Khika berjalan perlahan menuju gerbang sekolah. Gadis itu sengaja datang pagi-pagi sekali. Entah kenapa. Tapi semalam gadis itu tak bisa tidur, bahkan tak bisa berpikir jernih tentang hal lain, dunianya berputar diantara kilasan-kilasan kejadian kemarin yang bagai kilat, timbul tenggelam di memorinya. Jantungnya berdetak tak karuan membayangkan pertemuannya nanti dengan Vino. Apa yang harus dia katakan, masa dia harus kabur lagi seperti kemarin.
Khika masuk ke kelasnya yang masih sepi dan duduk di bangkunya yang biasa. Menghela napas lalu memasang earphone
"BRUK!" Seseorang menubruk pundak Kenta tanpa tahanan, tepat sesaat setelah Kenta keluar beberapa meter dari kelas Khika."Sorry," Ucapan itu mengalir dingin dari mulut cowok sengak yang berlalu begitu saja dan melangkah pergi melewatinya. Kenta sadar siapa orang itu. Dia Vino.
TAK perlu banyak waktu, sampai hal yang paling Khika takutkan terjadi. Nyatanya dia sudah disini sekarang. Bersama Zahra, Gita dan Maurien, di suatu tempat yang sangat populer yaitu di koridor sunyi belakang Sekolah. Dibalik lingkaran setan yang mengerubuni mereka. Sepuluh pasang mata itu menatap mereka galak. Khika sudah bisa menebak siapa mereka, karena sudah pasti mereka adalah fansnya Vino. Dan Khika sudah bisa menebak juga ini dalam rangka apa, gencetan masal ini juga pasti karena Vino.
SUARA decitan pantulan bola basket tenggelam di redam riuhan gemuruh sorakan para penggemar Vino. Sosok tegap yang diberi semangat tengah sibuk mengadu strategi, berirama bersama rekan lainnya. Menangkap umpan demi umpan yang dilempar untuk mencetak gol kemenangan bagi kelas mereka hari itu.Kerumunan itu terus memanggil namanya, menyita sebagian perhatian yang harusnya ia salurkan ke permainan. Ingin sekali menyuruh mereka berhenti, namun Ia tak mau terlihat peduli, karena memang begitu seharusnya. Dan benar saja, konsentrasi yang terpecah itu menyebab
Pertanyaan yang belum terjawab menutup hari itu dengan kelabu. Khika pulang tanpa mengetahui apa yang terjadi dengan Vino dan Kenta. Dan juga Gita yang menghilang saat itu sampai akhir. Mereka sepertinya dipulangkan setelah mendapat hukuman, karena Khika tak lagi melihat mobil Vino ditempat dia biasa parkir. Khika pun pulang naik angkot, seperti biasa, bersama Maurien. Mata Khika sibuk menatap jingganya langit sore itu, mereka bersembunyi di kelas hingga jam 4 petang menunggu seluruh anak Pratiwi pulang, menghindari gerombolan Siberat yang tadi hampir mencelakai dirinya.Malamnya hati Khika m
SUARA decitan pantulan bola basket tenggelam di redam riuhan gemuruh sorakan para penggemar Vino. Sosok tegap yang diberi semangat tengah sibuk mengadu strategi, berirama bersama rekan lainnya. Menangkap umpan demi umpan yang dilempar untuk mencetak gol kemenangan bagi kelas mereka hari itu.
KEMARIN malam. Di kediaman Vino. Luka di tangannya itu memerih, disiram oleh cairan disinfektan oleh perawat. Vino meringis sedikit. Kamar yang biasanya senyap, kini terisi oleh empat orang yang mengelilinginya.Luka itu akhirnya dibalut juga oleh kassa steril. Lebam diwajahnya diolesi salep dan beberapa luka di pelipis dan hidung dibiarkan mengering bersama cairan antiseptik yang dibalur diatasnya.
LANGIT makin menjingga bergradiasi menjadi senja yang lambat laun menggelap. Mereka pun sampai di sebuah Villa terkenal yang terletak di Selatan Kuta bertempat di dataran tinggi pinggir sebuah tebing. Sayup suara lagu-lagu klasik terdengar dari parkiran mengiringi langkah Khika yang baru saja turun dari mobil dengan sedikit kerepotan, karena terus menerus menginjak bagian bawah gaunnya.
RASA bersalah? Bukan, Vino yakin bukan itu. Ini murni. Ini keinginan hati. Tangan itu menarik gadisnya menjauh dari hiruk pikuk pesta. Keluar ke jalan belakang menuju sudut manapun yang dirasa sepi. Gadis ini sedang menangis karenanya. Padahal dia sudah berikrar untuk menjaga tapi malam ini dia gagal.Sebuah pelataran kayu yang sepi menjadi tempat mereka menghentikan kaki. Pandangan Vino tak lepas menatap ujung laut yang gelap. Dan tangan mungil itu masih melemas, mata itu masih berderai air mata. Vino menghadap gadisnya. Membuka jas untuk menutupi punggung Khika yang terbuka. Dengan lengan kemejanya yang bersih, ia seka air mata campur minyak dari kuah yang disiram Alexa tadi di wajah mungil itu.
Dalam deruan napas yang tersengal Khika sampai dikamar Bang Ardy ditemani Vino yang mengikuti dibelakangnya. Hal yang pertama Khika lihat adalah tangisan Umi dipelukan Ayah. Membuat pikirannya menjalar ke peristiwa terburuk yang mungkin terjadi pada Bang Ardy. Sesungguhnya gadis itu belum siap.Tidak, pokoknya jangan sekarang Ya Tuhan, gumamnya dalam hati.
"Kamu ikut saya aja ya?" kata Vino."Kemana?" tanya Khika lagi."Bantuin tugas saya," jelas Vino sambil mengemudikan mobilnya. Tentu saja kalau untuk membantu Khika bersedia. Gadis itu menyetujuinya. Lalu memberikan kabar pada Umi kalau dia akan terlambat pulang. Tapi nyatanya Umi juga s
Gadis itu kini mengerti, kenapa Vino memilih menghilang setelah ibunya siuman. Lelaki itu memang benar-benar telah dibenci ibunya. Ironisnya, ia dibenci justru karena mengambil keputusan untuk menyelamatkannya hidup ibunya. Satu-satunya pelita dalam hidupnya.Rasanya gadis itu seperti sedang menyelami lubang menganga yang tersembunyi dalam kesempurnaan kehidupan Vino.
VINO baru saja menghadapi kenyataan yang lagi-lagi tak sesuai harapannya. Tanpa ia sadari untuk kesekian kalinya, Ayahnya mampu memegang kendali penuh dalam kehidupannya. Kini Vino dibebankan tugas yang baru, yang pasti akan menyita semua pikiran bahkan waktunya."Saya menolak Pah, kali ini mereka benar, saya terlalu muda untuk jadi CEO," tegas Vino.
ADAM memperhatikan Alexa sedari tadi, ia tampak sempurna dalam senyumnya. Tak ada sedikitpun rasa resah, padahal permandangan kedekatan Vino dan Khika harusnya membuat Alexa jengah. Tapi nyatanya gadis itu santai luar biasa. Adam tak tahan juga lama-lama hanya memandang Alexa, ia memutuskan untuk mendekati gadis yang sedang meneguk winenya itu.
KHIKA terlambat hampir tiga puluh menit dari waktu pembukaan acara jam delapan tadi.Adam menunggunya di depan kamar.
Hari sabtu tiba juga, sudah pagi tapi Khika semalaman malah kepikiran dengan omongan Adam
GADIS itu menghirup aroma teh jahe yang ia senyap setelahnya. Udara sejuk serta senja yang menampakan diri di balkon sore itu menjadi temannya, menyusuri setiap rasa sepi yang menelusup ke hati.
Gadis itu berlari kearah lain. Entah mengapa. Yang lain dengan intuisinya berlari ke bagian depan sekolah, ke tempat yang mereka rasa a