Alfonso dan Siena saling berpandangan. Detik berikutnya, seolah digerakkan oleh pemikiran yang sama, secara spontan mereka langsung bergandengan tangan, dan berlari ke arah tangga turun yang menuju ke dasar benteng.
"Ide yang brilian, Cherry! Ternyata ada gunanya juga kita ke perpustakaan tadi!" seru Alfonso sambil terus berlari menuruni tangga.
Siena tak bisa menahan tawanya. Dia teringat kejadian yang hampir sama waktu mereka berada di Palma. Ketika itu, mereka juga menemukan jawaban teka-teki saat berada di atas menara Castell de Bellver. Lalu mereka buru-buru berlari turun dari menara, tapi sambil mengomel satu sama lain. Sekarang? Mereka malah saling bergandengan tangan! Betapa berbedanya!
"Kenapa kamu tertawa?" Alfonso memandanginya dengan wajah heran.
"Oh…, aku cuma…," Siena terus tertawa sambil bicara. "Rasanya seperti déjà vu, tapi ada yang sangat berbeda…."
&n
"Petunjuk kelima hilang…!" "Apa?!" Siena mengacak-acak isi tasnya lagi. Kakinya seketika jadi lemas. Memang benar, semua barang-barangnya yang lain ada, tapi tabung berisi petunjuk kelima menghilang! "Ini pasti perbuatan anak-anak itu!" raung Alfonso. Ia berlari ke arah kanan dari trattoria. Seingatnya kedua bocah tadi kabur ke arah ini. Namun orang-orang yang hilir mudik terlalu ramai, tak terlihat lagi jejak kedua bocah itu. Baru saja Alfonso berniat untuk berlari lebih jauh lagi, mendadak sesuatu terlintas di pikirannya. 'Tunggu dulu! Kenapa kedua bocah itu mencuri petunjuk kelima? Pencopet biasa tak mungkin tertarik pada tabung logam, sedangkan dompet dan barang-barang Siena yang lain aman!' Alfonso buru-buru berlari kembali ke Siena. Gadis itu masih berdiri di depan trattoria, terlihat sedih dan bingung.
Brian mengawasi rumah mewah milik Adalfo dari taman umum di seberang rumah. Ia memakai mantel panjang, topi beanie, dan menutupi separuh wajahnya dengan scarf, persis seperti ketika berada di Italia. Saat dia tahu Siena dan Alfonso akan pulang kembali ke LA, Brian pun buru-buru naik pesawat dengan waktu yang hampir bersamaan dengan pesawat pribadi mereka. Lalu dari bandara, dia langsung menuju ke rumah ini. Saat tiba di depan rumah, dia melihat mobil Alfonso masih terparkir di halaman depan. Brian sendiri tak mengerti, kenapa dia melakukan semua hal yang aneh dan gila sejak Gloria memintanya untuk bekerja sama. Dia sudah tak ubahnya seperti seorang mata-mata atau seorang detektif yang mengintai targetnya. "Ini semua demi kamu, Siena," gumam Brian, seakan ingin meyakinkan diri sendiri. Setelah lebih dari satu jam berlalu, Alfonso terlihat keluar dari rumah mewah itu dengan menge
"Kenapa aku tak boleh bertemu Damien?" Alfonso memprotes dengan nada tajam. Satu hari setelah mereka tiba kembali di LA, Siena merencanakan untuk bertemu Damien di kantor pengacara itu, tapi dia meminta Alfonso untuk menunggu saja di mobil. "Karena terakhir kali kamu ketemu Damien, kalian hampir saja ribut. Apalagi kita tiba-tiba pergi tanpa kabari dia. Apa kamu lupa, Alf? Kita ke sini untuk minta bantuan Damien, bukan untuk bertengkar. Aku tak mau ada keributan," tukas Siena dengan cepat. Alfonso tak bisa merasa tenang. Yang diingatnya hanyalah bagaimana Damien mencium Siena ketika berada di rumah sakit di Palma! "Dan membiarkan dia menciummu lagi?" nada suara Alfonso tambah tinggi. "A-apa…? Ka-kamu lihat waktu itu…?" Siena tergagap. Wajah Alfonso sudah merah, tapi dia tak ingin meledak di depan Siena. Kalau saja Siena tahu betapa
Lima menit kemudian, Siena keluar dari bangunan kantor Damien, dan melangkah kembali ke mobil Alfonso. "Bagaimana?" Alfonso langsung bertanya saat Siena sudah masuk ke dalam mobil. "Damien masih sibuk, dia tak punya waktu untuk bicara saat ini. Jadi… dia akan datang ke rumah nanti malam jam enam." Siena berhenti bicara, menatap Alfonso dengan penuh harap. "Alf, tolong jangan berpikir negatif atau marah dulu. Kita butuh bantuan Damien. Aku sudah katakan padanya untuk bertemu di rumah saja, sekaligus makan malam. Tapi percayalah, ini cuma seperti obrolan dengan seorang teman. Kuharap kamu tak keberatan aku ketemu Damien malam ini," Siena buru-buru menjelaskan. Alfonso terdiam sesaat. Hatinya sesungguhnya berontak, tidak rela Siena makan malam berdua dengan Damien, tapi… dia juga punya rencana lain malam ini. "Baiklah…, tapi berjanjilah kamu akan beritahu ak
Alfonso berdiri di depan pintu sebuah unit apartemen. Apartemen ini tidak mewah seperti apartemen yang ditempatinya. Lorongnya sempit, jarak antar unit berdekatan, sehingga terkesan sesak. Kenapa Gloria memilih apartemen seperti ini untuk tempat tinggal? Padahal dia tahu betul bagaimana selera Gloria terhadap hal-hal yang mewah. Alfonso mengetuk pintu unit milik Gloria. Sesaat kemudian, wajah Gloria muncul di balik pintu. "Honey Bear! Ayo masuk, aku sudah menunggu dari tadi." Suara Gloria terdengar ceria, wajahnya tersenyum. Alfonso melangkah masuk. Ruangan apartemen itu juga kecil sesuai dugaannya. Cuma ada satu kamar tidur dan kamar mandi di sisi kanan. Selebihnya adalah ruang tamu menyambung dengan dapur kecil yang langsung terlihat begitu masuk. "Duduklah, Honey Bear. Aku sudah siapkan makanan dan red wine kesukaanmu," kata Gloria sambil menunjuk ke sofa dengan dua dudukan
Alfonso memarkir mobilnya di halaman depan rumah Adalfo. Jarak rumah ini dengan apartemen Gloria cuma 15 menit, dia langsung kemari begitu meninggalkan Gloria. Alfonso memegang leher dan keningnya. Kenapa mendadak dia merasa tubuhnya jadi hangat? Ia terus melangkah masuk ke dalam rumah. Siena memintanya untuk datang setelah Damien pergi, khusus untuk mencicipi Paella yang dimasak Siena. Hmm..., perutnya jadi lapar membayangkan makanan khas Spanyol yang disukainya itu. Alfonso melihat Siena berdiri di dapur di depan kitchen island dengan dress hijaunya. Rambut Siena diikat tinggi, memamerkan kulit leher dan bahunya yang putih. Ah, tubuh Alfonso seketika makin hangat melihat Siena yang tampak sangat menggoda baginya. Ingin sekali rasanya ia mencium kulit Siena yang mulus dan bibirnya yang merah merekah. "Cherry…." "Hai, Alf…. Ayo duduk, aku sudah siapkan Paella untukmu." Bahkan s
"Apa kamu bersedia puaskan aku malam ini, Cherry?" tanya Alfonso dengan seringai nakal menghiasi wajahnya. "Alf, tidak lucu…!" keluh Siena. Dia langsung mundur beberapa langkah dari Alfonso, sambil melipat tangan di depan dadanya, memasang wajah kesal. Alfonso tertawa, tapi segera menyesalinya. Oh, dia harusnya tak menggoda Siena, karena itu malah membuat tubuhnya makin terangsang! Ia menutupi wajahnya dengan kedua tangannya, berupaya mengusir bayangan tubuh Siena dari pikirannya. Siena sadar Alfonso sepertinya sedang melawan dirinya sendiri. "Alf, kurasa lebih baik kamu menginap di sini malam ini. Ada banyak kamar yang bisa kamu pakai. Aku akan minta Lucio siapkan kamar untuk kamu." Lalu dia buru-buru memanggil Lucio. Lucio langsung menunjukkan sebuah kamar untuk Alfonso. Sebagai kepala pelayan pribadi Adalfo yang sudah bekerja puluhan tahun, tentu saja Lucio tahu segala sesua
"Siena Chan…!" Siena mendongakkan wajahnya. Imelda berlari ke arahnya dengan wajah berseri-seri. Mereka sudah membuat janji untuk bertemu di sebuah kafe hari Minggu siang ini, yang pastinya bukan Cheers Cafe. Siena merasa ada hal penting yang ingin dibicarakannya dengan Imelda, sahabatnya. "Aku tak bisa hubungi Brian, sudah tiga hari ini. Dia juga tak masuk kerja. Kata manajernya di Cheers Cafe, dia sakit. Tapi anehnya, dia juga tak ada di apartemennya." Imelda langsung mencerocos begitu duduk di samping Siena. Justru hal itulah yang sedang dirisaukan oleh Siena. "Benarkah?" Wajah Siena terlihat khawatir. "Ada apa sebenarnya? Waktu kamu telepon aku, kamu berkata mau bicara tentang Brian." Siena menarik napas dalam-dalam. Akhirnya ia memutuskan untuk menceritakan semua yang terjadi hari itu, ketika Brian datang ke rumahnya, menyatakan perasaan padanya, dan
"Apa maksudnya?" Kening Siena berkerut dalam. "Tapi hari ini bukan ulang tahunku."Ah, ini pasti kode, pikir Siena. Alfonso benar-benar sengaja mengerjainya tepat di hari pernikahan mereka!Siena mencari pulpen dan mulai mencoret-coret di kertas. "Tanggal ulang tahunku 17 September. Mungkin itu sebagai kunci untuk menggeser huruf yang ada. Hmm, biar kucoba."Ia menuliskan tebakannya di atas kertas.ELANHPB1791791FSJOOYC"Aneh, kenapa tak ada artinya?" Siena tertegun melihat hasilnya. "Atau… hurufnya bukan digeser ke kanan, tapi ke kiri!"Siena mencoret-coret ulang dan menulis lagi.ELANHPB1791791DERMAGA"Dermaga?" Siena berseru kaget. "Apakah Alf memintaku untuk pergi ke dermaga?"
"Dengan ini kalian berdua dinyatakan resmi menjadi suami istri. Silakan, Anda boleh mencium istri Anda."Setelah pastor selesai mengucapkan kalimat tersebut, Alfonso langsung merangkul pinggang Siena, memberikan belaian lembut di pipi Siena yang merona indah, dan mengecup bibirnya dengan penuh kasih. Seketika semua yang hadir bertepuk tangan.Segala sesuatu berjalan sesuai harapan Siena di hari pernikahannya ini. Dia tak perlu pesta mewah, hadiah mahal, atau gaun pengantin seperti putri kerajaan. Yang dia butuhkan hanyalah pernikahannya sah di hadapan Tuhan dan orang-orang yang disayanginya.Setelah acara pemberkatan pernikahan berakhir, Alfonso dan Siena mendapatkan pelukan dari Stefano, Carlo, juga Irina yang datang jauh-jauh dari Melbourne. Mendadak…."Siena Chan! Selamat ya!" Siapa lagi kalau bukan Imelda yang memekik. M
Alfonso masuk ke dalam kamar tidur Siena dengan wajah cerah. Siena sudah berganti gaun tidur dan duduk bersandar di kepala tempat tidur, ia langsung mengarahkan pandangan ke Alfonso."Kamu kelihatan gembira…, sepertinya aku tak usah khawatir apa yang kamu bicarakan dengan Papa," celetuk Siena.Seringai Alfonso makin lebar. "Aku baru saja mendapat seorang Papa hari ini."Mulut Siena melongo. "Benarkah? Papa sudah memintamu memanggilnya Papa?"Alfonso menjawab dengan anggukan mantap. "Yup!""Oh, Alf, aku bahagia sekali mendengarnya!" Siena merentangkan kedua tangannya lebar-lebar untuk memeluk Alfonso.Alfonso duduk di samping Siena dan merangkulnya dengan mesra. "Sekarang aku punya keluarga yang utuh lagi. Aku punya seorang istri yang kucintai, ayah yang bi
Bagi Alfonso, hari ini adalah salah satu hari paling istimewa baginya. Ia sempat kehilangan Siena selama tiga bulan lebih, berusaha bertahan dalam hati yang hancur, bahkan menjalani hidup seperti zombie, tubuhnya hidup tapi jiwa dan pikirannya serasa kosong.Mimpi buruk itu telah berakhir. Sekarang, Siena kembali padanya. Bahkan lebih daripada yang berani dia bayangkan, dia mendapatkan Siena bersama anak mereka yang berumur tiga bulan dalam kandungan Siena!"Kamu tak mau makan, Cherry? Dari tadi aku lihat kamu belum makan apa-apa," ujar Alfonso, kelihatan cemas.Malam ini pesta pertunangan mereka sedang berlangsung di halaman belakang rumah yang sangat luas. Keluarga De Martini adalah keluarga bangsawan yang sangat terkenal dan penting di Kota Siena. Jadi tak heran kalau tamu yang berkunjung juga terus mengalir.Alfonso menuntut Si
"Selamat siang, Tuan Stefano." Alfonso memutuskan untuk menyapa lebih dulu. "Carlo, Damien…." Alfonso mengangguk pada mereka bertiga.Mata Stefano mengamati tangan Alfonso dan Siena yang terus saling bergandengan. "Siena, kamu membuat kami khawatir. Apakah Alfonso menyakitimu?" Jelas bahwa Stefano sengaja mengabaikan sapaan Alfonso."Tidak, Papa, Alfonso tak mungkin sakiti aku," Siena menjawab dengan cepat. "Papa, kumohon biar kami jelaskan dulu semuanya.""Kurasa semuanya sudah sangat jelas bagiku. Kamu memilih untuk menyakiti hati seorang pria yang baik seperti Damien, demi kembali pada pria yang jelas-jelas telah menyakitimu sebelumnya," sergah Stefano dengan suara tegas."Papa, ini semua salahku. Alfonso tak pernah sakiti aku. Aku sudah tahu kalau dia tak ada hubungannya dengan masalah Gloria, tapi waktu dia datang menem
Butuh waktu beberapa detik bagi Siena untuk mencerna perkataan Alfonso. Namun yang bisa dilakukannya hanyalah menatap Alfonso dengan mata terbelalak dan mulut melongo."Aku mohon jangan menikah dengan Damien. Aku ingin kamu jadi milikku seorang. Menikahlah denganku, Cherry…." Ucapan Alfonso terdengar sangat jelas, ucapan yang menimbulkan rasa hangat yang menjalari hati Siena."Alf….""Ya?""Kamu sadar kalau kamu baru saja memintaku menikah denganmu? Di dalam sebuah garasi mobil yang tertutup, di mana kamu baru saja menculikku tepat di hari pertunanganku dengan Damien?"Alfonso terpaku sesaat. "Yah…, aku bisa lakukan hal yang lebih gila lagi kalau kamu mau. Aku bisa saja tiba-tiba muncul di rumahmu, dan berteriak memprotes tepat saat Damien baru saja mau pasangkan cincin pertun
"Kamu cantik sekali, Siena," puji Viola, wanita paruh baya yang menjadi penata rias Siena.Siena sedang berada di salon untuk merias diri sebelum acara pertunangannya dengan Damien nanti malam. Tadinya dia hendak merias diri sendiri saja, tapi Carlo bersikeras bahwa dia harus tampil istimewa di hari yang istimewa ini.Jadilah dia akhirnya berangkat ke salon dengan sedikit enggan, diantar oleh Pino. Sedangkan Stefano, Carlo, dan Damien mempersiapkan acara yang akan diadakan di rumahnya."Apa dandananku… tidak berlebihan?" Siena ragu melihat penampilannya sendiri di cermin. Dia bukan gadis yang suka dandanan tebal selama ini."Jelas tidak. Dandanan ini sangat sempurna untuk acara spesial," Viola meyakinkannya sambil tersenyum."Maaf, maksudku, tentu saja hasil dandananmu sangat sempurna, Viol
Saat Alfonso mengemudikan mobilnya masuk ke halaman depan rumah, dia merasa curiga dengan mobil limusin putih yang diparkir di area taman umum yang berada persis di seberang rumah.Tak banyak orang yang mengendarai mobil limusin ke mana-mana karena terlalu mencolok. Siapa pemilik limusin itu, seorang selebritis yang sengaja mencari perhatian?Alfonso melangkah masuk ke dalam rumah, dan seketika terhenti karena mencium bau ganjil yang tak biasanya. Bau yang mengingatkan dia pada sesuatu.Ia mempercepat langkahnya, matanya mencari-cari sampai akhirnya dia melihat apa yang dicurigainya. Carlo sedang duduk di ruang tengah rumahnya sambil mengisap cerutu!"Aku rasa sudah saatnya aku sewa petugas keamanan untuk jaga rumah ini. Supaya orang-orang seperti kamu tak bisa masuk seenaknya," nada suara Alfonso terdengar ketus.
Alfonso keluar dari mobilnya. Matanya langsung melihat Brian dan Gloria yang sedang duduk bersebelahan di depan mobil kopi mereka, menatapnya dengan wajah serius."Apa kabar, Alfonso?" Gloria yang lebih dulu menyapa, karena Brian diam saja."Hai, Gloria. Bagaimana keadaanmu, sehat?" balas Alfonso. Ia berdiri di depan mereka berdua."Sehat, biarpun aku kelihatan makin mengembang tiap hari," celoteh Gloria, terkikik geli dengan gurauannya sendiri."Menurutku kamu kelihatan seperti ibu hamil yang modis, Gloria," puji Alfonso, tapi matanya melirik ke Brian.Dia mengatakan itu semata-mata untuk memberi dukungan pada Gloria, tanpa ada maksud merayu. Tapi dia tahu sifat Brian yang posesif. Wajah Brian seketika tampak berubah.Dalam hati Alfonso rasanya ingin tertawa. Pa