“Sepertinya, bagiku memang sulit untuk mendapatkannya ya?” Aruna melirik sejenak ke arah Arsen, benar-benar tidak mempedulikan kehadirannya.
Aruna tidak mengerti, Arsen seakan menganggap dirinya tidak ada. Lantas, kenapa dirinya dijadikan kekasih? Kalau terus saja diabaikan, dan memilih meluangkan waktu berdua dengan yang lain?Aruna menghela napas sejenak, mulai melangkah pergi dari tempat mereka berdua bercengkerama.Tenangkan dirimu, Aruna!Arsen siswa dengan temperamen buruk, selalu angkuh pada siapa pun. Tidak suka diatur, itu sebabnya mudah sekali membantah. Terkadang, ada masanya selalu bermasalah dengan siswa satu sekolah atau sekolah lain.Membuatnya dianggap siswa berbahaya, setiap kali diusik lebih lagi emosinya terpancing. Berakhir luka parah, yang paling buruk koma. Aruna sebagai status kekasih Arsen, meskipun hampir tidak pernah bersama dengan Arsen di sekolah. Ada masanya, satu guru meminta agar dirinya mengingatkan atau membantu mengubah Arsen—menjadi pribadi yang lebih baik.Aruna memilih kembali ke kelas, mengingat jam istirahat hampir usai. Seperti biasa, selalu menghabiskan waktu istirahat di perpustakaan. Jujur, di sana amat menenangkan. Daripada harus berbaur di kantin dengan lainnya, lebih lagi harus melihat mereka berdua.Lalu terusik saat ponselnya bergetar, ternyata pesan singkat dari Arga—ayahnya. Ah iya, Aruna berusaha melupakan masalahnya dengan Arsen. Memilih fokus dengan masalah keluarga, maklum terlahir dari keluarga sederhana. Kebetulan, saat ini sedikit bermasalah dengan ekonomi.Aruna harus memutar otak, membagi waktu untuk sekolah dan kerja. Itu juga, kalau Aruna berhasil mendapatkan pekerjaan cocok untuk anak SMA sepertinya. Aruna menonaktifkan ponsel dan memasukkannya ke dalam saku, kemudian menelungkupkan kepalanya di atas meja.Beberapa minggu ini, Aruna kurang tidur. Seharian penuh setelah pulang sekolah, mencari pekerjaan yang cocok itu sulit. Namun, bukan berarti akan menurunkan niatnya untuk membantu orang tua. “Kerja apa ya?” Aruna memainkan pulpen yang tergeletak—melempar tangkap, sembari memikirkan pekerjaan yang cocok. Part time, ya pulang sekolah nanti Aruna akan berkunjung ke setiap kedai hingga restoran besar di pusat kota. Semoga saja berhasil, ada yang mau menerimanya menjadi pegawai part time.****Sesuai rencananya tadi, Aruna kini menyusuri sepanjang trotoar di pusat kota dan akan berhenti—tepatnya singgah setiap kali melewati kedai atau restoran. Namun, belum ada yang berbaik hati untuk menerimanya sebagai pegawai part time.Aruna mendengkus kesal. “Sulit.” Kini memutuskan singgah ke taman kota, ya setelah berjalan cukup lama membuatnya lelah. Lagi-lagi, terusik kala menangkap siluet mobil hitam melintas. Dari kaca mobil kebetulan sedikit terbuka, terlihat dua pasang remaja. Memang terusik, tetapi sorot mata Aruna begitu hampa dan gusar. Yap, dipikirannya saat ini adalah mendapatkan pekerjaan. Benar-benar mengabaikan gelagat sang kekasih tengah jalan bersama dengan perempuan lain.“Tenanglah!” gerutu Aruna, kemudian melangkah pergi.Di sisi lain, Arsen kalau diperhatikan hanya diam—fokus menyetir, meskipun perempuan di sebelahnya terus berbicara. Terkadang memilih, memutar lagu dan dengan sengaja volume suara begitu kencang, benar-benar tidak peduli dengan ocehan Desty.“Kau jahat! Diam terus!”Arsen hanya menoleh, setelah mematikan mesin mobil. Bisa dikatakan menunggu, Desty keluar. Meskipun, sering berangkat dan pulang bersama, Arsen enggan membukakan pintu mobil.“Kau mau ke mana lagi?” Desty sebal, karena Arsen selalu mengantarnya sampai depan perumahan. Benar saja, pertanyaannya tidak digubris sama sekali.Arsen langsung menutup pintu dan juga kaca mobil, lalu menjalankan mobilnya menjauh dari perumahan tempat Desty tinggal. Manik hitam yang selalu menyorot datar pada siapa pun, kini tertuju pada seseorang. Tidak lain Aruna, yang terlihat baru saja keluar dari restoran lain yang mencoba untuk bertanya mungkin saja ada lowongan pekerjaan—part time untuknya.Aruna menghela napas pasrah, karena tidak mendapatkan lagi. Lalu tersentak, saat tangannya dicengkeram dan berefek tertarik paksa oleh seseorang—tidak lain Arsen. Aruna mencoba melepaskan diri, tetapi langsung bergidik. Karena Arsen melirik datar ke arahnya. Meski begitu, tetap berusaha.“Lepas, aku sedang sibuk! Bisa kau mengerti sedikit?” Aruna enggan berseteru dengan Arsen. “Kau de—”“Diam!” sentak Arsen, semakin mencengkeram tanpa mempedulikan ringisan Aruna. Juga, berusaha menyamakan langkah kakinya yang begitu cepat. Aruna tertunduk sembari menahan sakit pergelangan tangannya, yakin akan memerah karena Arsen kasar. Seketika lega, karena genggamannya kasar terlepas. Aruna langsung mengusap pergelangan tangan yang memerah karena ulah Arsen.“Masuk!”Aruna menggeleng. “Kali ini nggak, a-aku harus mencari pekerjaan.” Hendak pergi, tetapi Arsen kembali menarik paksa.“Kubilang masuk ya masuk!” Arsen membuka pintu mobil dan mendorong kasar Aruna agar masuk. Aruna heran, di sekolah mengabaikan tetapi Arsen selalu saja menarik paksa agar ikut ke rumah. Dengan alasan tidak jelas, atau cukup aneh. Seperti dibuatkan makanan atau apapun, terasa seperti pembantu—bukan pacar.Keheningan mulai menyelimuti perjalanan pulang mereka, tepatnya sih hanya bagi Arsen saja. Sedangkan Aruna, pikirannya terus tertuju untuk mendapat pekerjaan lebih cepat. Setidaknya, bisa membuat Aruna mengumpulkan uang dari jauh-jauh hari.Lagi-lagi Aruna pasrah, karena Arsen kembali menarik paksa. Ya, mereka berdua telah sampai di rumah—Arsen. Memang selalu terlihat kosong, sesekali penjaga rumah dan pembantu datang untuk membersihkan dan menyiapkan makanan. Selebihnya, kembali pulang dan akan datang saat pagi hingga sore tiba.“Kau tinggal di sini.”“Apa maksudmu?” Aruna tidak terima, Arsen seenaknya mengatur.“Menurut saja!” bentak Arsen. “Kau ingin bekerja bukan? Bersihin semua ruangan!” Setelahnya, pergi ke kamar.Aruna menghela napas gusar. “Dia menjadikanku pembantu!”Arsen melangkah keluar sembari memakai kaus oblong tanpa lengan, matanya teralihkan sejenak ke arah Aruna setelahnya pergi ke dapur.Tidak ada reaksi apapun, walau di hadapannya kini ada seporsi makanan untuknya. Arsen mendudukkan diri di kursi, mulai memakan makanan yang telah dibuat Aruna. Matanya kembali fokus pada ponsel yang bergetar di atas meja, ternyata pesan singkat dari Desty. Ingin jalan. Arsen dekat dengan Desty bukan berarti langsung menurut, seperti yang sudah dikenal lama Aruna. Arsen tidak suka ada yang mengajak atau mengaturnya lebih dulu, karena yang harus mengatur atau mengajak Arsen saja. Bukan yang lain.Makanan telah tandas, saat itu juga melirik karena Aruna sudah berdiri di sampingnya.“Aku pulang ya? Lagi pula, rumahmu sudah bersih. Hanya, nggak ada makanan saja.” Aruna ingin istirahat, meskipun sempat tertidur sebentar, bisa sedikit menghilangkan penat. Tetap saja, ingin pulang.“Tinggal di sini.”“Tap—”“Sudah kubilang bukan? Tinggal di sini!” Arsen membentak, sembari menggebrak meja makan.Aruna mematung, lagi-lagi hanya bisa mengalah. “Ba-baiklah, tapi boleh pulang seben—”Arsen berdecih. “Kubilang nggak tuli, ‘kan?”Aruna menggeleng cepat, agak beringsut jauh dari Arsen karena takut diperlakukan kasar lagi. “Tap—”“Diam sialan!” Pupil mata Arsen mengecil, benar-benar emosi. Aruna kembali mengangguk pasrah, sembari menahan sakit karena cengkeraman Arsen kasar pada wajah—tepatnya di pipi hingga dagu. Ada setitik rasa lega, karena Arsen tidak memukul atau lebih mengerikan melempar barang seakan memang ingin mengenainya. Nyatanya, menghantam dinding sebelahnya atau benda apapun di dekat Aruna.Aruna terbangun lebih dulu, ternyata sudah ada Bi Asti tengah sibuk membersihkan seisi rumah, sesekali menyempatkan diri untuk menyiapkan bahan makanan. “Tuan muda, masih kasar ya?” bisik Bi Asti.Aruna terpaku sejenak, tidak terkejut juga karena Bi Asti selalu melihat dirinya terlibat perseteruan dengan Arsen. Berakhir mengalah, dari pada emosi Arsen semaki meluap dan takut hal di luar akal kembali dilakukannya.“Ya, begitulah.” Aruna membalas dengan nada lirih. “Bi, terkadang aku berharap kalau Arsen tidak kasar dan emosian lagi.”Bi Asti tertegun mendengarnya, sengaja mengulurkan tangan untuk mengelus lembut kepala Aruna. “Berusaha, meski butuh waktu yang lama. Kalau memang Aruna lelah, tidak ada yang melarang untuk berhenti melakukannya.”“Memang tidak, tapi akunya yang tidak bisa menentang. Malah ketakutan duluan, Bi.” Sarapan sudah jadi, Aruna kembali ke kamar untuk bersiap. Aruna memilih makan di kantin sekolah, itu sebabnya memilih berangkat duluan sebelum Arsen keluar—waktu s
Tepat bel istirahat dibunyikan, Aruna niatnya terpejam sebentar malah kebablasan. Terbukti, Tania yang sedari tadi memastikan Aruna pingsan atau tidur. Nyatanya, tertidur dan sedikit pucat.“Tuh ‘kan!”Tania langsung pergi membeli makanan untuknya dan Aruna, memutuskan makan di kelas. Tidak mungkin, membangunkan Aruna dan mengajaknya ke kantin. Bisa-bisa pingsan dalam perjalanan.Aruna masih terlelap begitu pulas, lambat laun terusik saat ada yang menyentuh keningnya. Namun, tidak terbangun. Hanya meracau pelan dan kembali tertidur, tetapi gagal dan terpaksa membuat Aruna bangun dan melirik ke arah si pengacau.“Makan dulu!” Tania sedari tadi berusaha membangunkan. “Habis ini kau di UKS saja. Nanti, aku izinkan saat jam terkahir.”“Maaf, merepotkan.” Aruna merasa bersalah, Tania kerepotan dengan kondisinya ini. Mulai memakan bubur yang dibelikan Tania. Beruntung, kantin sekolah bukan hanya menjual snack ringan, tetapi ada berbagai macam makanan yang cocok untuk sarapan pagi dan juga is
Aruna beranjak pelan, mengambil piring dan gelas kotor. Berlari ke dapur, tidak lupa menutup pintu dengan amat pelan. Tidak ingin, membuat Arsen terbangun. Rasa lapar melanda, tanpa peduli sudah tengah malam. Aruna benar-benar makan.“Sulit bagiku mengatur jam makan, kalau Arsen sulit dibantah.” Pergerakan Aruna selalu tersendat, karena Arsen terus memerintah.Kini sibuk mencuci semua piring dan gelas kotor, lalu kembali ke kamarnya sendiri. Aruna memilih melanjutkan tidurnya, beruntung tidak ada tugas. Jadi, sedikit bisa merasakan kebebasan dan memanfaatkan waktu luang untuk mengistirahatkan tubuh.Jarum jam, terus berputar hingga kini menunjukan pukul empat pagi. Biasanya, Aruna akan terbangun pukul lima. Kini sedikit lebih awal, bukan karena lapar lagi. Melainkan ada yang mendekap erat dari belakang. Aruna perlahan berbalik, ternyata Arsen.Baru sadar, lupa mengunci pintu kamar. Tetapi, seingatnya sudah. Atau mungkin saja, Arsen bisa masuk melalui kunci cadangan. Arsen sedikit terus
“Kenapa kau masih mengejar dan memaksanya agar mau menyelesaikan masalahnya?” Brian kembali merasa aneh dengan Aruna, langsung mengejar dan mengamati dari jauh. Jujur, kesal melihat Aruna dibalas dengan perlakuan kasar. Padahal, bermaksud baik.“Dia akan semakin bermasalah.” Aruna tidak mau Arsen terus bermasalah dan bisa mengancam kelulusannya, lebih lagi sering bolos dan tadi menyerang siswa lain tanpa alasan.Aruna berhasil menemukan keberadaan Arsen, ya di halaman belakang sekolah. Kini tengah duduk bersandar, sembari meremas kencang kepalanya sendiri—kalau diperhatikan sesekali menjambak kasar surainya.Mencoba mengikis jarak, berharap emosi Arsen sudah reda. Setidaknya, bisa membicarakan dengan baik agar Arsen mau menyelesaikan masalah. Menurutnya, terkesan sepele tetapi kenapa diperbesar. Lebih lagi, Arsen membalasnya begitu parah.Aruna membeku, kala Arsen meliriknya dengan sorot mata amat dingin. Detik itu juga tahu, emosi Arsen belum reda dan terakhir—tidak ingin diganggu.“S
Arsen seakan tahu kalau Aruna mencoba kabur darinya, ya sejak awal membuntuti Aruna yang menarik paksa Tania hingga benar-benar berhasil pulang.Arsen berdecih, juga memukul keras kemudi mobil.Terdiam sejenak, hingga berhasil tenang lagi. Kemudian menghidupkan mesin mobil dan memarkirkannya dekat rumah Aruna, Arsen entah ingin berbuat apa yang jelas sudah menapakkan kakinya di depan pintu rumah. Mulai mengetuk pintu.Arina yang menyambut kedatangannya. “Kalau boleh tau masalah kalian apa?” “Hanya masalah kecil.” Bagi Arina, jawaban Arsen terkesan santai sekali. Berbanding terbalik dengan kekacauan yang dialami Aruna, hingga menangis kencang dalam pelukannya.“Yakin?” Arina mulai menatap selidik. “Tapi, kenapa Aruna seperti lelah sendiri, sedangkan kau santai sekali.”Arsen terpaku sejenak, dan menghela napas perlahan. “Itu sebabnya, aku mencoba menyelesaikan masalahnya.”Arina masih menatap curiga, tetapi kali ini membiarkan Arsen menemui Aruna. “Boleh meminta satu hal?”Arsen menge
Keesokkan harinya, tepat di jam istirahat sekolah. Aruna kembali terlihat bersama Brian. Ya, pertama kalinya ada teman sehobi—kutu buku. Di satu sisi keberadaan Brian benar-benar bisa melupakan masalah yang dihadapinya saat ini.Lagi-lagi tidak disadari olehnya, meski belum lama kenal denan Brian—notabene sebagai murid baru dadakan. Obrolan kecil yang dimulai Brian berhasil membuat Aruna mengekspresikan keceriaannya.Habisnya, selalu saja berdiam diri di perpustakaan ataupun kelas—sendirian, apapun serba sendirian. Pengecualian, ada Tania. Sekalinya keluar, sekadar menghilangkan bosan karena sendirian. Sorot mata Aruna, terkesan selalu sendu dan hampa. Yang selalu dilihatnya tanpa sengaja—dan itu hampir di setiap harinya—keakraban Arsen dengan Desty.“Kok bengong?” Aruna tersentak, seingatnya tenggelam dalam obrolan kecil Brian yang begitu menghangatkan suasana. Entah kenapa, dalam sekejap tergantikan ingatan lebih tepatnya sih berharap, Arsen lah yang berada di sisinya dan melakukan
Lega, yang selama ini diharapkannya mulai terasa. Lebih lagi setelah meluapkan emosi—rasa sakit yang terpendam cukup lama pada orangnya langsung."Kayanya Brian benar, aku terlalu bucin pada Arsen."Setelah mengatakan, akhiri hubungan artinya putus. Rasa sakit yang berbeda mulai menyerangnya.Ya, Aruna masih mencintai Arsen. Namun, sadar lambat laun menjadi perasaan sepihak. Karena Arsen, akrab dengan Desty.Aruna berhenti melangkah, kala berpapasan dengan Brian. Bahkan, mengamati sejenak. Takutnya, Arsen berbuat buruk. Mengingat, tadi dirinya langsung berlari dan menemui Tania."Sudah selesai berantemnya?" Brian malah iseng."Nggak lucu!" Aruna sebal dengan Brian, padahal khawatir kalau Arsen akan melukai Brian.Brian tertawa sejenak. "Pacarmu itu, nggak melalukan apapun kok." Seakan tahu, apa yang ingin dipastikan oleh Aruna terhadapnya. "Jadi, gimana? Makin belibet, atau mulai membaik?"Aruna berdecak kesal. "Dua-duanya mungkin!"Brian menggelengkan kepala sejenak, berusaha menahan
Tidak terasa waktu part time Aruna hampir habis, kini masih sibuk membersihkan meja kotor dan lainnya. Kemudian berganti pakaian dan bersiap untuk pulang. Mendadak terpaku, karena menemukan keberadaan seseorang—yang saat ini sangat tidak ingin ditemui Aruna.Arsen lagi, Aruna lega tidak didekati—ralat—dipaksa lagi. Lantas, kenapa malah menjadi diawasi?“Ah ini memuakkan!” Aruna pergi begitu saja, setelah tanpa sengaja melakukan kontak mata langsung dengan Arsen di seberang. Seketika tersentak, karena mendapati Arsen ada di hadapannya!Tunggu sejak kapan?Aruna ribet sendiri, tetapi langsung memberi jarak. Namun, ada hal lain yang menarik perhatiannya. Ada bau tembakau dari Arsen, mengingat Aruna benci dengan rokok.“Kau sepertinya, merasa sudah lepas dariku ya?” Arsen mulai berbicara, bahkan mengeluarkan kembali sebatang rokok dan menyalakannya. “Terlihat ingin sekali lepas kah?”Aruna sempat terpaku, sesekali menutup hidung karena benci asap rokok. “Tentu aja, mana ada orang tahan den
Masih dalam hari bebas, tetapi satu dari pasangan baru. Memilih menyibukkan diri, bukan berarti tidak mau menyenangkan diri, mengingat harusnya bulan madu—eh!Arsen ke kantor untuk mengurus sesuatu, sedangkan Aruna berdiam diri. Sekaligus, ikut jemput dan mengajak jalan Daffa."Mau ke mana lagi, hm?"Yang ditanya tidak menjawab, justru terus menarik Aruna. Intinya sih, Daffa yang menjadi penunjuk."Papa masih lama ya?" Daffa benar-benar masih ketergantungan terhadap Arsen.Aruna tidak mempermasalahkan, justru menerima dan memahami. Cuma, juga mau membiasakan Daffa agar mengurangi rasa takut terhadap orang lain. Mengingat, mulai tumbuh dewasa. Sebentar lagi, masuk sekolah dasar."Lagi dijalan, oh iya kan belum makan. Sekarang, berenti dulu mainnya, oke?"Daffa menggeleng. "Nanti!"Aruna gemas sendiri, bukan berarti akan menuruti. Buktinya, langsung menggendong. "Yok, makan dulu.""Mamah!"Awalnya aneh, tetapi membiasakan. Mengingat, Daffa anak Arsen walau hanya anak angkat. Otomatis, an
Di saat membuka mata, yang menjadi objek utama wajah terlelap Arsen. Aruna iseng mencubit tanpa peduli mengganggu, yang dipikirannya saat ini.Masih mimpi, atau nyata?Terkadang, selalu berakhir halusinasi. Seakan memang belum waktunya untuk semua keinginannya terkabulkan."Apa sih?" Arsen terusik, karena masih ngantuk memilih berhenti bertanya alasan, dirinya menjadi korban pencubitan.Aruna tidak menjawab, bahkan tidak merasa bersalah karena sudah mengusik tidur Arsen."Ng—"Tidak menyangka akan mendapat serangan di pagi hari, ah sebenarnya sih sudah siang. Mengingat, mereka berdua diberi waktu bebas. Yap, bebas—alias bulan madu abal-abal—eh!Karena tidak pergi ke manapun, hanya di penginapan saja. Intinya, mereka berdua malas."Kau masih mengira mimpi kah?""Kau sendiri, bukannya duluan yang menganggap begitu?" Aruna tidak mau kalah, di satu sisi berusaha menyingkirkan Arsen masih betah menindihnya. "Minggir! Aku mau mandi!""Nggak!" Arsen bebal, ah lebih tepat sih ingin memanfaatka
Arsen mematung sejenak di ambang pintu kamar, pandangannya terus tertuju pada interaksi Daffa bersama Aruna. Sebenarnya, merasa tidak percaya juga kalau sedikit lagi bisa bersama. Memang perlahan bisa, akan tetapi kenapa terasa sulit.“Kenapa?”Arsen tersentak, tidak menyadari Aruna sudah berada di hadapannya. Efek terkejut, dalam sekejap sulit untuk berkata sekadar membalas. Pada akhirnya, hanya menggeleng dan memilih mendekati Daffa yang sibuk sendiri.“Kau aneh.” Aruna berkata sembari mengekor. “Nggak lagi ‘kan?” Walau tidak to the point, Aruna yakin Arsen paham maksud dari pertanyaannya ini.Sebelum mendapat balasan, lebih dulu terganggu oleh suara bel penginapan. Arsen sudah duluan untuk melihat siapa yang datang dan ternyata Pak Nuga.“Sungguhan bersama kah?” Nyatanya, Pak Nuga tidak tahu apapun soal Arsen akan mengajak Aruna menjadi satu penginapan.“Siapa suruh lupa.” Arsen membalas cepat dan terkesan santai, kembali mendekati Daffa.Pak Nuga terkekeh, merasakan perbedaan dari
"Papa mana?" Daffa baru saja dijemput supir pribadi, pulang dari TK ya ke kantor. Tidak mungkin dibiarkan sendiri di penginapan."Lagi pergi sebentar, nggak lama lagi ke sini kok." Aruna masih tidak menyangka, Arsen mengurus anak.Daffa mengembungkan pipi, tak lama melendot pada Aruna. Yap, benar-benar terbiasa."Laper?" Aruna sengaja bertanya, kebetulan jam istirahat hampir tiba. Arsen belum balik.Daffa mengangguk, semakin melendot hingga minta digendong. Seakan tidak mau diturunkan, buktinya memeluk erat leher Aruna. Bahkan, iseng mendusel."Kenapa, hm?" Setiap kali bersama Daffa, teringat Arya saat masih kecil sering manja padanya. "Ngantuk?"Daffa menggeleng."Terus kenapa?""Mama?" Daffa mendadak mempertanyakan soal itu lagi, kali ini Aruna yang menjadi target. "Tante punya mama?"Aruna mendadak kikuk. "Y-ya." Aneh dan tertegun, Daffa dari kecil sudah ditinggal kedua orang tuanya, bahkan diabaikan kerabat. "Nggak ada mama, tapi ada papa yang sayang Daffa 'kan?""Iya, tapi mau mam
Arsen semakin emosian, semenjak pengakuan sekaligus permintaan maaf Ardian. Terus memanas, karena berita megenai Ardian menyerahkan diri dan menjelaskan semua perbuatannya. Banyak rekan atau pun karyawan yang menjadikan bahan gunjingan.Arsen membiarkan, karena memang kenyataan. Oh iya, ada satu hal yang tidak pernah diduga. Tepat sebelum Ardian ditangkap, ini hanya karena kasus penculikan Daffa. Kalau kematian ibunya, memang karena bunuh diri. Kesalahan Ardian, karena suka melakukan hal kasar dan memberi tekanan terhadap ibunya. Memang menjadi kasus. Intinya berlapis."Kalo belum tenang, yang ada malah membuat Daffa takut loh." Aruna sedari tadi berada di ruang kerja Arsen, tepatnya sih mengawasi dan membantu.Pasalnya, konsentrasi Arsen buyar dalam pekerjaan. Jadi, harus dipantau dan dibantu."Ayahmu benar-benar menyesal." Aruna sengaja meyakinkan, berharap juga Arsen membaik dengan Ardian.Arsen tersenyum getir. "Kenapa baru sekarang dia mengakui dan menyerahkan diri? Kau tau? Saat
Pukul sepuluh malam, kala itu Aruna masih belum mengantuk. Makanya, memilih santai dengan camilan dan fokus siaran di televisi.Seketika terusik, kala ada yang membunyikan bel penginapannya. Akan tetapi, tidak berlangsung lama. Aruna hafal si pelaku adalah pemilik penginapan sebelah, siapa lagi kalau bukan Arsen."Kau kenapa?" Aruna heran, habisnya Arsen muncul wajahnya kusut sekali.Arsen tidak menjawab, malah mendekatkan diri pada Aruna dan meringkuk. Bahkan, sudah merangkul erat pinggang Aruna.Racauan aneh, tidak begitu jelas mulai dilontarkan Arsen. Saat itu juga, Aruna merasa Arsen kacau persis dulu."Kenapa, hm?" Aruna benar-benar mengurus Arsen lagi.Arsen belum mau menjelaskan kekacauan mendadaknya ini. Aruna sendiri pasrah, membiarkan Arsen terus saja meringkuk dan melesak di dekapannya."Daffa sama siapa?" Takutnya, kalau Arsen di sini. Nanti Daffa sendirian."Paman." Arsen kali ini menjawab, kemudian meringkuk lagi. Hingga menuturkan sesuatu yang berhasil membuat Aruna paha
Kata bahagia, selalu mengusik benak keduanya, bisa dibilang satu dari mereka yang seakan terus diatur kehidupannya. Setiap ingin berbahagia harus sesuai, tanpa sedikit pun diperbolehkan mencari kebahagiaannya sendiri.Arsen, orang lain menganggapnya serba kecukupan, sombong, mengerikan, dan banyak lagi. Semua orang hanya melihat itu, tanpa tahu sudut pandang Arsen sendiri terbalik dari yang semua orang anggap.Hidup saja diatur, teman dekat, wanita, hingga apapun diatur. Seakan robot yang sudah dikendalikan untuk terus menurut. Sekalinya terlepas dari semua kendali, bukan berarti kehidupannya bebas.Nyatanya, semakin diusik. Seakan memang, tidak diperbolehkan bahagia atas keinginannya sendiri."Ayah."Ardian mematung, kalau diingatkan kembali. Cukup lama, tidak pernah mendengar panggilan itu dari anaknya."Menurut ayah, bahagia itu seperti apa?" Arsen berbicara santai, karena teringat sudah tidak pernah berinteraksi seperti biasa dengan ayah kandungnya, setelah kematian ibu.Walau kare
"Kau serius masih ingin bersamaku?" Entah kenapa, Arsen memastikan lagi. Sebenarnya senang, mendengar langsung dari Aruna. Walau ingatannya masih kacau, efek dari kecelakaan.Aruna mengerutkan kening. "Kau nggak percaya? Atau ....""Percaya, hanya saja aku takut akan menyakitimu dan meninggalkamu lagi." Arsen bimbang karena hal itu, terlebih lagi Ardian dan Desty masih saja mengusik kehidupannya.Berhasil lepas bukan berarti selesai semuanya.Aruna tidak merespon, antara senang sekaligus bingung. Karena saat ini paham sekali Arsen selalu berkata, tidak bisa seperti biasa. Ibarat, berteman layaknya pasangan."Bisa saja dilakukan, tapi aku mengurungkan niat karena nggak mau kau ikut kena risikonya."Aruna tersentak. "Maksudmu apa?"Sayangnya bukan jawaban yang didapat, melainkan serangan mendadak dari Arsen. Ah iya, mereka berdua berada di penginapan Aruna, yang cukup lama dibiarkan kosong. Arsen mendadak datang, lalu bertanya hal itu pada Aruna.Ingin berontak, tetapi merindukan perlaku
Dua minggu, Aruna izin untuk pemulihan. Kini sudah masu kerja, walau sempat kikuk. Ya, efek lupa meski tidak total. Tetap saja, terkesan karyawan baru yang hari ini diterima kerja."Jadi, aku sekretarismu?"Arsen yang ingin masuk ke ruangannya, terpaksa berhenti dan melirik datar Aruna."Ayolah! Aku cuma nanya!" Aruna sebal."Nanya, tapi beruntun dan terus nggak berenti!" Arsen ikutan kesal, langsung melengos tanpa menjawab pertanyaan retoris Aruna."Dih! Ngeselin!" Hendak berbalik ke meja kerjanya, seketika terusik kala muncul anak kecil berlarian dan sedikit menyenggolnya. "Siapa?"Terus mengamati, hingga melihat anak kecil tadi masuk ke ruangan Arsen. Juga, terdengar panggilan cukup kencang."Pa-papa?" Aruna bertemu lagi dengan Daffa, tetapi dengan kondisi berbeda. Yaitu, lupa sejenak dengan ingatan baru di mana perseteruan dengan Brian terjadi dan menyebabkannya kecelakaan.Ketika Arsen keluar bersama Daffa dalam gendongannya, terus mengamati. Anehnya sudah tidak ada rasa cemburu,