Earth berdiri. Melangkah maju sedikit, hingga kakinya menyentuh bibir jurang. Di bawahnya bukan hamparan pasir putih, melainkan lautan biru bergelora dimana ombak menghempas batu-batu karang tajam.
"Bila aku mati malam ini, semua kutukan akan berakhir dan Emily dan kedua saudara kembarku akan hidup bahagia selamanya. Takkan ada korban lagi! Dan aku bisa bertemu kembali dengan ibuku untuk meminta maaf karena bertukar nyawa denganku!"
Namun memikirkan hal itu, ia malah jadi memikirkan pula hal lain. Untuk apa berjuang untuk bertahan hidup selama hampir 23 tahun? Untuk apa ia bersusah payah mencakar jalan untuk naik ke dunia atas? Dan untuk apa ia mati-matian mengejar Emily, wanita muda pertama dan satu-satunya yang telah membuatnya begitu berubah dari Makhluk Terkutuk menjadi seorang pecinta yang boleh dikatakan 'ulung'?
Dan sekali lagi saat melihat tatapannya di cermin dalam puri, menatap seluruh tubuhnya. Tubuh dan waja
Malam itu juga, Emily yang belum dapat tidur karena masih memikirkan nasib Earth dan bertanya-tanya dalam hati dimana ia berada sekarang, tiba-tiba saja 'mendapatkan undangan' dari Ocean untuk menemuinya di ruang pertunjukan atau aula tempat mereka dulu bermain piano bersama-sama. Emily biasanya merasa senang dan berdebar-debar bila Ocean menaruh perhatian khusus padanya, namun entah mengapa, setelah beberapa kejadian yang secara tak disengaja mendekatkannya dengan Earth, ia malah menjadi ragu-ragu dan malu sendiri pada Ocean semenjak pertemuan mereka kembali di hutan tadi siang. Seakan-akan Ocean kini pun telah tahu segala yang terjadi dan akan marah besar karena Emily tak mau jujur bila ia sudah mengetahui sesuatu yang penting. Seolah Emily telah menutup-nutupi sebuah dusta besar. "Aku di sini." Ocean belum berkata apa-apa, ia hanya menunduk dalam-dalam memainkan pianonya seperti malam itu, hanya saja entah lagu apa, Emily tak tahu. Iramanya s
(Point-of-view Ocean Vagano:) 'Aku tak tahu mengapa malam ini aku begitu marah kepada Emily yang terang-terangan telah menyelundupkan seseorang tak dikenal ke dalam sini. Walau ia mungkin memang sangat mirip denganku hingga dapat mengelabui semua orang. Mengapa kami semua bisa begitu bodoh? Mengapa bisa begitu lengah di dalam pertahanan sendiri? Aku bukan tipe pria yang kasar dan dominan terhadap wanita, namun aku juga tak dapat menahan gejolak kemarahanku yang membuncah saat tahu gadis yang kusukai selama ini nyaris saja... Kecemburuan dan rasa posesif itu biasanya tak pernah ada. Namun seperti samudra yang bergelora akibat badai yang berhembus di atas permukaannya, perasaanku serta semua kekesalan atas ketidakberadaan dan ketidakberdayaanku keluar. Kuhempaskan Emily ke atas piano itu, dan seakan-akan dengan bertindak demikian ia takkan diinginkan siapa-siapa lagi, segera kulepaskan sebagian besar kain yang menutupi tubuhnya, lalu kuteliti dengan bai
(Point-of-view Earth Vagano beberapa saat sebelumnya:) 'Malam itu aku tak pulang ke manapun, karena kini aku tak punya tempat untuk berteduh. Dan aku sungguh tak tahu lagi siapa yang bisa kupercaya. Untuk kembali ke paviliun yang ditempati Lilian juga tentunya masih sangat riskan karena aku yakin sekali, banyak penjaga di sana yang sedang mencari Ocean yang entah sudah ditemukan atau sudah kembali ke puri. Aku tak boleh gegabah, walau aku sangat ingin kembali menemui Emily. Namun suasana area puri begitu sepi menjelang tengah malam. Walaupun dikelilingi banyak penjaga, puri yang dikelilingi banyak pepohonan tua tinggi rimbun dan pagar hidup ini tidaklah begitu sukar untuk ditembus. Keahlianku dari dulu adalah bersembunyi di balik bayang-bayang dan menyatu sempurna dengan setiap semak, lekuk pohon berkulit kasar dan tembok bebatuan kusam. Aku bertekad akan mengambil kembali Pedang Terkutuk itu dan menyimpannya baik-baik, sebab waktunya beraksi akan seg
(Point-of-view Emily:) 'Aku bahkan hampir tak ingin mengingat-ingat momen dimana Ocean malam ini begitu marah kepadaku. Aku betul-betul merasakan hal yang berbeda dari biasanya. Karena sebegitu dalamnya cintanya kepadaku, atau karena ia marah sekali atas apa yang sebelumnya kuperbuat? Kuakui, simpati kepada Earth adalah sesuatu yang awalnya adalah spontanitas belaka. Karena ia sosok pria muda labil terluka yang begitu peka, sepolos bocah kecil dan juga masih begitu lugu. Namun di sisi lain, betul kata Ocean, ia bisa jadi sangat berbahaya dan haus darah. Tak terduga. Ia lebih dari sekedar badboy yang kutonton di film-film atau jagoan terluka yang menebar teror di fiksi-fiksi yang kubaca. Sosok tampan yang mengoyak-ngoyak kealiman dan kepolosanku, membukakan mataku yang belum pernah melihat sosok seorang pria dewasa yang seutuh-utuhnya. Dan belum lagi tadi saat Ocean hampir saja melakukan hal yang hampir sama dengan yang Earth lakukan sebelumnya dengank
Sementara itu, Lilian di paviliunnya merasa gundah. Ia tak tahu mengapa kepergian Earth dari hadapannya tadi siang memberinya perasaan tak nyaman. Serta tentunya firasat buruk yang selalu menghantuinya semenjak kehadiran pemuda tampan kembar ketiga itu. Ia tahu, apapun rencana Zeus, tetap berjalan. Hidup atau mati, ia sudah menjalankan semua lewat Hannah. Hari ulang tahun Kembar Vagano akan segera tiba. (Point-of-view Doc Lilian:) 'Akankah seseorang atau sesuatu muncul pada hari itu? Dan masihkah dapat dicegah? Bila ya, aku harus bisa mencegahnya. Aku percaya, 'kutukan angka tiga' itu hanyalah karangan Zeus saja. Bukan hal supernatural atau berbau mistis. Tak pernah ada yang namanya hantu, apalagi kutuk-kutukan! Namun aku tak yakin betul bila Zeus telah mati. Dan pemikiran ini sungguh menggangguku. Pagi-pagi sekali, aku pergi ke puri menemui Ocean dan Sky. Mereka segera datang menemuiku di lounge, herannya, tanpa kehadiran Emily.
(Point-of-view Hannah Miles, beberapa saat sebelumnya:) 'Di sini, di paviliun yang terjaga ketat ini, aku terbaring di atas ranjang tua dan juga masih terpacak, karena belum pulih dari segala luka bakar mengerikan ini. Aku tahu, perjuangan dan misiku hampir berakhir. Walau beberapa di antaranya sukses besar, namun dengan pahit harus kutemui kenyataan bahwa aku harus kehilangan kecantikan wajahku dan beberapa gigiku. Kini aku adalah nenek sihir tua menyeramkan yang sanggup membuat siapapun lari pontang-panting. Lebih mengerikan dari mimpi buruk, bahkan mungkin kematian! A ha ha ha ha ha! Tak masalah. Bahkan bila Earth si Makhluk Terkutuk yang bodoh itu, yang telah kulepaskan setelah hampir 23 tahun lamanya kupelihara dengan penuh rasa jijik, sekarang turut membenciku! Karena aku memang tak membesarkannya dengan kasih sayang. Cih, untuk apa kubesarkan dia, anak dua orang yang paling kubenci di dunia, Florence dan Zeus! Ia memang telah menjadi anakku, anak
"Apa maumu, Vagano?" Hannah yang sedang terbaring di atas ranjang tua di dalam paviliun itu tahu siapa penerobos masuk misterius malam itu. Namun karena suasana gelap, ia tak tahu yang mana. Dan pemuda itu memakai jas bertudung. "Kau pasti Earth..." dengan geli ia tertawa-tawa, suaranya kering, mengerikan seperti wajah tuanya yang setengah terbakar dan hancur lebur. "Tak perlu menyelamatkanku sekarang dan membunuh penjaga-penjaga di luar. Cih, aku tak butuh kau selamatkan." "Aku tak membunuh mereka, hanya 'melumpuhkan' mereka sedikit. Dan aku bukan Earth. Aku hanya ingin mempertemukanmu dengan seseorang yang sangat kau rindukan selama ini... Aku sudah pernah bertemu dengannya dan kau akan segera tahu." Kembar Vagano misteris itu maju, di tangannya selembar saputangan yang sudah diberi cairan kloroform segera ditutupkannya ke wajah Hannah. Membekap erat wanita tua itu hingga kehilangan kesadaran. "Dan s
(Point-of-view Emily:) 'Pagi ini aku terbangun. Tak ada siapapun atau apapun terjadi. Tak ada sapa atau ketuk pintu dari Ocean seperti biasanya saat aku terlambat bangun. Aku tahu, ia pasti masih marah terhadapku. Tapi aku tak bisa berbuat apa-apa. Memang aku belum bisa memutuskan kemana aku pergi, apakah aku suka dan mencintai dirinya atau malah adiknya. Sebesar apapun cinta Ocean, tiada berarti bila aku belum tahu apakah aku merasakan hal yang sama. Demikian pula Earth. Kurasa Ocean mempesonaku, tapi Earth lebih menawanku. Aku bangkit dari ranjang dan pergi ke pintu. Terkunci. Kurasa memang Ocean tak ingin aku keluar dari sini. Aku mendadak merasa seperti burung dalam sangkar emas. Di meja kopi dekat balkon, kulihat beberapa persediaan makanan dan minuman untukku. Kurasa hanya itu yang kupunya untuk saat ini hingga ada yang membukakanku pintu.