Doni yang memiliki badan kekar, ternyata takut dengan ancaman Raiga, hingga melirik Aaera dan Sean secara bergantian. Semua orang di sana pun menunggu cerita versi Doni.Sean mendengarkan dengan seksama, hingga tak menyangka jika Aaera benar-benar melakukan perbuatan gila itu. Awalnya Sean ragu dengan cerita Raiga, tapi dengan adanya bukti dan saksi, membuat Sean diam seribu bahasa.“Ra, kenapa kamu begitu jahat hingga ingin membuatku celaka?” tanya Sean menatap Aaera dengan rasa tidak percaya.Zie yang kembali ke ruang tamu hanya bisa mendengarkan, dia sendiri memalingkan wajah saat melihat tatapan Sean ke Aaera yang membuatnya sedikit tidak nyaman.Aaera menunduk mendengar pertanyaan Sean, hingga kedua pundaknya bergetar dan buliran kristal bening mulai luruh dari kelopak matanya. “Aku minta maaf, Sean. Aku khilaf,” ucapnya penuh penyesalan.“Tapi kenapa? Kenapa kamu setega ini kepadaku?” tanya Sean mencoba mencari tahu alasan Aaera melakukan hal kejam seperti itu.“Aku benar-benar
Siang itu, suasana di lapangan golf terlihat sepi dan sunyi, angin berembus pelan membuat pepohonan yang berjajar di sisi lapangan bergoyang pelan. Terik matahari tidak mengurungkan niat beberapa pemain golf yang datang ke sana untuk bermain, termasuk Daniel dan Sean.Daniel memang sengaja mengajak putra sulungnya bertemu dan bermain golf bersama siang itu. Kini mereka sudah berjalan menuju lapangan sambil sesekali berbincang.“Maaf kalau Papa tidak memperbolehkanmu pulang,” ucap Daniel.Ditatapnya Sean yang berdiri di sampingnya, sebelum beralih menatap bola dan mulai memukul. “Papa mungkin terlalu kekanak-kanakan karena kesal denga tingkahmu.”Sean menatap sang papa yang baru saja selesai bicara, dia kemudian tersenyum dan berkata, “Papa tidak usah cemas! Meski kurang nyaman tapi aku masih bisa bertahan di rumah Zie. Dan sebenarnya aku juga sudah membeli rumah.”Daniel menoleh ke Sean, matanya menyipit karena sinar matahari yang begitu terik menyilaukan mata. Dia merasa heran karena
Di tempat lain, Ghea ternyata sedang mengajak Zie untuk pergi ke sebuah toko pakaian bayi. Di toko yang memiliki ukuran cukup besar dengan banyaknya jenis pakaian, sepatu, hingga stroller bayi itu, Ghea dan Zie berjalan untuk melihat barang.“Kamu pilih saja, mana yang kamu suka, Zie.” Ghea meminta Zie untuk memilih apa yang diperlukan untuk persiapan kelahiran bayinya nanti.Zie tersenyum mendapatkan penawaran dari Ghea, hingga kemudian berkata, “Tidak, Ma. Katanya pantang membeli perlengkapan bayi sebelum kandungan berusia tujuh bulan.”Ghea terdiam mendengar penolakan Zie, dia juga tahu mitos itu dan dulu juga dia sama seperti Zie—takut. Sebenarnya Ghea mengajak Zie keluar bukan hanya karena ingin bertemu dengan menantunya saja, melainkan dia juga ingin membujuk Zie agar mengurungkan niat untuk bercerai dari sang putra.Zie memandang Ghea yang hanya diam, hingga bisa menebak jelas maksud ibu mertuanya itu mengajaknya bertemu.“Apa Mama meminta bertemu untuk membahas soal Sean?” tan
“Apa yang ingin kamu bicarakan? Kita tidak dalam kondisi baik hingga bisa melakukan hal romantis.”Zie menghindar, seolah takut apa yang akan dilakukan Sean membangkitkan kembali rasa yang sebenarnya sudah dia kubur. Dia sudah merelakan Sean yang melupakannya, jadi jangan sampai harapan semu kembali lagi mengisi kekosongan di dalam hati.“Itu bukan hal romantis Zie, hanya bonding ayah ke anaknya. Meski hubungan kita seperti ini, tapi anak itu jelas butuh perhatian.”“Bijak sekali dirimu,”sindir Zie. “Datang saja! aku juga belum pindah dari rumah papa.”Zie menutup panggilan tanpa banyak bicara. Dia menunggu apakah Sean akan benar-benar datang untuk berbicara dengan bayi mereka.Namun, hingga malam semakin larut, Sean tidak juga menampakkan batang hidung di rumah Airlangga. Hal ini membuat Zie kecewa, dia menyesal sudah berharap pria itu akan datang untuk mengusap perut dan bicara kepada bayi di dalam kandungannya.“Selesai! aku tidak bisa lagi!” Zie mencengkeram erat bagian depan piy
Satu bulan kemudianZie memakai setelan rapi hari itu, dengan semangat baru dia ingin menghadapi apa yang terjadi di depan matanya. Semua persoalan yang terjadi sudah dia selesaikan satu persatu, hingga masalah terakhir yang harus dia selesaikan hari itu adalah mendengarkan keputusan sidang perceraiannya dan Sean.Semua terasa ringan, beban di pundak Zie terasa luruh dan hilang. Benar jika mengikhlaskan itu memang sulit, tapi setelah hati sudah berdamai dengan keadaan maka segalanya menjadi terasa lebih ringan.“Sean, terima kasih untuk beberapa bulan ini, seperti kesepakatan kita tentang bayi ini, aku harap semuanya berjalan sesuai dengan apa yang kita inginkan.”Zie mengulurkan tangan kanan, sedangkan tangan kirinya memegang map berisi akta perceraiannya dan Sean. Pria itu tak langsung menyambut uluran tangan Zie, Sean hanya memandanginya beberapa saat dan meraihnya tepat saat Zie ingin menarik tangan. Ia tidak bisa mengatakan apa-apa, karena semua ini juga sudah dia setujui.“Raig
‘Jangan lupa aku akan menjemputmu jam tiga’Zie membaca pesan dari Sean, ini bulan ke dua di mana pria itu akan mengajaknya pergi memeriksakan kandungan. Seperti janjinya, Sean benar-benar ingat kapan harus mengajak Zie ke rumah sakit. Sementara itu, orang-orang di T group dibuat heran karena Sean meminta pindah ruang ke lantai tiga. Ia bahkan memersilahkan karyawannya untuk memakai eskalator yang dulu biasa dia pakai. Banyak orang yang merasakan perubahan sikap Sean semenjak dia kehilangan ingatan, tak terkecuali sekretarisnya. Agita merasa sang atasan juga lebih ramah dan tak dingin seperti sebelumnya.“Aku pulang awal hari ini, jadi tinggalkan saja berkas yang butuh aku tandatangani di meja, aku akan selesaikan nanti,”ucap Sean tanpa memandang gadis yang berdiri di depan meja kerjanya ini.Meski sifatnya berubah menjadi sedikit ramah, tapi Sean tetap menjaga jarak. Entahlah, setelah bercerai dengan Zie, dia tidak memiliki rasa ingin menjalin kisah cinta lagi. Sean seolah ingin men
Beberapa bulan kemudian“Kenapa makannya hanya sedikit?”Gia menatap Zie yang pagi itu hanya sarapan sedikit dan lebih banyak minum. Zie memang sudah mulai cuti sejak lima hari yang lalu, ini karena hari perkiraan lahir bayinya sudah dekat.“Agak kurang berselera, Ma.” Zie mengulas senyum tipis.“Apa kamu menginginkan sesuatu?” tanya Gia kemudian. Ia curiga bahwa sang putri sudah merasakan tanda-tanda persalinan tapi hanya diam.Zie menggelengkan kepala, dia memilih berdiri dari kursi dan membuat Gia dan Airlangga memandangnya. Seperti dugaan Gia, Zie sebenarnya sudah merasakan mulas sejak kemarin, tapi berusaha menahan karena kontraksi yang dirasakan belum terlalu sering, hingga pagi tadi dia merasa perutnya semakin mulas dan kencang.Saat berada di kamar, Zie tiba-tiba merasa pakaian dalamnya terasa lembab dan basah. Dia pun mencoba mengecek untuk melihat dan seketika kaget mendapati lendir yang bercampur bercak merah. Zie pun takut dan memutuskan untuk keluar mencari Gia.“Ma.” Zie
Semua keluarga merasa sangat bersyukur dan bahagia menyambut kelahiran anggota keluarga baru mereka. Meski orangtuanya sudah berpisah, tapi baik Airlangga dan Daniel yakin, Keenan tidak akan kekurangan limpahan kasih sayang. Seperti saat ini, di ruang perawatan Sean menggendong putranya itu meski tak seluwes Raiga. Beberapa kali dia harus dicibir adiknya karena terkesan kaku dan takut menimang anaknya.“Begini Sean, coba gendong dia begini!”Raiga memberi contoh dan malah membuat Sean ketakutan. Raiga menggunakan satu tangan dan menengkurapkan bayi merah itu di lengan dengan kaki di telapak tangan.“Rai, kalau dia jatuh bagaimana?” Sean mengamuk. Ia semakin kesal karena tidak ada satu orang pun yang membelanya.“Sean, Rai itu profesional. Dia sudah biasa bersentuhan dengan bayi baru lahir, apa kamu tidak ingat siapa yang memegang Keenan saat baru keluar dari perut Zie?” Ghea mengingatkan sang putra sulung, semua orang tertawa termasuk Zie. Ia mengulurkan tangan ke Rai, dan mantan ad