karang besar tajam dimana almarhum Zeus Vagano pernah terjatuh ke atasnya dan tewas seketika. "Kau tak bisa mengaturku! Nyawamu berada dalam tanganku, Kak!" Katy masih tersenyum dengan anehnya. Kini Kate berada dekat sekali dengan tepi jurang. Ia terhenti, bingung. Tak ada jalan kemanapun untuk kabur lagi. Hanya ada dua pilihan, dan dua-duanya jalan menuju maut! ********** Sementara itu di puri, Emily dan Earth telah memasuki ruang utama. Emily yang masih enggan sekaligus cemas pada nasib gadis kembar misterius yang dikejar saudarinya sendiri dengan pedang Dangerous Attraction, di
"Tidak mungkin, ini semua tak mungkin terjadi, sebab lukisan ini tak mungkin nyata!" Kate Forrester perlahan mundur menjauh, merasa tak ingin terburu-buru dari tempat persembunyian itu karena khawatir Katy akan menemukannya. Namun ia juga merasa tak nyaman dengan apa yang ia lihat. Terlalu mengerikan dan tak dapat dipercaya! Hanya saja, untuk bertahan di bawah tatapan empat pasang mata sedemikian mengerikan, siapa sanggup bertahan? Akhirnya Kate keluar dan kembali berlari menelusuri labirin Lorong Bawah Tanah. Tentu saja, tak jauh darinya masih ada Katy yang sedari tadi menunggunya dengan sabar. Dan suaranya yang berisik melengking saat bermonolog di hadapan Lukisan Terkutuk tentu saja terdengar oleh Sang Adik yang masih belum ingin melepaskan Sang Kakak. "Kate, sejauh apapun dan dimanapun kau berada, aku selalu ada di belakangmu, mengawasimu hingga aku mendapatkan nyawamu!" Kate berusaha keras mencari jalan keluar, kemana saja tembusnya lorong-lorong
Sementara jauh di lantai dasar, kedua Kembar Cantik Forrester masih saling kejar. Katy yang masih dibawah pengaruh misterius tentu saja takkan menyerah sebelum mencapai tujuannya."Bersiaplah untuk mati, Kate! Kau takkan pernah bisa menghindar dariku ataupun takdir yang menunggumu!""Tidak! Tinggalkan aku saat ini juga! Kau bukan dirimu sendiri, Katy! Sadarlah! Kumohon, ingatlah bahwa kau adikku! Adik takkan membunuh kakak sendiri walau demi cinta!"Sepanjang perjalanannya mencari pintu menuju Lorong Bawah Tanah, Kate Forrester berusaha keras menghalang-halangi adiknya sambil mencoba semua pintu di lorong yang ia duga pernah dilaluinya beberapa saat silam bersama Ocean dan Lilian. Dijatuhkannya semua vas bunga besar-besar dan pajangan berharga yang ia temui, tak peduli bahwa tuan rumah puri bisa saja marah besar bila mengetahui perbuatannya itu.Demi keselamatannya, ia tak peduli. Sayangnya, perbuatan Kate itu percuma saja. Katy tetap mengejarnya dan mela
Semalam-malaman, beberapa jam lamanya Lilian bersama beberapa petugas jaga terkurung di museum perpustakaan hampir merasa putus asa karena 'dikungkung' oleh suatu kekuatan tak kasat mata yang seakan-akan 'menguasai' Puri Vagano. Mereka telah mencari celah di dinding, jendela, serta mencoba semua kemungkinan lain untuk keluar. Tak berhasil. Semua seakan-akan rapat tertutup, bahkan kaca jendela menolak untuk dibuka dari dalam.Sementara di bawah sana, tanpa mereka ketahui, seorang penghuni lama sekaligus tuan rumah, Sky Vagano sang kembar tengah, telah tiba kembali di kediamannya sendiri. Merasa heran karena tak ada seorang penjagapun di puri, sementara pintu-pintu utama tak terjaga dan dengan mudah dibuka dari luar."Pagi yang senyap di Pulau Vagano, dan tak ada penyambutan kepulangan sama sekali. Baiklah, ini memang sangat mendadak! Huh, semoga Lilian tak mengabaikan 'tugasnya'. Berarti benar dugaanku, ada hal yang tak beres di sini! Syukurlah aku kembali! Lilian! Penj
Kate masih belum terlalu percaya bila Katy betul-betul serius ingin menyakitinya, walau sebenarnya ia betul-betul mulai dilanda sebuah perasaan yang sangat tak enak."Ayolah, Adikku! Letakkan saja pedang-pedangan yang kau dapatkan entah darimana itu dan berdamai sajalah denganku! Kau nanti juga akan mendapatkan jodohmu sendiri. Kembar Vagano tidak hanya Tuan Muda Ocean! Masih ada 2 adiknya yang sama-sama tampan dan bisa kaupilih sendiri nanti!" ia tertawa gelisah sementara Katy masih mendesaknya hingga jauh mundur ke dalam kamar, bahkan hingga ia terjatuh ke atas ranjangnya sendiri."Tidak, Kak! Aku ingin hanya diriku saja yang menjadi kekasih, tunangan dan kelak istri Ocean Vagano! Karena kau adalah sainganku! Dalam cinta, tak pernah ada yang namanya teman, sahabat bahkan saudara sekalipun!" Katy tersenyum sinis sambil tetap menggenggam hulu pedang terkutuk Dangerous Attraction yang belum pernah Kate lihat sebelumnya."Lalu, apa yang kau inginkan? Membunuhku? C
Lama Earth terdiam, sementara dalam hatinya, Emily sangat yakin bahwa pemuda itu takkan pernah berkata ya. 'Ia sangat membenci keluarganya, tanah kelahirannya, jadi ia takkan pernah mau! Maka aku akan bebas pergi, karena ia tentu akan menolak mentah-mentah semua permintaanku yang sukar ini!' demikian Emily berusaha untuk membuat Earth mundur perlahan dengan syarat yang sedemikian berat. Berada kembali di tanah kelahirannya tentu saja bukan pilihan terbaik bagi Earth yang tak ingin mengenang masa lalunya yang begitu kelam dan menyedihkan. Pergi sejauh-jauhnya, bila perlu! "Baiklah, Emily! Demi kau, hari ini juga kita akan segera kembali ke Pulau Vagano!" di luar dugaan, Earth menyanggupi permintaan Emily yang paling sukar itu. "A, a, a, apaaaa?" Emily terperangah tak percaya, "Earth, bagaimana mungkin kau mau? Ocean dan Sky bisa membunuhmu, apalagi bila kau membawaku kesana! Pedang Terkutuk itu tentunya masih ada dan kali ini hidupmu bisa berakhir di ujungnya!
Sementara, Emily masih berada dalam 'penguasaan' Earth di sebuah hutan yang sunyi. Masih terombang-ambing antara ingin kembali kepada Xander yang 'ditinggalkannya' begitu saja tanpa kabar di M's Brew di Evertown, atau tetap bersama Earth yang tak mungkin akan mengizinkannya pergi lagi. "Emily, sudah dua kali kita melakukan itu. Kau bisa berterusterang kepadaku, apakah kau mulai bisa menyukaiku walau sedikit?" Earth masih memeluknya erat, seakan tak ingin melepaskannya untuk selama-lamanya. Emily gemetaran, walau pelukan Earth terasa hangat. Di bawah siraman cahaya mentari, pemuda itu sama sekali tak seperti saat mereka masih di Pulau Vagano tiga tahun silam. Tubuhnya bersih, mulus, wajahnya bercahaya. Emily sungguh merasakan perbedaan yang signifikan antara Earth Si Bungsu Terkutuk di masa lalu dengan Avalanche Si Barista di masa kini. "Aku belum tahu. Tiba-tiba saja kau muncul kembali. Terlalu mendadak bagiku. Dan aku sudah punya kekasih yang mencintaiku. Xa