From: Vino
Jangan ganjen, saya liat
KEDATANGAN Vino pagi ini cuma numpang cuci muka dan makan pisang goreng yang disuguhi Umi. Kemudian pamit berangkat. Dan disinilah Khika sekarang, disebelah Vino di dalam mobilnya yang Vino kemudikan menuju Sekolah. Suasana hening. Kata candaan 'aku juga suka kamu' yang sempat Vino lontarkan tadi tak ada tapaknya sama sekali. Vino nyatanya tetap cuek dan ketus seolah nggak pernah terjadi apa-apa. Khika seperti buang-buang tenaganya saja tadi, karena sempet deg-degan tak karuan mendengarnya.Sesampainya di sekolah. Dimulai dari keluar mobil sampai ke depan gerbang, tatapan anak-anak Pratiwi tak lepas dari dirinya dan Vino.
KHIKA jelas ngambek, sikap Vino lagi-lagi memercikan api di ladang orang, membuat semuanya terbakar menjadi abu kesalahpahaman. Siapapun yang melihat perlakuan Vino padanya akhir-akhir ini, pasti akan berfikiran sama, kalau 'ada apa-apa' diantara mereka.Kerja kelompoknya, sukses menjadi kerja kelompok paling kasat mata untuknya. Dia ada tapi tak seorang pun yang mau mendengar pendapatnya, hanya Iwan yang berada ditengah-tengah sebagai penghubung, yang pada akhirnya hanya memberikan Khika tugas mulia sebagai tukang mewarnai poster. Khika cukup bersyukur karena namanya masih dimasukan kedalam nama kelompok, itupun dibaris terakhir, tapi masih untung di banding tidak.
VINO turun menggunakan lift, dan berjalan di sepanjang rentetan mobil di basement. Pipinya masih panas. Di usapnya sudut bibir yang terasa nyeri dengan ibu jari. Darah membekas disana. Vino hanya menyeringai, menertawakan balasan yang dia dapat dari langkahnya untuk membela ibu kandungnya sendiri.Mata Vino berhasil menemukan mobil sedan hitam miliknya, yang terparkir di ujung mobil lain. Ia buka slot pintu mobilnya menggunakan remote
Khika berjalan perlahan menuju gerbang sekolah. Gadis itu sengaja datang pagi-pagi sekali. Entah kenapa. Tapi semalam gadis itu tak bisa tidur, bahkan tak bisa berpikir jernih tentang hal lain, dunianya berputar diantara kilasan-kilasan kejadian kemarin yang bagai kilat, timbul tenggelam di memorinya. Jantungnya berdetak tak karuan membayangkan pertemuannya nanti dengan Vino. Apa yang harus dia katakan, masa dia harus kabur lagi seperti kemarin.Khika masuk ke kelasnya yang masih sepi dan duduk di bangkunya yang biasa. Menghela napas lalu memasang earphone
"BRUK!" Seseorang menubruk pundak Kenta tanpa tahanan, tepat sesaat setelah Kenta keluar beberapa meter dari kelas Khika."Sorry," Ucapan itu mengalir dingin dari mulut cowok sengak yang berlalu begitu saja dan melangkah pergi melewatinya. Kenta sadar siapa orang itu. Dia Vino.
TAK perlu banyak waktu, sampai hal yang paling Khika takutkan terjadi. Nyatanya dia sudah disini sekarang. Bersama Zahra, Gita dan Maurien, di suatu tempat yang sangat populer yaitu di koridor sunyi belakang Sekolah. Dibalik lingkaran setan yang mengerubuni mereka. Sepuluh pasang mata itu menatap mereka galak. Khika sudah bisa menebak siapa mereka, karena sudah pasti mereka adalah fansnya Vino. Dan Khika sudah bisa menebak juga ini dalam rangka apa, gencetan masal ini juga pasti karena Vino.
SUARA decitan pantulan bola basket tenggelam di redam riuhan gemuruh sorakan para penggemar Vino. Sosok tegap yang diberi semangat tengah sibuk mengadu strategi, berirama bersama rekan lainnya. Menangkap umpan demi umpan yang dilempar untuk mencetak gol kemenangan bagi kelas mereka hari itu.Kerumunan itu terus memanggil namanya, menyita sebagian perhatian yang harusnya ia salurkan ke permainan. Ingin sekali menyuruh mereka berhenti, namun Ia tak mau terlihat peduli, karena memang begitu seharusnya. Dan benar saja, konsentrasi yang terpecah itu menyebab
Pertanyaan yang belum terjawab menutup hari itu dengan kelabu. Khika pulang tanpa mengetahui apa yang terjadi dengan Vino dan Kenta. Dan juga Gita yang menghilang saat itu sampai akhir. Mereka sepertinya dipulangkan setelah mendapat hukuman, karena Khika tak lagi melihat mobil Vino ditempat dia biasa parkir. Khika pun pulang naik angkot, seperti biasa, bersama Maurien. Mata Khika sibuk menatap jingganya langit sore itu, mereka bersembunyi di kelas hingga jam 4 petang menunggu seluruh anak Pratiwi pulang, menghindari gerombolan Siberat yang tadi hampir mencelakai dirinya.Malamnya hati Khika m
Dalam deruan napas yang tersengal Khika sampai dikamar Bang Ardy ditemani Vino yang mengikuti dibelakangnya. Hal yang pertama Khika lihat adalah tangisan Umi dipelukan Ayah. Membuat pikirannya menjalar ke peristiwa terburuk yang mungkin terjadi pada Bang Ardy. Sesungguhnya gadis itu belum siap.Tidak, pokoknya jangan sekarang Ya Tuhan, gumamnya dalam hati.
"Kamu ikut saya aja ya?" kata Vino."Kemana?" tanya Khika lagi."Bantuin tugas saya," jelas Vino sambil mengemudikan mobilnya. Tentu saja kalau untuk membantu Khika bersedia. Gadis itu menyetujuinya. Lalu memberikan kabar pada Umi kalau dia akan terlambat pulang. Tapi nyatanya Umi juga s
Gadis itu kini mengerti, kenapa Vino memilih menghilang setelah ibunya siuman. Lelaki itu memang benar-benar telah dibenci ibunya. Ironisnya, ia dibenci justru karena mengambil keputusan untuk menyelamatkannya hidup ibunya. Satu-satunya pelita dalam hidupnya.Rasanya gadis itu seperti sedang menyelami lubang menganga yang tersembunyi dalam kesempurnaan kehidupan Vino.
VINO baru saja menghadapi kenyataan yang lagi-lagi tak sesuai harapannya. Tanpa ia sadari untuk kesekian kalinya, Ayahnya mampu memegang kendali penuh dalam kehidupannya. Kini Vino dibebankan tugas yang baru, yang pasti akan menyita semua pikiran bahkan waktunya."Saya menolak Pah, kali ini mereka benar, saya terlalu muda untuk jadi CEO," tegas Vino.
ADAM memperhatikan Alexa sedari tadi, ia tampak sempurna dalam senyumnya. Tak ada sedikitpun rasa resah, padahal permandangan kedekatan Vino dan Khika harusnya membuat Alexa jengah. Tapi nyatanya gadis itu santai luar biasa. Adam tak tahan juga lama-lama hanya memandang Alexa, ia memutuskan untuk mendekati gadis yang sedang meneguk winenya itu.
KHIKA terlambat hampir tiga puluh menit dari waktu pembukaan acara jam delapan tadi.Adam menunggunya di depan kamar.
Hari sabtu tiba juga, sudah pagi tapi Khika semalaman malah kepikiran dengan omongan Adam
GADIS itu menghirup aroma teh jahe yang ia senyap setelahnya. Udara sejuk serta senja yang menampakan diri di balkon sore itu menjadi temannya, menyusuri setiap rasa sepi yang menelusup ke hati.
Gadis itu berlari kearah lain. Entah mengapa. Yang lain dengan intuisinya berlari ke bagian depan sekolah, ke tempat yang mereka rasa a