Setibanya Di hotel, Endra segera menemui branch manager. Meski disambut dengan senyum ramah oleh kepala cabang di ruangannya, tetap saja raut wajah Endra tegang. Dia tak bisa mentolerir sebuah kesalahan.“Katakan apa yang sebenarnya terjadi, Tomo?” kata Endra.“Silakan duduk dulu, Pak Endra,” kata laki-laki berkumis tebal itu. Dia tersenyum ramah.“Nggak perlu basa-basi,” kata Endra. Suaranya menebal dan sedikit meninggi, “cepat ceritakan apa yang terjadi!”Karra yang berdiri di belakang Endra memasang raut waspada. Kalau sudah mode pemimpin dan sifat tegasnya keluar, Endra tampak mengagumkan sekaligus menakutkan di saat yang bersamaan.“Saat sarapan, ada tamu yang menemukan sisa potongan plastik di dalam kue,” kata Tomo, “setelah diteliti ternyata itu adalah potongan bungkus vanili bubuk.”Endra membelalakkan mata. “Kok bisa sih?!” katanya, “ceroboh sekali!”“Maaf, Pak Endra,” kata Tomo sambil sedikit membungkuk, “saya juga tidak menyangka akan terjadi musibah seperti ini.”“Maaf dar
Zevan mendengar suara langkah seseorang mengikuti di belakangnya. Namun, dia tak mau peduli. Dia terus berjalan. Saat dia mendengar Fajar memanggilnya, dia baru berhenti berjalan dan berbalik.“Mamamu bilang dia juga mau datang,” kata Fajar.Zevan tersenyum sinis. “Setelah Papa rayu?” katanya.“Zevan, kamu ini kenapa sih?” katanya, “hargai dong usaha mama kamu untuk memperbaiki hubungannya sama kamu.”“Memperbaiki?” ulang Zevan, “telat banget.”“Daripada nggak sama sekali,” sahut Fajar.Endra menghembuskan napas panjang. Sejujurnya, dia tidak ingin berharap. Karena dulu Hana juga pernah mengatakan hal yang sama tapi dia bohong. Zevan masih ingat sekali. Saat itu, dia kelas dua SMP. Dia menjadi juara satu lomba menyanyi antar sekolah yang diadakan dalam rangka memperingati hari kemerdekaan. Hana berjanji akan datang saat final karena Fajar sedang ada kunjungan bisnis ke luar kota. Sudah ditunggu-tunggu, ternyata wanita itu tidak datang. Wanita itu lebih memilih menemani Endra yang sed
Seharusnya, Endra tak perlu bertanya mengapa Zevan melupakannya. Tapi rasanya menyesakkan mengetahui fakta itu. Mungkin jarak antara diriny dan Zevan tak akan pernah bis ditepis selamanya. Mungkin mereka akan tetap jadi seperti orang asing walaupun pada kenyataannya mereka adalah saudara sedarah.“Endra ...,” terdengar suara Dania dari seberang, membuyarkan pikiran Endra.“Eh ... iya,” kata Endra.“Kok diem. Kenapa?” tanya Dania.“Nggak kenapa-napa?” sahut Endra, “by the way, kamu nggak kerja?”“Hari ini aku free,” kata Dania, “tapi habis ini mau diajak Sisil buat ngecek lokasi yang mau dipake acara ntar malem sih.”Endra mengangguk. “Yaudah kalo gitu, aku matiin telfonnya ya. Aku mau mandi dan persiapan buat ke bandara.”“Oke,” sahut Dania dari seberang, “see you. Love you.”“Love you too,” sahut Endra. Dia lalu memutus sambungan telepon.***Karra menatap bayangan wajahnya di cermin sambil menyisir rambut. Pikirannya melayang lagi mengingat kejadian semalam saat dia mencium kening E
Dania berjalan cepat menghampiri Sisil yang memegang sebuah kertas di tangan kirinya. Di tangan kanannya ada sebuah mic. Dia sedang check sound karena dalam waktu setengah jam lagi acara kan dimulai.“Sil, tamunya tambah satu lagi nggak apa-apa kan?” kata Dania.“Hah, satu lagi? Siapa?” tanya Sisil.“Mmm ... Fathan cowoknya Rita,” jawab Dania, “dia maksa mau ikut katanya Rita. Nggak apa-apa ya.”“Yaudah deh,” sahut Sisil, “untung gue nggak pesen kateringnya ngepas.”“Maaf ya,” kata Dania.“Oke ... oke, nggak apa-apa,” katanya.Setelah acara dimulai, Sisil selaku pembawa acara lalu menuju ke tengah ruangan.“Para hadirin yang terhormat, terima kasih atas ketersediaan kalian datang di acara syukuran yang dilakukan Evolution dalam rangka menyambut konser pertama mereka,” kata Sisil.Tepuk tangan riuh menyambut Sisil.“Baiklah tanpa perlu berlama-lama mari kita mulai acaranya,” kata Sisil, “sebagai awalan mari kita dengarkan sambutan dari perwakilan personel Evolution.”Sisil melihat keem
“Kayaknya baru sih,” kata Dania, “nggak mungkin seorang CEO kayak kamu segabut itu nungguin di pinggir jalan lama.”Endra tertawa. Dia menyentuh dagu Dania dengan gemas. “Kenapa sih, selalu aja bawa-bawa profesi,” katanya.“Nggak ... aku nggak maksud apa-apa loh,” sahut Dania. Dia khawatir Endra tersinggung dengan ucapannya, “selama ini kan kamu memang lebih sering sibuk daripada enggak.”“Kalo buat nemuin kamu enggak sih,” kata Endra.Dania tertawa. “Bisa aja,” katanya.“By the way, emang acaranya sudah selesai?” tanya Endra.Dania menggeleng. “Belom sih,” katanya, “lagi makan-makan.”“Loh, kamu nggak makan?” tanya Endra.“Udah, tadi aku ngambil roti,” kata Dania.“Kamu nggak dicariin nih ke sini?” tanya Endra.“Nggak lah,” sahut Dania, “aku bukan orang penting. Kecuali kalo Sisil yang ngilang, pasti banyak yang nyariin. Anak-anak Evolution sudah kayak anak ayam kehilangan induk kalo nggak ada Sisil.”Endra tertawa. “Ya siapa tau entar ada yang nyariin kamu,” katanya, “terus ketahuan
Terdengar suara tawa Endra dari seberang. “Kenapa tanya gitu?”Dania mengangkat bahu. “Nggak tahu, feelingku nggak enak aja,” jawabnya.Endra tertawa lagi. “Iya,” katanya.Dania membelalakkan mata. “Serius? Kamu nggak apa-apa kan? mana yang sakit?” tanya Dania.“Kamu nggak pengen tanya siapa yang menang?” tanya Endra.“Ih, ditanyain serius juga,” sahut Dania.Endra berdecak. “Nggak apa-apa, bonyok dikit juga bentar doang hilang gosongnya,” kata Endra.“Endra, bisa-bisanya kamu ngomong begitu,” sahut Dania, “aku khawatir banget tau!”Tawa Endra tertdengar lagi. “Mendingan kamu cepetan mandi dan ganti baju, abis itu cepetan ke sini biar tau dan ngeliat sendiri keadaan aku kayak gimana?”“Aku sudah mandi tahu. Enak aja,” sahut Dania, “iya udah deh. Aku ganti baju dulu.”“See you,” kata Endra, “love you.”“Love you too,” balas Dania. Dia lalu memutuskan sambungan telepon.Dania lalu bergegas memakai baju. Setelah itu dia memakai riasan tipis di wajahnya. Setelah menyemprotkan parfum ke tu
Zevan memandang lautan manusia yang ada di depannya dengan mata berbinar. Karena Evolution adalah satu-satunya artis ibu kota yang diundang di acara ini, otomatis yang datang ke stadion Manahan mayoritas adalah Evolutioner. Dengan suara keras, Zevan lalu menyapa mereka.“Selamat malam kota Solo!” kata Zevan. Terdengar seruan, “selamat malam, “yang keras dan kompak menyahuti ucapan Zevan.Ezra tersenyum cerah. Dia lalu menyapa lagi. “Selamat malam Evolutioners!” katanya. Terdengar seruan lagi yang juga sangat keras dan kompak menyahuti sapaan Zevan.“Oke, kayaknya aku nggak perlu banyak bicara ya, Guys,” kata Zevan sembari melihat personel Evolution yang lain, “kita langsung aja kasih lagu buat Evolutioners dan semua warga kota Solo yang udah dateng malem ini.”Evolution membawakan enam lagu dengan satu kali jeda. Di lagu terakhir yang dibawakan Evolution, Zevan bernyanyi sambil mengelilingi panggung. Sesekali dia meminta penonton untuk ikut menyanyikan lirik yang tidak dia nyanyikan.
Sisil berjalan ke studio musik. Dia mendekati personel Evolution yang tengah berlatih. Konser tinggal dua hari lagi. Melihat mereka bersemangat berlatih Sisil ikut terharu. Saat langkahnya terhenti, dia lalu mengeluarkan dua kotak pizza jumbo dan meletakannya di kursi panjang.“Guys rehat dulu sini gih!” kata Sisil. Dia melambaikan tangan ke para personel Evolution. Dia memanggil Dania juga. Setelah itu, dia memanggil Tengku dan juga editor yang merangkap komposer.“Wih, dalam rangka apa ini?” kata Tengku.“Ini hajat saya sendiri, Bapak,” kata Sisil seraya tertawa kecil.“Oh gitu,” kata Tengku, Dia lalu mencomot satu potong pizza, “sekali lagi lo mangil gue Bapak, gue libas lo!”Sisil terbahak. “Jadi aku ada hajat kalo misalnya Evolution bisa konser aku mau beli cemilan lah buat syukuran kecil-kecilan,” kata nay setelah tawanya reda.Tengku mengangguk-angguk. “Dari para personel sendiri nggak ada yang niat kayak Sisil gini?” tanyanya.Zevan menahan tawa karena mulutnya penuh. Okan dan