Setelah malam mulai larut, kedua bangsawan Vagano muda itu berdiri dan berpamitan dengan Emily yang masih harus banyak beristirahat untuk memulihkan tenaga serta kesehatannya.
"Tidurlah yang nyenyak. Di sini suasana sangat sunyi, kuharap kau bisa menikmati tidur lebih nyenyak daripada di Evermerika." pamit Ocean sambil tersenyum ramah.
"Besok kita bisa ngobrol lagi saat sarapan pagi, asyik sudah ada cewek cantik yang ramah dan baik hati mengisi hari-hari sunyi kami!" sorak Sky penuh semangat.
"Terima kasih, senang sekali berkenalan dengan kalian berdua hari ini. Semoga kita semua bisa bersahabat dengan baik. Maaf ya bila kehadiranku merepotkan kalian." Emily merasa gembira sekaligus masih sungkan.
"Ah, jangan katakan itu, sama sekali tak merepotkan, kami sangat gembira! Selamat malam dan selamat tidur, mimpi indah!" ucap Ocean. Ia seperti enggan meninggalkan Emily, merasa sedikit heran kepada dirinya sendiri mengapa gadis ini menimbulkan sesuatu rasa dalam dirinya.
'Uh, mungkin hanya karena sudah beberapa tahun aku tak bertemu atau melihat wanita muda yang cantik.' - Ocean berusaha menepis perasaan aneh itu.
"Selamat malam, Ocean dan Sky."
Emily mencoba untuk tidur dalam balutan selimut jacquard terhalus dan terhangat yang pernah ia gunakan seumur hidupnya. Ranjang kamar tamu yang ia gunakan juga sangat nyaman dan empuk membuai, dengan wangi klasik aromatik bunga mawar yang menenangkan. Bantal dan gulingnya terbuat dari bulu angsa asli, bukan imitasi. Ini semua seperti mimpi!
Emily hanya sedikit belum terbiasa pada sunyi yang nyaris mencekam ini. Hanya terdengar suara jangkrik menyanyi di kejauhan. Tak ada dengung pendingin udara, sebab kamarnya yang besar dan berlangit-langit tinggi itu sudah sangat sejuk. Juga tak ada suara mesin-mesin maupun deru mobil lewat seperti di perkotaan.
Ketika ia hampir terjatuh ke dalam lubang hitam yang dalam untuk memulai tahap mimpi, Emily mendadak seperti terhisap paksa kembali ke alam sadar.
Sebuah suara lain menggema di ruangan kamarnya.
Aaarrrgh... !!!
Emily terduduk saking kagetnya. Tubuhnya jadi mendadak nyeri gegara gerakan refleks itu.
Raungan? Lolongan serigala? Suara orang menangis atau kesakitan?
Yang jelas, suara itu dalam, seperti suara laki-laki. Dan sangat memilukan serta mengerikan.
Hanya terdengar satu kali. Lalu sunyi. Setelah Emily terjaga penuh, tak terdengar kembali.
Emily menunggu dalam debar dan keringat dingin untuk memastikan suara apakah itu, mungkinkah hanya terdengar oleh dirinya sendiri?
'Mungkin aku tadi berada di awal mimpi buruk saja. Sebaiknya aku acuhkan saja dan kembali tidur lagi.'
Ternyata suara aneh itu mengejutkan Emily sekali saja, dan tak terulang lagi.
Malam itu Emily tidur sangat pulas saking lelah, lemah dan mengantuk. Ia bahkan sudah nyaris tak ingat apa-apa tentang kejadian semalam, suara apa yang ia dengar, dan mungkin sekali hanya dalam mimpinya saja.
"Selamat pagi, Nona Emily." sapa Ocean pagi-pagi sekali datang mengantarkan sarapan yang mirip sarapan di hotel bintang lima. "Layanan kamar spesial hari kedua di Puri Vagano."
Isi nampannya super lengkap. Ada sepasang roti bakar, beberapa lembar ham, dua jenis telur, sosis super besar dan panjang buatan sendiri, dan lengkap dengan segelas jus jeruk dan susu.
"Wah, luar biasa. Ocean, aku merasa seperti seorang putri raja. Terima kasih."
"Sama-sama." Ocean yang masih mengenakan kimono tidur panjang warna gelap tampak dobel ganteng di pagi yang cerah ini. Pemuda itu membukakan tirai besar di samping ranjang, hingga sinar matahari pagi yang cerah dan hangat masuk menyinari kamar.
Pemandangan di luar jendela tak kalah menakjubkan. Hamparan kebun buah berhektar-hektar berwarna hijau segar bercampur titik-titik merah seperti dalam gambar kalender terindah yang pernah Emily lihat. Langit biru cerah dan di ujung sana masih terlihat garis katulistiwa pantai landai berair biru dan berpasir putih.
"Wow, aku seperti terdampar di surga!" Emily menatap kagum pada pemandangan itu.
"Nanti kalau kau sudah sembuh, kami bawa berjalan-jalan menelusuri puri dan pulau ini. Semoga kau suka dan betah."
Emily tadinya ingin bertanya lagi mengenai ada atau tidak sarana komunikasi untuk memberitahu orangtuanya. Tapi melihat keindahan tempat yang ia baru datangi, serta tentunya keramahan dan kebaikan kedua pemuda yang baru ia kenal, tampaknya gadis itu lupa pada segala-galanya.
"Ayo, makan yang banyak supaya kau cepat sembuh." Ocean tersenyum lagi.
"Aku ingin cepat sembuh! Terima kasih!" Emily jadi tambah bersemangat.
"Aku datang!" seseorang muncul di pintu yang terbuka. "Sky mengganggu pedekate Ocean dengan Emily ya?" ia melawak seakan-akan cemburu.
"Ehhh, kami tidak..." Ocean tersipu-sipu. Sementara Emily terpana juga, melihat Sky hanya memakai celana tidur panjang bertali, memamerkan dada bidang nyaris tak berbulu. Kedua cowok itu memang tampan nyaris cantik dan juga sangat menarik.
"Oh, belum berpikiran seperti itu. Tapi terima kasih bila aku boleh maju duluan." Ocean membalas canda adik kembarnya.
"Nanti setelah Emily sembuh, biar dia yang memilih satu dari antara kita berdua." tambah Ocean lagi sambil tertawa.
"Setuju! Aku 'sih oke-oke saja!" Sky ikut-ikutan ngakak.
Sementara itu dari balik pintu kamar yang masih setengah terbuka, seseorang menatap ke dalam sambil menyeringai dengan ekspresi tak senang.
Hannah Miles, sang Kepala Pelayan.
Beberapa hari pun berlalu di Puri Vagano, dan Emily mulai pulih sepenuhnya dan kembali sehat seperti sediakala setelah kejadian tragis yang ia alami di laut. Bahkan ia lupa niatnya mengabarkan kepada keluarga mengenai kabar baik, bahwa ia selamat, tak seperti yang mungkin dunia luar duga. Ia juga lupa menanyakan keberadaan telepon atau sarana komunikasi apapun, bahkan sepertinya enggan pulang. 'Liburan musim panas masih sangat lama, tak ada salahnya aku tetap berada di sini, mungkin sampai ada kapal logistik datang?' - Emily mencoba mencari alasan.Ocean dan Sky Vagano dengan sangat ramah, akrab dan bersahabat selalu mendampinginya kemanapun ia ingin berkeliling. Puri Vagano sangat luas dan besar, seperti benteng atau istana tua di film-film Everopa masa lalu.Dinding batu pualam dan granit, lapisan karpet merah sepanjang lantai dan koridor, sangat banyak ruangan maha besar dan luas dengan langit-langit tinggi, dihiasi lampu-lampu kristal gantung serta deretan lentera
Malam itu Emily sungguh tak dapat tidur, sepertinya ia mengalami insomnia. Tetapi saat ia berusaha memejamkan mata, terdengar sayup-sayup suara merdu alunan alat musik klasik yang familiar. Piano.Lagu instrumental tunggal klasik terkenal yang Emily lupa apa judulnya.Terdengar tak seberapa jauh.Emily yang sudah bergaun tidur ala jaman dahulu, milik almarhumah ibunda Ocean dan Sky, memutuskan untuk turun dari ranjang, mengambil sandal kamar dan pergi keluar kamar menyusuri lorong-lorong menuju sumber suara piano.Ternyata dugaannya benar.Di aula puri keluarga Vagano di lantai dasar, seseorang di balik piano besar berwarna putih tampak khidmat memainkan instrumen itu.Pemuda tampan berambut cokelat panjang di bawah siraman terang cahaya bulan purnama dari jendela besar yang tirainya dibiarkan terbuka. Matanya terpejam dan ia memainkan lagu tanpa melihat buku musik. Sudah sangat hafal, tanpa sedikitpun kesalahan, sangat lancar dan menyentuh
(point-of-view seseorang atau sesuatu tak dikenal:) 'Hhhhh.... hhhh... hhhh....Hari ini Si Tua itu memberiku sisa makanan basi lagi. Perutku sudah kebal. Tak bisa lagi merasa sakit, mual atau muntah akibat makanan beracun sekalipun. Aku sudah muak dengan segala penderitaan ini!Aku ingin keluar menatap dunia, walau cuma sekali saja.Walaupun setelah itu aku akan mati dan pasti mati.Aku tahu aku bersalah akan sesuatu. Tapi aku juga dendam pada seseorang atau dua di luar sana. Dua orang yang aku tak kenal langsung, namun secara tak sadar 'menyiksaku' di sini hingga hari ini.Gara-gara mereka, aku ada di sini. Dalam kegelapan yang tak pernah berubah menjadi pagi. Malam itu aku meraung saking tak tahan pada rantai-rantai berkarat yang membelengguku sejak entah kapan, mungkin sejak aku lahir.Arrrrgh !!!Bersama erangan itu, kusentakkan sekuat tenaga hingga terlepas semua besi tua itu.Dan aku berhasil! Diam-diam aku keluar dari ruangan tempat aku dikurung selama ini, kutemukan tangga
Emily terbangun pagi itu dengan sebuah perasaan super aneh yang tak biasanya ia alami. Jantung berdebar dan keringat dingin membanjiri sekujur tubuhnya. Ia teringat pada ciuman bibir Ocean tadi malam, dadakan, spontan, masih sedikit bergidik karena terkejut namun juga merasa takjub. 'Rupanya ini rasanya dicium seorang cowok, beda banget dengan yang selama ini kuduga.' Bibir Ocean begitu lembut dan hangat seakan-akan mengantarkan sengatan listrik, menyetrum jiwa raganya, bagaikan magnet maha kuat menarik erat semua perasaannya, hingga tak ingin dan tak bisa lepas lagi.Entahlah apa ini cuma perasaan romantis ibarat sebuah cinta lokasi dan hanya keinginan Ocean sesaat, ataukah akan berlanjut hari ini? Rasanya Emily begitu malu dan segan bila tak sengaja menatap mata biru tajam sedalam samudra itu, seakan takut akan tercebur dan terhanyut lebih dalam lagi seperti kejadian tragis di laut yang ia alami beberapa waktu yang lalu.Ocean dan Sky se
"Gulungan perkamen terkutuk yang dituliskan oleh almarhum ayah kami tepat pada hari kelahiran kami berdua, dituliskannya dalam kesedihan karena kematian ibu kami saat melahirkan kami berdua." terang Ocean, masih dalam nada lirih getir yang sama kepada Emily yang masih terpana sekaligus begitu ketakutan pada beberapa kalimat yang baru saja ia dengarkan. Pedang panjang dan tipis di dalam kotak kaca tebal itu terbuat dari perak, tampak masih berkilat dengan ujung tajam mengancam, seakan memberitahukan bahwa rambut saja bisa ia belah menjadi tujuh, apalagi tubuh manusia. "Makanya pedang terkutuk ini harus dijaga dengan baik agar jangan sampai jatuh ke tangan orang yang tak bertanggung jawab. Sudah sedari dulu kami berusaha menjaganya baik-baik sesuai warisan ayah kami. Padahal kami tahu, sebenarnya harta karun Vagano adalah incaran para kolektor benda antik, kurator serta rumah lelang besar di seluruh Dunia Ever! Harganya sangat tinggi, karena selalu dianggap sebagai peninggalan bersejar
Suasana di lantai bawah tanah ini begitu sunyi. Mencekam. Emily terkadang berusaha menahan napas, karena khawatir desah napasnya sendiri akan terdengar oleh Hannah yang berada jauh di depannya, namun terkadang berbelok dan hilang dari pandangan.Wanita tua itu kerap melihat ke belakang seakan takut diikuti, dan belok kiri-kanan di setiap perempatan koridor. Emily selalu sigap sembunyi di balik tembok, namun buru-buru berbalik takut tertinggal dan kehilangan jejak.Tembok di ruangan bawah tanah ini hanya terbuat dari batu kasar dan dingin, begitu pula langit-langitnya. Hanya ada beberapa lentera seperti di film zaman dahulu menyala redup di sudut-sudut, jadi penerangannya pun sangat minim.'Ini seperti koridor menuju luar puri, seperti lorong rahasia untuk kabur dari istana di film-film. Hanya saja dalam kenyataan ini lebih mirip jalan menuju penjara atau kuburan bawah tanah, catacomb!' Emily semakin tegang.
(Point-of-view seseorang atau sesuatu tak dikenal:)'Hhhh... Hhhh... Hhhh...Si Tua itu tak pernah mengunci pintu setelah memberiku makanan sisa alias slop yang sudah basi, sisa-sisa sarapan, makan siang maupun makan malam Ocean dan Sky yang sangat kubenci itu.Mereka yang makan semua yang segar, hangat dan lezat, sedangkan aku? Siapa yang peduli padaku? Aku bahkan tak pernah bertemu atau menemui mereka, bahkan seperti tak pernah ada di dunia ini.Dan pintu kamar, atau lebih tepatnya, kurunganku, kandangku ini, tak pernah dikunci. Si Tua itu mengiraku masih terikat erat dalam belenggu dan rantai besar yang berkarat ini. Padahal malam itu sudah kusentak lepas semuanya. Jadi aku bebas, bebas berkeliling puri ini, bebas membunuh siapa saja bila aku mau, kapanpun aku mau!SI Tua itu pikir aku bodoh dan terbelakang karena aku tak pernah kenal sinar matahari, makanan lezat sehat dan bergizi. Tidak, dia salah besar! Aku bagaikan lumut di tembok kurunganku, tumbuh subur dan tebal karena terken
Tentu saja Emily takkan menemukan siapa-siapa atau apa-apa, berapa lamapun ia menunggu atau berusaha melihat. Sebab seseorang atau sesuatu itu sudah begitu terlatih dan terbiasa untuk bersembunyi dalam bayang-bayang, bahkan menyatu nyaris sempurna dengannya. Walau saat ini ia berada dalam kesakitan yang amat sangat karena baru saja terjatuh dari balkon Emily, tidak langsung ke atas tanah melainkan nyaris. Ia masih beruntung karena tertahan rimbunan daun dan dahan dari pohon-pohon besar, yang tadi ia juga gunakan untuk memanjat ke balkon. Saat terjatuh, dahan -dahan itu menahan jatuhnya sekaligus melukainya. Menggores tubuhnya yang sudah dari dulu penuh luka-luka itu. (Point-of-view seseorang atau sesuatu tak dikenal:) 'Ahhh.... Ahhh.... Ahhhh.... Aku menemukan Emily tak tak pernah menyangka semua itu dapat kulihat dan terjadi. Aku sudah menyusun rencana sebaik mungkin dan menyiapkan rute. Aku tahu semu