Dia tetap tidak bergerak saat kupukul. Dia bahkan meraih tanganku untuk menampar wajahnya. "Widya, pukul aku. Pukul aku yang keras. Selama itu bisa melepaskan amarahmu, aku bersedia mati ...."Matanya penuh permohonan dan putus asa, seperti anak hilang, berdoa memohon pengampunan."Kamu masih ingat ini?" Mataku menatapnya dingin, suaraku sinis.Dhanu menatap kosong pada cokelat di tanganku. Ada sedikit kebingungan di matanya."Selsa sendiri yang membuat cokelat ini. Dia ingin memberikan hadiah kepada ayahnya sambil merayakan hari kasih sayang bersama ayah dan ibunya." Suaraku bergetar, hatiku yang sudah penuh luka kembali menerima sayatan perih."Tapi apa yang terjadi? Dia bahkan nggak bisa bertahan sampai ..." Suaraku tersendat, tidak bisa melanjutkan lagi.Aku membanting cokelat itu ke arahnya, mengenai dadanya, sebelum cokelat itu akhirnya jatuh ke lantai yang berlumuran debu."Kamu nggak pantas menerima hadiah darinya! Kamu nggak pantas mendapatkan cinta Selsa!" Aku meraung-raung t
Tiga hari penuh aku mengurung diri di dalam kamar. Dhanu seolah menghilang dari dunia, tanpa kabar apa-apa.Pada malam di hari ketiga, aku memutuskan untuk pergi keluar, berjalan kaki dan menghirup udara segar. Berharap bisa sedikit melegakan hatiku yang sesak.Baru mencapai pintu depan, pandanganku tiba-tiba menjadi gelap, lalu aku kehilangan kesadaran.Saat aku terbangun lagi, aku mendapati diriku terikat di dalam mobil yang bergerak.Tepat di depanku adalah Citra.Dia tidak secantik dulu. Wajahnya bahkan bengkak parah, membuatnya tampak menyedihkan."Widya, akhirnya bangun juga!" Citra menggeram. Matanya menyorotkan kebencian."Kamu? Apa maumu?" Aku menatap tajam, kurang lebih sudah bisa menebak apa yang sedang terjadi."Apa mauku? Ini maumu sendiri! Selsa sudah mati, kenapa kamu nggak mati juga?" Citra tiba-tiba semakin menggebu-gebu. "Semua ini gara-gara kalian, sialan! Kak Dhanu memukuliku, lalu mengusir aku dan Miko!""Sudah seharusnya! Kamu pantas mendapatkannya!" Aku mendongak
Aku membuka pintu rumah, dan pemandangan yang menyambutku membuat kakiku hampir ambruk.Lampu ruang tamu menyala terang benderang, diwarnai gelak tawa. Meja bundar di tengah ruangan dipenuhi hidangan mewah. Aroma manis cokelat menyeruak memenuhi udara. Pemandangan yang sangat menggembirakan.Tapi hatiku serasa jatuh ke palung laut yang terdalam. Sekujur tubuhku kaku sedingin es.Dhanu dan Citra duduk bersebelahan di sofa. Keduanya bersentuhan mesra dihiasi senyum bahagia.Ibu mertuaku duduk di seberang mereka sambil memangku anak laki-laki Citra yang bernama Miko, menyuapinya makan cokelat sedikit demi sedikit.Sekitar mulut anak itu berlumuran cokelat. Dia tertawa-tawa kecil, persis seperti anak perempuanku dulu.Cokelat .... Anakku ....Jantungku tiba-tiba tersentak keras. Pandangan mataku kabur, seperti akan pingsan."Widya sudah pulang? Sekarang hari kasih sayang loh, kenapa wajahmu cemberut begitu?" Mata tajam Citra yang paling cepat melihatku berdiri di depan pintu. Nada suaranya
Aku mengangkat kepala dan menatapnya dengan mata dingin. Pria ini sekarang sangat asing dan menjijikkan di mataku."Menurutmu?" Aku bertanya balik. Suaraku dingin tanpa kehangatan sedikit pun."Kamu kenapa, sih?!" Dhanu mengerutkan kening, suaranya mengungkapkan rasa tidak senangnya. "Sedikit-sedikit marah. Aku cuma tanya, apa salahnya?""Aku ingin tanya." Aku menatap kedua matanya lekat-lekat. "Kenapa kamu tinggalkan Selsa sendirian di dalam mobil?""Kenapa? Kamu tanya kenapa?" Dhanu tertawa sinis seolah mendengar sesuatu yang lucu. "Widya, otakmu pergi ke mana? Mobilnya mogok. Miko di rumah tiba-tiba demam. Akhirnya kami harus minta bantuan tim penyelamat, tapi mobil mereka cuma muat tiga orang. Jadi kami tinggalkan Selsa di dalam mobil dulu.""Mobil tim penyelamat cuma muat tiga orang?" Aku mengulangi kata-katanya. Dadaku seperti diremas-remas. Rasanya sangat sakit sampai aku lupa cara bernapas."Memang begitu." Dhanu menjawab dengan tidak sabar. "Masa Citra yang harus disuruh menun
Aku mendengarkannya. Walaupun suara ini sangat mirip dengan suara Selsa, tetap ada yang berbeda!Aku menatap Dhanu lekat-lekat dan menekankan kata demi kata. "Dhanu, dengarkan baik-baik. Suaranya berbeda dari suara Selsa biasanya."Tapi Dhanu menolak pemikiran itu mentah-mentah. Dia mengerutkan keningnya tidak sabar. "Widya, apa maksudmu sebenarnya? Kamu masih mau lanjut bohong?"Aku mengatur napasku dan berusaha mengendalikan emosi yang bergejolak. "Aku nggak bohong! Percayalah, Selsa benar-benar ..."Kali ini, Citra menyelaku dengan tajam. "Widya, kamu masih nggak tahu malu juga? Kebohonganmu sudah terbongkar. Maumu apa sebenarnya, membuat keributan di sini? Kamu pikir Kak Dhanu orang bodoh?"Dhanu menarik Citra keluar dari kamar dan membanting pintu keras-keras, seolah sedang menertawakan aku yang tidak tahu diri.Aku menjatuhkan diri ke lantai yang dingin dan menatap kosong ke langit-langit, membiarkan rasa putus asa menguasaiku.Dhanu, kamu benar-benar sudah berubah. Aku tidak men
Aku melepas gelang itu tanpa ekspresi dan membuangnya ke tempat sampah. "Dhanu sampah. Aku nggak menginginkan dia lagi. Ambil saja kalau kamu mau," ucapku datar."Kamu!" Citra gemetar karena marah. Dia mendekat kepadaku dan berkata dengan gigi terkatup, "Widya, kamu pikir kamu ini siapa? Kamu merasa pantas bicara seperti itu, hah? Ngaca dulu. Kamu cuma nggak terima karena dicampakkan. Apa hakmu sok-sok kuat di sini?"Aku membalas tatapannya tanpa rasa takut. "Aku berhak atau nggak, bukan kamu yang menentukan. Yang dinikahi dengan sah oleh Dhanu itu aku. Kamu nggak lebih dari orang ketiga yang menghancurkan rumah tangga orang lain!"Memasuki taksi, aku memeluk erat barang-barang peninggalan putriku.Selsa, sayangku, maafkan Ibu. Ibu gagal melindungimu ....Senyum manis Selsa selalu terbayang-bayang dalam benakku. Telingaku masih bisa mendengar suara manisnya memanggilku "Mama".Dhanu adalah teman kuliahku. Kami menikah setelah lulus, lalu dikaruniai seorang anak. Dhanu berasal dari kelu
Dalam beberapa hari berikutnya, aku menangani pemakaman Selsa dengan perasaan hampa seperti robot. Setiap langkah seperti menginjak pisau, sakit dan memilukan.Pemakaman itu dingin dan sepi. Aku sendirian.Tanpa saudara atau teman, tanpa tawa atau tangisan. Yang ada hanya kesedihan dan putus asa tiada akhir yang membawaku tenggelam.Rasa sesal dan menyalahkan diri sendiri menggerogoti hatiku seperti ular berbisa. Siksaan ini lebih menyaksikan daripada kematian.Aku bahkan berniat untuk pergi menemani Selsa setelah mengurus pemakamannya. Dia pasti sendirian dan kesepian di alam sana.Tepat saat aku hampir menyerah, sebuah pesan dari Dhanu seakan mengguyurku dengan air es dari ujung kepala sampai ke ujung kaki."Widya, masih belum cukup juga? Di mana Selsa? Ke mana kamu membawanya?”"Aku bersedia melupakan masalah ini, asal kamu pulang dan minta maaf kepada Citra."Nada bicaranya masih sangat sok dan merendahkan, seakan-akan akulah yang melakukan kesalahan.Hatiku membeku membaca pesan i
Tiga hari penuh aku mengurung diri di dalam kamar. Dhanu seolah menghilang dari dunia, tanpa kabar apa-apa.Pada malam di hari ketiga, aku memutuskan untuk pergi keluar, berjalan kaki dan menghirup udara segar. Berharap bisa sedikit melegakan hatiku yang sesak.Baru mencapai pintu depan, pandanganku tiba-tiba menjadi gelap, lalu aku kehilangan kesadaran.Saat aku terbangun lagi, aku mendapati diriku terikat di dalam mobil yang bergerak.Tepat di depanku adalah Citra.Dia tidak secantik dulu. Wajahnya bahkan bengkak parah, membuatnya tampak menyedihkan."Widya, akhirnya bangun juga!" Citra menggeram. Matanya menyorotkan kebencian."Kamu? Apa maumu?" Aku menatap tajam, kurang lebih sudah bisa menebak apa yang sedang terjadi."Apa mauku? Ini maumu sendiri! Selsa sudah mati, kenapa kamu nggak mati juga?" Citra tiba-tiba semakin menggebu-gebu. "Semua ini gara-gara kalian, sialan! Kak Dhanu memukuliku, lalu mengusir aku dan Miko!""Sudah seharusnya! Kamu pantas mendapatkannya!" Aku mendongak
Dia tetap tidak bergerak saat kupukul. Dia bahkan meraih tanganku untuk menampar wajahnya. "Widya, pukul aku. Pukul aku yang keras. Selama itu bisa melepaskan amarahmu, aku bersedia mati ...."Matanya penuh permohonan dan putus asa, seperti anak hilang, berdoa memohon pengampunan."Kamu masih ingat ini?" Mataku menatapnya dingin, suaraku sinis.Dhanu menatap kosong pada cokelat di tanganku. Ada sedikit kebingungan di matanya."Selsa sendiri yang membuat cokelat ini. Dia ingin memberikan hadiah kepada ayahnya sambil merayakan hari kasih sayang bersama ayah dan ibunya." Suaraku bergetar, hatiku yang sudah penuh luka kembali menerima sayatan perih."Tapi apa yang terjadi? Dia bahkan nggak bisa bertahan sampai ..." Suaraku tersendat, tidak bisa melanjutkan lagi.Aku membanting cokelat itu ke arahnya, mengenai dadanya, sebelum cokelat itu akhirnya jatuh ke lantai yang berlumuran debu."Kamu nggak pantas menerima hadiah darinya! Kamu nggak pantas mendapatkan cinta Selsa!" Aku meraung-raung t
Ponsel Dhanu terlepas dari telapak tangannya dan dia bergumam tak percaya, "Nggak mungkin .... Nggak mungkin ...."Mataku merah dan suaraku serak. "Nggak mungkin? Selsa sudah mati! Kamu meninggalkan dia di hutan jadi makanan serigala!"Dia mendongak tajam, matanya panik. "Bicara apa kamu? Selsa baik-baik saja, jangan bohongi aku!""Bohong? Kenapa aku harus bohong?!" Aku meraung, dadaku berkecamuk. "Kenapa kamu meninggalkan Selsa sendirian di mobil? Kenapa kamu meninggalkan dia sendirian di hutan belantara?!"Wajah Dhanu seputih kertas. Bibirnya membuka menutup berkali-kali, tapi tidak mengeluarkan suara apa-apa."Jawab! Bukannya kamu bilang Om Wisnu akan menjemputnya? Kenapa Om Wisnu nggak tahu sama sekali?!" Aku maju selangkah demi selangkah. Air mataku mengalir deras.Tubuhnya merosot ke lantai dengan lemah, memegangi kepalanya seperti kesakitan. "Aku ... dapat telepon dari ibu. Katanya Miko tiba-tiba sakit parah ....""Jadi kamu meninggalkan Selsa sendirian di dalam mobil? Dengan al
Dalam beberapa hari berikutnya, aku menangani pemakaman Selsa dengan perasaan hampa seperti robot. Setiap langkah seperti menginjak pisau, sakit dan memilukan.Pemakaman itu dingin dan sepi. Aku sendirian.Tanpa saudara atau teman, tanpa tawa atau tangisan. Yang ada hanya kesedihan dan putus asa tiada akhir yang membawaku tenggelam.Rasa sesal dan menyalahkan diri sendiri menggerogoti hatiku seperti ular berbisa. Siksaan ini lebih menyaksikan daripada kematian.Aku bahkan berniat untuk pergi menemani Selsa setelah mengurus pemakamannya. Dia pasti sendirian dan kesepian di alam sana.Tepat saat aku hampir menyerah, sebuah pesan dari Dhanu seakan mengguyurku dengan air es dari ujung kepala sampai ke ujung kaki."Widya, masih belum cukup juga? Di mana Selsa? Ke mana kamu membawanya?”"Aku bersedia melupakan masalah ini, asal kamu pulang dan minta maaf kepada Citra."Nada bicaranya masih sangat sok dan merendahkan, seakan-akan akulah yang melakukan kesalahan.Hatiku membeku membaca pesan i
Aku melepas gelang itu tanpa ekspresi dan membuangnya ke tempat sampah. "Dhanu sampah. Aku nggak menginginkan dia lagi. Ambil saja kalau kamu mau," ucapku datar."Kamu!" Citra gemetar karena marah. Dia mendekat kepadaku dan berkata dengan gigi terkatup, "Widya, kamu pikir kamu ini siapa? Kamu merasa pantas bicara seperti itu, hah? Ngaca dulu. Kamu cuma nggak terima karena dicampakkan. Apa hakmu sok-sok kuat di sini?"Aku membalas tatapannya tanpa rasa takut. "Aku berhak atau nggak, bukan kamu yang menentukan. Yang dinikahi dengan sah oleh Dhanu itu aku. Kamu nggak lebih dari orang ketiga yang menghancurkan rumah tangga orang lain!"Memasuki taksi, aku memeluk erat barang-barang peninggalan putriku.Selsa, sayangku, maafkan Ibu. Ibu gagal melindungimu ....Senyum manis Selsa selalu terbayang-bayang dalam benakku. Telingaku masih bisa mendengar suara manisnya memanggilku "Mama".Dhanu adalah teman kuliahku. Kami menikah setelah lulus, lalu dikaruniai seorang anak. Dhanu berasal dari kelu
Aku mendengarkannya. Walaupun suara ini sangat mirip dengan suara Selsa, tetap ada yang berbeda!Aku menatap Dhanu lekat-lekat dan menekankan kata demi kata. "Dhanu, dengarkan baik-baik. Suaranya berbeda dari suara Selsa biasanya."Tapi Dhanu menolak pemikiran itu mentah-mentah. Dia mengerutkan keningnya tidak sabar. "Widya, apa maksudmu sebenarnya? Kamu masih mau lanjut bohong?"Aku mengatur napasku dan berusaha mengendalikan emosi yang bergejolak. "Aku nggak bohong! Percayalah, Selsa benar-benar ..."Kali ini, Citra menyelaku dengan tajam. "Widya, kamu masih nggak tahu malu juga? Kebohonganmu sudah terbongkar. Maumu apa sebenarnya, membuat keributan di sini? Kamu pikir Kak Dhanu orang bodoh?"Dhanu menarik Citra keluar dari kamar dan membanting pintu keras-keras, seolah sedang menertawakan aku yang tidak tahu diri.Aku menjatuhkan diri ke lantai yang dingin dan menatap kosong ke langit-langit, membiarkan rasa putus asa menguasaiku.Dhanu, kamu benar-benar sudah berubah. Aku tidak men
Aku mengangkat kepala dan menatapnya dengan mata dingin. Pria ini sekarang sangat asing dan menjijikkan di mataku."Menurutmu?" Aku bertanya balik. Suaraku dingin tanpa kehangatan sedikit pun."Kamu kenapa, sih?!" Dhanu mengerutkan kening, suaranya mengungkapkan rasa tidak senangnya. "Sedikit-sedikit marah. Aku cuma tanya, apa salahnya?""Aku ingin tanya." Aku menatap kedua matanya lekat-lekat. "Kenapa kamu tinggalkan Selsa sendirian di dalam mobil?""Kenapa? Kamu tanya kenapa?" Dhanu tertawa sinis seolah mendengar sesuatu yang lucu. "Widya, otakmu pergi ke mana? Mobilnya mogok. Miko di rumah tiba-tiba demam. Akhirnya kami harus minta bantuan tim penyelamat, tapi mobil mereka cuma muat tiga orang. Jadi kami tinggalkan Selsa di dalam mobil dulu.""Mobil tim penyelamat cuma muat tiga orang?" Aku mengulangi kata-katanya. Dadaku seperti diremas-remas. Rasanya sangat sakit sampai aku lupa cara bernapas."Memang begitu." Dhanu menjawab dengan tidak sabar. "Masa Citra yang harus disuruh menun
Aku membuka pintu rumah, dan pemandangan yang menyambutku membuat kakiku hampir ambruk.Lampu ruang tamu menyala terang benderang, diwarnai gelak tawa. Meja bundar di tengah ruangan dipenuhi hidangan mewah. Aroma manis cokelat menyeruak memenuhi udara. Pemandangan yang sangat menggembirakan.Tapi hatiku serasa jatuh ke palung laut yang terdalam. Sekujur tubuhku kaku sedingin es.Dhanu dan Citra duduk bersebelahan di sofa. Keduanya bersentuhan mesra dihiasi senyum bahagia.Ibu mertuaku duduk di seberang mereka sambil memangku anak laki-laki Citra yang bernama Miko, menyuapinya makan cokelat sedikit demi sedikit.Sekitar mulut anak itu berlumuran cokelat. Dia tertawa-tawa kecil, persis seperti anak perempuanku dulu.Cokelat .... Anakku ....Jantungku tiba-tiba tersentak keras. Pandangan mataku kabur, seperti akan pingsan."Widya sudah pulang? Sekarang hari kasih sayang loh, kenapa wajahmu cemberut begitu?" Mata tajam Citra yang paling cepat melihatku berdiri di depan pintu. Nada suaranya