Sementara di luar sana, Emily yang sama sekali tak mengetahui kepulangan Ocean dan semua yang telah terjadi, lagi-lagi menemui dirinya sendiri tersesat di hutan belantara pulau Vagano, dimana walaupun malam itu tak turun hujan, namun suasananya cukup suram.
Bulan sesekali memunculkan cahaya dari balik dedaunan kehitaman pohon-pohon maha tinggi. Udara dingin menggigit dan kabut tipis turun bagaikan selimut bumi yang enggan menyingkir untuk memberi jalan. Menutup semua rumput liar, semak dan bebatuan licin serta tanah yang Emily lalui. Cahaya kecil dari sorotan senternya tak mampu membantu dengan baik karena apapun yang diteranginya hanya berwarna hijau, cokelat dan hitam. Beberapa kali Emily tersandung akar pohon melintang dan juga terantuk bebatuan kasar.
Tapi gadis itu pantang menyerah dan terus berjalan.
Ketika ia tak begitu jauh lagi dari sumber cahaya di tepi pantai yang tampaknya seperti api itu, tiba-tiba Emily terjerembab pada sesuatu yang melintang hi
Begitu tersadar pada sebetik fakta itu, Emily seperti berada pada titik yang paling berat dalam hidupnya, antara kenyataan yang coba disangkalnya hingga apa yang memang ia sudah tunggu-tunggu, berjumpa dengan sosok kembar ketiga yang selama ini menghantuinya. "Kau... Earth?" "Begitulah Lilian memanggil namaku." ucap pemuda yang belum menunjukkan wajah di hadapan gadis yang masih begitu takjub sekaligus ketakutan, malu dan penasaran sekaligus. "Kita berjumpa lagi." Earth memiliki suara yang hampir sama dengan Ocean dan Sky, namun sedikit lebih parau dan juga sedih. Senyumnya hampir sama seperti senyum Ocean. Emily dalam penasarannya segera maju ke depan walau kakinya masih sedikit sakit, dan menyingkap tudung yang menutupi wajah Earth. "Astaga." ia terpana. Sangat amat mirip dengan kedua kakaknya, hanya Earth masih begitu kurus dan tirus dengan sedikit lingkaran hitam di bawah lingkaran matanya yang biru. "Aku jelek sekali bukan?" Earth
Emily sadar, benda dalam genggaman tangan Earth itu betulan dan bukan pedang lain, melainkan Dangerous Attraction yang hilang. "Kau mencurinya dari dalam museum di puri?" tanya Emily dengan sangat hati-hati. "Museum? Aku... aku tak pernah sampai ke sana! Aku menemukannya di istal kuda!" Earth tak berniat menyerang Emily, tapi tetap saja Emily bersiaga penuh dengan segala kemungkinan yang bisa terjadi. "Dan itu tentu saja atas informasi dari Si Tua! Wanita yang memeliharaku dan menyiksaku sedari aku kecil hingga beberapa saat yang lalu!" Earth menimang-nimang pedang itu dengan kagumnya seperti seorang anak kecil memainkan senjata-senjataan plastik barunya. "Tapi !!!!" tiba-tiba diacungkannya ujung benda itu ke sebelah kepala Emily, membuat jantung gadis itu hampir berhenti saking kagetnya! "Aku takkan menyakitimu sedikitpun. Asal kau mau menuruti perintahku!" "A...aku... aku mau bertanya satu hal. Kaukah orang yang membunuh petugas yang
'Flashback' ke beberapa jam sebelumnya di kedalaman terkelam Lorong Bawah Tanah puri Vagano : Sky tetap memutuskan takkan mundur sebelum semuanya terungkap dini hari ini juga. Ia bertekad takkan kembali ke atas sana sebelum menemukan asal suara raungan yang sudah membuat semua orang tersiksa dan hidup dalam kengerian. Ia memang tipe cowok funky, kepo sekaligus kurang hati-hati. Sebab ia tak tahu apa atau siapa yang akan dihadapinya. Sementara di atas sana Ocean menemukan petunjuk di lounge. Sky belum menutup lukisan dimana ada lemari rahasia tempat penyimpanan persenjataan, dan ada satu pucuk senapan yang hilang. Juga kepergian Emily berhasil ia ketahui karena sweater gadis itu ada di atas sofa lounge dan sepatu serta jaket gadis itu tak ada di pintu puri, jadi ia pasti memakainya entah kemana. 'Bagaimana, haruskah aku menyusul Emily yang pergi entah kemana atau mencari saudaraku yang ceroboh itu?Tapi, Emily tak mungkin dicari saat hari belum tera
Kembali pada Emily di pantai yang masih berdua saja dengan Earth, yang baru kali ini berhadap-hadapan sedemikian dekat dan intim hingga bibir mereka bertemu bagaikan sepasang kekasih yang dimabuk cinta. Tapi Emily merasa ada yang belum saatnya ia berikan walau ia harus menuruti semua permintaan dan perintah Earth. "Tunggu." ia menahan dada pemuda itu saat Earth mendorongnya ke pasir dan mulai menaruh tangannya yang penasaran ke tubuh Emily, seperti ia pernah lakukan beberapa saat silam. "Teman belum boleh begini. Ini bukan caranya manusia berteman." "Apa? Kau tak mau menuruti perintahku?" Earth yang emosinya masih sangat labil merasa terluka dengan penolakan Emily itu. PLAK! Tangannya mendarat di salah satu pipi gadis itu. "Ah..." Emily merasa sedikit perih, walau tamparan itu tak terlalu keras. "Kau tak boleh menyakiti wanita. Kau harus belajar menghormati wanita, sebab ibumu dulu juga seorang wanita." pipi Emily sedikit memerah dan panas karenanya. Melihat hal itu Earth jadi
"Jangan, Earth. Tidak dulu, tidak sekarang, kumohon." Emily tersadar bahwa ia terlena, hampir terjatuh dalam pencobaan terindah, segera duduk dan merapikan dirinya, membuang muka sambil berkata perlahan, "Aku tak tahu, aku takut." "Apa?" Earth tampak kecewa. Tadi ia begitu yakin gadis itu sudah menerimanya. "Kuselamatkan kau beberapa kali. Aku tak tahu mengapa aku begitu. Mestinya aku tak perlu menyelamatkanmu, ya?" Pemuda itu berdiri, ikut merapikan pakaian lama yang diberikan Lilian yang masih dikenakannya, dan sejenak mencoba mengontrol dirinya yang hendak marah sekali lagi karena penolakan Emily."Mengapa kau tak mau melihatku? Apakah milikku tak seindah dirimu?" "Bukan begitu. Aku... " Emily mengaku, antara malu dan masih begitu takut. "Yang tadi kita alami dan yang sesungguhnya kita hampir lakukan, itu belum pernah kualami. Hubungan sedemikian mesra antara manusia bukan hanya dengan cinta saja. Kita harus menikah." Earth terperanjat. "Apa itu menikah?" "Yang dilakukan orangt
(Point-of-view Seseorang di Lorong Bawah Tanah:) Aku mungkin kehilangan akal sehat, kehilangan anggota keluarga, serta apapun yang dulu kumiliki, termasuk cinta. Bahkan wanita yang dulu kucintai, lalu tidak jadi kupilih karena sifatnya yang tak cocok lagi denganku, telah menghempaskanku begitu saja setelah aku tak lagi berharga di matanya. Semua orang mengiraku mati. Semua orang tak lagi perduli kepadaku termasuk Hannah. Hanya karena aku menolak cintanya dan juga menolak menerima lahirnya anak ketigaku. Ya! Karena kelahirannya memang tak kukehendaki! Satu atau dua putra dari wanita yang kupilih, baiklah. Aku sungguh bersyukur dan bahagia bisa memiliki dua putra pada saat bersamaan.Tapi tiga? Aku tak siap dan begitu terkejut. Apalagi disusul dengan perginya seseorang yang kuci
Sementara Ocean dan Sky masih dalam perjalanan mencari Emily yang hilang, gadis itu masih berada bersama Earth di pantai dekat lokasi mercu suar Lilian yang semalam-malaman terbakar dan hingga kini masih menyisakan jejak asap mengepul lamat-lamat. Baik Emily maupun Earth belum tahu siapa pelakunya dan apa yang telah terjadi di sana. Setelah Emily merasa pulih, ia berdiri dan mendekat ke tempat itu, berusaha mencari petunjuk. Tak ada tanda-tanda korban makhluk hidup kecuali rerumputan dan tanaman obat Lilian yang ikut hangus terbakar. Namun sesuatu yang berkilau di abu potongan rumput liar yang juga terbakar di dekat pintu masuk menarik perhatian Emily. Diambilnya dan diamatinya. "Sebuah pisau?" "Milik Si Tua." Suara Earth yang mi
Dalam hati Earth tiba-tiba bergejolak sebuah rasa yang sudah ia pendam selama berpuluh-puluh tahun. Rasa yang sudah ditanamkan ke dalam hati dan pikirannya sedari batita atau balita, entah kapan. Yang jelas, selama masa kecilnya hingga remaja dan dewasa, ia hanya diberitahu Hannah bahwa Ocean dan Sky itu 'orang jahat', Ocean dan Sky itu 'penyebab dirinya berada di bawah sini', Ocean dan Sky itu 'istimewa' sedangkan dia bukan siapa-siapa. Dan siapa lagi kalau bukan Si Tua, alias Hannah Miles, orang yang belakangan juga mulai dibenci olehnya karena kerap menyiksanya akibat membangkang dan tak mau menuruti semua perintahnya untuk 'tak menampakkan diri dahulu'. Tapi belakangan karena yakin ajal Earth semakin dekat, malah memberinya 'kebebasan' dengan harapan Earth akan menjadi 'kuat' sebelum hari pembebasan sejatinya tiba. Dan terlebih lagi sejak ketertarikannya kepada Emily. Earth tahu betul, Ocean adalah sosok saudara kandungnya yang tertua dan juga paling dekat dengan
"Tidak, jangan lakukan itu, Nona Kate! Kami akan segera mencari dan menemukan Ocean Vagano!" di luar dugaan semua orang yang hadir di pagi menjelang siang benderang namun mencekam itu, tetiba Lilian maju, menempatkan dirinya di antara Kate yang nyaris terjun ke jurang dan Katy yang semakin bernafsu untuk mengakhiri hidup kakaknya! "Minggir, Wanita Tua! Kau bukan sasaran Pedang Terkutuk ini! Minggir sekarang juga, aku tidak main-main!" geram Katy kesal. "Tidak! aku memang bersalah! Kuakui semua sekarang juga! Aku yang mengundang kalian kemari karena ingin menjodohkan Ocean dengan harapan semua kutukan akan segera berlalu dan kalian semua bisa berkeluarga dan akhirnya hidup bahagia, melupakan Emily dan segala yang terjadi!" aku Lilian, membuat kedua gadis kembar itu terhenyak, "Namun ternyata semua ini terjadi! Ocean sudah hilang dan kemungkinan besar tewas di laut dan takkan pernah kembali! Jadi aku merasa gagal, aku merasa benar bila ini semua salahku! Sama seperti p
Semua yang hadir terpaku di tempat, tak berani bergerak sedikitpun setelah mereka berjarak sedemikian dekat dengan Katy yang mungkin akan melukai Kate sewaktu-waktu tanpa sempat mereka cegah."Berhenti di sana sekarang juga, Nona Siapapun Namamu! Sebab gara-gara dirimu, semua yang aku dan Emily ingin lakukan hingga pergi sejauh ini terpaksa tertunda!" Earth dengan suara keras menitahkan Katy yang belum ia kenal."Darimana kau mendapatkan pedang itu dan siapa sebenarnya kalian, mengapa bisa ada di puri ini?" tanya Sky yang juga belum tahu apa-apa."Mereka berdua gadis-gadis bangsawan Everopa, keluarga Forrester yang datang kemari dari jauh dengan tujuan ingin bertunangan dengan kakak kalian, Ocean Vagano," jelas Lilian yang merasa bersalah karena diam-diam mengundang mereka, namun tampaknya tak berjalan baik seperti yang direncanakan."Betul sekali! Dan aku sebagai adik, kali ini tak ingin mengalah untuk kakakku, sekalipun ia telah tidur dengan Ocean Vagan
"Tidak, jangan ikuti aku lagi! Kumohon! Lihat, tadi ada seorang Vagano datang entah darimana, Ocean atau bukan, dia bisa kaujadikan milikmu!" Kate Forrester berlari terus di jalan yang semakin menanjak di tepi pantai itu, tanpa sadar bahwa sebenarnya ia menuju 'dead end'. Jurang yang menghadap ke pantai, namun bukan yang berpasir putih, melainkan pantai curam berbatu karang besar tajam dimana almarhum Zeus Vagano pernah terjatuh ke atasnya dan tewas seketika. "Kau tak bisa mengaturku! Nyawamu berada dalam tanganku, Kak!" Katy masih tersenyum dengan anehnya. Kini Kate berada dekat sekali dengan tepi jurang. Ia terhenti, bingung. Tak ada jalan kemanapun untuk kabur lagi. Hanya ada dua pilihan, dan dua-duanya jalan menuju maut! ********** Sementara itu di puri, Emily dan Earth telah memasuki ruang utama. Emily yang masih enggan sekaligus cemas pada nasib gadis kembar misterius yang dikejar saudarinya sendiri dengan pedang Dangerous Attraction, di
"Tidak mungkin, ini semua tak mungkin terjadi, sebab lukisan ini tak mungkin nyata!" Kate Forrester perlahan mundur menjauh, merasa tak ingin terburu-buru dari tempat persembunyian itu karena khawatir Katy akan menemukannya. Namun ia juga merasa tak nyaman dengan apa yang ia lihat. Terlalu mengerikan dan tak dapat dipercaya! Hanya saja, untuk bertahan di bawah tatapan empat pasang mata sedemikian mengerikan, siapa sanggup bertahan? Akhirnya Kate keluar dan kembali berlari menelusuri labirin Lorong Bawah Tanah. Tentu saja, tak jauh darinya masih ada Katy yang sedari tadi menunggunya dengan sabar. Dan suaranya yang berisik melengking saat bermonolog di hadapan Lukisan Terkutuk tentu saja terdengar oleh Sang Adik yang masih belum ingin melepaskan Sang Kakak. "Kate, sejauh apapun dan dimanapun kau berada, aku selalu ada di belakangmu, mengawasimu hingga aku mendapatkan nyawamu!" Kate berusaha keras mencari jalan keluar, kemana saja tembusnya lorong-lorong
Sementara jauh di lantai dasar, kedua Kembar Cantik Forrester masih saling kejar. Katy yang masih dibawah pengaruh misterius tentu saja takkan menyerah sebelum mencapai tujuannya."Bersiaplah untuk mati, Kate! Kau takkan pernah bisa menghindar dariku ataupun takdir yang menunggumu!""Tidak! Tinggalkan aku saat ini juga! Kau bukan dirimu sendiri, Katy! Sadarlah! Kumohon, ingatlah bahwa kau adikku! Adik takkan membunuh kakak sendiri walau demi cinta!"Sepanjang perjalanannya mencari pintu menuju Lorong Bawah Tanah, Kate Forrester berusaha keras menghalang-halangi adiknya sambil mencoba semua pintu di lorong yang ia duga pernah dilaluinya beberapa saat silam bersama Ocean dan Lilian. Dijatuhkannya semua vas bunga besar-besar dan pajangan berharga yang ia temui, tak peduli bahwa tuan rumah puri bisa saja marah besar bila mengetahui perbuatannya itu.Demi keselamatannya, ia tak peduli. Sayangnya, perbuatan Kate itu percuma saja. Katy tetap mengejarnya dan mela
Semalam-malaman, beberapa jam lamanya Lilian bersama beberapa petugas jaga terkurung di museum perpustakaan hampir merasa putus asa karena 'dikungkung' oleh suatu kekuatan tak kasat mata yang seakan-akan 'menguasai' Puri Vagano. Mereka telah mencari celah di dinding, jendela, serta mencoba semua kemungkinan lain untuk keluar. Tak berhasil. Semua seakan-akan rapat tertutup, bahkan kaca jendela menolak untuk dibuka dari dalam.Sementara di bawah sana, tanpa mereka ketahui, seorang penghuni lama sekaligus tuan rumah, Sky Vagano sang kembar tengah, telah tiba kembali di kediamannya sendiri. Merasa heran karena tak ada seorang penjagapun di puri, sementara pintu-pintu utama tak terjaga dan dengan mudah dibuka dari luar."Pagi yang senyap di Pulau Vagano, dan tak ada penyambutan kepulangan sama sekali. Baiklah, ini memang sangat mendadak! Huh, semoga Lilian tak mengabaikan 'tugasnya'. Berarti benar dugaanku, ada hal yang tak beres di sini! Syukurlah aku kembali! Lilian! Penj
Kate masih belum terlalu percaya bila Katy betul-betul serius ingin menyakitinya, walau sebenarnya ia betul-betul mulai dilanda sebuah perasaan yang sangat tak enak."Ayolah, Adikku! Letakkan saja pedang-pedangan yang kau dapatkan entah darimana itu dan berdamai sajalah denganku! Kau nanti juga akan mendapatkan jodohmu sendiri. Kembar Vagano tidak hanya Tuan Muda Ocean! Masih ada 2 adiknya yang sama-sama tampan dan bisa kaupilih sendiri nanti!" ia tertawa gelisah sementara Katy masih mendesaknya hingga jauh mundur ke dalam kamar, bahkan hingga ia terjatuh ke atas ranjangnya sendiri."Tidak, Kak! Aku ingin hanya diriku saja yang menjadi kekasih, tunangan dan kelak istri Ocean Vagano! Karena kau adalah sainganku! Dalam cinta, tak pernah ada yang namanya teman, sahabat bahkan saudara sekalipun!" Katy tersenyum sinis sambil tetap menggenggam hulu pedang terkutuk Dangerous Attraction yang belum pernah Kate lihat sebelumnya."Lalu, apa yang kau inginkan? Membunuhku? C
Lama Earth terdiam, sementara dalam hatinya, Emily sangat yakin bahwa pemuda itu takkan pernah berkata ya. 'Ia sangat membenci keluarganya, tanah kelahirannya, jadi ia takkan pernah mau! Maka aku akan bebas pergi, karena ia tentu akan menolak mentah-mentah semua permintaanku yang sukar ini!' demikian Emily berusaha untuk membuat Earth mundur perlahan dengan syarat yang sedemikian berat. Berada kembali di tanah kelahirannya tentu saja bukan pilihan terbaik bagi Earth yang tak ingin mengenang masa lalunya yang begitu kelam dan menyedihkan. Pergi sejauh-jauhnya, bila perlu! "Baiklah, Emily! Demi kau, hari ini juga kita akan segera kembali ke Pulau Vagano!" di luar dugaan, Earth menyanggupi permintaan Emily yang paling sukar itu. "A, a, a, apaaaa?" Emily terperangah tak percaya, "Earth, bagaimana mungkin kau mau? Ocean dan Sky bisa membunuhmu, apalagi bila kau membawaku kesana! Pedang Terkutuk itu tentunya masih ada dan kali ini hidupmu bisa berakhir di ujungnya!
Sementara, Emily masih berada dalam 'penguasaan' Earth di sebuah hutan yang sunyi. Masih terombang-ambing antara ingin kembali kepada Xander yang 'ditinggalkannya' begitu saja tanpa kabar di M's Brew di Evertown, atau tetap bersama Earth yang tak mungkin akan mengizinkannya pergi lagi. "Emily, sudah dua kali kita melakukan itu. Kau bisa berterusterang kepadaku, apakah kau mulai bisa menyukaiku walau sedikit?" Earth masih memeluknya erat, seakan tak ingin melepaskannya untuk selama-lamanya. Emily gemetaran, walau pelukan Earth terasa hangat. Di bawah siraman cahaya mentari, pemuda itu sama sekali tak seperti saat mereka masih di Pulau Vagano tiga tahun silam. Tubuhnya bersih, mulus, wajahnya bercahaya. Emily sungguh merasakan perbedaan yang signifikan antara Earth Si Bungsu Terkutuk di masa lalu dengan Avalanche Si Barista di masa kini. "Aku belum tahu. Tiba-tiba saja kau muncul kembali. Terlalu mendadak bagiku. Dan aku sudah punya kekasih yang mencintaiku. Xa