Share

Hotel melati nomor 0119

"Baik, Dok. Saya akan segera mencari uang untuk pengobatan Rose. Tolong lakukan yang terbaik untuk menyembuhkan, Rose." 

Aisya segera berdiri dan langsung keluar dari ruangan Dokter yang di susul ibu Julia. 

"Aisya tunggu!" 

Aisya langsung menghentikan langkahnya saat bahu Aisya di cekal ibu Julia. 

"Ada apa, Bu?" 

"Mau kemana kamu sekarang? Cari uang satu miliar itu bukan hal yang mudah, Aisya! Itu jumlah uang yang sangat fantastis!" 

Aisya menghela nafasnya, "Aisya tahu, Bu. Tapi Aisya harus coba cari uang itu." 

Ibu Julia mendelik, "Lebih baik kita beli rumah dan mobil jika punya uang sebanyak itu!" gerutu ibu Julia yang nyaris tidak terdengar suaranya. 

Aisya mengerutkan keningnya, dia faham apa yang saat ini sedang di pikirkan oleh ibu Julia. Namun, ini masalah hidup dan mati Rose, putri satu-satunya yang dia miliki dan Aisya tidak ingin terjadi apa-apa pada Rose. 

"Kalau begitu aku pamit pergi dulu. Ibu tolong jaga Rose sampai Aisya kembali ya, Bu." 

Ibu Julia menghembuskan nafas kasar. "Memang siapa lagi yang akan menjaga dia kalau bukan aku!" jawabnya ketus. 

Aisya berlalu pergi menuju tempat kerjanya untuk berbicara dengan Royce, manajer club sekaligus penanggung jawab club. Namun, sebelum pergi Aisya lebih dulu memberi pesan pada Royce. 

"Royce, apa saat ini kamu ada di kantor? Ada hal yang ingin aku sampaikan." 

"Datanglah aku sedang santai." 

Setelah memastikan Royce ada di kantor, Aisya segera bergegas untuk menemui pria yang dominan seperti wanita itu. 

Club' Sunrise Star

Tok! 

Tok! 

"Masuk." 

Aisya membuka kenop pintu lalu masuk ke dalam ruangan Royce tanpa ragu. 

Saat pintu terbuka suara erangan terdengar jelas yang membuat mata Aisya melotot tajam melihat pemandangan yang ada di hadapannya. 

"Aw, sorry! Nanti aku balik lagi," ucap Aisya yang langsung memalingkan wajahnya. 

Royce menghentikan aktivitasnya, "No, sekarang aja! kita udah selesai," ucap Royce dengan suara terengah-engah. 

Aisya segera mengatur nafasnya dan bersikap tenang di hadapan Royce dan lawan mainnya. 

"Ada apa Aisya kamu mendadak ingin bertemu?" tanya Royce Sambil mengibaskan lengannya pada pria di sampingnya. 

Laki-laki itu keluar dengan wajah tak mengenakan. 

"Royce, aku sedang butuh uang, anak ku Rose saat ini sedang ada di rumah sakit dia sedang menjalani pengobatan," ucap Aisya. 

"Oh uang, berapa yang kamu butuhkan? Biar aku transfer sekarang." 

Royce mengangkat ponsel miliknya sambil meneguk air putih. 

"Satu miliar." 

Uhuk! 

Royce hampir tersedak air yang dia minum saat mendengar nominal yang di sebutkan Aisya. 

"What? Are you serious! Satu miliar kamu bilang?" 

Aisya mengangguk, "Rose harus di operasi dan butuh biaya satu miliar, Royce. Aku mohon tolong bantu aku kali ini, aku janji aku akan kerja lebih giat lagi bahkan aku siap kerja 24 jam untuk mengganti uang yang aku pinjam." 

Royce menggelengkan kepalanya, "Sorry darling, aku kira cuman seratus atau dua ratus juta. Kalau satu miliar maaf aku nggak bisa bantu kamu, Aisya." 

"Tapi Royce, cuman kamu yang bisa bantu aku! Kalau bukan kamu siapa lagi?" 

"Itu nominal yang sangat besar, Aisya! Mana mungkin aku kasih itu sama kamu tanpa jaminan!" ucapnya ketus. 

Aisya kembali menghela nafasnya. "Aku kira aku bukan orang asing di tempat ini. Ternyata aku salah, aku bantu kemajuan club ini dengan susah payah tapi bahkan kalian nggak bisa bantu kesusahan yang sedang aku alami saat ini." 

"Maaf Aisya, kamu tahu sendiri prosedur yang ada di club' kita ini." 

Aisya segera berdiri dan langsung pergi tanpa menoleh lagi. 

"Kemana lagi aku harus cari uang sebanyak itu?" gumam Aisya sambil memejamkan matanya. 

Aisya perlahan-lahan berjalan menyusuri lorong demi lorong club tempatnya bekerja hingga sampai di depan pintu utama. Wanita itu sekilas menoleh ke arah lain yang di sana sudah banyak wanita-wanita yang tengah bersiap untuk bekerja. 

"Apa aku harus menemui madam Dara?" gumamnya. 

"Hei, Aisya!" 

Aisya terkejut saat Tesa menepuk bahunya. 

"Ya ampun, Tesa," sapa Aisya sambil tersenyum tipis. 

"Aisya, kamu lagi apa di sini? Ini masih siang, apa kamu ada kerja tambahan?" tanya Tesa.

Aisya tersenyum sambil menggelengkan kepalanya, "Nggak, ada urusan sedikit tapi sekarang sudah selesai," jawab Aisya. 

"Kalau boleh tahu urusan apa?" 

Aisya menatap Tesa dengan tatapan nyalang, Aisya ingin tak ingin melibatkan siapapun dalam urusannya. 

"Hanya masalah kerjaan," jawab Aisya singkat. 

Tesa menganggukkan kepalanya, "Tapi tadi kenapa kamu lihat mereka? Apa ada yang kamu kenal?" 

Lagi, Tesa kembali bertanya pada Aisya yang berhasil membuat perasaannya tidak nyaman. 

Aisya hanya menggelengkan kepalanya perlahan. 

"Eh maaf, pasti kamu nggak nyaman ya?" 

Aisya menghela nafasnya, "Nggak apa-apa kok, kalau gitu aku permisi pamit dulu," ucap Aisya sambil menepuk pundak Tesa. 

Aisya kembali berjalan menyusuri jalanan yang sangat ramai oleh kendaraan yang berlalu lalang. Namun, pikirannya hanya tertuju pada Rose yang saat ini ada di rumah sakit. Entah harus bagaimana lagi Aisya mencari uang satu miliar untuk Rose agar bisa di operasi. 

"Tuhan, kenapa harus aku yang engkau pilih dalam cobaan ini. Kenapa bukan orang lain yang mampu saja Tuhan?" 

Dalam kebisingan Aisya hanya bisa menjerit di dalam hatinya. Saat ini dia sangat ingin menangis sekencang-kencangnya sambil berteriak lepas. Tapi bahkan dalam kondisi seperti ini dia tidak bisa melakukan itu, tidak ada siapapun, tidak ada teman yang bisa menemani Aisya untuk menenangkannya. 

Aisya berhenti di sebuah danau dengan view yang sangat menyejukkan. Di sini dia bisa menenangkan hati dan pikirannya yang terus bergulat memikirkan cara agar mendapatkan uang dengan cepat namun tidak terjerumus kedalam lembah hitam. Aisya duduk di bangku yang ada di sana, wanita itu menyandarkan kepalanya di pohon yang besar lalu perlahan-lahan menutup matanya sambil merasakan angin yang berhembus semakin kencang hingga tak sadar akhirnya dia terlelap tidur. 

Derd! 

Ponsel miliknya bergetar membuat Aisya terbangun dari tidurnya. 

"Halo," ucap Aisya di balik telepon. 

"Kamu di mana? Ibu seharian belum makan, Aisya! Bapak juga belum datang ke sini, apa kamu ingin membunuh ibumu hah?" 

"Ya Tuhan."

Aisya terlonjak kaget lalu melihat jam yang melingkar di lengannya. Seketika mata Aisya melotot tajam saat melihat jam sudah menunjukkan pukul 16.40. 

"Maaf Bu, Aisya nggak sengaja ketiduran. Sekarang Aisya ke rumah sakit ya, Bu." 

"Sengaja banget mau balas ibu kan kamu!" 

"Nggak gitu Bu, ya sudah kalau begitu Aisya bawa makanan sekalian." 

"Ya sudah jangan lama-lama!" 

Ibu Julia mematikan sambungan telepon dengan nada ketus. Wajar saja jika ibu Julia marah, karena seharian ini Julia tidak bisa kemana-mana bahkan untuk makan pun dia belum sempat. 

Aisya berdecak bodoh lalu segera berlari menuju rumah sakit dengan cepat. Tidak lupa sebelum ke rumah sakit Aisya membeli beberapa makanan untuk sang ibu yang pasti sudah cemberut. 

Bruk! 

Aisya berlari terlalu cepat hingga dia tidak memperhatikan jalan sekitarnya.

"Maaf, Tuan. Saya tidak sengaja." 

Laki-laki itu menatap Aisya dengan wajah bingung. Apa benar wanita yang ada di hadapannya adalah gadis lima tahun yang lalu? 

"Apartemen Melati nomor 0119." 

Aisya terkejut mendengar ucapan pria yang baru saja dia tabrak.

"Tidak mungkin! Apa dia pria di malam itu?" 

Pena HoneeyDee

Hai reader, jangan lupa support terus Author Pena HonneyDee dan baca buku pertama ini hingga selesai. ❤️

| Like

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status