Dua hari telah berlalu sejak kejadian itu.
William sekarang sedang duduk di taman sambil membaca buku, sambil ditemani Lilia dan Reny yang berdiri di dekatnya.
William tidak pergi latihan, karena kondisi tubuhnya yang masih belum benar-benar pulih. Sekalipun dia tetap memaksa untuk pergi latihan, sudah dipastikan Lilia dan Reny pasti akan melarangnya dengan keras.
"Pangeran, teh ini sudah dingin, apa perlu aku ganti yang baru?" tanya Lilia.
Lilia yang sebelumnya membuatkan teh untuk William, memandang William yang sangat terpaku dengan buku yang dia baca. Sampai-sampai teh yang dibuatnya belum disentuh sekalipun oleh William, karena terlalu fokus dengan yang dia baca.
William sambil masih tetap fokus dengan yang dia baca, menjawab. "Terima kasih, tetapi tidak usah."
"Kalau begitu maukah aku siapkan teman minum teh untukmu, Pangeran?"
Mendengar tawaran Lilia, William merasa tidak ada salahnya menerimanya.
William menoleh ke arah Lilia. "... Ya, terima kasih."
Lilia sambil membungkuk hormat. "Kalau begitu, akan saya siapkan, Pangeran."
"Umu," William mengangguk membalasnya.
Lilia pun pergi mengambil cemilan untuk William jadikan teman minum tehnya.
Sejak kejadian dua hari yang lalu, hubungan William dengan Lilia dan Reny menjadi lebih dekat, dibandingkan sejak awal mereka bertemu.
Walau masih ada perasaan canggung di hatinya, akan tetapi tidak sampai membuat William terganggu.
Reny yang berdiri di sebelahnya, memandangi William dengan penasaran. Dia sangat penasaran dengan buku yang dibaca William.
"Pangeran, jika aku boleh tau. Sebenarnya apa yang kamu baca, Pangeran?" tanya Reny.
William tanpa menoleh menjawab. "Ini adalah buku tentang teknik pedang."
'Teknik pedang?' batin Reny.
Mendengar William menyebutkan teknik pedang, membuatnya sedikit tertarik dengan isi buku yang William baca.
Bagaimana tidak, melihat kembali saat William melawan Lucas membuatnya tau, bahwa teknik pedang yang William gunakan berbeda dengan teknik pedang kerajaan.
'Jangan bilang, Pangeran belajar teknik pedangnya hanya dari buku itu?' batin Reny.
Reny yang seorang kesatria, tentu paham betul dengan penguasaan teknik berpedang. Jelas sangat sulit, mempelajarinya sendiri tanpa bimbingan dari seseorang.
Karena rasa penasarannya, Reny pun mencoba mengintip isi buku yang William baca.
Saat itu, William melihat bayangan Reny terlihat bergerak menutupi sebagian buku yang dia baca.
Menunjukkan posisi Reny yang sebelumnya berada di sampingnya, sekarang berada di belakangnya, dan mencoba melihat apa yang sedang dia baca.
William pun berbalik, menoleh kebelakang. "Reny, apa kamu juga tertarik?" tanya William.
Mengetahui dirinya ketahuan, Reny menjadi panik. "I-iya itu, jujur aku sedikit tertarik, Pangeran."
"Kalau memang kamu tertarik, kamu bisa ikut membaca dengan berdiri tepat di belakangku," kata William.
Reny pun menerimanya dengan senang hati. "Kalau begitu, permisi Pangeran," ucap Reny sambil berjalan, tepat ke belakang William.
Saat Reny membaca yang tertulis di buku itu. "Bahasa kuno?!" Reny dibuat kaget dengan yang dilihatnya.
Dia sama sekali tidak menyangka bahwa buku yang dibaca tuannya, adalah buku tua yang bertuliskan bahasa kuno.
"Reny, Apa kamu tidak bisa membaca bahasa kuno?" tanya William.
"Iya itu... saya tidak bisa, Pangeran," jawab Reny. "Tetapi, bagaimana Pangeran bisa tau bahasa kuno? Karena sangat jarang, di jaman sekarang ini ada yang bisa membaca dan mengerti tulisan kuno?"
Reny sangat penasaran bagaimana William bisa tau bahasa kuno. Tidak hanya sebatas tahu, tetapi William sepertinya juga paham dan benar-benar bisa membacanya.
Bahkan dirinya saja tidak bisa membacanya, dan di kerajaan pun hanya orang-orang tertentu yang bisa membacanya. Reny sangat penasaran, dari siapa William mempelajarinya.
"Kalau mengenai itu... kamu tau, aku sering ke perpustakaan setelah latihan, dan di sana ada seorang pustakawan tua," kata William. William menutup bukunya dan menoleh ke arah Reny. "Aku tidak tau siapa namanya, karena setiap aku bertanya namanya, dia selalu hanya tersenyum, dan dialah yang mengajariku," jelas William.
"Pustakawan tua?" ucap Reny penasaran, sambil mengerutkan keningnya.
"Ya," William mengambil bukunya, dan menunjukkannya ke Reny. "Dia juga yang memberikan aku buku ini."
"... Begitu ya," balas Reny.
Reny sangat penasaran dengan identitas pustakawan tua yang William maksud. Reny yang dulu pernah bekerja di bawah ibu William, sama sekali belum pernah mendengar jika ada seorang pustakawan di kerajaan ini.
William melihat Reny yang memegang dagunya dengan ibu jari dan jari telunjuk kanannya, merenung memikirkan sesuatu.
"Hmm..." Reny sangat penasaran siapa, sosok yang dimaksud William.
William yang penasaran bertanya. "Reny, ada apa? apa ada yang salah?"
"E-ah, tidak Pangeran, bukan apa-apa," balas Reny.
★★★
Selang beberapa saat Lilia pun datang membawa camilan untuk William.
"Silakan dinikmati, Pangeran," ucap Lilia sambil menyajikan beberapa makanan kecil kepada William.
"Terima kasih, Lilia."
"Sama-sama, Pangeran," balas Lilia sambil menunduk sopan.
William pun memakan apa yang disajikan di depannya, dan meminum tehnya yang sudah dingin.
Sambil melirik keduanya, William menaruh cangkir teh yang dia pegang,- "ngomong-ngomong, bisakah kalian berdua tidak memanggilku, Pangeran," pinta William.
" "Ha?!" " Reny dan Lilia Kaget.
Sebenarnya William yang selama ini dipanggil "Pangeran," oleh keduanya, merasa tidak nyaman. Dia hanya tidak terbiasa, dan membuatnya merasa aneh dengan panggilan itu.
Keduanya benar-benar panik dengan perkataan William yang tiba-tiba.
"Me-mengapa pangeran?! apa Pangeran tidak mempercayai ku, karena kejadian kemarin?" tanya Reny dengan panik.
"I-Iya Pangeran, jika memang karena masalah itu. Maka semua itu sepenuhnya kesalahan Reny, Pangeran." kata Lilia sambil menunjuk Reny. Lilia pun langsung berlutut ke arah William,-"jadi biarkan saya tetap melayanimu, Pangeran."
"Geh! wanita ini," gerutu Reny dengan kesal, karena melihat Lilia memanfaatkan kesalahannya.
Melihat kepanikan keduanya, membuat William menjadi bingung. 'Mengapa mereka malah panik seperti ini?' batin William. '... Ah! aku mengerti.'
"Reny, Lilia, sepertinya kalian berdua salah paham," kata William.
"Eh?" Reny linglung.
"Pangeran, bukannya kamu tidak menyukai kami menjadi pelayan dan pengawalmu?" tanya Lilia.
William sambil mengisyaratkan menggunakan tangannya. "Tidak, bukan itu yang ku maksud."
William pun menjelaskan kepada keduanya, bahwa dirinya hanya tidak nyaman di panggil Pangeran, hanya itu. Bukan karena membenci mereka, seperti yang mereka berdua pikirkan.
" "Huhh..." "
Mendengar penjelasan William, membuat keduanya bernafas lega.
Lilia pun bertanya, "tapi Pangeran, kenapa kamu tidak ingin kami memanggilmu dengan sebutan Pangeran?"
"Aku hanya kurang nyaman dipanggil seperti itu," jawab William dengan senyum lesu.
Lilia yang melihatnya tau, bahwa pasti ada alasan mengapa William tidak mau dipanggil "Pangeran". Tetapi dia takut mengungkit apa yang seharusnya tidak diketahui.
Lilia pun memilih bertanya hal Lain. "Lalu, bagaimana kami harus memanggilmu, Pangeran?"
"Apa saja, selain Pangeran," jawab William.
Reny langsung mengusulkan pendapatnya. "Kalau begitu, bagaimana dengan Bos?"
"Tidak, yang lain!"
Dan itu langsung ditolak oleh William.
'Apa-apaan dengan bos yang diusulkannya?' batin William menggerutu usulan Reny.
"Bagaimana kalau Tuan Muda?" tanya Lilia.
"Tidak bisakah kalian memanggilku hanya dengan William? tanpa menambahkan apapun?" tanya William.
" "Tidak!" "
Dan sekarang gantian keduanya yang menolak usulan William, secara bersamaan.
"Hahh..." William hanya mendesah lelah, mendengar penolakan cepat keduanya.
Sambil memeras keningnya dengan jari tangannya.
William tidak tau lagi bagaimana caranya untuk meyakinkan mereka, agar tidak memanggilnya dengan kehormatan.
Lagi pula baginya, nama yang diberikan ibunya adalah panggilan terbaik. Juga, dia merasa sedikit terganggu dan tidak nyaman dengan panggilan-panggilan kehormatan, seperti Pangeran atau yang diusulkan keduanya barusan.
"Kalau begitu cukup panggil saja, Tuan. Dan jangan ditambahkan apapun lagi," pinta William.
" "Baik, Tuan William," " balas Reny dan Lilia sambil menunduk hormat.
★★★
Beberapa saat berlalu setelah perdebatan itu, dan sekarang suasananya menjadi sunyi.
Bukan karena canggung, melainkan karena sekarang William sangat fokus dengan apa yang dia baca.
Reny yang melihat William, menoleh kearah Lilia.
Lilia yang paham apa maksudnya pun mengangguk sekali.
Reny pun berbicara dan memecahkan kesunyian. "Tuan William, sebenarnya ada yang ingin aku dan Lilia sampaikan."
William yang dari tadi fokus pada buku di depannya, menoleh dan memandang keduanya. "Hm? apa itu?"
Terlihat wajah keduanya yang sangat gugup.
Saat itu yang mulai berbicara adalah Lilia.
"Tuan, kami sebenarnya adalah… itu, kami adalah pasukan khusus yang dibentuk oleh Yang Mulia Ratu Elsa, Tuan," kata Lilia.
William hanya diam mendengarkan Lilia.
Reny melanjutkan. "Sebelum Yang Mulia Ratu meninggal. Beliau berpesan kepada kami untuk menjagamu, Tuan."
William masih diam tanpa berkata sepatah katapun, lalu berbalik membelakangi keduanya.
Merasa William seperti tidak tertarik, Lilia melanjutkan perkataan Reny sebelumnya.
"Tuan, Yang Mulia Ratu berpesan kepada kami. Tidak hanya untuk menjaga dan melindungimu, tetapi kami juga disuruh untuk bersumpah kepadamu, Tuan. Sama dengan sebelumnya, kami juga bersumpah dengan Ratu," jelas Lilia.
Mendengar Lilia, William menutup bukunya. William sambil memejamkan matanya, merenungi apa yang Lilia katakan.
Reny dan Lilia yang merasa tidak direspon sama sekali oleh William, tiba-tiba berlutut dengan hormat ke arah William.
" "Jadi Tuan, Ijinkan Kami bersumpah,- Ijinkan Kami bersumpah akan selalu ada untuk melindungimu, mendukung keputusanmu. Kami bersumpah selama sisa hidup ini!" "
Lilia dan Reny secara bersamaan mengucapkan sumpah mereka dan memohon ke arah William yang masih duduk membelakangi keduanya.
William pun menoleh, lalu memandang keduanya yang sekarang berlutut sambil menundukkan kepala mereka kearahnya.
"Maaf, Aku tidak bisa… aku tidak bisa membalas sumpah kalian berdua," kata William.
" "?!!" " Keduanya kaget dengan kata yang keluar dari mulut William.
"A-apa, me-mengapa Tuan?! apa kami tidak baik di matamu, Tuan?!" tanya Lilia.
"Perlukah kami membuktikan kesetiaan kami padamu, Tuan?" tanya Reny.
Keduanya mencoba bertanya alasan William, dan meyakinkannya.
Lilia dan Reny tidak ingin mempercayai apa yang mereka dengar, dan benar-benar tidak menyangka bahwa mereka akan langsung ditolak oleh William.
Keduanya merasa sudah dekat, tetapi kenyataan bahwa William tidak mau menerima sumpah mereka adalah kenyataan yang pahit bagi mereka berdua.
"Apa, tuan tidak mempercayai kami?" tanya Lilia dengan wajah berharap.
"Apa mungkin kami kurang berguna bagi anda, Tuan?" tanya Reny dengan wajah yang sama dengan Lilia.
William tidak menghiraukan mereka dan berbalik memandang taman. Lalu berkata kepada keduanya. "Kalian tau? Bagaimana dahulu ibuku selalu mengajakku kemari? Dia memberi apa yang tidak orang lain beri," kata William,–"Kepercayaan... apa yang ibu berikan kepadaku adalah kepercayaan. Tidak pernah ibuku berkata percayalah pada ibu. Melainkan kepercayaan itu sendiri yang muncul dengan sendirinya," jelasnya.
William lalu berbalik menatap keduanya. "Tidak pernah ibuku bersumpah kepadaku. Tetapi dengannya lah aku percaya padanya,–" William tersenyum kepada keduanya. "Aku memiliki janji dengan ibuku yang mana adalah tuan kalian. Janji itu adalah MENJADI KUAT, MENJADI ORANG YANG KUAT. Aku tidak ingin selalu dilindungi. Aku tidak ingin selalu bergantung kepada orang lain. Aku ingin membuktikannya! bukan untuk diriku sendiri! bukan kepada semua orang tetapi kepada ibuku,– dan hanya dia!" jelasnya.
William berdiri dari kursinya, dan berjalan ke arah keduanya.
Lilia dan Reny sekarang melihat William yang berdiri di depan mereka.
"Dan sekarang, ibuku sudah tidak ada... jadi aku tidak ingin kalian berdiri di depan dan di belakangku. Aku tidak ingin kalian bersumpah kepadaku, setelah kalian bersumpah kepada ibu ku,–" kata William. Sambil tersenyum ke arah keduanya, "tentu aku percaya kepada kalian, maka dari itu aku menolak sumpah kalian! Pegang lah sumpah kalian dengan ibuku, jangan hianati dia. Berdirilah di sampingku,.. bukan di depan ataupun di belakangku. Sambil terus memegang sumpah kalian kepada ibuku."
William mengulurkan tangannya, dan meraih masing-masing tangan mereka, menyuruh mereka untuk berdiri.
"Lilia, Reny, ibu sudah tidak ada di sini lagi. Maka dari itu aku ingin kalian berdua menjadi saksi,.. saksi dari janji yang akan aku tepati,.. Karena aku akan menepati janjiku kepada ibuku," kata William.
Lilia dan Reny hanya tersenyum dengan melihat tekad kuat di mata William.
Saat itu Reny dan Lilia melihat cerminan mantan tuan mereka di wajah William. Sifat dan cara berkatanya pun juga sama, menunjukkan bahwa orang didepan mereka benar-benar mewarisi kepribadian ibunya.
Dengan penuh hormat, Reny dan Lilia menunduk dengan tangan kanan di sisi kiri dada mereka, dan menjawab William. " "Dengan senang hati, Tuan." "
William tersenyum mendengar jawaban tulus keduanya.
Hari itu pun menjadi awal bagi Reny dan Lilia melayani tuan baru mereka. Bukan dengan sumpah, melainkan dengan ketulusan.
★★★
Keesokan harinya, William tiba-tiba kedatangan tamu yang benar-benar tidak dia diduga sebelumnya.
"Silakan duduk, Nona." ucap William mempersilahkan wanita muda itu duduk.
William membawanya di taman dan sekarang mereka berdua duduk di balkon yang terdapat di taman.
"Silahkan dinikmati, Nona Rose," sambut Lilia sambil menyajikan teh dan makanan kecil di meja, menawarinya.
"Um, te-terima kasih," ucap Rose dengan gugup.
Terlihat di kulit wajahnya yang putih sekarang berwarna merah muda. Rose malu, karena ini pertama dia berkunjung ke tempat pria.
"Nona Rose, maafkan saya sebelumnya, sekiranya saya boleh tau, ada keperluan apa Nona kemari, apa mungkin ada sesuatu?" tanya William.
"Um, ya i-itu," ucap Rose gugup.
Di mata William, dia hanya melihat Rose yang terlihat berusaha ingin mengatakan sesuatu tapi tidak berani, sambil sesekali terlihat dirinya melirik ke arah Lilia.
'Apa ada yang salah?' batin William penasaran.
Sama halnya William, Lilia juga penasaran."Hmmm…" tetapi saat dirinya paham, "ups… sepertinya aku melupakan sesuatu yang penting, Tuan," jelasnya sambil berakting panik. "Jadi aku mohon izin sebentar, Tuan," ucap Lilia
Mendengar itu yang tiba-tiba, membuat William merespon dengan spontan kaget. "Eh? y–ya silakan."
William melihat Lilia, dia berkata melupakan sesuatu, tetapi tidak ada ekspresi panik di wajahnya. Melainkan senyum aneh yang diarahkannya kepada Rose.
*Kling*
"Aduh, mohon maaf. Sepertinya saya menjatuhkan sesuatu," ucap Lilia.
'Apa-apaan itu?' batin William.
Tetapi di mata William, dia melihat Lilia yang dengan jelas sengaja menjatuhkan jepit rambutnya.
William melihat Lilia yang mengambil barang yang sengaja dijatuhkannya. Sambil melihat bahwa mulutnya bergerak seperti mengatakan sesuatu kepada Rose saat dia mengambil barang yang dia jatuhkan.
Dan setelah itu, entah mengapa wajah Ros tiba-tiba berubah merah Semerah rambutnya.
'Apa yang dia katakan kepada Rose?' batin William penasaran.
Lilia menoleh ke arah William."Kalau begitu Tuan, Saya,– Eh? uhum, Tuan saya mohon pamit sebentar, fufufu," katanya yang melihat William menatapnya dengan curiga.
William pun melihat Lilia pergi dengan senyum berseri di wajahnya, dan sekarang yang tersisa hanya tinggal dia dan Rose.
★★★
Beberapa saat setelah Lilia pergi.
'Mengapa, menjadi seperti ini?' batin William. Dia merasa aneh dengan suasana di tempat ini. Entah mengapa suasananya tiba-tiba menjadi canggung. Dia dan Rose hanya saling diam, tidak tau harus mengatakan apa.
William pun memulainya dengan basa-basi. "Ngomong-ngomong nona Rose. Ini kedua kalinya aku melihat nona memakai pakaian selain pakaian latihan,"
"Apa mungkin ini tidak cocok untukku?" tanya Rose dengan raut wajah sedih.
'Eh, mengapa dia menganggap seolah aku menghinanya?' batin William. Dia tidak menyangka bahwa perkataannya akan disalah artikan oleh Rose.
"Ti-tidak, bukan itu maksudku, tetapi malah kebalikannya," jelas William sambil melambaikan kedua tangannya dengan panik, berusaha menjelaskan maksud sebenarnya.
"Hm? maksudnya?" tanya Rose, sambil memiringkan kepalanya, karena bingung.
'Apa, aku memang harus menjelaskannya, lebih jelas?' William tidak menduga bahwa Rose tidak paham dengan maksud perkataannya.
"Maksudku sangat jarang aku melihat nona berpakaian gaun seperti ini, dan nona sungguh terlihat cocok dan cantik dengan pakaian yang kamu pakai sekarang," jelas William.
*Rose kali ini mengenakan gaun berwarna biru tua, dengan lurik hiasan berwarna perak. Itu sangat cocok dengan warna rambutnya yang merah tua.
Memang benar bahwa Rose terlihat sangat cocok menggunakannya, apalagi dia juga memiliki kulit putih cerah, dan karena pada dasarnya dia sudah cantik, mengenakan gaun itu membuatnya terlihat lebih feminim dan anggun.*
"Eh?!l Um, te-terima kasih," balas Rose sambil menunduk malu. Wajah Rose yang tadi sudah merona merah, sekarang bertambah merah, bahkan sampai ke telinganya.
'A–apa aku mengatakan hal yang salah lagi?' batin William. Dia takut jika dirinya salah berkata lagi, karena melihat ekspresi Rose di depannya.
Kecanggungan pun bertambah di antara keduanya. Dan membuat suasana keduanya saling diam lagi.
Saat itu tiba-tiba seseorang berlari ke arah William dengan sangat panik.
Itu adalah Reny,
Sesampainya di depan William, Reny langsung berlutut menghadap William, dengan nafas Reny yang masih tersengal-sengal.
William yang merasa penasaran pun bertanya padanya, "Reny, ada apa? mengapa anda terlihat sangat panik?"
"Tuan, saya mendapat kabar bahwa Tuan Putri Lisbet telah di culik!" jawab Reny dengan sangat panik.
William yang kaget mendengarnya langsung berdiri dari tempat duduknya. "Apa?!!"
Rose yang juga ada di sana, tercengang kaget mendengar laporan Reny.
Tanpa menghiraukan keduanya, William langsung berlari. Dia berlari menuju suatu tempat, meninggalkan keduanya di belakang.
"Tuan William! Apa yang,– tuan Williaaam!" teriak Rose.
"Tuan, Apa?!... Tuan kamu mau ke mana, Tuaaaan ?!" Teriak Reny dengan panik.
Keduanya panik karena melihat William yang tiba-tiba berlari.
"Li–Lisbet, apa yang sebenarnya terjadi?!" gumam William sambil berlari panik.
William sekarang sangat khawatir dengan adiknya.
Perlahan Lisbet membuka matanya. Pandangannya terlihat kabur dan perlahan mulai tampak jelas. 'Di mana aku?' gumam Lisbet. Lisbet tidak mengenali tempat ini. Itu adalah sebuah ruangan berlantaikan kayu tanpa perabotan apapun. Di ruangan ini benar-benar kosong. 'Apa yang terjadi padaku?! di mana aku?!' Tanya Lisbet didalam hatinya. Lisbet benar-benar bingung, apa yang terjadi padanya, dan di mana sebenarnya dia sekarang. Perlahan Lisbet menyadari bahwa mulutnya tersumpal. Saat dia melihat kakinya, itu terikat dan merasakan tangannya pun juga terikat di belakang. Lisbet mencoba mengingat apa yang bisa dia ingat, bagaimana dia bisa berada di sini.
*Kerajaan Brama adalah kerajaan yang memiliki julukan The Kingdom Of Holy Sword. Julukan ini ada bukan tanpa alasan. Melainkan karena secara turun-temurun keluarga kerajaan adalah satu-satunya yang memiliki kemampuan teknik pedang-roh terkuat di dunia.Setiap anggota keluarga kerajaan haruslah memiliki kemampuan. Tidak hanya sebatas memiliki kemampuan dalam menggunakan pedang yang hebat. Tetapi juga harus dapat menggunakan kemampuan roh yang mengimbanginya. Apabila tidak dapat menggunakan keduanya. Maka orang tersebut akan dipandang sebagai aib bagi mereka.*William Van Bramasta adalah seorang anak ketiga dari lima bersaudara dan sekaligus Putra kedua. Dia memiliki rambut berwarna hitam dan mata berwarna ungu. Dia adalah seorang pangeran kedua, putra dari raja dan ratu kerajaan Brama.Dia adalah seorang anak berumur 12 tahun satu tahun lalu. Dia juga memiliki kemampuan pedang yang melebihi keempat saudaranya, dan itu jika hanya
Sekarang William berjalan menuju ruangan ayahnya, bersama kedua adiknya di samping kanan dan kirinya.Ada perasaan gugup bercampur senang di hatinya, karena ini adalah pertama kalinya dari sekian lama dia tidak dipanggil oleh ayahnya.Setelah beberapa saat, sekarang William berdiri didepan pintu salah satu ruangan. Itu adalah ruangan ayahnya.Saat William ingin membuka pintu. Tangannya entah mengapa terasa sangat berat.Lisbet dan Richard yang berada disebelah William, sekarang melihat ekspresi rumit William yang berdiri diam di depan pintu, dengan tangan yang hampir menyetuh gagang pintu.Keduanya melihat wajah pucat pasi William, yang seperti seseorang sedang merenung dan memikirkan sesuatu yang berat."Kakak... kakak tidak apa-apa?" tanya Lisbet dengan khawatir sambil menarik-narik lengan baju William.Mendengar suara Lisbet, William tersadar."E, Ah, ya, ti-tidak, aku tidak apa-apa," jawab William dengan gugup.
Sekarang didalam kamarnya, William berdiri dengan mengenakan pakaian kemeja tipis berwarna hitam yang dimasukkan ke dalam celana panjang hitam. Di celana panjang yang di kenakannya terdapat kait untuk menaruh sarung pedang di samping kanan dan kirinya. Itu adalah pakaian yang sering dia pakai untuk latihan. William sekarang sedang memilih pedang yang ada di depannya untuk digunakannya latihan. William berencana untuk berlatih pedang, yang merupakan rutinitas hariannya. William mengeluarkan pedang yang dia ambil dari sarungnya dan melihatnya. "Hm, sepertinya pedang ini sudah mulai tumpul," gumam William sambil mengamati pedang yang dia pegang. Pedang yang dipegangnya terlihat sudah banyak goresan pada permukaannya, dan lekukan bekas menghantam benda keras pada bagian bilah tajamnya. Itu adalah pedang yang sebenarnya tidak layak lagi untuk digunakan, tetapi karena ini hanya latihan, William menganggap itu tidak terlalu penting. "
William mendengar sorakan riuh dari para penonton yang melihat pertarungannya dengan Lucas.Walaupun begitu, tidak ada raut wajah senang sama sekali di wajahnya.William sambil berbalik. "Reny, kita kembali," ajak William."Pangeran?" Reny berkedip bingung, melihat William berjalan pergi meninggalkannya.Reny hanya bingung melihat William yang terlihat seperti terburu-buru."Ba-baik, pangeran," ucap Reny sambil berlari menyusul William, lalu berjalan di belakangnya.Semua orang yang sebelumnya bersorak karena melihat kemenangan William, sekarang terdiam. Melihat William pergi begitu saja meninggalkan mereka.Bukan maksud William ingin bersikap angkuh kepada semua yang
Di salah satu kamar, dengan lantai batu dan satu buah tempat tidur kecil, yang memang didesain hanya untuk satu orang.Tidak ada banyak perabotan di dalam kamar itu. Disana hanya ada satu buah meja kecil dan satu kursi sebagai pasangannya. Di sudut ruangan terlihat ada satu buah lemari dengan satu pintu.Tidak ada kesan mewah dan bagus saat kamu melihat semua yang ada di dalamnya. Semua tampak usang, bahkan di beberapa bagian langit-langit kamar, yang terbuat dari kayu pun juga terlihat sudah mulai rapuh.Seorang pangeran yang meninggali kamar ini adalah William. Letaknya bahkan ada di belakang istana. Tidak di dalam istana, yang semuanya terdapat kemewahan di setiap sudutnya.William mengalami kehidupannya seperti ini, sudah sejak ibunya meninggal beberapa tahun yang la
Perlahan Lisbet membuka matanya. Pandangannya terlihat kabur dan perlahan mulai tampak jelas. 'Di mana aku?' gumam Lisbet. Lisbet tidak mengenali tempat ini. Itu adalah sebuah ruangan berlantaikan kayu tanpa perabotan apapun. Di ruangan ini benar-benar kosong. 'Apa yang terjadi padaku?! di mana aku?!' Tanya Lisbet didalam hatinya. Lisbet benar-benar bingung, apa yang terjadi padanya, dan di mana sebenarnya dia sekarang. Perlahan Lisbet menyadari bahwa mulutnya tersumpal. Saat dia melihat kakinya, itu terikat dan merasakan tangannya pun juga terikat di belakang. Lisbet mencoba mengingat apa yang bisa dia ingat, bagaimana dia bisa berada di sini.
Dua hari telah berlalu sejak kejadian itu.William sekarang sedang duduk di taman sambil membaca buku, sambil ditemani Lilia dan Reny yang berdiri di dekatnya.William tidak pergi latihan, karena kondisi tubuhnya yang masih belum benar-benar pulih. Sekalipun dia tetap memaksa untuk pergi latihan, sudah dipastikan Lilia dan Reny pasti akan melarangnya dengan keras."Pangeran, teh ini sudah dingin, apa perlu aku ganti yang baru?" tanya Lilia.Lilia yang sebelumnya membuatkan teh untuk William, memandang William yang sangat terpaku dengan buku yang dia baca. Sampai-sampai teh yang dibuatnya belum disentuh sekalipun oleh William, karena terlalu fokus dengan yang dia baca.William sambil masih tetap fokus dengan
Di salah satu kamar, dengan lantai batu dan satu buah tempat tidur kecil, yang memang didesain hanya untuk satu orang.Tidak ada banyak perabotan di dalam kamar itu. Disana hanya ada satu buah meja kecil dan satu kursi sebagai pasangannya. Di sudut ruangan terlihat ada satu buah lemari dengan satu pintu.Tidak ada kesan mewah dan bagus saat kamu melihat semua yang ada di dalamnya. Semua tampak usang, bahkan di beberapa bagian langit-langit kamar, yang terbuat dari kayu pun juga terlihat sudah mulai rapuh.Seorang pangeran yang meninggali kamar ini adalah William. Letaknya bahkan ada di belakang istana. Tidak di dalam istana, yang semuanya terdapat kemewahan di setiap sudutnya.William mengalami kehidupannya seperti ini, sudah sejak ibunya meninggal beberapa tahun yang la
William mendengar sorakan riuh dari para penonton yang melihat pertarungannya dengan Lucas.Walaupun begitu, tidak ada raut wajah senang sama sekali di wajahnya.William sambil berbalik. "Reny, kita kembali," ajak William."Pangeran?" Reny berkedip bingung, melihat William berjalan pergi meninggalkannya.Reny hanya bingung melihat William yang terlihat seperti terburu-buru."Ba-baik, pangeran," ucap Reny sambil berlari menyusul William, lalu berjalan di belakangnya.Semua orang yang sebelumnya bersorak karena melihat kemenangan William, sekarang terdiam. Melihat William pergi begitu saja meninggalkan mereka.Bukan maksud William ingin bersikap angkuh kepada semua yang
Sekarang didalam kamarnya, William berdiri dengan mengenakan pakaian kemeja tipis berwarna hitam yang dimasukkan ke dalam celana panjang hitam. Di celana panjang yang di kenakannya terdapat kait untuk menaruh sarung pedang di samping kanan dan kirinya. Itu adalah pakaian yang sering dia pakai untuk latihan. William sekarang sedang memilih pedang yang ada di depannya untuk digunakannya latihan. William berencana untuk berlatih pedang, yang merupakan rutinitas hariannya. William mengeluarkan pedang yang dia ambil dari sarungnya dan melihatnya. "Hm, sepertinya pedang ini sudah mulai tumpul," gumam William sambil mengamati pedang yang dia pegang. Pedang yang dipegangnya terlihat sudah banyak goresan pada permukaannya, dan lekukan bekas menghantam benda keras pada bagian bilah tajamnya. Itu adalah pedang yang sebenarnya tidak layak lagi untuk digunakan, tetapi karena ini hanya latihan, William menganggap itu tidak terlalu penting. "
Sekarang William berjalan menuju ruangan ayahnya, bersama kedua adiknya di samping kanan dan kirinya.Ada perasaan gugup bercampur senang di hatinya, karena ini adalah pertama kalinya dari sekian lama dia tidak dipanggil oleh ayahnya.Setelah beberapa saat, sekarang William berdiri didepan pintu salah satu ruangan. Itu adalah ruangan ayahnya.Saat William ingin membuka pintu. Tangannya entah mengapa terasa sangat berat.Lisbet dan Richard yang berada disebelah William, sekarang melihat ekspresi rumit William yang berdiri diam di depan pintu, dengan tangan yang hampir menyetuh gagang pintu.Keduanya melihat wajah pucat pasi William, yang seperti seseorang sedang merenung dan memikirkan sesuatu yang berat."Kakak... kakak tidak apa-apa?" tanya Lisbet dengan khawatir sambil menarik-narik lengan baju William.Mendengar suara Lisbet, William tersadar."E, Ah, ya, ti-tidak, aku tidak apa-apa," jawab William dengan gugup.
*Kerajaan Brama adalah kerajaan yang memiliki julukan The Kingdom Of Holy Sword. Julukan ini ada bukan tanpa alasan. Melainkan karena secara turun-temurun keluarga kerajaan adalah satu-satunya yang memiliki kemampuan teknik pedang-roh terkuat di dunia.Setiap anggota keluarga kerajaan haruslah memiliki kemampuan. Tidak hanya sebatas memiliki kemampuan dalam menggunakan pedang yang hebat. Tetapi juga harus dapat menggunakan kemampuan roh yang mengimbanginya. Apabila tidak dapat menggunakan keduanya. Maka orang tersebut akan dipandang sebagai aib bagi mereka.*William Van Bramasta adalah seorang anak ketiga dari lima bersaudara dan sekaligus Putra kedua. Dia memiliki rambut berwarna hitam dan mata berwarna ungu. Dia adalah seorang pangeran kedua, putra dari raja dan ratu kerajaan Brama.Dia adalah seorang anak berumur 12 tahun satu tahun lalu. Dia juga memiliki kemampuan pedang yang melebihi keempat saudaranya, dan itu jika hanya