"Mas?" Mas Erlan mendongakkan kepalanya, "Maaf ya, aku-""Kamu nangis beneran, Mas?" tanyaku lagi."Aku berlebihan ya, maaf ya, aku bener-bener rindu banget sama kamu. Sampe mau nangis gini," ujarnya menyeka sesuatu di bawah matanya.Aku menghela napas kasar, membuang muka menahan sesuatu yang akan jatuh. Lemah sekali aku soal ini, tiba-tiba suasana jadi sendu."Aku sayang banget sama kamu, kangen banget. Rasanya masih seneng banget bisa ketemu bisa luangin waktu aku, aku udah ngerasa bersalah banget selama ini. Aku takut kamu ngira aku sok sibuk, aku alasan rapat dan rapat."Wajahku kembali menatap ke arahnya, tak terasa air mata juga mengalir begitu saja. "Mas, aku itu cuma mau buktiin kalau dugaan temenku itu salah. Kamu gak akan macem-macem, gak ada yang disembunyiin. Tapi, kenapa kamu-""Sayang, maaf ya. Aku cuma gak mau kamu fokus ke hp, aku bener-bener maunya ngobatin rasa rindu aku. Ini udah malam, aku gak bisa lama-lama kan. Kalau kamu cuma bahas hp-hp terus, terus ujung-uju
Ah, aku menggelengkan kepala. Apa yang kupikirkan sih? Hanya kebetulan saja, pasti Mas Erlan sedang buru-buru makanya langsung off begitu saja.Sedangkan Mbak Izza, mungkin ia tidur lebih awal. Meski beberapa hari sebelumnya aku melihat dia online sampai malam. Persis sama denganku jam tidurnya. Sementara aku kan tidur kalau Mas Erlan sudah pamit akan off.Ponsel di tangan segera kucharger di kamar, lalu kembali ke depan kamar mengerjakan laporan sambil nonton tv."Udah sampai mana, Ta?" tanya Vina dari belakangku, ia membawa segelas susu.Aku tak menjawab, hanya menunjukkan kertas hvs di tangan. Ia lalu mengangguk samar dan berlalu ke kamar. Hah? Apa-apaan sih Vina, bukannya bantuin. Ketika mataku sudah terasa berat, kuputuskan membereskan kerjaan malam ini. Lalu masuk ke kamar, melihat Vina malah VCan aku jadi kesal. Tugas ini kan berdua, kok aku doang yang repot sih?Segera kucabut ponsel dari kabel data, lalu merebahkan diri membelakangi Vina. [Mas, kamu ke mana sih. Aku mau ce
"Loh, kenapa. Kan aku belum pernah cium kamu, yank?" Aku menggeleng samar, lalu memalingkan wajah sebagai penolakan. "Yaudah, kalau gitu aku mau kamu cium pipiku aja deh," ujarnya lagi.Mas Erlan bahkan terus membujuk, aku sendiri hanya menggeleng tanpa penolakan tegas. Ciuman? Apakah itu harus. Berpegangan tangan saja terkadang aku merasa menyesal setelahnya, juga merasa bersalah pada Emak."Sayaaang," bujuknya lagi."Buat apa sih, Mas." "Buat bikin aku semangat, Yank. Aku capeek banget, pengen dapet cium dari kamu. Mau ya, yank?" Aku menatap wajahnya yang memohon, Mas Erlan terus mendesak. "Sekaliii aja, yank."Kupejamkan mata sejenak, menggaruk tengkukku yang terasa merinding karena angin malam. Aku masih kekeh menggeleng, menolak secara halus. "Yaudah deh," ujar Mas Erlan tampak lemas dari suaranya. Hening sejenak, lalu Mas Erlan langsung berdiri, membuka lebar tangannya. "Peluk aja deh, pleasee, yank." Aku mendongak menatap wajahnya yang melihat sekitar, perlahan aku berdi
Aku langsung turun, menjelaskan apa yang terjadi pada mereka saat ada yang bertanya. Ketika beberapa lainnya menunggu di luar, sedangkan yang piket sudah masuk dari pintu rumah Bu Nana. Sudah jam setengah delepan, tetapi Mas Erlan belum tampak juga. Aku menyadari beberapa siswi lain memperhatikanku, semakin membuatku canggung. Entah apalah yang mereka pikirkan, aku mau keluar malam-malam.Aku kembali ke kamar, mengambil ponsel yang tertinggal. Ada Vina dan Linda yang sedang berdandan."Udah datang, Ta?""Belum," jawabku.Malu untuk turun lagi, diperhatikan siswi lain, aku memilih menunggu dengan duduk di depan televisi. Sambil membereskan kertas-kertas laporan yang berantakan. Sesekali melirik layar ponsel, aku minta Mas Erlan mengirimkan pesan jika tiba di depan gerbang. Kesempatan bagus juga kan? Nanti yang lain akan lihat seperti apa pacarku. Tentu aku begitu beruntung mendapatkannya.Asik membereskan laporan, tiba-tiba Ratna naik ke atas memanggilku. "Rizta!"Segera aku turun, m
[Hehe masa sih, Mbak?]Balasku masih santai, toh Mbak Izza menambahkan 'hehe', mungkin ia bercanda kan? Pesanku cepat dibaca, Mbak Izza langsung mengetik.[Emang siapanya kamu itu?]Kenapa Mbak Izza ingin tahu? Mungkin ia benar-benar mengenali tulisan itu. Tunggu, bagaimana bisa orang bisa hapal dan kenal tulisan seseorang, jika tak kenal baik?[Temen][Temen hidup, hehe] Kirimku lagi.Aku sertakan emot tawa dibelakangnya, Mbak Izza sepertinya tak keluar dari ruang chat jadi pesanku terkirim langsung centang biru.[Siapa namanya, kalau boleh tahu?]Aku menelan ludah, obrolan ini tak menjerumus ke hal candaan, terasa semakin serius. [Malikkah?][Ternyata dia gak cuma buatin tulisan itu buat aku, haha]Deg, kok Mbak Izza bisa menebak nama itu. Lalu, maksudnya buatin tulisan?[Bukan, Mbak. Namanya Erlan] Aku masih mencoba tenang, menghalau perasaan yang rasanya jantungku mengeras, sulit bernapas. Ada apa ini? Setelah semua kecurigaan, inikah jawabannya?[Iya, Erlan. Muhammad Erlan Mali
"Udah jam dua belas, tidur gih," ujar Vina. Aku mengangguk, beranjak ke ranjang. Meletakkan ponsel begitu saja dan merebahkan diri.Tidur, Ta. Berulang kali aku bergumam, agar bisa tidur segera.Aku melirik Vina yang sudah tidur, ia pasti menahan kantuk mendengarkan curhatanku. Kutarik napas dalam-dalam, lalu menghadap ke kanan, ke dinding dan memejamkan mata.Mataku terbuka, aku meraba mencari ponsel. Kukira sudah pagi, tetapi melihat jam di layar aku meringis. Ternyata aku hanya tertidur selama dua jam. Kupaksakan lagi agar bisa terlelap, tetapi sulit.Aku akhirnya turun dari ranjang, meraih ponsel membawanya keluar. Aku kembali duduk di tangga, kepalaku bersandar ke dinding. Tak terasa air mataku kembali berjatuhan.Hingga azan subuh berkumandang, terdengar Vina mencariku. Begitu keluar, ia terkejut menemukanku di tangga. Namun, ia tak banyak bicara. Hanya mengajakku untuk subuhan. Ketika matahari sudah terlihat, rasanya malas untuk bergerak. Aku hanya merebahkan diri di ranjang, p
Aku menghembuskan napas perlahan, bayang-bayang wajah Erlan terus saja melintas di benakku. Sudah tak selera makan, tak bersemangat setelah putus dengannya. Namun, kehidupan cowok itu sama sekali tak berubah. Tentu saja, ia masih memiliki Mbak Izza di sisinya.Demi apapun, di sisi manapun, aku merasa tak rela akan kenyataan itu. Hatiku seolah menuntut sesuatu yang memuaskan egoku. Erlan harusnya juga sakit, setidaknya efek dari perbuatannya adalah kehilangan Mbak Izza. Namun, dunia masih memberi kesempatan pada cowok seperti Erlan?Kuletakkan ponsel di ranjang lalu keluar membasuh wajah. Berharap bisa menghapuskan kenangan bersama Erlan dalam sekejap. Sungguh aku benci mengingat semua ekspresinya yang selama ini kusuka. Kini, aku membencinya.Vina mendatangiku, ia hanya berdiri menunggu, tetapi aku tahu ia pasti cemas.Segera kusudahi bermain air dan kembali masuk ke kamar. Kami harus tidur lebih awal hari ini karena acara besok mengharuskan bangun cepat karena CVD itu diadakan pagi
[Bukan aku yang blokir, tapi Erlan.] Mataku berkedip berulang kali, mendekatkan layar ponsel ke wajah. Jadi, bukan Mbak Izza pelaku pemblokirannya. Kukira Mbak Izza kemakan dengan omongan Erlan kalau aku ini akan menganggu hubungan mereka. Padahal yang kuberitahu pada Mbak Izza, semua adalah kenyataan. Tak kulebihkan, alias apa adanya.[Terus, sekarang kok blokirannya dibuka. Ntar orangnya marah tahu Mbak WAnan sama aku]Aneh saja kan, tiba-tiba Mbak Izza menghubungi lebih dulu. Nanti aku lagi yang disalahkan.[Kami udah putus]Hah? Mereka berdua sudah putus?Aku terdiam menatap layar ponsel yang masih menyala. Membaca lagi pesan yang baru saja dikirim Mbak Izza. Tanpa sadar kedua sudut bibirku menyungging. Mengetahui mereka pada akhirnya juga putus. Ada sedikit perasaan senang dalam hatiku.[Aku baru inget aja nomor kamu di blok sama dia]Balasan Mbak Izza lagi, aku mulai menggerakan jariku lebih bersemangat. Tetap saja aku kepo apa yang terjadi sampai akhirnya mereka putus juga.[