Sementara Ocean masih berkuda menuju ke mercusuar, Emily dan Sky yang masih menunggu dengan cemas di puri merasa perlu melakukan sesuatu.
Keduanya menunggu di lounge, Sky mondar-mandir gelisah, sementara sesekali terdengar gema raungan seseorang tak jelas namun cukup menakutkan. Beda dengan yang dahulu-dahulu. Ini seperti suara berat seorang pria tua atau kakek-kakek.
"Ahhh, Sky, aku tahu puri ini terjaga baik saat ini, tapi mengapa aku merasa, bila kita berada di sini saja tanpa berbuat apa-apa adalah sesuatu yang salah!" Emily berusaha keras menutup telinganya walau suara itu masih terus awet terngiang-ngiang dalam ingatan.
"Betul, apa sebaiknya aku turun sendiri ke Lorong Bawah Tanah dan membereskan makhluk apapun itu?" ucap Sky. "Sebenarnya di puri ini ada cukup persenjataan untuk berperang sekalipun. Senjata tajam maupun senjata api. Hanya saja kami merahasiakannya agar tak terjadi pertumpahan darah.."
"Aduh, jangan, Sky! Aku tak ingin kalian ter
Bagai dalam adegan super lambat di film-film, lentera dengan lilin yang masih menyala itu terjatuh ke atas karpet tua yang kering. Tak ada bensin maupun minyak tanah, tapi persentuhan benda kering dan api itu cukup cepat memberi reaksi kimia yang diinginkan. Panas dan pembakaran segera terjadi, sementara Hannah tertawa-tawa seperti kehilangan akal sehat. "Tak perlu menunggu hingga tanggal ulang tahun ketiga anak terkutuk itu! Lilin sudah dinyalakan dan semua sudah dimulai! Pestanya sudah dimulai! Dan hari ini semuanya akan berubah menjadi tragedi, meskipun aku sudah mati..." "Hannah, jangan!" Lilian berusaha lari menolong Hannah, namuh karpet yang mulai menyala-nyala di hadapannya dengan cepat dan kejam menghalangi. Kakinya nyaris terbakar, namun Hannah seperti tak perduli. Terus tertawa jahat dan malah berdiri diam saja bagaikan senang sekali sebentar lagi akan terpanggang hidup-hidup bersama 'lilin kecil' yang ia nyalakan. Hanya ada dua pili
Sedikit lebih lama, lewat tengah malam menjelang fajar, Ocean pun tiba kembali di area puri Vagano bersama kedua wanita tua yang ia dudukkan di atas kudanya. Lilian sang dokter setibanya di istal langsung sibuk menangani kuda milik Sky yang terluka parah sekaligus Hannah yang kondisi luka bakarnya sangat kritis dan memprihatinkan. "Emily! Sky!" pemuda itu buru-buru ke puri mencari kembarannya dan juga gadis yang ia suka, yang ia harap sedang menunggunya. Tapi lounge kosong melompong. "Hah, kemana mereka pergi? Semoga tak terjadi hal-hal buruk." Ocean bingung, dan dalam renungannya saat memikirkan apa yang sebaiknya ia lakukan saat ini, terdengar sayup-sayup raungan dari Lorong Bawah Tanah. Sudah beberapa hari ini begitu jelas seakan-akan semakin dekat. Sementara itu, di suatu tempat di Lorong Bawah Tanah... Sky sudah berada di sana sendirian di tengah malam kelam, hanya berteman sebuah senter besar nan terang yang disematkan di bandana kepala seperti
Sementara di luar sana, Emily yang sama sekali tak mengetahui kepulangan Ocean dan semua yang telah terjadi, lagi-lagi menemui dirinya sendiri tersesat di hutan belantara pulau Vagano, dimana walaupun malam itu tak turun hujan, namun suasananya cukup suram. Bulan sesekali memunculkan cahaya dari balik dedaunan kehitaman pohon-pohon maha tinggi. Udara dingin menggigit dan kabut tipis turun bagaikan selimut bumi yang enggan menyingkir untuk memberi jalan. Menutup semua rumput liar, semak dan bebatuan licin serta tanah yang Emily lalui. Cahaya kecil dari sorotan senternya tak mampu membantu dengan baik karena apapun yang diteranginya hanya berwarna hijau, cokelat dan hitam. Beberapa kali Emily tersandung akar pohon melintang dan juga terantuk bebatuan kasar. Tapi gadis itu pantang menyerah dan terus berjalan. Ketika ia tak begitu jauh lagi dari sumber cahaya di tepi pantai yang tampaknya seperti api itu, tiba-tiba Emily terjerembab pada sesuatu yang melintang hi
Begitu tersadar pada sebetik fakta itu, Emily seperti berada pada titik yang paling berat dalam hidupnya, antara kenyataan yang coba disangkalnya hingga apa yang memang ia sudah tunggu-tunggu, berjumpa dengan sosok kembar ketiga yang selama ini menghantuinya. "Kau... Earth?" "Begitulah Lilian memanggil namaku." ucap pemuda yang belum menunjukkan wajah di hadapan gadis yang masih begitu takjub sekaligus ketakutan, malu dan penasaran sekaligus. "Kita berjumpa lagi." Earth memiliki suara yang hampir sama dengan Ocean dan Sky, namun sedikit lebih parau dan juga sedih. Senyumnya hampir sama seperti senyum Ocean. Emily dalam penasarannya segera maju ke depan walau kakinya masih sedikit sakit, dan menyingkap tudung yang menutupi wajah Earth. "Astaga." ia terpana. Sangat amat mirip dengan kedua kakaknya, hanya Earth masih begitu kurus dan tirus dengan sedikit lingkaran hitam di bawah lingkaran matanya yang biru. "Aku jelek sekali bukan?" Earth
Emily sadar, benda dalam genggaman tangan Earth itu betulan dan bukan pedang lain, melainkan Dangerous Attraction yang hilang. "Kau mencurinya dari dalam museum di puri?" tanya Emily dengan sangat hati-hati. "Museum? Aku... aku tak pernah sampai ke sana! Aku menemukannya di istal kuda!" Earth tak berniat menyerang Emily, tapi tetap saja Emily bersiaga penuh dengan segala kemungkinan yang bisa terjadi. "Dan itu tentu saja atas informasi dari Si Tua! Wanita yang memeliharaku dan menyiksaku sedari aku kecil hingga beberapa saat yang lalu!" Earth menimang-nimang pedang itu dengan kagumnya seperti seorang anak kecil memainkan senjata-senjataan plastik barunya. "Tapi !!!!" tiba-tiba diacungkannya ujung benda itu ke sebelah kepala Emily, membuat jantung gadis itu hampir berhenti saking kagetnya! "Aku takkan menyakitimu sedikitpun. Asal kau mau menuruti perintahku!" "A...aku... aku mau bertanya satu hal. Kaukah orang yang membunuh petugas yang
'Flashback' ke beberapa jam sebelumnya di kedalaman terkelam Lorong Bawah Tanah puri Vagano : Sky tetap memutuskan takkan mundur sebelum semuanya terungkap dini hari ini juga. Ia bertekad takkan kembali ke atas sana sebelum menemukan asal suara raungan yang sudah membuat semua orang tersiksa dan hidup dalam kengerian. Ia memang tipe cowok funky, kepo sekaligus kurang hati-hati. Sebab ia tak tahu apa atau siapa yang akan dihadapinya. Sementara di atas sana Ocean menemukan petunjuk di lounge. Sky belum menutup lukisan dimana ada lemari rahasia tempat penyimpanan persenjataan, dan ada satu pucuk senapan yang hilang. Juga kepergian Emily berhasil ia ketahui karena sweater gadis itu ada di atas sofa lounge dan sepatu serta jaket gadis itu tak ada di pintu puri, jadi ia pasti memakainya entah kemana. 'Bagaimana, haruskah aku menyusul Emily yang pergi entah kemana atau mencari saudaraku yang ceroboh itu?Tapi, Emily tak mungkin dicari saat hari belum tera
Kembali pada Emily di pantai yang masih berdua saja dengan Earth, yang baru kali ini berhadap-hadapan sedemikian dekat dan intim hingga bibir mereka bertemu bagaikan sepasang kekasih yang dimabuk cinta. Tapi Emily merasa ada yang belum saatnya ia berikan walau ia harus menuruti semua permintaan dan perintah Earth. "Tunggu." ia menahan dada pemuda itu saat Earth mendorongnya ke pasir dan mulai menaruh tangannya yang penasaran ke tubuh Emily, seperti ia pernah lakukan beberapa saat silam. "Teman belum boleh begini. Ini bukan caranya manusia berteman." "Apa? Kau tak mau menuruti perintahku?" Earth yang emosinya masih sangat labil merasa terluka dengan penolakan Emily itu. PLAK! Tangannya mendarat di salah satu pipi gadis itu. "Ah..." Emily merasa sedikit perih, walau tamparan itu tak terlalu keras. "Kau tak boleh menyakiti wanita. Kau harus belajar menghormati wanita, sebab ibumu dulu juga seorang wanita." pipi Emily sedikit memerah dan panas karenanya. Melihat hal itu Earth jadi
"Jangan, Earth. Tidak dulu, tidak sekarang, kumohon." Emily tersadar bahwa ia terlena, hampir terjatuh dalam pencobaan terindah, segera duduk dan merapikan dirinya, membuang muka sambil berkata perlahan, "Aku tak tahu, aku takut." "Apa?" Earth tampak kecewa. Tadi ia begitu yakin gadis itu sudah menerimanya. "Kuselamatkan kau beberapa kali. Aku tak tahu mengapa aku begitu. Mestinya aku tak perlu menyelamatkanmu, ya?" Pemuda itu berdiri, ikut merapikan pakaian lama yang diberikan Lilian yang masih dikenakannya, dan sejenak mencoba mengontrol dirinya yang hendak marah sekali lagi karena penolakan Emily."Mengapa kau tak mau melihatku? Apakah milikku tak seindah dirimu?" "Bukan begitu. Aku... " Emily mengaku, antara malu dan masih begitu takut. "Yang tadi kita alami dan yang sesungguhnya kita hampir lakukan, itu belum pernah kualami. Hubungan sedemikian mesra antara manusia bukan hanya dengan cinta saja. Kita harus menikah." Earth terperanjat. "Apa itu menikah?" "Yang dilakukan orangt