KEMARIN malam. Di kediaman Vino. Luka di tangannya itu memerih, disiram oleh cairan disinfektan oleh perawat. Vino meringis sedikit. Kamar yang biasanya senyap, kini terisi oleh empat orang yang mengelilinginya.
Luka itu akhirnya dibalut juga oleh kassa steril. Lebam diwajahnya diolesi salep dan beberapa luka di pelipis dan hidung dibiarkan mengering bersama cairan antiseptik yang dibalur diatasnya.
LANGIT makin menjingga bergradiasi menjadi senja yang lambat laun menggelap. Mereka pun sampai di sebuah Villa terkenal yang terletak di Selatan Kuta bertempat di dataran tinggi pinggir sebuah tebing. Sayup suara lagu-lagu klasik terdengar dari parkiran mengiringi langkah Khika yang baru saja turun dari mobil dengan sedikit kerepotan, karena terus menerus menginjak bagian bawah gaunnya.
RASA bersalah? Bukan, Vino yakin bukan itu. Ini murni. Ini keinginan hati. Tangan itu menarik gadisnya menjauh dari hiruk pikuk pesta. Keluar ke jalan belakang menuju sudut manapun yang dirasa sepi. Gadis ini sedang menangis karenanya. Padahal dia sudah berikrar untuk menjaga tapi malam ini dia gagal.Sebuah pelataran kayu yang sepi menjadi tempat mereka menghentikan kaki. Pandangan Vino tak lepas menatap ujung laut yang gelap. Dan tangan mungil itu masih melemas, mata itu masih berderai air mata. Vino menghadap gadisnya. Membuka jas untuk menutupi punggung Khika yang terbuka. Dengan lengan kemejanya yang bersih, ia seka air mata campur minyak dari kuah yang disiram Alexa tadi di wajah mungil itu.
"Hoaaaam..." ini sudah keempat kalinya Khika menguap. Malam tadi benar-benar malam terhectic yang pernah dia jalani. Bali, bandara, naik pesawat ditambah semalaman dimarahi Umi dan Ayah karena pergi pagi pulang tengah malam. Padahal Khika sudah jujur sejujur-jujurnya kalau keterlambatan pulang ini disponsori kedatangan Khika ke acara dadakan pesta ulang tahunnya Serliya Putri di Bali. Eh tapi Uminya malah membentaknya balik.
"JADIAN?!" pekik Zahra ternganga. Seperti yang sudah Khika duga, Zahra pasti kaget.Khika cuma mengangguk lemah, menggigiti sedotan minuman botolnya yang sudah hampir keriting diterjang gigi-giginya.Spontan sahabatnya itu menengok ke setiap sudut kantin, memastikan bahwa tak ada
"Nggak!""Mau!"
KERENGGANGAN itu terendus juga, dibawa oleh angin yang mengiringi setiap berita ke pelosok Sekolah. Khika menjauh dari Vino, semua orang tahu itu. Mungkin positifnya dari kejadian ini adalah perbedaan presepsi yang cukup signifikan sebelum dan sesudah Vino menggencarkan aksi buka-bukaan ini. Pada akhirnya semua orang tahu bahwa Vino lah yang mengejar Khika, bukan sebaliknya seperti yang dituturkan gosip-gosip tak bertanggung jawab dahulu. Jadi setiap Kak Vio melabraknya, dia tak pernah lagi mendengar kata 'jangan deketin Vino' tapi diganti dengan hal lain yang diada-ada."Awas lo cewek muna!
- Kemarin,sepulang Sekolah. -Sudut pandang Vino.
PAK FUAD mengemudikan mobil yang membawa serta Vino di jalan kota Bandung malam itu. Menyusuri jalan yang disoroti lampu kuning dan rimbun pepohonan di pinggir jalan yang menjadi sarang mata Vino untuk memandang kosong.
Dalam deruan napas yang tersengal Khika sampai dikamar Bang Ardy ditemani Vino yang mengikuti dibelakangnya. Hal yang pertama Khika lihat adalah tangisan Umi dipelukan Ayah. Membuat pikirannya menjalar ke peristiwa terburuk yang mungkin terjadi pada Bang Ardy. Sesungguhnya gadis itu belum siap.Tidak, pokoknya jangan sekarang Ya Tuhan, gumamnya dalam hati.
"Kamu ikut saya aja ya?" kata Vino."Kemana?" tanya Khika lagi."Bantuin tugas saya," jelas Vino sambil mengemudikan mobilnya. Tentu saja kalau untuk membantu Khika bersedia. Gadis itu menyetujuinya. Lalu memberikan kabar pada Umi kalau dia akan terlambat pulang. Tapi nyatanya Umi juga s
Gadis itu kini mengerti, kenapa Vino memilih menghilang setelah ibunya siuman. Lelaki itu memang benar-benar telah dibenci ibunya. Ironisnya, ia dibenci justru karena mengambil keputusan untuk menyelamatkannya hidup ibunya. Satu-satunya pelita dalam hidupnya.Rasanya gadis itu seperti sedang menyelami lubang menganga yang tersembunyi dalam kesempurnaan kehidupan Vino.
VINO baru saja menghadapi kenyataan yang lagi-lagi tak sesuai harapannya. Tanpa ia sadari untuk kesekian kalinya, Ayahnya mampu memegang kendali penuh dalam kehidupannya. Kini Vino dibebankan tugas yang baru, yang pasti akan menyita semua pikiran bahkan waktunya."Saya menolak Pah, kali ini mereka benar, saya terlalu muda untuk jadi CEO," tegas Vino.
ADAM memperhatikan Alexa sedari tadi, ia tampak sempurna dalam senyumnya. Tak ada sedikitpun rasa resah, padahal permandangan kedekatan Vino dan Khika harusnya membuat Alexa jengah. Tapi nyatanya gadis itu santai luar biasa. Adam tak tahan juga lama-lama hanya memandang Alexa, ia memutuskan untuk mendekati gadis yang sedang meneguk winenya itu.
KHIKA terlambat hampir tiga puluh menit dari waktu pembukaan acara jam delapan tadi.Adam menunggunya di depan kamar.
Hari sabtu tiba juga, sudah pagi tapi Khika semalaman malah kepikiran dengan omongan Adam
GADIS itu menghirup aroma teh jahe yang ia senyap setelahnya. Udara sejuk serta senja yang menampakan diri di balkon sore itu menjadi temannya, menyusuri setiap rasa sepi yang menelusup ke hati.
Gadis itu berlari kearah lain. Entah mengapa. Yang lain dengan intuisinya berlari ke bagian depan sekolah, ke tempat yang mereka rasa a